A. PENGERTIAN SUNNAH/HADITS
ُضيف إىل رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص من قول أو فعل أو تقرير أو وصف خلُقي أو وصف
َ السنة عند علماء احلديث ىي ما أ
خلْقي
“As-Sunnah menurut ulama hadits: adalah apa-apa yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan, atau taqrir, atau sifat akhlaq (washfin
khuluqiyyin), atau sifat fisik (washfin khalqiyyin)”.
السنة عند علماء األصول ىي ما ورد عن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص من قول أو فعل أو تقرير لقول أو فعل
“As-Sunnah menurut ulama ushul fiqh: adalah apa-apa yang berasal dari Rasulullah
SAW baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan), baik taqrir
terhadap perkataan, atau perbuatan (shahabat)”.
2
D. FUNGSI SUNNAH/HADITS DALAM MENJELASKAN HUKUM DI SAMPING AL-
QUR’AN
Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dan pertama, sebagian besar ayat-
ayatnya yang berkaitan dengan hukum masih dalam bentuk ijmal (garis besar) yang
secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpan penjelasan dari As-Sunnah. Dengan
demikian, fungsi As-Sunnah adalah sebagai bayani (penjelasan) dari Al-Qur’an.
Adapun fungsi As Sunnah dalam menjelaskan hukum di samping Al-Qur’an ada
empat, yaitu:
a) Sebagai tafshil (rincian) dari kemujmalan Al-Qur’an, misalnya: terdapat perintah
mujmal (global) dalam Al Qur’an untuk shalat (Q.S. An-Nur (24: 56), maka As-
Sunnah memberikan rincian (tafshil) terhadap kemujmalan Al-Qur’an tersebut.
Demikian juga yang seperti ini adalah dalam masalah zakat, haji, dan lain-lain.
﴾ول ل ََعلَ ُك ْم تُ ْر ََحُو َن ِ ص َلةَ وآتُوا ال َزَكاةَ وأ
َ َطيعُوا ال َر ُس ِ
َ َ َ يموا ال
ُ ﴿ َوأَق
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat” (Q.S. An-Nur (24: 56).
b) Sebagai takhsis (pengkhususan/pengecualian) dari keumuman Al Qur’an,
misalnya: terdapat perintah umum dalam Al Qur’an untuk mencambuk pezina
(QS An Nur: 2), maka As-Sunnah mengkhususkan bahwa hukuman cambuk
tersebut hanya untuk yang belum menikah, sedang bagi yang sudah menikah
(muhshan) sanksinya bukan cambuk, melainkan rajam.
﴾ي ِِ َ ِان أ َْو ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّرَم َذل
ٍ ﴿ال َزِان َل ي ْن ِكح إَِل َزانِيةً أَو م ْش ِرَكةً وال َزانِيةُ َل ي ْن ِكحها إَِل َز
َ ك َعلَى ال ُْم ْؤمن َُ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nur (24): 2).
c) Sebagai taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dari kemutlakan Al-Qur’an, misalnya:
terdapat perintah mutlak untuk memotong tangan pencuri dalam Al-Qur’an (Q.S.
Al-Maidah (5): 38), maka As-Sunnah memberikan taqyiid, bahwa pencuri yang
dipotong tangannya adalah jika memenuhi syarat tertentu, misalnya barang yg
dicuri nilainya ¼ dinar atau lebih, dst.
ِ َِ سا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًال ِمن
َ سا ِر ُق َوال
ٌ اّللُ َع ِز ٌيز َحك
﴾يم َ اّلل َو َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ َ ﴿ َوال
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Maidah (5):: 38).
d) Sebagai penambah (ilhaaq) hukum baru yang terdapat hukum pokoknya dalam
Al-Qur’an, misalnya: terdapat ketentuan haramnya menikahi dua orang
perempuan bersaudara dalam Al-Qur’an (Q.S An-Nisaa’ (4): 23), maka As-Sunnah
memberikan tambahan hukum, haram pula menikahi seorang perempuan
3
bersama dengan bibinya (‘ammah/khoolah). ‘Ammah adalah saudara
perempuan ayah. Khoolah adalah saudara perempuan ibu.
اللِت َ ت َوأَُم َهاتُ ُك ُم ِ ات ْاألُ ْخ
ُ ََخ َوبَن ِ ات ْاأل ُ ََخ َواتُ ُك ْم َو َع َماتُ ُك ْم َو َخ َالتُ ُك ْم َوبَن
َ ت َعلَْي ُك ْم أَُم َهاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأْ ﴿ ُح ِّرَم
اللِت َد َخلْتُ ْم ِبِِ َن فَِإ ْن َ سائِ ُك ُم ِ ِ َ سائِ ُك ْم َوَرَِبئِبُ ُك ُم ِ ُ اع ِة وأَُمه َ َخ َواتُ ُك ْم ِم َن ال َر
َ اللِت ِف ُح ُجوِرُك ْم م ْن ن َ ات ن َ َ َض َ ض ْعنَ ُك ْم َوأ
َ أ َْر
ِ َل تَ ُكونُوا د َخلْتم ِبِِ َن فَ َل جناح علَي ُكم وح َلئِل أَب نائِ ُكم الَ ِذ
ي إَِل َما قَ ْد ِ ْ َي ْاألُ ْختَْ ََص َلبِ ُك ْم َوأَ ْن ََتْ َمعُوا ب
ْ ين م ْن أ َ ُ َْ ُ َ َ ْ ْ َ َ َُ ُْ َ ْ
ِ اّلل َكا َن غَ ُف
﴾يما ً ورا َرح ً ََ ف إِ َن َ ََسل
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. An-
Nisaa’ (4): 23).
E. MACAM-MACAM SUNNAH YANG DARI RASUL DARI SEGI WAJIB DAN TIDAKNYA
DIIKUTI
As-Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi SAW, diperbuat Nabi SAW
atau yang diakui Nabi SAW. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah
Nabi SAW itu. Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan
ada yang dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini (macam-macam As Sunnah
yang datang dari Nabi SAW dari sisi wajib dan tidaknya diiukuti) ulama
mengelompokkan As-Sunnah menjadi dua kelompok:
1) Sunnah bukan Tasyri’ atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang
tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Sunnah yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari hajat insani dalam
kehidupan keseharian Nabi SAW dalam pergaulan, seperti: makan, tidur,
kunjungan, sopan dalam bertamu, cara berpakaian dan lain ucapan serta
perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari pengalaman pribadi,
kebiasaan dalam pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan,
cara berjual beli dan memelihara ternak.
4
c) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari tindakan pribadi dalam
keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan
barisaan dan penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi SAW dalam tiga bentuk tersebut tidak
mempunyai daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat
dapat saja mengikuti apa yang dilakukan Nabi SAW itu kerena ia adalah Sunnah,
namun sifatnya tidak mengikat.
2) Sunnah Tasyri’ atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
Sunnah dalam bentuk ini ada tiga macam:
a) Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi SAW dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan
apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang
umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk
ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi
dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan
adanya sunnah itu.
b) Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai
imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad,
membagi harta rampasan, menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian
dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin. Sunnah Tasyri’ dalam
bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam
pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau
pemimpin.
c) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW dalam kedudukannya sebagai hakim atau
qadhi yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum
dalam bentuk ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak
bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari
imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum secara garis besarnya mengandung tiga bidang, yaitu:
a) Aqidah. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu
menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang
pasti. Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali
yang pasti pula. Sunnah atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya,
atau wurudnya maupun dari segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b) Akhlak. Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi SAW hikmah-
hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara
langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati
janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat.
5
Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki
oleh rasa yang dan pandangan yang wajar.
c) Hukum-hukum Amaliyah. Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-
bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar manusia; memisahkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban; menyelesaikan persengketaan diantara umat secara adil.
Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah (dalam bentuk ini) disebut Fiqh
Sunnah; sedangkan haditsnya sendiri disebut Hadits Ahkam, hadits-hadits dalam
bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-
Qur’an.
6
e) Shalat Dhuha.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW
bersabda: “Shalat dhuha itu mendatangkan rezeki dan menolak kemiskinan,
dan tidak ada yang memelihara shalat kecuali orang-orang bertobat” (HR.
Tirmidzi).
f) Shalat Tahajjud.
Seperti sabda Rasulullah SAW: “Sedekat-dekat hamba kepada Allah adalah
pada tengah malam terakhir. Apabila engkau bisa termasuk golongan orang
berdzikir mengingat Allah ada saat itu, maka lakukanlah” (HR. Al-Hakim).
g) Puasa Senin Kamis.
Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah SAW bersabda: “Berbagai amalan
dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika
amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa” (HR. Tirmidzi).
h) DLL.