Disusun Oleh :
NGUDI WALUYO
UNGARAN
2008
HALAMAN PERSETUJUAN
Makalah Keperawatan Medikal Bedah III dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Ca Nasofaring” telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk
diseminarkan pada tanggal 26 Mei 2008.
Pembimbing
(Priyanto Skep.,Ns. )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam
5 besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun
di seluruh Indonesia. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini
yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering
terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan dengan radioterapi.
Insidens karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk
daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dengan
angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per tahun. Insidens karsinoma nasofaring
juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong
Kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Sedangkan insidens
yang terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang dan India. Penderita karsinoma
nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding pada wanita dengan rasio 2-3 :
1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif ( 30-60 tahun ),
dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Di bagian THT RSUP. H. Adam Malik
Medan selama 5 tahun (1997-2001) didapatkan 42 orang penderita karsinoma
nasofaring yang mendapat radioterapi.
Diantara berbagai jenis kanker kepala leher, karsinoma nasofaring merupakan
salah satu jenis yang memiliki prognosis buruk dikarenakan posisi tumor yang
berdekatan dengan dasar tengkorak dan berbagai struktur penting lain. Ciri dari
karsinoma nasofaring adalah pertumbuhan tumor yang invasif, kesulitan mendeteksi
tumor, sehingga menghambat diagnosis dini. Namun demikian karsinoma nasofaring
juga suatu jenis tumor yang radiosensitif dan kemosensitif.
Faktor etiologi karsinoma nasofaring adalah faktor genetik dimana ras
mongoloid merupakan yang paling banyak terkena. Faktor infeksi virus Ebstein-Barr
ditengarai juga mempunyai hubungan erat dengan patogenesis karsinoma nasofaring.
Faktor lain yang diduga banyak berpengaruh adalah paparan bahan karsinogenik.
Sepertiga pasien datang pada stadium dini yang biasanya diberikan terapi dengan
radioterapi. Dua pertiga pasien datang pada stadium lanjut (locally advanced
disease) dimana bila hanya diterapi dengan pembedahan dan atau radioterapi
memiliki rekurensi mencapai 65%.
Dahulu kemoterapi diberikan hanya sesudah kegagalan terapi radiasi dan atau
pembedahan dalam mengatasi tumor kepala leher. Berbagai penelitian telah
dilakukan mengenai bermacam variasi kombinasi obat-obatan yang digunakan, tidak
hanya pada kekambuhan dan stadium lanjut, tetapi juga sebagai terapi awal untuk
tumor-tumor kepala leher. Kemoterapi telah muncul sebagai terapi tambahan setelah
pembedahan dan atau terapi radiasi. Pada dekade terakhir ini terapi
kombinasi/kemoradioterapi terhadap karsinoma nasofaring menunjukkan hasil yang
memuaskan ditinjau dari angka rekurensi tumor. Pengertian kita mengenai mengenai
cara kerja dan syarat-syarat terapi radiasi dan kemoterapi dan pengaruhnya terhadap
tumor perlu lebih dipahami sehingga harapan terapi yang kita inginkan dapat
tercapai. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh kejelian diagnosis, stadium
penderita dan pemilihan jenis terapi yang tepat.
B. Tujuan
1. TIU
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan ca nasofaring.
2. TIK
Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu :
a. Memahami pengertian ca nasofaring
b. Memahami penyebab ca nasofaring
c. Memahami stadium ca nasofaring
d. Memahami manifestasi klinik ca nasofaring
e. Memahami patofisiologi ca nasofaring
f. Memahami pemeriksaan diagnostik ca nasofaring
g. Memahami penatalaksanaan ca nasofaring
h. Memahami komplikasi ca nasofaring
C. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dengan di susunnya makalah asuhan
keperawatan pada klien Ca Nasofaring adalah kita dapat memahami setiap langkah
pemberian terapi pada pasien karsinoma nasofaring berdasarkan prinsip-prinsip
radioterapi dan kemoterapi, serta efeknya terhadap tubuh dan sel kanker, sehingga
pada akhirnya outcomenya adalah tingkat frekuensi penyakit yang rendah, Survival
rate yang meningkat tanpa mengesampingkan kualitas hidup pasien.
b. Konsep keperawatan
a) Pengkajian
b) Diagnosa keperawatan
c) Tujuan dan kriteria hasil
d) Intervensi dan rasionalisasi
5. Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Karsinoma Nasofaring atau kanker tenggorok, merupakan keganasan tertinggi
di daerah leher dari bidang ilmu penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT)
(Suara Merdeka, 2004).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Merupakan tumor
daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini
cukup sulit karena letaknya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak
daerah vital (Mansjoer, 1999).
B. Penyebab
1. Faktor Penyebab
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator di bawah ini dianggap
berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
Benzopyrenen
Benzoanthracene
Gas kimia
Asap industri
Asap kayu
Beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA
Penyebabnya berasal dari epitel skuamosa pada daerah tenggorok bagian atas
(nasofaring). Sedang faktor predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang
letaknya sangat tersembunyi. Akibatnya sulit mendiagnosis penyakit ini pada
stadium dini, selain juga tanda ataupun gejalanya yang tidak khas.
2. Faktor Penyulit
Menurut Suara Merdeka, Senin 24 Mei 2004, Beberapa faktor penyulit yang
menegakkan diagnosis kanker tenggorok adalah :
a. Letak predileksinya yang tersembunyi
b. Faktor pasien, karena kurangnya penyebaran informasi kepada masyarakat
terhadap penyakit ini, sehingga gejala dini tidak diketahui.
c. Faktor sosial ekonomi, akibat tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan
penderita baru datang ke tempat-tempat pengobatan setelah gejala itu benar-
benar mengganggu.
d. Faktor penyakitnya sendiri
Ketika masih dini sering tidak menimbulkan keluhan yang mengganggu
sehingga penderita tidak datang berobat. Sulitnya menegakan diagnosis dini
sementara hasil biopsi sering negatif meskipun telah dilakukan berulang kali
pada daerah yang dicurigai.
e. Faktor dokter, akibat kurangnya kewaspadaan terhadap gejala dini dan sarana
alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit tersebut
C. Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC
(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12
D. Manifestasi klinik
1. Gejala Dini
Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih
terbatas di nasofaring, yaitu :
a) Gejala telinga : rasa penuh pada telinga, tidak nyaman sampai nyeri di telinga,
tinitus, gangguan pendengaran
b) Gejala hidung : epistaksis ringan, pilek atau hidung tersumbat
c) Gejala mata dan saraf : diplopia, gerakan bola mata terbatas, parestesia daerah
pipi, neuralgia trigeminal, paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu
dan sering tersedak
d) Gejala atau metastasis di leher, berupa benolan di leher
2. Gejala lanjut
a) Limfadenopati servikal
b) Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
c) Gejala akibat metastase jauh
Kedua keluhan ini (mata juling dan nyeri kepala) sering membawa penderita
salah datang berobat ke dokter spesialis yang bukan bidangnya. Apabila sudah
sampai stadium lanjut, kanker tenggorok ini dapat menyebar ke mana-mana antara
lain :
1. Tulang, penderita akan mengeluh adanya nyeri-nyeri pada tulang tangan ataupun
kaki.
2. Paru, penderita akan mengeluh sesak napas
3. Hati, penderita akan tampak kekuningan pada mata dan pada warna kulit
penderita, kadang juga terjadi perut buncit.
E. Patofisiologi
Nasofaring merupakan daerah tersembunyi, terletak dibelakang hidung,
berbentuk kubus. Daerah ini sulit dilihat dan dirasakan sehingga secara klinis disebut
sebagai daerah gelap di pertengahan dasar tengkorak. Bagian depan nasofaring
berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas berbatasan dengan dasar tengkorak
dan baian bawah merupakan langit-angit dan rongga muut. Nasofaring dilapisis
epitel skuamosa berbentuk gepeng. Kanker ini menyerang lapisan tersebut.
Pertumbuhan kanker nasofaring dapat melalui 3 bentuk. Pertama bentuk ulkus,
terbanyak dijumpia didinding posterior nasofaring atau fossa rossenmullar yang lebih
dalam dan sebagian kecil di dinding lateral. Biasanya lesi kecil tumbuh progresif
infiltratif meluas pada jaringan sekitarnya antara lain bagian lateral atau ke atap
nasofaring dan tulang basis kranium merusak fenomena dan kemudian meluas pada
fossa cerebralis tengah melibatkan beberapa saraf kranium (II, III, IV, V, VI) yang
menimbulkan gangguan neurologik. Yang kedua bentuk nodul, terbanyak muncul
pada area tubaeusthacius dan infiltrasi pada sekitar tuba diikuti obliterasi yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Tumor meluas pada petrosspoindal dan
tumbuh di beberapa saraf karanial namun tidak menimbulkan gangguan neurologik.
Pada stadium lebih lanjut tumor meluas pada fosa cerebral tengah dan merusak
tulang basis kranii atau meluas ke daerah orbital mealui fissura orbital inferior dan
mungkininvasi pada sisi maxilaris melalui os. Ethmoid. Yang ketiga bentuk eksofilik,
Biasanya polipoid non-ulseratif, muncul pada bagian atap mengisi cavum nasofaring
dan mendorong palatum mole meluas ke cavum nasi yang menimbulkan
penyumbatan pada hidung. Metastase kanker nasofaring sebagian menyebar secara
limfogen di mulai pada kelenjar getah bening basis kranii kemudian ke rantai jugular
dan terutama pada kelenjar getah bening di belakang strenokleidomastoideus
submastoid. Apabila sudah stadium lanjut kanker tenggorok ini dapat menyebar
kemana-mana antar lain tulang, paru dan hati.
F. Pemeriksaan diagnostik
Menurut dr. sulistiawan/ dr. ayu trisna dalam Bali Post. Pemeriksaan diagnostic Ca
nasofaring berupa :
1. Rinoskopi posterior dengan menggunakan cermin
Cermin dihangatkan, biasanya diatas suatu lampu alcohol sehingga pada saat
pasien bernapas tidak berkabut dan mengaburkan pandangan. Pemeriksa
memeriksa suhu cermin dengan menempelkan pada punggung tangan sebelum
memasukkan ke dalam mulut pasien. Lidah ditekan seperti pada pemeriksaan
faring dan cermin ditempatkan dalam faring. Sepertiga posterior lidah sebaiknya
tidak boleh tersenuh untuk mengurangi kemungkinan rangsangan reflek muntah.
Dinding faring posterior kurang sensitive dibandingkan lidah dan palatum mole
paling tidak tidak sensitive. Sementara cermin di dalam orofaring, pasien di
beritahu, “pikirkan untuk bernapas melalui hidung”. Palatum mole akan turun dan
nasofaring dapat diteliti dengan cermin.
2. Endoskopi hidung
Alat ini mirip teleskop yang dapat memperbesar bayangan nasofaring.
Dimasukkan lewat hidung setelah daerah tersebut dianestesi. Nasofaring dapt
langsung dilihat lewat mulut dengan cara menarik palatum mole. Untuk keperluan
ini tersedia beberapa alat mekanis. Suatu cara yang mudah yaitu dengan
memasukkan suatu kateter lunak melalui hidung sampai terlihat di dalam faring.
Suatu hemostat digunakan untuk, mengambil dan menarik ujung kateter tersebut
keluar dari mulut. Tarikan pelan pada kedua ujung kateter akan menarik palatum
mole dan memungkinkan pemandangan langsung nasofaring.anestesi topical yang
memadai harus dgunakan selama tindakan ini. Dalam banyak hal, endoskopi 90%
lebih menguntungkan karena dapat melihat nasofaring pada stadium awal dengan
menilai adanya bentukan peninggian asimetri yang ringan. Karena kegunaannya
yang dapat memeriksa nasofaring secara lebih teliti dan lebih rinci, alat ini sangat
berguna dalam deteksi dini pada lapisan mukosa di daerah endemik dan berfungsi
dalam deteksi dini suatu kekambuhan.
3. Biopsi nasofaring
Dapat dilakukan dengan lokal anestesi maupun anestesi umum. Biopsi harus
dilakukan secara ''avoe.''
4. Patologi jaringan biopsi oleh seorang ahli patologi anatomi.
5. Pemeriksaan serologis
Diperkenalkan saat ini sebagai salah satu cara untuk deteksi dini kanker
nasofaring. Dengan masuknya virus ke dalam sel manusia, badan akan
membentuk suatu reaksi imunologi atau kekebalan tubuh terhadap antigen-antigen
yang ada di dalam virus.
Penyelidikan reaksi imunologi terhadap antigen virus Epstein Barr ini telah
berhasil mengindentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada
karsinoma nasofaring.
1. Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen (VCA). Sampai saat ini,
pemeriksaan titer Ig A - VCA dianggap yang paling spesifik dan sensitif untuk
diagnosa dini kanker nasofaring. Uji ini juga dianggap metode pilihan untuk
keadaan occolt primary yaitu keadaan ditemukannya kelainan berupa
pembesaran kelenjar servikal atau destruksi dasar tengkorak atau kelumpuhan
saraf otak tanpa adanya tumor di nasofaring.
2. Ig G anti Farly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker nasofaring, uji ini
kurang sensitif jika dibandingkan dengan Ig A - VCA.
3. Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC). Pemeriksaan ADCC dapat
menentukan perjalanan penyakit serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya
titer pada waktu diagnosis.
Sebagai sarana diagnosis dini, uji Ig A-VCA merupakan uji yang paling
sensitif untuk deteksi dini kanker nasofaring, namun dianjurkan untuk melakukan
kombinasi dengan Ig G - EA supaya lebih spesifik dan sensitif. Untuk diagnosa pasti
kanker nasofaring, memang tetap harus dilakukan biopsi serta pemeriksaan patologi-
anatomi, sedangkan pemeriksaan serologi sebagai salah satu petunjuk deteksi dini
kanker nasofaring.
G. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik
dan serologi.2,3,8-12 Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
H. Komplikasi
Komplikasi radioterapi
1. Komplikasi dini, Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah
radioterapi, seperti :
Xerostomia - Mual-muntah
Mukositis - Anoreksi
Dermatitis
Eritema
2. Komplikasi lanjut, Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti:
Kontraktur, Gangguan pertumbuhan
I. Pathway
Menyerang epitel
squamosa gepeng
Memicu proliferasi sel
Ca Nasofaring
Mempengaruhi Infiltrasi
saraf cranium sekitar tuba
Obliterasi
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CA NASOFARING
A. PENGKAJIAN
1. Riwayat kesehatan
Riwayat individu
Perokok berat dan kronis, terpajan terhadap lingkungan karsinogen, penyakit
paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut
dan fibrosis pada jaringan paru.
Riwayat keturunan atau ras
Riwayat pekerjaan
2. Pemeriksaan fisik pada pernapasan
Batuk menetap akibat sekresi cairan, mengi, dyspnea, hemoptisis karena erosi
kapiler di jalan napas, sputum meningkat dengan bau tak sedap akibat akumulasi
sel yang nekrosis di daerah obstruksi akibat tumor, infeksi saluran pernapasan
berulang, nyeri dada karena penekanan saraf pleural oleh tumor, efusi pleura bila
tumor mengganggu dinding paru, disfagia, edema daerah muka, leher dan lengan.
3. Aktivitas dan istirahat
Gejala : Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin, dispnea
karena aktivitas.
Tanda : Kelesuan
4. Sirkulasi
Gejala : JVD (obstruksi vena cava)
Tanda : Takikardi, jari tabuh
5. Integritas ego
Gejala : Perasaan takut, takut hasil pembedahan
Tanda : Menolak keganasan
6. Nyeri kenyamanan
Gejala : Nyeri dada, nyeri bahu tangan, nyeri tulang sendi, nyeri abdomen hilang
timbul
7. Pernafasan
Gejala : Batuk ringan/perubahan pola batuk dari biasanya, nafas pendek, bekerja
terpasang polutan, debu industri, serak (paralisis pita suara), riwayat
merokok
Tanda : Dispnea, meningkat dengan bekerja, peningkatan premitus taktil, krekels
pada pada inspirasi atau ekspirasi, mengi menetap, penyimpangan
trahkeal.
8. Keamanan
Deman, kemerahan, kulit pucat.
9. Seksualitas
Ginekomastia, (ca sel besar), amenore/impoten
10. Penyuluhan/pembelajaran
Faktor resiko kanker pada keluarga, TB paru
11. Nutrisi /cairan
Penurunan BB, nafsu makan buruk, penurunan masukan makanan, kesulitan
menelan, haus, kurus, kerempeng, edema wajah, glukosa dalam urine.
12. Diare hilang timbul, peningkatan frekwensi bak/ jumlah urine.
Kelemahan, berat badan menurun dan anoreksia
13. Psikososial
Takut, cemas, tanda –tanda kehilangan.
14. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, takipnea
15. Tentukan symptom
16. Pemeriksaan mata dan syaraf
17. Kaji kebiasaan diet buruk
18. Seringnya individu mengkonsumsi ikan asin
19. Life style
20. Sosial ekonomi
21. Kaji nyeri
22. Menentukan sistem TNM
Berdasarkan :
TNM INTERPETASI
T Tumor primer
T1 Tumor terbatas pada nasofaring
T2 Tumor meluas pada fasa nasalis, orofaring/otot/syaraf di bawah tulang
basis kranii
T3 Tumor meluas pada organ
T3A Melibatkan tulang di bawah tulang basis kranii termasuk dasar sinus
speinoidalis
T3B Melibatkan tulang basis kranii
T3C Melibatkan syaraf cranial
T3D Melibatkan orbita, laringorofaring, ataupun infratemporalis
N Pembesaran KGB (kelenjar getah bening)
N0 KGB di leher tidak teraba
N1 Pembesaran KGB di daerah proksimal, yaitu daerah di atas garis yang
menghubungkan lekukan dengan penonjolan laring
N2 Pembesaran KGB di daerah antara lekukan sengan fosa klavikularis
N3 Pembagian KGB di daerah bagian atas klavikula
M Metastasis pada organ jauh
M0 Tidak ada metastasis pada organ lain
M1 Ada metastasis jauh
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penekanan dinding tuba, penekanan tulang.
2. Gangguan persepsi sensori b/d gangguan indra pendengaran dan penglihatan.
3. Gangguan keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake nutrisi tidak
adekuat.
4. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru
5. Syok hipovolemik b/d perdarahan berlebih
6. Gangguan body image b/d pembesaran leher, kebotakan (anoloplesia)
7. Kerusakan integritas kulit b/d efek medikasi
8. Resti infeksi b/d penurunan imunitas total
9. Resti kurang volume cairan b/d mual.muntah
10. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d insisi
11. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d penumpukan secret pada jalan nafas
12. Intoleransi aktivitas b/d penurunan fungsi organ
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
1 Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan asuhan Mendiri :
nyeri b/d penekanan keperawatan diharapkan rasa nyeri Tentukan riwayat nyeri, misalnya Inforasi memberikan data
dinding tuba, penekanan klien hilang atau berkurang lokasi nyeri, frekuensi, durasi, dasar untuk mengevaluasi
tulang dengan kriteria hasil : dan intensitas (skala 0-10), dan kebutuhan/keefektifan
Melaporkan penghilangan tindakan penghilang yang intervensi.
nyeri maksimal/control dengan digunakan.
pengaruh minimal. Evaluasi/sadari terapi tertentu Ketidaknyamanan rentang
Mengikuti aturan farmakologis mis, Pembedahan, radiasi luas adalah umum (mis,
yang ditentukan kemoterapi, bioterapi. Ajarkan nyeri insisi, kulit terbakar,
Mendemonstrasikan pasien atau orang terdekat apa nyeri punggung bawah,
penggunaan ketrampilan yang diajarkan. sakit kepala), tergantung
relaksasi dan aktivitas hiburan pada prosedur yang
sesusai indikasi untuk situasi digunakan.
individu Berikan tindakan kenyamanan Meningkatkan relaksasi
dasar (mis, reposisi, gosokan dan membantu
punggung) dan aktivitas hiburan memfokuskan kembali
(mis, music, televisi) perhatian.
Dorong penggunaan ketrampilan Memungkinkan pasien
manajemen (mis, tehnik untuk berpartisipasi secara
relaksasi) aktif dan meningkatkan
rasa control.
Kolaborasi :
Tinjau ulang pemeriksaan Membantu
laboratorium sesuai indikasi mis, mengidentifikasi derajat
jumlah limfosit total, tranferin keseimbangan
serum adan albumin. biokimia/malnutrisi dan
mempengaruhi pilihan
intervensi diet.
Berikan obat-obat sesuai indikasi: Kebanyakan anti emetic
- fenotiazin mis, proklorperazin bekerja untuk
(Compazine), mempengaruhi stimulasi
tietilperazin(Torecan) kemoreseptor metriger
agen zona juga bertindak
secara perifer untuk
menghambat peristaltic
balik
4 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan Mandiri :
b/d penurunan ekspansi keperawatan diharapkan pola Pertahankan jalan udara pasien Mencegah obstruksi jalan
paru napas klien efektif, dengan kriteria dengan memiringkan kepala, napas
hasil : hiperekstensi rahang, aliran udara
Menetapkan pola napas yang faringeal oral.
normal/efektif dan babas dari Auskultasi suara napas Kurangnya suara napas
sianosis atau tanda-tanda adalah indikasi adanya
hipoksia lainnya. obstruksi oleh mucus atau
lidah dan dapat dibenahi
dengan mengubah posisi
ataupun penghisapan.
Berkurangnya suara
pernapasan diperkiran
telah terjadi atelektasis.
Observasi frekuensi dan Dilakukan untuk
kedalaman pernapasan pemakaian memastikan efektifitas
otot Bantu pernapasan, perluasan pernapasan sehingga
rongga dada, retreksi atau upaya untuk
pernapasan cuping hidung, warna memperbaikinya dapat
kulit dan aliran udara. segera dilakukan
Pantau TTV secara terus- Meningkatnya
menerus pernapasan, takikardia,
dan atau brakikardia
menunjukan terjadinya
hipoksia
Letakkan pasien pada posisi Elevasi kepala dan posisi
sesuai miring akan mencegah
terjadinya aspirasi dari
muntah, posisi yang benar
akan mendorong ventilasi
pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan
tekanan diafragma.
Lakukan latihan gerak sesegera Ventilasi dalm yang aktif
mungkin pada pasien yang reaktif membuka alveolus,
dan lanjutkan pada periode pasca mengeluarkan sekresi,
operasi. meningkat pengangkutan
oksigen, membuang gas
anastesi, batuk membantu
mengeluarkan sekresi dan
sistem pernapasan.
Lakukan penghisapan lendir jika Dilakukan tergantung
diperlukan. pada penyebab depresi
pernapasan atau jenis
pembedahan.
Kolaborasi :
Berikan tambahan oksigen sesuai Latihan pernapasan
indikasi maksimal akan
Berikan/pertahankan alat bantu menurunkan terjadinya
pernapasan (ventilator) atelektasis dan infeksi
Bantu dalam menggunakan alat
bantu pernapasan lainnya seperti
spirometer insentif, balon
Adams, George L. (1997). Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC
dr. Mediana dan dr Amriyatun Sp THT. Senin, 24 Mei 2004. Kanker Tenggorok Sulit
Terdeteksi. Semarang-35 : FK Undip. Suara Merdeka
dr. sulistiawan/ dr. ayu trisna. Deteksi Dini Kanker ''Nasofaring'' di ambil dari
http://www.bali-travelnews.com/
Harry a. Asroel. (2002). Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.
Universitas Sumatera Utara : Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan
Hidung Dan Telinga. Diambil dari
http://www.tatalaksana_radioterapi_karsinoma_naso-faring/h
Mansjoer, Arief. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
Suara Merdeka. Kanker Tenggorok Sulit Terdeteksi. Diambil dari
http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/24/x_nas.html pada 15 Maret 2008
17:08:51