Anda di halaman 1dari 7

SUNNAH/HADITS

A. PENGERTIAN SUNNAH/HADITS

‫ُضيف إىل رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص من قول أو فعل أو تقرير أو وصف خلُقي أو وصف‬
َ ‫السنة عند علماء احلديث ىي ما أ‬
‫خلْقي‬
“As-Sunnah menurut ulama hadits: adalah apa-apa yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan, atau taqrir, atau sifat akhlaq (washfin
khuluqiyyin), atau sifat fisik (washfin khalqiyyin)”.
‫السنة عند علماء األصول ىي ما ورد عن رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص من قول أو فعل أو تقرير لقول أو فعل‬
“As-Sunnah menurut ulama ushul fiqh: adalah apa-apa yang berasal dari Rasulullah
SAW baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan), baik taqrir
terhadap perkataan, atau perbuatan (shahabat)”.

B. KEDUDUKAN SUNNAH/HADITS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM


Jumhur Ulama berpendapat bahwa As-Sunnah sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati secara mengikat
untuk semua umat Islam. As-Sunnah adalah hujjah (dalil syar’i) karena terdapat dalil
qath’i yang membuktikan As-Sunnah sebagai wahyu Allah.
Dalil-dalil tersebut antara lain: Q.S. An-Najm (53): 3, Q.S. Al-An’am (6): 50, Q.S
Al-Hasyr (59): 7, Q.S. An-Nisaa’ (4): 59, Q.S. Ali Imran (3): 31, dll.
﴾‫﴿ َوَما يَ ْن ِط ُق َع ِن ا ْْلََوى‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya”
(Q.S. An-Najm (53): 3).
َِ ‫ول لَ ُكم ِع ْن ِدي َخزائِن‬
‫ل قُ ْل َى ْل‬ َ ُ‫ك إِ ْن أَتَبِ ُع إَِل َما ي‬
ََ ِ‫وحى إ‬ ٌ َ‫ول لَ ُك ْم إِِّن َمل‬
ُ ُ‫ب َوَل أَق‬
َ ‫اّلل َوَل أَ ْعلَ ُم الْغَْي‬ ُ َ ْ ُ ُ‫﴿قُ ْل َل أَق‬
ِ ‫يستَ ِوي ْاألَ ْعمى والْب‬
﴾‫صيُ أَفَ َل تَتَ َف َك ُرو َن‬ َ َ َ َْ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan
yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"” (Q.S. Al-An’am (6): 50).
‫يل َك ْي َل‬ ِ ِ‫سب‬ ِ ِ‫ول َولِ ِذي الْ ُق ْرَب َوالْيَ تَ َامى َوال َْمساك‬
َ ‫ي َوابْ ِن ال‬ ِ ‫اّللُ َعلَى ر ُسولِ ِو ِم ْن أ َْى ِل الْ ُقرى فَلِلَ ِو ولِل َر ُس‬
َ َ َ َ‫﴿ َما أَفَاء‬
َ َ
ِ
‫اّللَ َش ِدي ُد‬
َ ‫اّللَ إِ َن‬
َ ‫ول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نَ َها ُك ْم َع ْنوُ فَانْ تَ ُهوا َواتَ ُقوا‬ َ ‫ي ْاألَ ْغنِيَاء ِم ْن ُك ْم َوَما‬
ُ ‫آَت ُك ُم ال َر ُس‬ َْ َ‫يَ ُكو َن ُدولَةً ب‬
﴾‫اب‬ِ ‫الْعِ َق‬
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
1
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (Q.S Al-Hasyr (59): 7).
ِ
ِ ‫اّلل وال َر ُس‬ ٍ ِ ِ ‫اّلل وأ‬ ِ َِ
‫ول‬ َ َ ‫ُول ْاأل َْم ِر م ْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فَ ُردُّوهُ إِ َىل‬
ِ ‫ول َوأ‬
َ ‫َطيعُوا ال َر ُس‬ َ ََ ‫يعوا‬ ُ ‫آمنُوا أَط‬ َ ‫ين‬ َ ‫﴿ َي أَيُّ َها الذ‬
ِ
﴾‫س ُن ََتْ ِو ًيل‬
َ ‫َح‬ َ ِ‫ّلل َوالْيَ ْوم ْاْل ِخ ِر ذَل‬
ْ ‫ك َخ ْي ٌر َوأ‬
َِ ‫إِ ْن ُك ْن تم تُ ْؤِمنو َن ِِب‬
ُ ُْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”(Q.S. An-Nisaa’ (4): 59).
ِ ‫اّلل غَ ُف‬ ِ َ ‫اّلل فَاتَبِع ِون ُُْيبِب ُكم‬ ِ
﴾‫يم‬ ٌ َُ ‫اّللُ َويَغْف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو‬
ٌ ‫ور َرح‬ ُ ْ ُ ََ ‫﴿قُ ْل إِ ْن ُك ْن تُ ْم ُُتبُّو َن‬
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Q.S. Ali Imran (3): 31).

C. MACAM-MACAM SUNNAH/HADITS DARI SEGI PERIWAYATANNYA


Menurut Ahli Ushul Fiqh, As-Sunnah dari sisi periwayatannya terbagi kepada
tiga macam, yaitu:
a) Sunnah Qauliyah (‫)سنَة قوليَة‬, yaitu ucapan Nabi Muhammad SAW yang didengar
oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya shahabat
mendengar Nabi SAW berkata:
‫من انم أو نسيها فاليصلها إذا ذكرىا‬
“Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena terlupa, hendaklah ia
mengerjakan shalat ketika ia ingat”.
b) Sunnah Fi’liyah (‫)سنَة فعليَة‬, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW yang dilihat atau diketahui oleh shahabat, kemudian disampaikannya
kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya Nabi SAW mengatakan kepada
shahabat:
‫صلُّوا كما رأيتُمون أُصلي‬
َ
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
c) Sunnah Taqririyah (‫)سنَة تقريريَة‬, yaitu perbuatan seoarng sahat atau ucapannya
yang dilakukan di hapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak
ditanggapi atau dicegah Nabi SAW, tetapi Nabi SAW hanya diam. Misalnya
seorang shahabat memakan daging dhab (biawak) di depan Nabi SAW, tetapi
Nabi SAW tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu.

2
D. FUNGSI SUNNAH/HADITS DALAM MENJELASKAN HUKUM DI SAMPING AL-
QUR’AN
Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dan pertama, sebagian besar ayat-
ayatnya yang berkaitan dengan hukum masih dalam bentuk ijmal (garis besar) yang
secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpan penjelasan dari As-Sunnah. Dengan
demikian, fungsi As-Sunnah adalah sebagai bayani (penjelasan) dari Al-Qur’an.
Adapun fungsi As Sunnah dalam menjelaskan hukum di samping Al-Qur’an ada
empat, yaitu:
a) Sebagai tafshil (rincian) dari kemujmalan Al-Qur’an, misalnya: terdapat perintah
mujmal (global) dalam Al Qur’an untuk shalat (Q.S. An-Nur (24: 56), maka As-
Sunnah memberikan rincian (tafshil) terhadap kemujmalan Al-Qur’an tersebut.
Demikian juga yang seperti ini adalah dalam masalah zakat, haji, dan lain-lain.
﴾‫ول ل ََعلَ ُك ْم تُ ْر ََحُو َن‬ ِ ‫ص َلةَ وآتُوا ال َزَكاةَ وأ‬
َ ‫َطيعُوا ال َر ُس‬ ِ
َ َ َ ‫يموا ال‬
ُ ‫﴿ َوأَق‬
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat” (Q.S. An-Nur (24: 56).
b) Sebagai takhsis (pengkhususan/pengecualian) dari keumuman Al Qur’an,
misalnya: terdapat perintah umum dalam Al Qur’an untuk mencambuk pezina
(QS An Nur: 2), maka As-Sunnah mengkhususkan bahwa hukuman cambuk
tersebut hanya untuk yang belum menikah, sedang bagi yang sudah menikah
(muhshan) sanksinya bukan cambuk, melainkan rajam.
﴾‫ي‬ ِِ َ ِ‫ان أ َْو ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّرَم َذل‬
ٍ ‫﴿ال َزِان َل ي ْن ِكح إَِل َزانِيةً أَو م ْش ِرَكةً وال َزانِيةُ َل ي ْن ِكحها إَِل َز‬
َ ‫ك َعلَى ال ُْم ْؤمن‬ َُ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nur (24): 2).
c) Sebagai taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dari kemutlakan Al-Qur’an, misalnya:
terdapat perintah mutlak untuk memotong tangan pencuri dalam Al-Qur’an (Q.S.
Al-Maidah (5): 38), maka As-Sunnah memberikan taqyiid, bahwa pencuri yang
dipotong tangannya adalah jika memenuhi syarat tertentu, misalnya barang yg
dicuri nilainya ¼ dinar atau lebih, dst.
ِ َِ ‫سا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًال ِمن‬
َ ‫سا ِر ُق َوال‬
ٌ ‫اّللُ َع ِز ٌيز َحك‬
﴾‫يم‬ َ ‫اّلل َو‬ َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ َ ‫﴿ َوال‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Maidah (5):: 38).
d) Sebagai penambah (ilhaaq) hukum baru yang terdapat hukum pokoknya dalam
Al-Qur’an, misalnya: terdapat ketentuan haramnya menikahi dua orang
perempuan bersaudara dalam Al-Qur’an (Q.S An-Nisaa’ (4): 23), maka As-Sunnah
memberikan tambahan hukum, haram pula menikahi seorang perempuan

3
bersama dengan bibinya (‘ammah/khoolah). ‘Ammah adalah saudara
perempuan ayah. Khoolah adalah saudara perempuan ibu.
‫اللِت‬ َ ‫ت َوأَُم َهاتُ ُك ُم‬ ِ ‫ات ْاألُ ْخ‬
ُ َ‫َخ َوبَن‬ ِ ‫ات ْاأل‬ ُ َ‫َخ َواتُ ُك ْم َو َع َماتُ ُك ْم َو َخ َالتُ ُك ْم َوبَن‬
َ ‫ت َعلَْي ُك ْم أَُم َهاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأ‬ْ ‫﴿ ُح ِّرَم‬
‫اللِت َد َخلْتُ ْم ِبِِ َن فَِإ ْن‬ َ ‫سائِ ُك ُم‬ ِ ِ َ ‫سائِ ُك ْم َوَرَِبئِبُ ُك ُم‬ ِ ُ ‫اع ِة وأَُمه‬ َ ‫َخ َواتُ ُك ْم ِم َن ال َر‬
َ ‫اللِت ِف ُح ُجوِرُك ْم م ْن ن‬ َ ‫ات ن‬ َ َ َ‫ض‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ‬
َ ‫أ َْر‬
ِ ‫َل تَ ُكونُوا د َخلْتم ِبِِ َن فَ َل جناح علَي ُكم وح َلئِل أَب نائِ ُكم الَ ِذ‬
‫ي إَِل َما قَ ْد‬ ِ ْ َ‫ي ْاألُ ْخت‬َْ َ‫َص َلبِ ُك ْم َوأَ ْن ََتْ َمعُوا ب‬
ْ ‫ين م ْن أ‬ َ ُ َْ ُ َ َ ْ ْ َ َ َُ ُْ َ ْ
ِ ‫اّلل َكا َن غَ ُف‬
﴾‫يما‬ ً ‫ورا َرح‬ ً ََ ‫ف إِ َن‬ َ َ‫َسل‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. An-
Nisaa’ (4): 23).

E. MACAM-MACAM SUNNAH YANG DARI RASUL DARI SEGI WAJIB DAN TIDAKNYA
DIIKUTI
As-Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi SAW, diperbuat Nabi SAW
atau yang diakui Nabi SAW. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah
Nabi SAW itu. Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan
ada yang dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini (macam-macam As Sunnah
yang datang dari Nabi SAW dari sisi wajib dan tidaknya diiukuti) ulama
mengelompokkan As-Sunnah menjadi dua kelompok:
1) Sunnah bukan Tasyri’ atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang
tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Sunnah yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari hajat insani dalam
kehidupan keseharian Nabi SAW dalam pergaulan, seperti: makan, tidur,
kunjungan, sopan dalam bertamu, cara berpakaian dan lain ucapan serta
perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari pengalaman pribadi,
kebiasaan dalam pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan,
cara berjual beli dan memelihara ternak.

4
c) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang timbul dari tindakan pribadi dalam
keadaan dan lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan
barisaan dan penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi SAW dalam tiga bentuk tersebut tidak
mempunyai daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat
dapat saja mengikuti apa yang dilakukan Nabi SAW itu kerena ia adalah Sunnah,
namun sifatnya tidak mengikat.
2) Sunnah Tasyri’ atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
Sunnah dalam bentuk ini ada tiga macam:
a) Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi SAW dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan
apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang
umum, memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk
ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi
dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan
adanya sunnah itu.
b) Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai
imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad,
membagi harta rampasan, menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian
dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin. Sunnah Tasyri’ dalam
bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam
pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau
pemimpin.
c) Ucapan dan perbuatan Nabi SAW dalam kedudukannya sebagai hakim atau
qadhi yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum
dalam bentuk ini, seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak
bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari
imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum secara garis besarnya mengandung tiga bidang, yaitu:
a) Aqidah. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu
menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang
pasti. Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali
yang pasti pula. Sunnah atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya,
atau wurudnya maupun dari segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b) Akhlak. Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi SAW hikmah-
hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara
langsung maupun dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati
janji; atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat.

5
Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki
oleh rasa yang dan pandangan yang wajar.
c) Hukum-hukum Amaliyah. Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-
bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar manusia; memisahkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban; menyelesaikan persengketaan diantara umat secara adil.
Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah (dalam bentuk ini) disebut Fiqh
Sunnah; sedangkan haditsnya sendiri disebut Hadits Ahkam, hadits-hadits dalam
bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-
Qur’an.

F. CONTOH HUKUM ISLAM PRODUK SUNNAH/HADITS


a) Memelihara Wudhu.
Seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Tsauban R.A., bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Istiqamahlah (konsistenlah) kalian semua (dalam
menjalankan perintah Allah) dan kalian tidak akan pernah dapat menghitung
pahala yang akan Allah berikan. Ketahuilah bahwa sebaik-baik perbuatan
adalah shalat, dan tidak ada yang selalu memelihara wudhunya kecuali
seorang mu’min” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
b) Mendahulukan Kaki Kanan Saat Memakai Sandal dan Melepasnya dari Kaki
Kiri.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika
kalian memakai sandal maka dahulukanlah kaki kanan, dan jika
melepaskannya, maka dahulukanlah kaki kiri. Jika memakainya maka
hendaklah memakai keduanya atau tidak memakai keduanya sama sekali”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
c) Sebelum Tidur Berwudhu Terlebih Dahulu dan Tidur Miring ke Kanan.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib R.A., bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu hendak tidur, maka berwudhulah
seperti hendak shalat, kemudian tidurlah dengan posisi miring ke kanan dan
bacalah, ‘Ya Allah, Aku pasrahkan jiwa ragaku kepada-Mu, aku serahkan
semua urusanku kepada-Mu, aku lindungkan punggungku kepada-Mu, karena
cinta sekaligus takut kepada-Mu, tiada tempat berlindung mencari
keselamatan dari (murka)-Mu kecuali kepada-Mu, aku beriman dengan kitab
yang Engkau turunkan dan dengan nabi yang Engkau utus’. Jika engkau
meninggal, maka engkau meninggal dalam keadaan fitrah. Dan usahakanlah
doa ini sebagai akhir perkataanmu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
d) Bersiwak.
Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata tidak memberatkan umatku niscaya
aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).

6
e) Shalat Dhuha.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW
bersabda: “Shalat dhuha itu mendatangkan rezeki dan menolak kemiskinan,
dan tidak ada yang memelihara shalat kecuali orang-orang bertobat” (HR.
Tirmidzi).
f) Shalat Tahajjud.
Seperti sabda Rasulullah SAW: “Sedekat-dekat hamba kepada Allah adalah
pada tengah malam terakhir. Apabila engkau bisa termasuk golongan orang
berdzikir mengingat Allah ada saat itu, maka lakukanlah” (HR. Al-Hakim).
g) Puasa Senin Kamis.
Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah SAW bersabda: “Berbagai amalan
dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika
amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa” (HR. Tirmidzi).
h) DLL.

Anda mungkin juga menyukai