SOSIOLOGI
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk tugas ini, supaya tugas ini nantinya dapat menjadi tugas
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada tugas ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PEMBAHASAN
Sementara itu, kemiskinan nyaris lazim diasosiasikan dengan konsekuensi logis atau
‘hukuman’ sebagai akibat kemalasan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dengan argumen ini,
ketimpangan selanjutnya dianggap sebagai faktor pendorong masyarakat untuk berinovasi,
belajar, dan bekerja lebih keras lagi. Fenomena ini dianggap turut berkontribusi melahirkan
para entrepreneur baru dengan kreativitas dan etos kerja yang semakin tinggi.
Klaim ini usang dan tidak adil setelah mengetahui kelompok masyarakat miskin harus
bekerja lebih keras dalam kondisi buruk, hanya untuk sekadar mendapatkan upah kecil.
Sementara sebagian kelompok yang sudah mapan kesejahteraannya masih berupaya
memperkaya diri secara ilegal.
Diskusi mengenai ketimpangan semakin ramai setelah Branko Milanovic dari City
University of New York (2016) memaparkan tren penurunan kesenjangan antar-negara
(between countries), walaupun kesenjangan di dalam setiap negara (within countries)
cenderung memburuk. Salah satu penjelas proses redistribusi dan konvergensi kesejahteraan
pada tataran global adalah kebangkitan (dan sebagian negara di kawasan Asia) pada
dasawarsa terakhir.
Terbaru adalah laporan yang dilansir oleh World Inequality Lab pada Desember 2017
lalu. Digawangi oleh Piketty dan koleganya, laporan tersebut meramalkan penguasaan 24
persen total aset seluruh dunia oleh kelompok "1 persen terkaya" pada 2050. Di sisi lain,
kelompok 50 persen terbawah hanya mampu memiliki kurang dari 9 persen aset global.
Laporan ini menyampaikan bahwa tingkat kesenjangan bervariasi pada banyak negara,
tetapi Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Rusia meningkat luar biasa sejak 1980. Banyak
penyebab yang berpengaruh pada variasi laju ketimpangan, biasanya merujuk pada faktor
teknologi, pendidikan, dan kebijakan perpajakan domestik.
Kendati fenomena ketimpangan dipercaya menjalankan mekanisme hukuman dan insentif
(stick and carrot), itu tak lantas menafikan kenyataan bahwa ketimpangan juga timbul
sebagai akibat perbedaan "nasib" atau kesempatan (opportunity).
Jelas bahwa setiap individu tak memiliki kebebasan untuk memilih orang tua, negara
tempat lahir, jenis kelamin, suku, dan ras. Anak yang dilahirkan dari keluarga pra-sejahtera
atau di kawasan minim fasilitas akan memiliki prospek penghidupan lebih suram
dibandingkan temannya yang lebih "beruntung" lahir di tempat yang lebih baik.
Para peneliti saat ini mengalihkan perhatiannya pada faktor yang berpengaruh jangka
panjang, seperti mobilitas status sosial yang diyakini dapat menghambat laju peningkatan
ketimpangan.
Untuk mengupas persoalan ketimpangan secara lebih obyektif, Francisco Ferreira dari
Bank Dunia menjelaskan lewat sudut pandang dunia kesehatan. Bad inequality (ketimpangan
buruk) diibaratkan sebagai "kolesterol jahat", yang muncul karena perbedaan nasib antar-
individu oleh sebab di luar kuasanya. Sedangkan good inequality (ketimpangan baik), yang
diandaikan sebagai "kolesterol baik", adalah manifestasi upaya individu yang murni
dihasilkan dari keputusan, kerja keras, bakat, aspirasi, dan mungkin juga keberuntungan.
Walter Scheidel, profesor sejarah dari Universitas Stanford, dalam (2017) berargumen
bahwa tingkat kesenjangan umumnya menurun drastis secara cepat hanya ketika terjadi
musibah besar seperti: peperangan, wabah, dan bencana alam.
Dalam konteks berbeda, kejadian bencana juga dapat mencetuskan perasaan solidaritas
yang kuat dan memunculkan gagasan kebijakan berlatar sosial-demokratik sebagaimana
muncul pada banyak negara Eropa pasca-Perang Dunia II.
Di Indonesia, isu ketimpangan semakin disorot dan menjadi salah satu indikator dalam
pencapaian sasaran pembangunan. Umumnya, tingkat kesenjangan yang diukur lewat indeks
rasio Gini. Koefisien Gini menampilkan ketimpangan absolut pada angka satu dan kesetaraan
absolut diukur pada angka nol.
Informasi dari arsip zaman kolonial menjelang akhir abad 19 (hasil riset van Zanden,
2003) menunjukkan tingginya tingkat kesenjangan di Hindia Belanda antara lain karena
kebijakan pemilahan masyarakat berdasarkan ras—pribumi, pedagang Asia Timur dan Arab,
serta Eropa—yang diskriminatif. Struktur masyarakat yang feodalistik dan kuatnya tradisi
patron-klien juga turut memperburuk ketimpangan. Dengan kondisi seperti ini, penguasaan
modal terkonsentrasi pada kelompok tertentu seperti bangsawan, pengusaha, dan birokrat
lokal.
Pada awal abad 20, indeks Gini sempat mengalami penurunan saat pemerintah
kolonial mengeluarkan beleid Politik Etis atau Politik Balas Budi (irigasi, imigrasi, dan
edukasi) untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
Politik Etis melahirkan benih-benih perlawanan rakyat yang dimotori oleh kaum
intelektual dan menghasilkan kesadaran untuk bernegara secara merdeka. Namun, ternyata,
kondisi ketimpangan semakin memburuk. Pergolakan politik dan konflik berkepanjangan
membuat kondisi kesejahteraan semakin timpang hingga mencapai puncaknya pada kisaran
0,5-0,6 menjelang proklamasi kemerdekaan.
Untungnya, proses pemulihan ekonomi dan reformasi politik pada awal abad 21
mampu mengarahkan pembangunan ke jalan yang sesuai. Proses desentralisasi dan
demokratisasi secara berangsur menggantikan sistem otoriter yang korup dan terpusat.
Namun, tanpa disadari, perbaikan ekonomi juga diiringi tingkat kesenjangan yang merangkak
naik, khususnya sejak 2011 ketika kenaikan harga komoditas dunia hanya dinikmati sebagian
kecil kalangan.
Hingga kini masih banyak persoalan kesejahteraan yang belum selesai, termasuk
tingkat ketimpangan yang masih pada, meski pada dua tahun belakangan cenderung
menurun. Akan tetapi, tingkat ketimpangan negara terbesar se-ASEAN ini kemungkinan
besar masih tetap tinggi apabila diukur indikator pendapatan, bukan dengan pengeluaran
rumah tangga seperti selama ini.
Iklim demokratisasi di tingkat lokal dan otonomi daerah memberikan prospek bagi
setiap kepala daerah untuk merancang kebijakan sosial yang lebih inklusif, khususnya bagi
kelompok rentan. Faktanya, peluang ini belum optimal dimanfaatkan dan masih sering
ditemukan -program tak berkesinambungan yang bersifat populis belaka (misalnya:
pembagian sembako, pengucuran uang tunai saat kampanye politik, dan gimmick lainnya).
Kebijakan seperti ini sering berjalan macet karena semata-mata bertujuan mendongkrak
perolehan suara pada musim pilkada.
Untuk mengatasi ketimpangan nasib, harus ada perubahan radikal dalam memandang
hak dasar. Misalnya, sarana pendidikan dan kesehatan yang tak cuma tersedia secara luas dan
terjangkau tetapi juga seharusnya mempunyai standar kualitas layak yang merata, sehingga
dapat memberikan modal kesempatan yang lebih adil bagi setiap warga negara.
Selain itu, perlu gebrakan atas konsep redistribusi, mencakup tak hanya seputar tarif
pajak progresif atau reforma agraria tetapi juga mulai meraba kemungkinan instrumen lain,
semisal pajak yang sekarang marak diujicobakan pada banyak negara.
Upaya pemerintah dalam mengatasi kesenjangan sosial antara lain dengan pemerataan
distribusi pendapatan masyarakat dan program perlindungan sosial. Selain itu, pemerintah
juga dapat mengurangi jumlah kemiskinan melalui pembukaan kesempatan kerja seperti
industri padat karya.
Harapannya, angka kemiskinan dapat ditekan dan angka kesenjangan akan menurun.
Semakin rendah jumlah kemiskinan, maka akan semakin rendah pula tingkat kesenjangan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kemampuan sesorang mengelola sumber daya alam sesuai bidang usaha atau bekerja,
tergantung dari banyak faktor. Pendidikan dan keterampilan, misalnya. Umumnya, semakin
tinggi pendidikan semakin terampil sesorang semakin tinggi penghasilannya.
Saran
Dengan adanya makalah ini saya mengharapkan kepada para pembaca untuk kita
sama-sama lebih memahami tentang upaya pemerintah mengatasi masalah ketimpangan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA