Anda di halaman 1dari 3

INTERAKSI

Kombinasi dari obat-obat lain bersama diuretika dapat menimbulkan interaksi yang tidak
dikehendaki, seperti:

 Penghambat ACE, dapat menimbulkan hipotensi yang hebat, maka sebaiknya baru
diberikan setelah penggunaan diuretikum dihentikan selama 3 hari.
 Obat-obat rema (NSAID’s) dapat agak memperlemah efek diuretis dan antihipertensif
akibat retensi natrium dan airnya.
 Kortikosteroida dapat memperkuat kehilangan kalium.
 Aminoglikosida: ototoksisitas diperkuat berhubung diuretika sendiri dapat
menyebabkan ketulian (reversibel).
 Antidiabetika oral dikurangi efeknya bila terjadi hiperglikemia. Litiumklorida
dinaikkan kadar darahnya akibat terhambatnya ekskresi (Rosy , 2009)

agaimana mengobatinya

Penyakit ini dapat disembuhkan dan pengobatannya membutuhkan waktu yang panjang.
Pasien yang sudah dipastikan menderita sakit TBC minimal harus minum obat selama 6
bulan. Pada 2 bulan pertama pada umumnya pasien yang menderita TBC harus minum obat
minimal sebanyak 4 macam obat antara lain yang sering digunakan sebagai pengobatan
pertama yaitu rifampisin, isoniasid (INH), pirazinamid dan ethambutol. Empat bulan
berikutnya diteruskan dengan 2 macam obat yaitu Rifampisin dan INH. Terus terang kita
tidak bisa lari dari kenyataan bahwa minum obat dengan berbagai macam dan jangka waktu
yang panjang membuat kepatuhan seseorang akan berkurang. Selain itu obat TBC yang
berbagai macam ini kadang kala menimbulkan efek samping pada pasien yang
mengkonsumsi obat tersebut. Kepatuhan dan keinginan untuk sembuh adalah syarat yang
harus dimiliki oleh seseorang yang menderita TBC.

Di sisi lain juga perlu disampaikan jika penyakit dan kuman TBC tersebut masih ada pada
paru-paru pasien tersebut, maka mereka potensial untuk menularkan kepada orang lain. Oleh
karena itu bagi penderita TBC ada 2 hal yang selalu diperhatikan kesembuhan diri sendiri dan
tidak menularkan kepada orang lain. Saat ini bagi masyarakat tidak mampu disediakan obat
anti TBC gratis yang disediakan di Puskesmas-puskesmas baik puskesmas kelurahan dan
kecamatan. Yang terpenting adalah segera mendeteksi anggota keluarga yang mempunyai
gejala-gejala terinfeksi TBC dan segera membawa ke puskesmas untuk dievaluasi lebih lanjut
dan jika terbukti menderita TBC masuk dalam program pengobatan TBC yang saat ini
diberikan cuma-cuma.

Selain pengobatan dengan berbagai obat, pasien yang mengalami menderita TBC juga harus
terus menerus memperhatikan makanannya. Diusahakan agar selalu mengkonsumsi makanan
yang bergizi. Ironisnya, umumnya pasien yang mengalami penyakit TBC ini berasal dari
golongan masyarakat miskin. Sehingga selain kendala berobat, konsumsi makanan yang
bergizi juga menjadi hal yang sulit dilakukan yang membuat pasien TBC tak bisa
disembuhkan dengan baik.

Program pengobatan gratis yang saat ini ada di Puskesmas harus secara terus menerus
dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tambahan susu dan makanan lainnya,
juga seharusnya dapat diusahakan oleh pemerintah daerah setempat untuk turut membantu
pasien yang menderita TBC. Mata rantai penularan harus diputuskan dengan mengobati
pasien yang menderita TBC sampai sembuh.

Upaya untuk memberantas TB sebenarnya sudah merupakan gerakan duniau untuk


menghilangkan kasus TBC di muka bumi ini. Pemerintah juga seperti tidak henti-hentinya
berupaya memberantas penyakitini. Saat ini obat-obat TBC juga diberikan secara gratis
kepada pasien TB Paru dengan dahak yang positif melalui puskesmas dimana pasien tersebut
itu tinggal. Tetapi, pada akhirnya memang kesadaran masyarakat untuk membantu
mendeteksi dan juga segera berobat jika mempunyai gejala-gejala seperti yang dimiliki

ustru, sebagai pemahaman mengenai interaksi antara kedua penyakit berkembang selama 5-
10 tahun terakhir, beberapa interaksi ini dapat menyebabkan pengaruh yang dramatis pada
populasi dan menjadi sangat penting untuk kesehatan masyarakat. Penanganan bersama
kedua penyakit ini menimbulkan beberapa tantangan medis dan operasional – terutama
terkait perawatan pralahir untuk perempuan hamil yang terinfeksi HIV. Sebagai satu contoh
saja, pengobatan yang diusulkan untuk mencegah malaria pada plasenta, yaitu sulfadoksin-
pirimetamin (SP), tidak boleh dipakai bersamaan dengan profilaksis kotrimoksazol (kotri)
karena ada risiko efek samping yang sangat buruk. Walaupun begitu, penggunaan SP
bersamaan dengan kotri masih terjadi karena koordinasi yang kurang baik atau pun yang
tidak ada antara program malaria dan HIV di banyak negara.

Dr. Slutsker mempunyai pengalaman bekerja di beberapa negara berkembang termasuk


Malawi, Kenya, Sudan, Afrika Selatan; baru ini memimpin Kenyan Medical Research
Institute Field Station di Kenya Barat, dan saat ini kepala cabang Malaria di CDC AS. Beliau
meninjau banyak tantangan dalam penanganan bersama malaria dan HIV di Konferensi
Retrovirus itu. Banyak masalah yang sama juga dibahas secara dalam pada artikel oleh
Brentlinger, Behrens dan Micek di jurnal Lancet Infectious Diseases (LID) terbitan Februari
2006.

Latar belakang malaria

Setiap tahun, ada kurang lebih 500 juta infeksi malaria baru, yang menyebabkan 700.000
sampai 2,7 juta kematian, kebanyakan di antara anak kecil di Afrika. Empat jenis parasit
malaria dapat menginfeksikan manusia, tetapi Plasmodium falciparum betul-betul terpenting
terkait morbiditas dan mortalitas (kesakitan dan kematian), dan yang paling umum di Afrika
sub-Sahara.

Sindrom klinis yang disebabkan oleh malaria berbeda tergantung apakah pasien tinggal di
daerah dengan penularan malaria endemis yang stabil (terus-menerus) atau penularan labil
(kadang-kadang dan/atau jarang). Di daerah dengan penularan stabil, penyakit mempengaruhi
anak dan orang dewasa dengan cara yang berbeda. Anak mengalami infeksi kronis dengan
parasitemia berulang yang mengakibatkan anemia berat dan sering kematian. Yang tahan
hidup infeksi berulang ini mendapatkan sebagian kekebalan pada usia lima tahun dan
kekebalan ini tetap tertahan pada masa dewasa. Orang dewasa mengalami infeksi tanpa
gejala.

Di daerah dengan penularan labil, kekebalan tidak terdapat, sehingga hampir semua
perwujudan klinis adalah penyakit demam akut yang dapat menghasilkan malaria serebral
(pada susunan saraf pusat) dan kematian pada orang dengan semua usia.
Malaria terutama berbahaya untuk perempuan hamil. Perempuan dari daerah penularan labil
dapat mengalami malaria akut, kegagalan kehamilan, kelahiran mati, dan keguguran.
Kekebalan yang didapat di daerah penularan stabil dapat sebagian hilang pada perempuan
hamil, yang umumnya mengalami infeksi tanpa gejala tetapi dapat mengembangkan malaria
pada plasenta yang mengakibatkan persalinan lambat, berat badan bayi yang rendah dan
risiko kematian bayi yang meningkat.

Anda mungkin juga menyukai