Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebersihan Rongga Mulut


Kebersihan rongga mulut atau oral hygine menunjukkan suatu keadaan
yang terbebas dari akumulasi deposit gigi yaitu food debris, plak, material
alba dan stain pada permukaan gigi. Oral hygiene dipengaruhi oleh adanya
penumpukan plak dan deposit gigi lainnya, keadaan gigi yang berjejal dan
kelainan lengkung rahang. Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan
cara menyikat gigi berperan sangat besar, karena dapat mencegah supaya plak
tidak tertimbun, dan dapat menimbulkan kerusakan jaringgan penyangga gigi
(Mc.Donald, 2004).

2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebersihan Rongga Mulut


2.1.1.1 Menyikat Gigi
Menyikat gigi merupakan hal yang dapat diandalkan untuk
mengontrol plak, dan mampu membersihkan gigi secara
menyeluruh. Menyikat gigi dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya adalah frekuensi menyikat gigi, waktu menyikat gigi,
lama menyikat gigi, dan teknik menyikat gigi ( Taani, 2004).
 Frekuensi Menyikat Gigi
Menurut American Dental Association (2007),
menyikat gigi dua atau tiga kali setiap hari dengan
menggunakan pasta gigi yang mengandung flour dapat
membersihkan gigi secara menyeluruh dan memberikan
perlindungan terhadap resiko karies. Saat yang dipilih adala
setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Sekali sehari
menyikat gigi lebih baik daripada sering menyikat gigi tetapi
tidak efektif, sebelum tidur malam gigi geligi dibersihkan
dengan teliti dan disamping itu tentu saja akan lebih
menguntungkan bagi kesehatan mulut untuk membersihkan
mulut tiap kali setelah makan (Houwink, 1983).

4
 Waktu Menyikat Gigi
Waktu menyikat gigi yang tepat adalah sebelum tidur
malam, dikarenakan pada waktu tidur, air ludah berkurang
sehingga asam yang dihasilkan oleh plak akan menjadi lebih
pekat dan kemampuannya untuk merusak gigi akan lebih
besar. Oleh karena itu, untuk mengurangi kepekatan dari
asam, plak harus dihilangkan. Gigi juga harus disikat pada
waktu pagi hari, diperbolehkan sebelum ataupun sesudah
sarapan pagi. Menyikat gigi pada pagi hari berguna untuk
menghilangkan plak yang terbentuk selama tidur malam
(Ramahdhan, 2010).
Umumnya, dokter gigi selalu menganjurkan pasien
untuk menyikat giginya segera setelah makan. American
Dental Association (ADA) memodifikasi pernyataan ini
dengan menyatakan bahwa pasien harus menyikat gigi secara
teratur, minimal 2 dua kali sehari yaitu pagi hari setelah
sarapan dan sebelum tidur malam (Ratih, 2000).
 Lama Menyikat Gigi
Biasanya rata-rata lama menyikat gigi adalah satu
menit. Lamanya seseorang menyikat gigi dianjurkan minimal
lima menit, tetapi umumnya orang menyikat gigi maksimum
selama tiga menit. Penentuan waktu ini tidak sama pada
setiap orang terutama pada orang yang sangat memerlukan
program kontrol plak. Bila menyikat gigi dilakukan dalam
waktu yang singkat, maka hasilnya tidak begitu baik daripada
bila menyikat gigi dilakukan dalam waktu yang lebih lama,
mengingat banyaknya permukaan gigi yang harus
dibersihkan (Ratih, 2000).
 Teknik Menyikat Gigi
Teknik menyikat gigi telah banyak dikembangkan dan
tidak ada satu metode yang terbukti lebih unggul. Aplikasi
teliti dan benar dari cara menyikat gigi lebih penting daripada

5
penggunaan spesifik tiap jenis sikat gigi. Bermacam-macam
cara menyikat gigi telah dikemukakan dan diklasifikasikan
sesuai dengan macam gerakan yang ditimbulkan oleh sikat-
sikatnya misalnya :
1. Metode menggosok yaitu gerakan menggosok dalam arah
horizontal dan biasanya dianjurkan pada anak-anak.
2. Metode menggulung atau sentakan menggulung adalah
gerakan yang didapat dengan mengarahkan serabut sikat
gigi ke apeks dan memutar kemudian menggulung atau
memutar sikat dari tepi ginggiva ke oklusal atau tepi-tepi
insisal.
3. Metode Fones yaitu gerakan dilakukan pada saat gigi
dalam keadaan oklusi dan sikat diputar.
4. Metode Leonard menganjurkan gerakan vertikal, dengan
menyikat gigi bagian atas dan bawah secara terpisah.
5. Cara Charters dan Bass menggunakan gerakan bergetar
(Kidd, 1992).

2.1.1.2 Debris
Debris adalah endapan berwarna putih di sekitar gigi,
terdiri dari sisa-sisa makanan dan jaringan mati akibat
peradangan, sedangkan kalkulus merupakan suatu endapan keras
yang menempel di permukaan gigi berwarna mulai dari kuning
sampai cokelat kehitam-hitaman, permukaan kasar, plak yang
tidak dibersihkan dan dari endapan bahan-bahan kasar, air ludah,
dan serum darah serta sisa makanan (Farani, 2008).

2.1.1.3 Kalkulus
Apabila plak dibiarkan lebih lama, terjadi karang gigi,
karena perlahan-perlahan kalsium fosfat mengendap kedalamnya.
Jadi karang gigi merupakan plak berklasifikasi. Karang gigi tidak
meneruskan rangsang kimiawi yang merugikan periodonsium.

6
Pembentukan karang gigi sebagian besar dicegah oleh pasien
sendiri dengan pembersihan mulut yang baik (Houwink, 1983).
Menurut Wilkins, komposisi dari kalkulus terdiri dari
komponen anorganik, komponen organik dan air. Persentase
komponen dalam kalkulus bervariasi, tergantung lama dan
kekerasan deposit, serta darimana lokasi sampel analisis diambil.
Kalkulus yang sudah matang terdiri dari 75-85% komponen
anorganik dan sisanya (15-25%) terdiri dari komponen organik
dan air. Komponen anorganik dari kalkulus terdiri dari kalkulus
39%, fosfor 19%, magnesium 0,8%, karbondioksida 1,9% dan
zat-zat lain seperti: sodium, zinc, strontium, bromida, tembaga,
natrium, klor, mangan, tungsten, emas, fluor, ferum, sulfat, dan
silikat. Komponen anorganik ini akan membentuk 4 kristal
utama: hidroksiapatit Ca10(OH)2(PO4), brushite CaHPO4.2H2O,
magnesium whitlockite Ca9(PO) X PO4 [ X = Mg11..F11], dan
octocalcium-phosphate Ca4H(PO3). 2H2O. Dari keempat kristal
tersebut, yang paling dominan adalah hidroksiapatit (58%), sama
dengan kristal yang ada di email, dentin, sementum, dan tulang
(Suryo, 2000).
Pembentukan kalkulus terjadi dalam tiga tahap:
pembentukan pelikel, maturasi plak, dan mineralisasi plak
menjadi kalkulus. Mineralisasi pada kalkulus supragingiva dan
subgingiva serupa, meskipun sumber elemen-elemen untuk
mineralisasinya berbeda. Tahap pertama adalah pembentukan
pelikel. pelikel terdiri dari mukoprotein dalam saliiva dan
material aselular, terbentuk dalam hitungan menit setelah
pembersihan gigi. Pada tahap kedua, mikrooraganime berfilamen
dan koloni tersebut akan bertumbuh membentuk lapisan plak
yang menyatu (Suryo, 2000).
Selanjutnya plak yang lunak menjadi keras pada 1-14 hari
setelah pembentukan plak akibat presipitasii garam mineral.
Tidak semua plak akan mengalami kalsifikasi. Waktu yang

7
diperlukan untuk pembentukan kalkulus dari plak lunak menjadi
termineralisasi sekitar 10 hari hingga 20 hari, dengan wakktu
rata-rata 12 hari, sedangkan untuk mencapai jumlah maksimum
pembentukan kalkulus adalah 10 minggu hingga 6 bulan. Waktu
yang diperlukan untuk mengawali kalsifikasi dan jumlah dari
akumulasi kalkulus berbeda-beda pada setiap orang tergantung
kecenderungan individu dalam membentuk kalkulus, derajat
kekasaran permukaan gigi dan kebiasaan tiap orang dalam
menjaga kebersihan gigi dan mulutnya (Suryo, 2000).

2.1.2 Indeks Kebersihan Gigi dan Mulut


Untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut, menggunakan Oral
Hygiene Index Simplified dari Green dan Vermilion. OHI-S merupakan
indeks gabungan yang diperoleh dengan cara menjumlahkan debris
indek dan kalkulus indek (Herijulianti dkk., 2002).

2.1.2.1 Debris Indeks


Debris adalah deposit lunak yang ada pada permukaan
gigi yang terdiri dari mucin, bakteri, makanan dan biasanya
berwarna putih keabuan tetapi kadang berwarna hijau atau
orange (Herijulianti dkk., 2002).
Menurut Herijulianti dkk (2002), skor debris indeks
adalah :
0. Tidak ada debris atau stain
1. Debris lunak yang menutupi tidak lebih dari sepertiga
permukaan gigi
2. Debris lunak yang menutupi lebih dari sepertiga tetapi tidak
lebih dari dua pertiga permukaan gigi
3. Debris lunak yang menutupi lebih dari duapertiga
permukaan gigi

8
2.1.2.2 Kalkulus Indeks
Kalkulus adalah massa kalsifikasi yang terbentuk dan
melekat pada permukaan gigi, dan objek solid lainnya di dalam
mulut. Terdiri dari 80% massa anorganik, air, dan matriks
organik dari protein dan karbohidrat, juga sel-sel epitelial
deskuamasi, bakteri filamen gram positif, kokus, dan leukosit
(Herijulianti dkk. 2002).
Menurut Herijulianti dkk (2002), skor kalkulus indeks
sebagai berikut :
0. Tidak ada kalkulus
1. Kalkulus yang menutupi tidak lebih dari sepertiga
permukaan gigi
2. Kalkulus yang menutupi lebih dari sepertiga tetapi tidak
lebih dari duapertiga permukaan gigi
3. Kalkulus yang menutupi lebih dari duapertiga permukaan
gigi

2.1.2.3 OHI-S
a.Rumus OHI-S

OHI-S = Debris Index + Kalkulus Index

Atau

OHI-S = DI + CI

Menurut Herijulianti dkk (2002), untuk menilai


kebersihan gigi dan mulut seseorang yang dilihat adalah
adanya debris (plak) dan kalkulus pada permukaan gigi.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan untuk memudahkan
penilaian. Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada
gigi tertentu dan pada permukaan tertentu dari gigi tersebut,
yaitu:

9
Untuk rahang atas yang diperiksa:
 Gigi M1 kanan atas pada permukan bukal.
 Gigi I1 kanan atas pada permukaan labial.
 Gigi M1 kiri atas pada permukaan bukal.
Untuk rahang bawah, yang diperiksa :
 Gigi M1 kiri bawah, permukaa lingual.
 Gigi I1 kiri bawah pada permukaan labial.
 Gigi M1 kanan bawah pada permukaan lingual.
Menurut Herijulianti dkk (2002), bila ada kasus salah
satu dari gigi-gigi tersebut tidak ada (telah dicabut/tinggal
sisa akar), penilaian dilakukan pada gigi gigi pengganti yang
sudah ditetapkan untuk mewakilinya, yaitu :
 Bila gigi M1 rahang atas atau rahang bawah tidak ada,
penilaian dilakukan pada gigi M2 rahang atas atau rahang
bawah.
 Bila gigi M1 dan M2 rahang atas atau rahang bawah tidak
ada, penilaian dilakukan pada gigi M3 rahang atas /
rahang bawah.
 Bila M1,M2 dan M3 rahang atas atau rahang bawah tidak
ada, tidak dapat dilakukan penilaian.
 Bila gigi I1 kanan rahang atas tidak ada, penilaian
dilakukan pada I1 kiri rahang atas.
 Bila gigi I1 kanan dan kiri rahang atas tidak ada, tidak
dapat dilakukan penilaian.
 Bila gigi I1 kiri rahang bawah tidak ada, penilaian
dilakukan pada gigi I1 kanan rahang bawah
 Bila gigi I1 kiri dan kanan rahang bawah tidak ada, tidak
dapat dilakukan penilaian.
Menurut Herijulianti dkk (2002), Bila terdapat kasus
beberapa gigi diantara keenam gigi yang seharusnya
diperiksa tidak ada, debris index dan kalkulus masih dapat
dihitung apabila terdapat paling sedikit 2 gigi yang dapat

10
dinilai. Penilaian dapat diperoleh dengan melakukan
pemeriksaan hanya pada gigi permanen.
b. Kriteria OHI-S
Menurut Herijulianti dkk (2002), kriteria OHI-S adalah
sebagai berikut
 Baik (good), apabila nilai berada antara 0 – 1,2
 Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 1,3 – 3,0
 Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 3,1 – 6,0

2.2 Gingivitis
2.2.1 Pengertian Gingivitis
Gingivitis atau keradangan gingiva merupakan kelainan jaringan
penyangga gigi yang hampir selalu tampak pada segala bentuk kelainan
gingiva. Gingivitis adalah peradangan pada gingiva yang disebabkan
bakteri dengan tanda-tanda klinis perubahan warna lebih merah dari
normal, gingiva bengkak dan berdarah pada tekanan ringan. Penderita
biasanya tidak merasa sakit pada gingiva. Gingivitis bersifat reversible
yaitu jaringan gingiva dapat kembali normal apabila dilakukan
pembersihan plak dengan sikat gigi secara teratur (Musaikan,
2002).

2.2.2 Gambaran Klinis Gingivitis


Secara umum, gambaran klinis gingivitis adalah adanya tanda
klinis berikut: kemerahan, perdarahan akibat stimulasi, perubahan
kontur, adanya plak atau kalkulus dan secara radiografi tidak ditemukan
kehilangan tulang alveolar. Pemeriksaan histologi jaringan gingiva
yang mengalami peradangan menunjukkan ulserasi epitel. Keberadaan
radang memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi epitel sebagai
pelindung. Perbaikan ulserasi epitelium ini bergantung pada aktivitas
proliferative atau regenerative sel epitel ( Be Kien Nio, 1987)
Gejala klinis gingivitis yang parah adalah termasuk eritema,
edema, dan pembesaran hiperplastik. Daerah anterior menunjukkan

11
kondisi yang lebih parah dengan adanya gigi yang berjejal ringan, dan
bernapas melalui mulut. Pada saat probing tidak terdapat kehilangan
perlekatan dan poket tidak terdapat di daerah cementoenamel junction.
Menurut Be Kien Nio (1987), gingivitis merupakan tahap awal
dari penyakit periodontal, gingivitis biasanya disertai dengan tanda-
tanda sebagai berikut :
1. Gingiva biasanya berwarna merah muda menjadi merah tua sampai
ungu karena adanya vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi
suplai darah berlebihan pada jaringan yang meradang.
2. Bila menggosok gigi biasanya pada bulu sikat ada noda darah oleh
karena adanya perdarahan pada gingiva di sekitar gigi.
3. Terjadinya perubahan bentuk gingiva karena adanya pembengkakan.
4. Timbulnya bau nafas yang tidak enak.
5. Pada peradangan gingiva yang lebih parah tampak adanya nanah di
sekitar gigi dan gingiva.

2.2.3 Karakteristik Gingivitis


2.2.3.1 Perubahan Warna Gingiva
Warna gingiva ditentukan oleh beberapa faktor,
termasuk jumlah dan ukuran pembuluh darah, ketebalan epitel,
keratinisasi, dan pigmen di dalam epitel. Perubahan warna
merupakan tanda klinis dari penyakit pada gingiva. Warna
gingiva normal adalah merah muda coral dan dihasilkan oleh
vaskularitas jaringan dan lapisan epitel. Gingiva menjadi
memerah ketika vaskularisasi meningkat atau derajat
keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang. Warna
menjadi pucat ketika keratinisasi mengalami reduksi (Newman,
2006).
Peradangan kronis menyebabkan warna merah atau
merah kebiruan akibat proliferasi dan keratinisasi. Vena akan
memberikan kontribusi menjadi warna kebiruan. Perubahan
warna gingiva akan memberikan kontribusi pada proses

12
peradangan. Perubahan terjadi pada papilla interdental dan
margin gingiva, dan menyebar pada attached gingival
(Newman, 2006).

2.2.3.2 Perubahan Konsistensi


Baik kondisi kronis maupun akut dapat menghasilkan
perubahan pada konsistensi gingiva normal yang kaku dan
tegas. Seperti yang dinyatakan bahwa pada gingivitis kronis,
perubahan destruktif atau edema dan reparative atau fibrous
terjadi secara bersamaan, dan konsistensi gingiva ditentukan
berdasarkan kondisi yang dominan (Newman, 2006).

2.2.3.3 Perubahan Klinis dan Histopatologis


Pada peradangan gingiva, perubahan histopatologi
menyebabkan perdarahan gingiva akibat dilatasi, pembengkakan
kapiler, dan penipisan atau ulserasi epitel. Karena kapiler
membengkak dan menjadi lebih dekat ke permukaan, menipis,
epitelium kurang protektif dan stimuli yang secara normal tidak
melukai dapat menyebabkan rupture pada kapiler dan
perdarahan gingiva (Newman, 2006).

2.2.3.4 Perubahan Tekstur Jaringan Gingiva


Permukaan gingiva normal seperti kulit jeruk yang biasa
disebut sebagai stippling. Stippling terbatas pada attached
gingiva dan secara dominan terdapat pada daerah subpapila,
tetapi meluas sampai ke papilla interdental. Secara biologis
stippling pada gingiva tidak diketahui, beberapa peneliti
menyimpulkan bahwa kehilangan stippling merupakan tanda
awal dari terjadinya gingivitis. Pada peradangan kronis,
permukaan gingiva halus dan mengkilap atau kaku, tergantung
pada perubahan eksudatif atau fibrotik. Tekstur permukaan yang
halus juga dihasilkan oleh atropi epitel pada gingivitis, dan

13
permukaan yang rupture terjadi pada gingivitis kronis.
Hiperkeratosis dengan tekstur kasar, dan pertumbuhan gingiva
secara berlebih akibat obat akan menghasilkan permukaan yang
berbentuk nodular pada gingiva (Newman, 2006).

2.2.3.5 Perubahan Posisi Gingiva


Salah satu gambaran pada penyakit gingiva adalah
adanya lesi pada gingiva. Lesi traumatik seperti lesi akibat
kimia, fisik atau termal merupakan lesi yang paling umum pada
rongga mulut. Lesi akibat kimia termasuk karena aspirin,
hidrogen peroksida, perak nitrat, fenol, dan bahan endodontik.
Lesi karena fisik termasuk bibir, rongga mulut, dan tindik pada
lidah yang dapat menyebabkan resesi gingiva. Lesi karena
termal dapat berasal dari makanan dan minuman yang panas.
Pada kasus akut, epitelium yang nekrotik, erosi atau ulserasi,
dan eritema merupakan gambaran umum. Sedangkan pada kasus
kronis, terjadi dalam bentuk resesi gingiva (Newman, 2006).

2.2.3.6 Perubahan Kontur Gingiva


Perubahan pada kontur gingiva berhubungan dengan
pembesaran gingiva, tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi
pada kondisi yang lain (Newman, 2006).
Ketika resesi ke apikal, celah menjadi lebih lebar, dan
meluas ke permukaan akar. Ketika lesi mencapai mucogingival
junction, mukosa rongga mulut mengalami peradangan karena
kesulitan untuk mempertahankan kontrol plak yang adekuat
pada daerah ini. Istilah McCall festoon telah digunakan untuk
menggambarkan penebalan pada gingiva yang diamati pada gigi
kaninus ketika resesi telah mencapai mucogingival junction
(Newman, 2006).

14
2.2.4 Macam - macam Gingivitis
2.2.4.1 Gingivitis Marginalis
Gingivitis yang paling sering kronis dan tanpa sakit, tapi
episode akut dan sakit dapat menutupi keadaan kronis
tersebut. Keparahannya seringkali dinilai berdasarkan
perubahan-perubahan dalam warna, kontur, konsistensi,
adanya perdarahan. Gingivitis kronis menunjukkan tepi
gingiva membengkak merah dengan interdental
menggelembung mempunyai sedikit warna merah ungu.
Stippling hilang ketika jaringan-jaringan tepi membesar.
Keadaan tersebut mempersulit pasien untuk mengontrolnya,
karena perdarahan dan rasa sakit akan timbul oleh tindakan
yang paling ringan sekalipun (Langlais dan Miller, 1998).

2.2.4.2 Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG)


ANUG ditandai oleh demam, limfadenopati, malaise,
gusi merah padam, sakit mulut yang hebat, hipersalivasi,
dan bau mulut yang khas. Papilla-papilla interdental
terdorong ke luar, berulcerasi dan tertutup dengan
pseudomembran yang keabu-abuan (Susanti, 2003).

2.2.4.3 Pregnancy Gingivitis


Biasa terjadi pada trimester dua dan tiga masa kehamilan,
meningkat pada bulan kedelapan dan menurun setelah
bulan kesembilan. Keadaan ini ditandai dengan gingiva
yang membengkak, merah dan mudah berdarah. Keadaan ini
sering terjadi pada region molar, terbanyak pada region
anterior dan interproximal (Susanti, 2003).

2.2.4.4 Gingivitis Scorbutic


Terjadi karena defisiensi vitamin c, oral hygiene jelek,
peradangan terjadi menyeluruh dari interdental papill sampai

15
dengan attached gingival, warna merah terang atau merah
menyala atau hiperplasi dan mudah berdarah (Sea, 2000).

2.2.5 Penyebab Gingivitis


Kelainan yang terjadi dalam rongga mulut disebabkan oleh
ketidakseimbangan faktor-faktor yaitu : host, agent, environment,
psikoneuroimunologi. Penyebab gingivitis sangat bervariasi,
mikroorganisme dan produknya berperan sebagai pencetus awal
gingivitis (Musaikan, 2002).
Menurut Sriyono dan Widayanti (2005) , faktor-faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya gingivitis adalah sebagai berikut :
1. Faktor internal
Faktor intern yang bertanggung jawab atas terjadinya
penyakit gingiva.
a. Lapisan karang gigi dan noda atau zat-zat pada gigi
b. Bahan makanan yang terkumpul pada pinggiran gingiva
tidak dibersihkan oleh air liur dan tidak dikeluarkan oleh sikat.
c. Gigi berjejal secara abnormal sehingga makanan yang tertinggal
tidak teridentifikasi, kadang-kadang terbentuk ruangan
dikarenakan pembuangan gigi.
d. Kebiasaan seperti menempatkan peniti, kancing, buah pinang
dan kawat dalam mulut. Bahan ini melukai gusi dan
menyebabkan infeksi.
2. Faktor eksternal
Makanan yang salah dan malnutrisi. Pada umumnya
seseorang yang kurang gizi memiliki kelemahan, gejala yang tidak
diharap tersebut dikarenakan faktor sosial ekonomi yang berperan
sangat penting.Faktor-faktor yang berperan adalah latar belakang
pendidikan, pendapatan dan budaya. Golongan masyarakat
berpendapatan rendah tidak biasa melakukan pemeriksaan
kesehatan yang bersifat umum. Diet dengan hanya makan sayuran
tanpa unsur serat di dalamnya juga biasa menjadi faktor penambah.

16
2.2.6 Cara Pengukuran Gingivitis
 Gingival index oleh Loe dan Silness tahun 1963
Indeks gingiva oleh Loe H dan Silness J tahun 1963
digunakan untuk memeriksa keparahan gingivitis pada gigi indeks
16, 21, 24, 36, 41, 44. Jaringan sekitar tiap gigi dibagi ke dalam
empat unit penilaian gingiva, papilla distal-fasial, margin fasial,
papilla mesial-fasial, dan margin gingiva lingual keseluruhan.
Probe poket periodontal dapat digunakan untuk memeriksa
perdarahan pada jaringan.
Gingival indeks adalah indeks kesehatan gigi. Indeks gingival
diusulkan pada tahun 1963 sebagai metode untuk menilai keparahan
dan kuantitas peradangan gingiva pada pasien. Hanya gingiva yang
dapat dinilai dengan Gingival Indeks. Menurut metode ini, bagian
dari facial, mesial, distal dan lingual dinilai untuk peradangan dan
diberi skor 0 sampai 3. Untuk menilai tingkat keparahan peradangan
gingiva dapat dilakukan dengan menjalankan probe periodontal
sepanjang dinding jaringan lunak dari celah gingival.
Keparahan kondisi ini dinyatakan dalam skala 0 sampai 3 :
0. Gingiva normal; tidak ada keradangan, tidak ada perubahan
warna, dan tidak ada perdarahan.
1. Inflamasi ringan; sedikit perubahan warna, sedikit edema. Tidak
ada perdarahan waktu penyondean.
2. Inflamasi sedang; kemerahan, edema, dan mengkilat.
Perdarahan pada waktu penyondean.
3. Inflamasi parah; kemerahan yang nyata dan edema, ulserasi,
kecenderungan perdarahan spontan
Menurut Newman et al,( 2006), penilaian total skor untuk
Gingival Indeks sebagai berikut :
1. Gingivitis ringan = 0,1 – 1,0
2. Gingivitis moderat = 1,1 – 2,0
3. Gingivitis parah = 2,1 -3,0

17
2.3 Gingivitis Pada Kehamilan
2.3.1 Kehamilan
2.3.1.1 Pengertian Kehamilan
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau
fetus dalam tubuh, setelah penyatuan sel telur dengan sel sperma
(Dorland, 2002).
Pada manusia, fertilisasi sel telur dan sel sperma
biasanya timbul pada bagian tengah tuba uterina. Apabila satu
sperma mencapai membran sel telur, sperma tersebut berfusi
dengan membran. Fusi tersebut menghasilkan sinyal untuk
memulai perkembangan. Embrio yang sedang berkembang
disebut blastokista, bergerak ke bawah sepanjang tubuh menuju
uterus. Setelah berkontak dengan endometrium, blastokista
kemudian dikelilingi oleh sebuah lapisan luar sinsittiotrofoblas
menyebabkan erosi endometrium dan blastokista terpendam di
dalamnya (implantasi). Tempat implantasi biasanya di dinding
dorsal uterus. Kemudian terbentuk plasenta dan trofoblas tetap
berhubung dengannya (Ganong, 1998).
Pada kehamilan, plasenta membentuk human chorionic
gonadotropin (HCG), esterogen, progesteron, dan human
chorionic somatotropin. HCG merupakan suatu glikoprotein
yang mempunyai berat molekul 39.000 serta struktur molekul
dan fungsinya sangat mirip dengan hormon lutein yang disekresi
oleh hiposis. Sejauh ini, fungsinya yang terpenting adalah
mencegah involusi normal korpus luteum pada akhir siklus
seksual wanita. Sebaliknya, hormon ini akan menyebabkan
korpus luteum mensekresi lebih banyak lagi hormon-hormon
kelamin, progesteron dan esterogen untuk bulan-bulan
berikutnya. Hormon-hormon kelamin ini mencegah menstruasi
dan menyebabkan endometrium terus tumbuh serta menyimpan
nutrisi dalam jumlah besar dan tidah dibuang dalam darah
menstruasi (Guyton dan Hall, 2012).

18
Hormon esterogen diekskresi secara berlebihan selama
kehamilan. Jumlah esterogen yang sangat berlebihan akan
menyebabkan pembesaran uterus, genetalia eksterna wanita,
payudara dan pertumbuhan struktur duktus payudara. Esterogen
juga merelaksasi berbagai ligamentum pelvis sehingga
persendian sakroiliaka menjadi relatif lentur san simfisis pubis
menjadi elastik. Perubahan tersebut akan memudahkan jalannya
fetus melalui jalan lahir (Guyton dan Hall, 2012).
Progesteron merupakan hormon yang penting untuk
kehamilan (Guyton dan Hall, 201). Selain disekresi dalam
jumlah sedang oleh korpus luteum pada permulaan kehamilan,
progesteron juga disekresi dalam jumlah yang sangat besar oleh
plasenta, kadang-kadang sebanyak 1 gram/hari menjelang akhir
kehamilan. Pengaruh khusus progesteron yang penting untuk
perkembangan kehamilan yang normal adalah sebagai berikut:
1. Progesteron menyebabkan sel-sel desidui memainkan peran
penting untuk memberi makanan pada embrio.
2. Progesteron mempunyai pengaruh khusus dalam
menurunkan kontraktilitas uterus grafid, jadi mencegah
kontraksi uterus yang menyebabkan abortus spontan.
3. Progesteron juga menyokong perkembangan uterus yang
dipersiapkan untuk implantasi sel telur, karena secara
khusus progesteron dapat meningkatkan sekresi tuba fallopi
dan uterus untuk memberikan zat-zat gizi yang sesuai bagi
morulla dan blastokista yang sedang berkembang.
4. Progesteron yang disekresi selama kehamilan juga untuk
membantu menyiapkan kelenjar mammae untuk laktasi
(Guyton dan Hall, 2007: 1085).

19
2.3.1.2 Masa Kehamilan
Menurut Mansjoer (2001), masa kehamilan dibagi
menjadi tiga periode yaitu kehamilan trimester pertama, kedua,
dan ketiga.
1. Trimester pertama
Kehamilan trimester pertama adalah keadaan
mengandung embrio atau fetus di dalam tubu pada 0-14
minggu. Mual (nausea) dan muntah (emesis gravidarum)
adalah gejala yang wajar dan sering terjadi pada kehamilan
trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada pagi hari
tetapi dapat pula timbul setiap saat dan malam hari. Gejala
ini kurang lebih terjadi pada 6 minggu setelah hari pertama
haid terakhir dan berlangsung selama kurang lebih 10
minggu (Prawirohardjo, 1999).
Perasaan mual ini disebabkan oleh karena
meningkatnya kadar hormone esterogen dan HCG dalam
serum. Pengaruh fisiologik kenaikan hormon ini belum
jelas, mungkin karena sistem saraf pusat atau pengosongan
lambung yang berkurang. Tonus otot-otot tractus
digestivus menurun, sehingga motilitas seluruh tractus
digestivus juga berkurang. Hal ini mungkin baik untuk
resorpsi, tetapi menimbulkan pula obstipasi, yang memang
merupakan salah satu keluhan utama wanita hamil. Pada
umumnya wanita dapat menyesuaikan dengan keadaan ini,
meskipun demikian gejala mual dan muntah yang berat
dapat berlangsung sampai 4 bulan. Pekerjaan sehari-hari
menjadi terganggu dan kondisi umum menjadi buruk.
Keadaan ini bila terlampau parah menjadi patologis dan
disebut hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 1999).
2. Trimester kedua
Kehamilan trimester kedua adalah keadaan
mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh pada 14-28

20
minggu. Pada trimester ini ibu hamil akan merasa lebih
tenang, tentram, dan tanpa gangguan yang berarti. Pada
trimester kedua janin tumbuh dan berkembang manuju
maturasi, maka pemberian obat-obatan harus dijaga agar
jangan mengganggu pembentukan gigi geligi janin,
misalnya antibiotika, tetrasiklin, dan klindamisin (Noerdin,
2001). Menurut Prawirohardjo (1999), pada kehamilan
trimester kedua plasenta menghasilkan steroid seks dalam
jumlah besar. Selain itu juga membentuk human chorionic
somatotropin (hCS), human placental lactogen (hPL) atau
chorionic thyrotropin (hCT).
3. Trimester ketiga
Kehamilan trimester ketiga adalah keadaan
mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh pada 28-40
minggu. Pada trimester ketiga, rasa lelah,
ketidaknyamanan, dan depresi ringan akan meningkat.
Tekanan darah ibu hamil biasanya meninggi, tetapi akan
kembali normal setelah melahirkan. Pada akhir trimester
didapat suatu. sindroma supine hipersensitif berupa tekanan
darah menurun, berkeringat, mual, brakikardia, lemas, dan
sulit untuk bernafas dalam posisi supine (tertekan vena kafa
inferior karena uterus gravis). Hal ini dapat menyebabkan
output jantung menurun dan menyebabkan kesadaran
terganggu hingga pingsan (Noerdin, 2001).
Pada masa trimester ketiga plasenta menghasilkan
steroid seks dalam jumlah sangat besar (Prawirohardjo,
1999).

2.3.1.3 Pengaruh Kehamilan terhadap Gingiva


Awal kehamilan dan selama siklus ovarium normal,
korpus luteumerupakan sumber utama esterogen dan
progesteron. Selama masa kehamilan, plasenta mulai

21
memproduksi esterogen dan progesteron. Progesteron mencapai
tingkat 100mg/ml, sepuluh kali fase puncak luteal menstruasi.
Estradiol pada plasma mungkin mencapai tiga puluh kali lebih
tinggi daripada siklus reproduksi (Newman dkk, 2006).
Estradiol adalah esterogen ovarium dan plasenta paling
kuat pada mamalia yang ditemukan secara alamiah, bertugas
menyiapkan rahim untuk implantasi telur yang sudah dibuahi
serta mendorong pematangan dan pemeliharaan organ
reproduksi asesoris wanita serta ciri seks sekunder (Dorland,
2002).
Esterogen mungkin mengatur proliferasi seluler,
diferensiasi, dan keratinisasi, sedangkan progesteron
mempengaruhi permeabilitas darah kecil, merubah kecepatan
dan pola produksi kolagen, serta meningkatkan kerusakan folat
yang dibutuhkan dalam pemeliharaan jaringan (Newman dkk,
2006).
Tingginya konsentrasi esterogen dan progesteron
ditemukan pada jaringan gingiva, saliva, serum, dan cairan
krevikular yang mengakibatkan respons berlebihan. Ditemukan
peningkatan konsentrasi esterogen dan progesteron dalam
saliva pada bulan pertama dan mencapai puncaknya pada bulan
ke sembilan kehamilan (Newman dkk, 2006).
Peningkatan produksi hormon progesteron pada masa
kehamilan menyebabkan peningkatan vaskularisasi dan
perubahan dinding pembuluh darah gingiva, sehingga menjadi
lebih permeabel dan dapat memperberat proses keradangan.
Ditunjukkan pula bahwa jumlah bakteri anaerob berpigmen
hitam pada subgingiva meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan. Keadaan ini berhubungan
dengan peningkatan level esterogen dan progesteron seiring
dengan peningkatan jumlah bakteri dan peningkatan hormon
steroid pada masa kehamilan. Hal ini mungkin berhubungan

22
dengan hormon esterogen yang menjadi bahan substitusi
methadione, yang merupakan bahan kebutuhan pertumbuhan
bakteri (Manson dan Eley, 2004).
Selain masalah hormonal, penyebab utama gingivitis
saat hamil adalah buruknya kebersihan mulut yang
memudahkan terjadinya iritasi pada gingiva oleh enzim dan
toksin bakteri anaerob yang terkandung dalam plak. Penelitian
yang dilakukan Wardhani (2012) menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat kebersihan mulut ibu hamil dengan
status gingivanya yaitu semakin buruk tingkat kebersihan
mulut ibu hamil maka semakin buruk juga tatus gingivanya.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Hartati dkk (2011) yang mendapatkan ibu hamil dengan
plak pada giginya lebih banyak mengalami gingivitis
dibanding ibu dengan tidak ada plak pada giginya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rintoko (2005) juga
menyatakan tingkat kebersihan mulut mempengaruhi
terjadinya gingivitis pada ibu hamil. Selainitu juga terdapat
teori imunologis yang menjelaskan pengaruh kehamilan
terhadap gingiva, yaitu mengenai perubahan imunologis pada
masa kehamilan. Perubahan sistem imunologis pada wanita
hamil memiliki dampak yang serius pada kesehatan rongga
mulut. Sebagai contoh, kehamilan dengan perubahan
imunologis, khususnya penurunan fungsi neutrofil
kemungkinan merupakan penjelasan untuk plak yang
menyebabkan inflamasi gingiva pada masa kehamilan.
Penurunan fungsi neutrofil ini merupakan fakta yang penting
untuk menjelaskan kelainan periodontal pada masa kehamilan
(Stein dan Weintraub, 2010).
Pada masa kehamilan juga dapat terjadi beberapa
kelainan pada gingival sebagai berikut:

23
a. Gingivitis kehamilan (pregnancy gingivitis )
Keradangan gingiva atau gingivitis yang
dikarenakan akumulasi plak adalah kelainan klinis jaringan
periodontal yang paling sering terjadi pada wanita hamil,
dan angka kejadiannya adalah 60-75%. Perubahan gingiva
biasanya terjadi antara bulan ke tiga hingga ke delapan,
mencapai puncaknya pada bulan ke enam kehamilan,
sedikit menurun pada bulan ke tujuh hingga sembilan, dan
berangsur-angsur menurun setelah melahirkan (Stein dan
Weintraub, 2010).
Gingiva akan menjadi bengkak, berwarna merah
terang, sensitif dan mudah berdarah secara spontan
(Manson dan Eley, 2004). Gingiva memperlihatkan
kecenderungan yang meningkat terhadap perdarahan
terutama pada saat menyikat gigi. Kadang-kadang penderita
mengalami sedikit rasa sakit (Adyatmaka dkk, 1995).
Keadaan tersebut disebabkan karena meningkatnya
hormon sex wanita dan vaskularisasi gingiva sehingga
memberikan respon yang berlebihan terhadap faktor iritasi
local. Dalam hal ini faktor iritasi lokal dapat berupa
rangsangan lunak, yaitu plak bakteri dan sisa makanan,
maupun berupa rangsangan keras seperti kalkulus, tepi
restorasi yang tidak baik, gigi palsu dan permukaan akar
yang kasar. Hal ini menunjukkan bahwa kehamilan
bukanlah menjadi penyebab langsung dari gingivitis
kehamilan, tetapi juga tergantung tingkat kebiasaan
kebersihan mulut pasien (Burket dkk, 1995).
b. Tumor kehamilan
Kehamilan dapat pula menimbulkan suatu
pembentukan pertumbuhan pada gingiva yang seperti
tumor. Istilah yang digunakan untuk keadaan ini adalah

24
pregnancy tumor atau tumor kehamilan, epulis gravidarum,
atau granuloma kehamilan (Burket dkk, 1995).
Tumor kehamilan biasanya berkembang di sekitar
daerah papila interdental dan pada daerah-daerah yang
berbatasan dengan daerah iritasi lokal, seperti tepi restorasi
yang buruk, tepi gigi yang karies, atau pada poket
periodontal. Tampilan klinis terlihat gingiva merah
keunguan sampai merah kebiruan. Lesi ini merupakan yang
paling sering terjadi pada area yang terjadi inflamasi
gingiva atau area lain yang sering iritasi, atau dari trauma,
maupun sumber iritasi yang lain. Lesi ini tumbuh secara
cepat, walaupun biasanya tidak melebihi diameter 2 cm.
Umumnya, granuloma pada masa kehamilan akan sembuh
dengan sendirinya setelah melahirkan. Namun biasanya
karena mengganggu mastikasi, tidak nyaman, dan mudah
berdarah, granuloma ini perlu dipotong. Bagaimanapun,
tindakan operasi seperti pemotongan granuloma ini perlu
pertimbangan yang matang karena pasien masih dalam
masa kehamilan (Stein dan Weintraub, 2010).

2.3.2 Gingivitis Ibu Hamil


2.3.2.1 Gambaran Klinis Gingivitis pada Ibu Hamil
Keadaan klinis jaringan gusi selama kehamilan tidak
berbeda jauh dengan jaringan gusi wanita yang tidak hamil, di
antaranya;
a. Warna gusi
Jaringan gusi yang mengalami peradangan berwarna
merah terang sampai kebiruan, kadang-kadang berwarna
merah tua.
b. Kontur gusi
Reaksi peradangan lebih banyak terlihat di daerah sela-
sela gigi dan pinggiran gusi terlihat membulat.

25
c. Konsistensi
Daerah sela gigi dan pinggiran gusi terlihat bengkak,
halus dan mengkilat. Bagian gusi yang membengkak akan
melekuk bila ditekan, lunak, dan lentur.
d. Risiko pendarahan
Warna merah tua menandakan bertambahnya aliran
darah, keadaan ini akan meningkatkan risiko pendarahan
gusi.
e. Luas peradangan
Radang gusi pada masa kehamilan dapat terjadi secara
lokal maupun menyeluruh. Proses peradangan dapat meluas
sampai di bawah jaringan periodontal dan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada struktur tersebut (Lalawangi,
2007).
Gingivitis adalah kelainan jaringan periodontal yang
paling sering terjadi pada wanita hamil, dan angka kejadiannya
adalah 60-75%. Perubahan gingiva biasanya terjadi antara
bulan ke tiga hingga ke delapan, mencapai puncaknya pada
bulan ke enam kehamilan, sedikit menurun pada bulan ke tujuh
hingga sembilan, dan berangsur-angsur menurun setelah
melahirkan, juga terdapat tumor kehamilan, epulis gravidarum,
atau granuloma kehamilan (Stein dan Weintraub, 2010).

2.3.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Gingivitis pada Ibu Hamil


Penyebab utama radang gusi pada ibu hamil sebenarnya
sama dengan ibu yang tidak hamil, yakni iritasi lokal seperti
plak yang telah mengalami pengapuran (karang gigi), gigi
berlubang atau tambalan yang kurang sempurna sehingga
terjadi “penahanan” sisa makanan di dalamnya, atau sisa akar
gigi yang belum dicabut. Hanya saja, perubahan hormonal yang
menyertai kehamilan, misalnya terjadi pelebaran pembuluh
darah yang mengakibatkan bertambahnya aliran darah, dapat

26
memperberat reaksi peradangan pada gusi oleh iritasi lokal
tersebut (Lalawangi, 2007).

Faktor penyebab timbunya gingivitis pada masa


kehamilan menurut Lalawangi, (2007) dapat dibagi 2 bagian,
yaitu:

1. Penyebab Primer
Iritasi lokal seperti plak merupakan penyebab
primer gingivitis masa kehamilan sama halnya seperti pada
ibu yang tidak hamil, tetapi perubahan hormonal yang
menyertai kehamilan dapat memperberat reaksi peradangan
pada gusi oleh iritasi lokal. Iritasi lokal tersebut adalah
kalkulus / plak yang telah mengalami pengapuran, sisa-sisa
makanan, tambalan kurang baik, gigi tiruan yang kurang
baik. Saat kehamilan terjadi perubahan dalam pemeliharaan
kebersihan gigi dan mulut yang bisa disebabkan oleh
timbulnya perasaan mual, muntah, perasaan takut ketika
menggosok gigi karena timbul pendarahan gusi atau ibu
terlalu lelah dengan kehamilannya sehingga ibu malas
menggosok gigi. Keadaan ini dengan sendirinya akan
menambah penumpukan plak sehingga memperburuk
keadaan.
2. Penyebab Sekunder
Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang
menyebabkan perubahan keseimbangan hormonal, terutama
perubahan hormon estrogen dan progesteron. Peningkatan
konsentrasi hormon estrogen dan progesteron pada masa
kehamilan mempunyai efek bervariasi pada jaringan, di
antaranya pelebaran pembuluh darah yang mengakibatkan
bertambahnya aliran darah sehingga gusi menjadi lebih
merah, bengkak dan mudah mengalami pendarahan.

27
Akan tetapi, jika kebersihan mulut terpelihara
dengan baik selama kehamilan, perubahan mencolok pada
jaringan gusi jarang terjadi.

2.3.2.3 Pencegahan dan Perawatan Gingivitis pada Ibu Hamil


1. Pencegahan Gingivitis pada Ibu Hamil
Menurut Agustina (2014), tips menjaga kesehatan
gigi dan mulut pada ibu hamil adalah sebagai berikut :
a. Gunakan sikat yang lembut dengan ukuran yang sesuai
b. Pada ibu hamil yang sering muntah dan mengeluarkan
air liur jangan lupa untuk rajin berkumur bisa dengan
air hangat yang diberi dengan garam. Kumur dengan air
hangat juga bermanfaat untuk membersihkan sisa lemak
pada rongga mulut dan celah gigi.
c. Pilih pasta gigi yang tidak merangsang alergi, terutama
untuk gigi yang sensitif dan yang terpenting adalah
memilih pasta gigi yang akan membuat kondisi mulut
segar dan nyaman.
d. Lakukan penyikatan gigi secara benar dengan gerakan
sikat melingkar / memutar dengan hati-hati di sela-sela
gigi. Sikatlah gigi atas ke arah bawah dan bawa ke arah
atas, minimal menggosok gigi 2 kali sehari.
e. Bila ada gangguan kesehatan pada mulut yang perlu
menggunakan obat kumur, sebaiknya dibaca label pada
kemasan tentang keterangan kontraindikasi untuk ibu
hamil. Pengggunaan obat kumur perlu berkonsultasi
dengan dokter gigi
f. Bila mempunyai gigi palsu lakukan perawatan gigi
palsu secara teratur
g. Gunakan dental floss atau benang gigi untuk
membersihkan sisa makanan yang menyelip di antara
gigi geligi

28
h. Kurangi konsumsi makanan yang manis dan asam
karena berpotensi merusak gigi
i. Penuhi kebutuhan kalsium sesuai anjuran dokter karena
kalsium yang dikonsumsi juga diserap calon bayi
terutama di trimester pertama pada tahap perkembangan
gigi janin
j. Konsumsilah buah yang berserat yang banyak
mengandung vitamin C dan vitamin B12 karena baik
untuk gusi
k. Apabila sudah terlanjur mengalami masalah gigi selama
kehamilan maka dokter gigi akan mengambil tindakan
untuk menanganinya.
2. Perawatan Gingivitis pada Ibu Hamil
Tindakan penanggulangan / perawatan gingivitis
pada ibu hamil dibagi dalam 4 tahap, yaitu :
a. Tahap jaringan Lunak
Pada tahap ini iritasi lokal merupakan penyebab
timbulnya gingivitis. Oleh karena itu, tujuan dari
penanggulangan dari gingivitis selama kehamilan
adalah menghilangkan semua jenis iritasi lokal seperti
plak, kalkulus, sisa makanan, perbaikan tambalan, dan
perbaikan gigi tiruan yang kurang baik ( Ratih, 2000 ).
b. Tahap fungsional
Pada tahap ini dilakukan perbaikan fungsi gigi
dan mulut seperti pembuatan tambalan pada gigi yang
berlubang dan pembuatan gigi tiruan ( Ratih, 2000 ).
c. Tahap sistemik
Pada tahap ini sangat diperhatikan sekali
kesehatan ibu hamil secara menyeluruh, melakukan
perawatan dengan pencegahan gingivitis selama
kehamilan. Keadaan ini penting diketahui karena sangat

29
menentukan perawatan yang akan dilakukan ( Ratih,
2000 ).
d. Tahap pemeliharaan
Pada tahap ini dilakukan untuk mencegah kambuhnya
penyakit periodontal setelah perawatan. Tindakan yang
dilakukan adalah pemeliharaan kebersihan mulut di
rumah pemeriksaan secara berkala oleh petugas
kesehatan gigi / dokter gigi sehingga semua iritasi lokal
selama kehamilan dapat terdiktesi lebih dini dan dapat
dihilangkan secepat mungkin ( Ratih, 2000 ).

2.3 Hubungan Kebersihan Rongga Mulut dengan Gingivitis pada Ibu Hamil
Gingivitis pada ibu hamil merupakan keadaan yang tidak terlihat pada
setiap wanita hamil. Walaupun hygiene mulutnya baik, namun pada gingival
dapat terlihat adanya kemungkinan berdarah setelah menyikat gigi atau
setelah suklus di probing, hal ini menunjukkan bahwa factor hormon
estrogen  dan progesterone yang mengalami peningkatan selama kehamilan
sehingga dapat menimbulkan inflamasi gingivitis kehamilan. (Harahap,
1996)
Gingivitis kehamilan biasanya memperlihatkan adanya peningkatan
intensitas sejak bulan kedua sampai bulan kedelapan dari kehamilan, dan
menurun pada bulan kesembilan. Kondisi ini menghasilkan berbagai iritasi
ketidaknyamanan pada wanita hamil, hal ini juga sering mengakibatkan
terjadinya pendarahan yang berlebihan pada jaringan gingival. Pendarahan
paling sering terjadi selama berfungsi misalkan waktu makan dan selama
menyikat gigi, pendarahan yang dialami oleh wanita hamil saat menyikat gigi
dan pendarahan yang sering membuat si ibu takut sehingga menjadi lebih
mengabaikan hygiene mulut. (Affiandi, 1996)
Menurut Ojanotko. dkk, (1991), Peningkatan gingivitis kehamilan
dapat dibagi dalam dua periode, yaitu:
1. Selama trimester pertama, saat terjadinya produksi berlebihan dari
gonadotropin

30
2. Selama trimester ketiga, saat tingkat estrogen dan progeesteron paling
tinggi. Pada trimester ketiga ini, gingivitis kehamilan terjadi paling
parah.
Hasil riset yang di terbitkan oleh journal of periodonthology
membuktikan manfaat perawatan kesehatan gigi dan mulut pada ibu hamil
yakni menurunkan resiko terserang pre-eklamsia atau keracunan kehamilan
sebesar 5 – 8 %. Kemudian hasil riset academi of general dentistry
menunjukan bahwa ibu hamil menderita gangguan kesehatan gigi dan mulut
(periodontal desease) beresiko 3 – 5 kali lebih besar untuk melahirkan bayi
prematur dan bayi dengan berat badan rendah. Journal of periodonthology
menyebutkan bahwa terapi penyembuhan gangguan kesehatan gigi dan mulut
yang diderita para ibu hamil dapat menurunkan angka kelahiran bayi
prematur dan bayi dengan dengan berat badan rendah sebesar 68 %
(Stein,dkk, 2010 )
Agustina (2014), terdapat beberapa keluhan yang terjadi selama
kehamilan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Gigi terasa lebih ngilu dan sakit
Banyak ibu hamil yang datang dengan keluhan sakit gigi dan
menyatakan bahwa saat sebelum hamil tidak pernah sakit gigi. Hal ini
disebabakan oleh 2 faktior yaitu:
a. Biasanya ibu mengalami rasa mual dan asam dalam rongga mulut
bertambah. Hal ini meningkatkan kerja toksin yang dikeluarkan
kuman menyebabkan kerusakan pada gigi.
b. Rasa mual yang menyebabkan banyak ibu hamil malas menyikat gigi
2 kali sehari. Ada kecenderungan menyikat gigi inilah yang memicu
rasa mual.
2. Gusi bengkak berdarah dan lebih sensitif
Sisa makanan atau plak yang mengandung bakteri merupakan
faktor utama peradangan pada gusi (gingivitis). Pada kehamilan,
peradangan diperparah oleh hormon progesteron dan estrogen. Itu
sebabnya peradangan gusi pada ibu hamil lebih parah dibanding yang
tidak hamil, meski keberadaan jumlah plak sama. Pada masa kehamilan,

31
terjadi peningkatan hormon yang menyebabkan pelepasan histamin dan
enzim proteolitik (enzim penghancur protein) sehingga terjadi
peningkatan respon peradangan pada gusi. Kehamilan mempengarui
keparahan daerah yang meradang tersebut, sehingga terjadi pembesaran
gusi, peningkatan kedalaman pocket (gusi terlepas dari gigi) dan gigi
goyang. Tingkat keparahan peradangan gusi biasanya terjadi pada awal
bulan ke-2 atau ke-3. Mencapai puncak antara trimester ke-2 dan ke-3.
Dan akan mengalami penurunan pada kehamilan bulan ke-9 (Agustina
2014),
Pemebesaran gusi pada ibu hamil di dunia kedokteran gigi disebut
gingivitis gravidarum atau pregnancy gravidarum. Tanda gingivitis yang
terjadi pada ibu hamil biasanya terjadi setelah usia kandunagn 3 bulan,
anda- tandanya:
a. Tidak sakit
b. Warna merah
c. Konsistensi lunak
d. Mudah berdarah
e. Gingiva interproksimal menonjol (Agustina, 2014).

32

Anda mungkin juga menyukai