Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH

SOSIOLOGI

(tentang upaya pemerintah mengatasi masalah ketimpangan sosial)

NAMA : NIDA NUR ATIKA

KELAS : XII IPS1


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk tugas ini, supaya tugas ini nantinya dapat menjadi tugas
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada tugas ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara


kelompokmasyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah serta kemiskinan atau jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (poverty line), kurangnya tingkat pendidikan, kecenderungan
dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus, serta bertambanhnya
pengangguran, yang merupakan faktor terjadinya kemiskinan. Dimana faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi dan adanya keterkaitan. Tujuan terpenting dari
pembangunan adalah pengurangan kemiskinan, yang dapat dicapai melalui pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan atau dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.
Jadi, terdapat hubungan segitiga antara pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan
pendapatan dan kemiskinan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
ketidakmerataan pendapatan merupakan hubungan dua arah. Pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai upaya di dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun
upaya tersebut belum menammpakkan hasil yang signifikan terhadap jumlah penduduk
miskin yang dari tahun ke tahunterus mengalami peningkatan (BKKBN, 2013).
BAB II

PEMBAHASAN

Sebelumnya (atau kesenjangan) dianggap alamiah, lumrah, dan merupakan


keniscayaan dalam kehidupan. Ketimpangan diyakini menjaga roda perekonomian tetap
berputar. Sebagian kekayaan atau kesejahteraan diperoleh sebagai imbalan (reward) hanya
melalui kerja keras.

Sementara itu, kemiskinan nyaris lazim diasosiasikan dengan konsekuensi logis atau
‘hukuman’ sebagai akibat kemalasan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dengan argumen ini,
ketimpangan selanjutnya dianggap sebagai faktor pendorong masyarakat untuk berinovasi,
belajar, dan bekerja lebih keras lagi. Fenomena ini dianggap turut berkontribusi melahirkan
para entrepreneur baru dengan kreativitas dan etos kerja yang semakin tinggi.

Klaim ini usang dan tidak adil setelah mengetahui kelompok masyarakat miskin harus
bekerja lebih keras dalam kondisi buruk, hanya untuk sekadar mendapatkan upah kecil.
Sementara sebagian kelompok yang sudah mapan kesejahteraannya masih berupaya
memperkaya diri secara ilegal.

Diskusi mengenai ketimpangan semakin ramai setelah Branko Milanovic dari City
University of New York (2016) memaparkan tren penurunan kesenjangan antar-negara
(between countries), walaupun kesenjangan di dalam setiap negara (within countries)
cenderung memburuk. Salah satu penjelas proses redistribusi dan konvergensi kesejahteraan
pada tataran global adalah kebangkitan (dan sebagian negara di kawasan Asia) pada
dasawarsa terakhir.

Terbaru adalah laporan yang dilansir oleh World Inequality Lab pada Desember 2017
lalu. Digawangi oleh Piketty dan koleganya, laporan tersebut meramalkan penguasaan 24
persen total aset seluruh dunia oleh kelompok "1 persen terkaya" pada 2050. Di sisi lain,
kelompok 50 persen terbawah hanya mampu memiliki kurang dari 9 persen aset global.

Laporan ini menyampaikan bahwa tingkat kesenjangan bervariasi pada banyak negara,
tetapi Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Rusia meningkat luar biasa sejak 1980. Banyak
penyebab yang berpengaruh pada variasi laju ketimpangan, biasanya merujuk pada faktor
teknologi, pendidikan, dan kebijakan perpajakan domestik.
Kendati fenomena ketimpangan dipercaya menjalankan mekanisme hukuman dan insentif
(stick and carrot), itu tak lantas menafikan kenyataan bahwa ketimpangan juga timbul
sebagai akibat perbedaan "nasib" atau kesempatan (opportunity).
Jelas bahwa setiap individu tak memiliki kebebasan untuk memilih orang tua, negara
tempat lahir, jenis kelamin, suku, dan ras. Anak yang dilahirkan dari keluarga pra-sejahtera
atau di kawasan minim fasilitas akan memiliki prospek penghidupan lebih suram
dibandingkan temannya yang lebih "beruntung" lahir di tempat yang lebih baik.

Para peneliti saat ini mengalihkan perhatiannya pada faktor yang berpengaruh jangka
panjang, seperti mobilitas status sosial yang diyakini dapat menghambat laju peningkatan
ketimpangan.

Untuk mengupas persoalan ketimpangan secara lebih obyektif, Francisco Ferreira dari
Bank Dunia menjelaskan lewat sudut pandang dunia kesehatan. Bad inequality (ketimpangan
buruk) diibaratkan sebagai "kolesterol jahat", yang muncul karena perbedaan nasib antar-
individu oleh sebab di luar kuasanya. Sedangkan good inequality (ketimpangan baik), yang
diandaikan sebagai "kolesterol baik", adalah manifestasi upaya individu yang murni
dihasilkan dari keputusan, kerja keras, bakat, aspirasi, dan mungkin juga keberuntungan.

untuk melakukan dekomposisi (pemisahan) ukuran ketimpangan sebenarnya dilandasi


oleh pemikiran John Roemer—profesor ekonomi dari Universitas Yale—dengan
metaforanya: “level of playing field” dan kesamaan kesempatan (equality of opportunity) bagi
tiap individu.

Salah Ferreira menunjukkan: 1) keterkaitan signifikan antara perbedaan kesempatan


dan ukuran ketimpangan konvensional; dan 2) hubungan negatif ketimpangan kesempatan
dengan mobilitas antar-generasi (diukur menggunakan variabel lama, yakni sekolah dan
pendapatan).

Walter Scheidel, profesor sejarah dari Universitas Stanford, dalam (2017) berargumen
bahwa tingkat kesenjangan umumnya menurun drastis secara cepat hanya ketika terjadi
musibah besar seperti: peperangan, wabah, dan bencana alam.

Dengan menelaah riwayat peradaban kuno Mesir, Romawi, dan kerajaan-kerajaan


Eropa lain, Scheidel menemukan bahwa musibah berhasil mengurangi kesenjangan melalui
cara yang kurang mengenakkan, khususnya bagi kelompok kaya yang kehilangan sebagian
besar hartanya. Mungkin yang terjadi dalam peristiwa tersebut bukanlah redistribusi
kekayaan, melainkan dekompresi (penyusutan atau pengurangan aset).

Dalam konteks berbeda, kejadian bencana juga dapat mencetuskan perasaan solidaritas
yang kuat dan memunculkan gagasan kebijakan berlatar sosial-demokratik sebagaimana
muncul pada banyak negara Eropa pasca-Perang Dunia II.

Di Indonesia, isu ketimpangan semakin disorot dan menjadi salah satu indikator dalam
pencapaian sasaran pembangunan. Umumnya, tingkat kesenjangan yang diukur lewat indeks
rasio Gini. Koefisien Gini menampilkan ketimpangan absolut pada angka satu dan kesetaraan
absolut diukur pada angka nol.
Informasi dari arsip zaman kolonial menjelang akhir abad 19 (hasil riset van Zanden,
2003) menunjukkan tingginya tingkat kesenjangan di Hindia Belanda antara lain karena
kebijakan pemilahan masyarakat berdasarkan ras—pribumi, pedagang Asia Timur dan Arab,
serta Eropa—yang diskriminatif. Struktur masyarakat yang feodalistik dan kuatnya tradisi
patron-klien juga turut memperburuk ketimpangan. Dengan kondisi seperti ini, penguasaan
modal terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti bangsawan, pengusaha, dan birokrat
lokal.

Pada awal abad 20, indeks Gini sempat mengalami penurunan saat pemerintah
kolonial mengeluarkan beleid Politik Etis atau Politik Balas Budi (irigasi, imigrasi, dan
edukasi) untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Politik Etis melahirkan benih-benih perlawanan rakyat yang dimotori oleh kaum
intelektual dan menghasilkan kesadaran untuk bernegara secara merdeka. Namun, ternyata,
kondisi ketimpangan semakin memburuk. Pergolakan politik dan konflik berkepanjangan
membuat kondisi kesejahteraan semakin timpang hingga mencapai puncaknya pada kisaran
0,5-0,6 menjelang proklamasi kemerdekaan.

Era pasca-revolusi diiringi penurunan ketimpangan meskipun kondisi kesejahteraan


secara umum masih memprihatinkan. Walaupun falsafah konstitusi dijiwai semangat
sosialisme yang menjunjung tinggi asas pemerataan kesejahteraan, tetapi kenyataannya
masyarakat tetap bergumul dengan isu kesenjangan dan permasalahan sosial lainnya.

Untungnya, proses pemulihan ekonomi dan reformasi politik pada awal abad 21
mampu mengarahkan pembangunan ke jalan yang sesuai. Proses desentralisasi dan
demokratisasi secara berangsur menggantikan sistem otoriter yang korup dan terpusat.
Namun, tanpa disadari, perbaikan ekonomi juga diiringi tingkat kesenjangan yang merangkak
naik, khususnya sejak 2011 ketika kenaikan harga komoditas dunia hanya dinikmati sebagian
kecil kalangan.

Hingga kini masih banyak persoalan kesejahteraan yang belum selesai, termasuk
tingkat ketimpangan yang masih pada, meski pada dua tahun belakangan cenderung
menurun. Akan tetapi, tingkat ketimpangan negara terbesar se-ASEAN ini kemungkinan
besar masih tetap tinggi apabila diukur indikator pendapatan, bukan dengan pengeluaran
rumah tangga seperti selama ini.

Iklim demokratisasi di tingkat lokal dan otonomi daerah memberikan prospek bagi
setiap kepala daerah untuk merancang kebijakan sosial yang lebih inklusif, khususnya bagi
kelompok rentan. Faktanya, peluang ini belum optimal dimanfaatkan dan masih sering
ditemukan -program tak berkesinambungan yang bersifat populis belaka (misalnya:
pembagian sembako, pengucuran uang tunai saat kampanye politik, dan gimmick lainnya).
Kebijakan seperti ini sering berjalan macet karena semata-mata bertujuan mendongkrak
perolehan suara pada musim pilkada.
Untuk mengatasi ketimpangan nasib, harus ada perubahan radikal dalam memandang
hak dasar. Misalnya, sarana pendidikan dan kesehatan yang tak cuma tersedia secara luas dan
terjangkau tetapi juga seharusnya mempunyai standar kualitas layak yang merata, sehingga
dapat memberikan modal kesempatan yang lebih adil bagi setiap warga negara.

Selain itu, perlu gebrakan atas konsep redistribusi, mencakup tak hanya seputar tarif
pajak progresif atau reforma agraria tetapi juga mulai meraba kemungkinan instrumen lain,
semisal pajak yang sekarang marak diujicobakan pada banyak negara.

Upaya pemerintah dalam mengatasi kesenjangan sosial antara lain dengan pemerataan
distribusi pendapatan masyarakat dan program perlindungan sosial. Selain itu, pemerintah
juga dapat mengurangi jumlah kemiskinan melalui pembukaan kesempatan kerja seperti
industri padat karya.

Harapannya, angka kemiskinan dapat ditekan dan angka kesenjangan akan menurun.
Semakin rendah jumlah kemiskinan, maka akan semakin rendah pula tingkat kesenjangan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kemampuan sesorang mengelola sumber daya alam sesuai bidang usaha atau bekerja,
tergantung dari banyak faktor. Pendidikan dan keterampilan, misalnya. Umumnya, semakin
tinggi pendidikan semakin terampil sesorang semakin tinggi penghasilannya.

Saran

Dengan adanya makalah ini saya mengharapkan kepada para pembaca untuk kita
sama-sama lebih memahami tentang upaya pemerintah mengatasi masalah ketimpangan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, Mohammad. (2014). Kemiskinan, Identifikasi Penyebab dan Strategi


Penanggulangannya. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Publica Press.Nugroho, Heru. (2001).
Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Soetrisno, Loekman. (2001).
Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Sriharini. (2007).

Anda mungkin juga menyukai