Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL:

DI ANTARA ANCAMAN DAN KESEMPATAN

Dr. Ryantori

Ilmu Hubungan Internasional (HI) dewasa ini telah mencapai ke suatu tahap yang jauh lebih

modern dan kompleks jika dibandingkan dengan pada masa awal perkembangannya sekitar

awal abad ke-20 yang lalu. Pada awalnya dulu, ilmu ini biasa diidentikan dengan masalah

perang dan damai semata—dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan politik luar negeri

tentunya—atau dengan kata lain berfokus pada masalah keamanan. Namun, sekarang ini

permasalahan yang dibahas mencakup tidak hanya masalah tersebut, tapi sudah melebar

menyentuh isu-isu ekonomi politik internasional, dan bahkan juga pada isu-isu "pinggiran"

seperti masalah lingkungan, HAM, dsb.

Di dalam sebuah tulisannya, Clemens* menunjukkan betapa kompleksnya masalah

yang ada di dalam hubungan internasional. Dia memberikan sebuah model untuk

memudahkan memahami hal tersebut, yaitu kinerja sebuah negara besar seperti AS dengan

segala kepentingannya di dunia internasional, yang dalam hal ini diwakili oleh secretary of

state (menteri luar negeri). Jika dihadapkan pada suatu isu tertentu, langkah apa yang

seharusnya diambil mengingat kompleksitas yang menghadang di dalam konteks HI. Untuk

mengetahui dan memahami kompleksitas HI ini, Clemens memberikan beberapa gambaran.

Pertama, menurutnya, HI adalah gabungan dari fakta kehidupan dan salah satu

bidang studi. Sebagai fakta kehidupan, HI adalah apa yang terjadi ketika entitas-entitas yang

*
Tulisan ini merupakan sebuah catatan kritis atas tulisan yang dibuat oleh Walter Clemens Junior yang berjudul
Dynamics of International Relations: Conflict and Mutual Gain in an Age of Global Interdependence dan
diterbitkan oleh Rowman and Littlefield Publishers Inc. pada tahun 1998.

1
berbeda saling berinteraksi melintasi batas-batas negara; sebagai sebuah bidang studi, HI

berupaya untuk memahami pola-pola dari interaksi-interaksi tersebut. Lebih spesifik lagi,

HI mempunyai tiga tugas: (1) menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa, (2) menaksir

kemungkinan alternatif-alternatif di masa depan, dan (3) memberikan panduan dan

membentuk norma-norma di dalam pembentukan kebijakan.

Gambaran yang kedua adalah mengenai aktor-aktor di dalam HI dan tingkat-tingkat

analisis di dalam HI—untuk memudahkan memahami suatu masalah. Di tingkat pertama

adalah individu dan kemampuan manusiawinya yang berperan penting di dalam konteks HI.

Tingkat kedua adalah faktor-faktor domestik—negara dan masyarakat. Di dalamnya

termasuk kelompok-kelompok etnis dan kelompok-kelompok kepentingan ekonomi.

Tingkat ketiga adalah kelompok-kelompok negara. Termasuk di dalamnya adalah

intergovernmental organization (IGO) atau organisasi antarpemerintahan, yaitu organisasi

yang dibuat dan didanai oleh negara-negara. Tingkat keempat adalah organisasi-organisasi

dan gerakan-gerakan transnasional. Transnasional disini mengandung pengertian

nonpemerintahan tapi aktivitasnya sudah melampaui batas-batas negara. Yang termasuk ke

dalam kategori ini seperti transnational corporation (TNC) atau perusahaan transnasional

seperti General Motors dan nongovernmental organization (NGO) atau organisasi

nonpemerintahan seperti Greenpeace. Tingkat kelima adalah lingkungan hidup (biosphere).

Tingkat ini adalah wilayah yang terluas bagi aktivitas dan analisis HI.

Dari gambaran mengenai aktor dan tingkat analisis ini, kompleksitas yang umumnya

muncul adalah mengenai masalah penentuan tingkat analisis: tingkat yang mana yang

seharusnya mereka fokuskan untuk dipelajari agar dapat memahami suatu isu? Apakah

tingkat-tingkat analisis yang lain dapat diabaikan? Jawabannya tidak mudah. Clemens

dalam hal ini menyatakan bahwa penting untuk menggunakan pengetahuan dari disiplin-

2
disiplin ilmu yang lain yang digabungkan untuk melihat bagaimana tiap-tiap level itu

berinteraksi, sehingga diharapkan dapat memahami suatu isu secara lebih komprehensif.

Untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi dan kekuatan-kekuatan

yang membentuk HI, Clemens menyebutkan perlunya digunakan "teropong yang baik"—

sebuah sudut pandang atau perspektif teoretis yang dapat menolong kita untuk menjelaskan

masa lalu, memberikan gambaran mengenai masa sekarang, mengantisipasi kemungkinan-

kemungkinan di masa depan, dan memberikan panduan dalam pembuatan kebijakan. Dua

perspektif yang saling beroposisi dan telah lama mendominasi praktek dan studi HI adalah

realisme dan idealisme. Perspektif ketiga yang muncul pada dekade-dekade terakhir abad

keduapuluh adalah interdependensi atau perspektif yang melihat adanya saling

ketergantungan di dalam HI.

Ada banyak jenis penganut realisme. Yang pertama adalah yang disebut sebagai

ultrarealist—pengikut Machiavelli atau Hobbes—yaitu kelompok garis keras yang

berasumsi bahwa konflik suatu yang tidak bisa dielakkan. Hal seperti pelaksanaan perang

dianggap sebagai salah satu perangkat kebijakan.

Yang kedua adalah realist moderat. Berbeda dengan yang pertama, kelompok ini

cenderung untuk menghindari terjadinya perang. Mereka condong ke arah pencarian

persetujuan-persetujuan kompromistis dan membentuk jaring-jaring hukum internasional

untuk penciptaan stabilitas jangka panjang. (Sejauh ini, penulis termasuk ke dalam

pengelompokan ini.)

Karena adanya ketidakpuasan atas asumsi–asumsi realisme—bahwa manusia itu

berkecenderungan serakah dan agresif; negara merupakan aktor terpenting; power

merupakan kepentingan utama; pemerintah pasti bersifat rasional dalam upaya

memaksimalkan pencapaian kekuatan; tidak ada kode moral yang umum berlaku diantara

negara-negara; serta sejarah merupakan alat utama memahami HI—timbullah perspektif

3
baru yang masih berada di dalam lingkup ini, yaitu apa yang dikenal sebagai

neorealisme/strukturalisme dan kelompok dependensi. Mazhab yang pertama

dikembangkan oleh Kenneth N. Waltz sedang yang kedua dikembangkan oleh Karl Marx

dan Lenin.

Berikutnya, penganut idealisme juga terdiri dari beberapa variasi. Yang pertama

disebut idealis filosofis dan yang kedua adalah idealis global. Fokus dari idealisme adalah

pada tujuan-tujuan moral, menggunakan ilmu-ilmu sosial dan hukum sebagai alat untuk

memahami HI, dan menganggap manusia bersifat baik. Hal ini berdampak pada berbedanya

pandangan mereka dengan realisme terhadap sifat HI. Realisme menganggap HI bersifat

anarkis, sedangkan idealisme menganggap sifat HI adalah harmonis.

Perspektif yang terakhir adalah interdependensi. Di dalam kata saling

ketergantungan ini terkandung pengertian bahwa setiap pihak akan sangat sensitif terhadap

perubahan-perubahan dari kondisi atau kebijakan pihak lain. Perspektif ini beranggapan

bahwa sifat dari HI adalah berpotensi kearah pencapaian hasil yang saling menguntungkan

atau sebaliknya. Untuk memahami HI, mereka tidak membeda-bedakan ilmu pengetahuan.

Bagi mereka semua ilmu pengetahuan sama pentingnya.

Interdependensi adalah suatu kenyataan. Tapi, mengapa terkadang sulit sekali untuk

mengadakan suatu kerjasama? Hal ini disebabkan karena adanya beberapa hambatan seperti

yang kita kenal dengan istilah security dilemma (dilema keamanan), kondisi seperti dalam

dilema seorang tahanan yang sedang diinterogasi yang menyebabkan dia harus memikirkan

dirinya sendiri ketimbang rekannya yang sama-sama berbuat kejahatan. Tapi itu bukan

berarti bahwa mengadakan suatu kerjasama adalah sebuah ketidakmungkinan. Kata

kuncinya adalah bagaimana kita mengembangkan negosiasi di dalam konteks diplomasi.

Negosiasi disini diartikan sebagai sebuah proses yang dengannya pihak-pihak yang terlibat

4
tentang cara apa yang akan dipilih terhadap suatu isu yang mereka berbeda pandangan di

dalamnya sehingga diharapkan bisa dicapai suatu penyelesaian.

Setelah memberikan gambaran-gambaran mengenai kompleksitas HI seperti tersebut

di atas, Clemens menutup tulisannya dengan mencantumkan pertanyaan—dalam konteks

model yang dia buat di awal tulisannya—pendekatan apa yang seharusnya

direkomendasikan oleh secretary of state kepada presiden terhadap isu tertentu yang

berhubungan dengan aktor-aktor lain di dunia internasional? Penjelasan Clemens adalah

bahwa dunia kita ini mengandung bahaya dan juga kesempatan. Kita terangkai dengan yang

lain—negara-negara, masyarakat, gerakan-gerakan—di dalam jaringan

kesalingtergantungan global. Kita bisa saling menolong dan juga bisa saling menyakiti satu

dengan yang lainnya. Ia menyarankan sebaiknya kita mendekati aktor-aktor yang lain

dengan semangat kerjasama yang bersifat kondisional. Cara yang optimal untuk

mendapatkan kepentingan tiap-tiap aktor adalah dengan bekerjasama untuk menciptakan

nilai-nilai bersama, tidak dengan cara individual sehingga "sang pemenang memperoleh

semuanya.

Kunci lain untuk mencapai keberhasilan adalah melalui keterbukaan baik di dalam

lingkup domestik maupun di dalam lingkup internasional. Dengan ini diharapkan

kebijakan-kebijakan yang bersifat pencapaian strategis semata dapat digantikan dengan

kebijakan yang bersifat saling menguntungkan, yang diharapkan akan berdampak pada

berkurangnya kegagalan-kegagalan kebijakan.

Mencermati tulisan Clemens ini, kita bisa merasakan semangat pasifis (perdamaian)

dan kerjasama yang besar di dalamnya. Jika saja para sarjana HI cenderung untuk berdiri di

baris yang sama dengan Clemens ini, kemungkinan besar kita tidak akan menjumpai perang

di bumi tercinta ini di masa-masa mendatang. Sepertinya sangat utopis, namun layak untuk

direnungkan.

5
Kelebihan lain dari tulisan ini adalah upaya untuk memudahkan—tapi bukan

mensimplifikasi masalah—memahami kompleksitas HI melalui model praktis, yaitu

lembaga eksekutif AS. Digambarkan bahwa sebelum mengambil suatu kesimpulan atau

kebijakan terhadap suatu isu internasional tertentu, terlebih dulu kita harus mengetahui dulu

kompleksitas di dalam HI, sehingga diharapkan output yang dihasilkan bukan suatu output

yang bersifat merugikan, baik secara domestik maupun secara internasional.

Satu hal yang penulis ingin nyatakan adalah bahwa Clemens mendasari tulisannya

ini berdasarkan perspektif interdependensi—seperti yang ia cantumkan di dalam tulisannya

ini, atau perspektif pluralisme seperti yang diajukan oleh Viotti dan Kauppi.† Intinya adalah

bahwa kerjasama merupakan suatu keniscayaan di dalam konteks HI. Hal ini disebabkan

tidak lain oleh asumsi adanya saling ketergantungan diantara aktor-aktor yang berperan di

HI. Secara implisit hal ini juga menyatakan bahwa kesalingtergantungan itu tidak hanya

terbatas pada masalah keamanan saja, tapi sudah meluas meliputi agenda-agenda lainnya,

bahkan yang bersifat "pinggiran" sekalipun—seperti yang diasumsikan oleh pluralisme.

Satu tulisan yang berangkat dari perspektif yang sama adalah "The World Polity and

Nation-State System" yang ditulis oleh Seyom Brown.‡ Inti dari tulisan ini adalah bahwa

Brown mengajukan konsep poliarki sebagai ganti dari konsep anarki yang selama ini

dianggap mendominasi. Konsep poliarki dianggap lebih tepat dipakai untuk menganalisa

pola-pola di dalam world polity karena ia melihat begitu besarnya proses-proses

transnasional dan semakin berkembangnya saling ketergantungan antarnegara menyebabkan

kondisi anarki yang selalu mengandung unsur konflik di dalamnya semakin terkikis. Para


Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, and Globalism,
Second Edition, New York: MacMillan Publishing Company, 1993, p. 47.

Richard Little and Michael Smith, eds, Perspective on World Politics, Second Edition, London: Routledge,
1991, p. 263-271.

6
aktor yang banyak itu melihat bahwa dengan mereka meningkatkan kerjasama dalam

bidang-bidang yang bertujuan meningkatkan tingkat kehidupan mereka, menjadikan tingkat

kecurigaan diantara mereka menipis, dan sebaliknya, hubungan diantara mereka semakin

menguat.

Kesalingtergantungan yang didasarkan pada asumsi bahwa kondisi HI itu bersifat

harmonis, bukannya anarkis, memang memberikan gambaran yang mencerahkan bagi kita,

seperti yang terlihat dari dua tulisan di atas. Namun, diharapkan kondisi harmonis itu bukan

suatu kondisi yang semu. Kalau ini terjadi, maka akan sangat berbahaya, ibarat api di dalam

sekam. Mungkin kita perlu untuk lebih mendalami kata kunci yang dikemukakan oleh

Clemens dibagian akhir dari tulisannya, yaitu openness (keterbukaan). Jika ini yang

dikembangkan oleh semua pihak yang terlibat, maka kekhawatiran akan kondisi harmonis

yang semu kemungkinan besar akan lenyap.

DAFTAR PUSTAKA

Clemens, Walter. Dynamics of International Relations: Conflict and Mutual Gain in an Age

og Global interdependence. Rowman and Littlefield Publishers Inc., 1998.

Little, Richard and Michael Smith, eds. Perspective on World Politics, second edition,

London: Routledge, 1991.

Viotti, Paul R. and Mark V. Kauppi. International Relations Theory: Realism, Pluralism,

And Globalism, second edition, New York: MacMillan Publishing Company, 1993.

Anda mungkin juga menyukai