Kelas : Farmasi 4A
TUGAS FARMAKOLOGI II
JAWABAN
1. Mekanisme demam bila tubuh mengalami proses patologis (sakit). Proses perubahan
suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin
(racun) yang masuk ke dalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya
proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri
sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan
yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan
masuknya toksin ke dalam tubuh. Contoh toksin yang paling mudah adalah
mikroorganisme penyebab sakit.Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh
umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen.
Pirogen eksogen ini juga didapat dari obat-obatan dan hormonal, misalnya
progesterone. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya yakni dengan memerintahkan “tentara pertahanan tubuh” antara lain
berupa leukosit, makrofag, limfosit, dan sel Kupffer untuk memakannya (fagositosit).
Dengan adanya proses fagositosit ini, sistem imun tubuh akan mengeluarkan zat
kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya interleukin 1/ IL-1) yang
berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan
merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk
mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar
dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Proses selanjutnya adalah, asam
arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran
prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandinpun berkat bantuan dan campur
tangan dari enzim siklooksigenase(COX). Pengeluaran prostaglandin mengakibatkan
peningkatan set point (suhu termostat) di termoregulator hipotalamus. Adanya
peningkatan set point ini dikarenakan mesin tersebut merasa bahwa suhu tubuh
sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/menggigil.
Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih
banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang “setting”
hipotalamus yangmengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut
dengan demam atau febris. Demam yang tinggi pada nantinya akan menimbulkan
manifestasi klinik (akibat) berupa kejang (umumnya dialami oleh bayi atau anak-anak
yang disebut dengan kejang demam). Hal ini dikarenakan mekanisme pengontrolan
suhu pada anak-anak belum stabil (Brooks, 2005).
2. Patofisiologi Nyeri secara Umum Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada
kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh
lesijaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler .
Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor,
sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme
sehingga menyebabkan peradangan inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan
seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor
sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri
(hiperalgesia atau allodynia).Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan
darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor.
Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan
menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan
nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal,
tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor
terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen
terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga
menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung
jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan
nyeri. (Silbernagl & Lang,2000)
3. Penggolongan Obat Analgesik
5. Efek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat analgetik dapat
terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada umumnya manifestasi
obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash, dan sebagainya dengan
angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol, metamizol, dan ibuprofen,
sedang pada aspirin lebih besar.Efek samping aspirin terutama pada sistem
gastrointestinal, berupa dispepsi, nyeri epigastrik, mual dan muntah hingga
perdarahan lambung. Hal ini dapat dijelaskan, mengingat bahwa aspirin menghambat
COX-1 lebih besar daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung,
ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi
normal lambung, ginjal, dan platelet (Day, 2000). Berbeda dengan aspirin,
paracetamol juga bersifat menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak
menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung oleh karena paracetamol hanya
menghambat prostaglandin di pusat (hipotalamus), sehingga aman untuk gangguan
lambung, ginjal,dan platelet. Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan hepar,
berupa peningkatan aktivitas aminotransferase plasma, sedang hepatitis salisilat
umumnya terjadi jika kadar salisilat dalam plasma mencapai lebih dari 250 mcg/ ml.
Mirip dengan aspirin, meskipun dari segi keamanan relatif lebih baik, paracetamol
juga dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan pada hepar, terutama pada
dosis yang tinggi sekitar 15 gram atau 250 mg/ kg. dan status gizi yang buruk atau
pada penderita alkoholik. Efek samping dari asam mefenamat yang sering dijumpai
adalah mual, diare, pusing, ruam kulit, leukopenia, dan anemia hemolitik
(autoimun).Metamizol meskipun belum banyak data yang dikemukakan sehubungan
dengan kejadian efek samping pada hepar, namun beberapa penelitian menyatakan
bahwa efek samping metamizol relatif lebih ringan, seandainya ada biasanya karena
diberikan bersama obat-obat yang lain. Nimesulide mempunyai efek samping yang
sangat minimal, baik pada platelet, lambung, dan ginjal karena obat ini termasuk
selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses peradangan serta hanya
menghambat COX-1 dalam jumlah yang relatif kecil (Vane, 1996). Perbandingan
antara pemakaian obat COX-2 dengan NSAID konvensional pada pasien dengan
osteoarthritis selama 1 tahun membuktikan bahwa pada endoscopy terjadi penurunan
nyata kejadian peptic ulcer pada pemakai obat COX-2. Demikian juga efek yang
terjadi pada ginjal dan platelet, tidak menyebabkan suatu kerusakan (Day, 2000).
6. Efek sampaing yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak
peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna.
Beratnya efek samping ini berbeda-beda pada masing-masing obat. Dua mekanisme
terjadinya iritasi lambung ialah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan
difusi kembali asam lambung kemukosa yang meenyebabkan kerusakan jaringan; (2)
iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis
PGE2 gan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi
menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang
bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Uji
klinik dengan penghambat KOKS-2 menyimpulkan bahwa gangguan saluran cerna
lebih ringan daripada penggunaan KOKS-1. Di antara penghambat KOKS yang
selektif pun insidens gangguan cerna berbeda. Maproksen, ibuprofen dan diklofenak
termasuk AINS yang kurang menimbulkan gangguan lambung daripada piroksikam
dan indometasin pada dosis terapi.