Anda di halaman 1dari 11

MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK

DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA


(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)

Imam Muhasan
Politeknik Keuangan Negara STAN
daengimam@gmail.com

INFORMASI ARTIKEL ABSTRACT


As part of the administrative law, tax law is specialist.
Diterima Pertama Decisions (beschikking) issued by the Directorate General of
20-11-2017 Taxes do not include the object of the administrative court
dispute nor other judicial bodies, but the tax court. In
Dinyatakan Diterima Practice, many disputes are filed with lawsuits other than tax
23-11-2017 court. Unfortunately, the judge keeps examining and
adjudicating cases, even though the Directorate General of
KATA KUNCI: Hukum Pajak, Spesialitas, Kompetensi Absolut Taxes filed an exception on them. The purpose of this research
is to learn the extent of tax law specialties can be enforced,
particularly when dealing with the provisions that are also
KLASIFIKASI JEL: special (specialist). This research is a legal research using
[K230, K200] statute and conceptual approach simultaneously. The
research conclusion is that the tax law specialties can still
enforceable by considering the theories of lex specialis
sistematis and lex consumens derogate legi consumptae as
derivative theories of lex specialis derogate legi generali.

ABSTRAK
Sebagai bagian dari Hukum Tata Usaha Negara dalam genus
Hukum Publik, Hukum Pajak memiliki kekhususan dibanding
Hukum Tata Usaha Negara itu sendiri maupun bidang hukum
lainnya dalam lapangan hukum di Indonesia. Keputusan
(beschikking) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
atau Pejabatnya bukanlah termasuk obyek sengketa pada
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan badan peradilan
lainnya, melainkan Pengadilan Pajak. Pada kenyataannya,
kekhususan atau spesialitas dari Hukum Pajak tersebut seolah
menjadi ‘hilang’ ketika harus berhadapan dengan bidang
hukum lain yang juga bersifat khusus. Hakim pada pengadilan
lain tersebut seringkali memutuskan untuk tetap melanjutkan
proses pemeriksaan pada pokok perkara, dengan menolak
eksepsi yang diajukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
spesialitas Hukum Pajak dalam lapangan hukum di Indonesia
dapat dipertahankan, terutama ketika berhadapan dengan
ketentuan atau norma hukum lain yang juga bersifat khusus
(spesialis). Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal
research) dengan menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach), disamping
pendekatan konseptual (conceptual approach). Kesimpulan
dari penelitian ini adalah bahwa spesialitas Hukum Pajak
dalam hal ini terkait kompetensi absolut Pengadilan Pajak,
tetap dapat diterapkan (enforceable) melalui penerapan asas
lex specialis sistematis dan lex consumens derogate legi
consumptae yang merupakan derivat dari asas lex specialis
derogate legi generali.

Halaman 1
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 2

1. PENDAHULUAN Pengadilan Agama, biasanya terkait dengan keberatan


1.1. Latar Belakang atas harta gono-gini atau harta waris yang dijadikan
Paradigma yang menyatakan bahwa hukum pajak obyek sita oleh DJP (Subdit Bantuan Hukum, 2012).
bersifat lex spesialis terhadap bidang hukum lainnya Tidak jarang pula, oleh Penggugat, DJP hanya
telah sekian lama melekat begitu kuat dalam benak diposisikan sebagai pihak Turut Tergugat guna
penulis. Hal mana boleh jadi juga dialami oleh menghindari adanya ‘gugatan kurang pihak’.
beberapa pegawai lain di lingkungan Direktorat Pada kenyataannya, meskipun materi gugatan
Jenderal Pajak (DJP), mengingat paradigma tersebut yang diajukan oleh Wajib Pajak merupakan sengketa
seolah telah menjadi semacam “doktrin wajib” dalam pajak, seringkali Majelis Hakim pada badan peradilan
setiap Diklat Teknis Substantif Dasar (DTSD) ataupun lain tersebut memutuskan untuk tetap melanjutkan
diklat-diklat lain sejenis yang diperuntukkan bagi para proses pemeriksaan pada pokok perkara dan menolak
pegawai baru DJP. keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh pihak DJP.
Selain itu, dalam berbagai kesempatan diskusi Argumentasi yang paling sering dikemukakan oleh
dengan para Pegawai DJP (fiskus) senior, paradigma hakim dalam menolak untuk mengeluarkan putusan
yang mengklaim bahwa hukum atau aturan sela atas eksepsi yang diajukan oleh DJP adalah bahwa
perpajakan harus didahulukan dari bidang hukum dalam perkara a quo terdapat suatu irisan atau ‘titik
lainnya tersebut juga selalu mendominasi jalannya taut’ pengaturan antara hukum pajak dengan
diskusi. Apabila timbul sengketa pengaturan antara lapangan hukum lainnya tersebut. Selain itu, ada juga
hukum pajak dengan bidang hukum lainnya, maka Majelis hakim yang menyatakan perlunya pendalaman
pandangan klasik yang selalu dikemukakan oleh para materi sengketa dalam pemeriksaan pokok perkara.
Fiskus senior tersebut tidak jauh-jauh dari doktrin Argumentasi lain yang juga seringkali dikemukakan
“pokoknya hukum pajak bersifat lebih khusus, titik”. adalah bahwa salah satu tugas hakim adalah untuk
Oleh karenanya pula menurut pandangan kami, ketika menemukan hukum (rechtsvinding) atas setiap
timbul sengketa pajak, satu-satunya badan peradilan perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan
yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya diadili.
adalah Pengadilan Pajak. Sejatinya memang, dalam ilmu hukum dikenal
Seiring berjalannya waktu, pandangan tersebut adanya asas Ius curia novit, dimana hakim tidak boleh
perlahan mulai sirna, diawali ketika penulis mulai menolak suatu perkara dengan alasan bahwa Ia tidak
melakukan penelusuran terhadap beberapa perkara tahu atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sejalan
atau sengketa yang diperiksa dan diadili oleh badan dengan asas tersebut, Pasal 10 ayat (1) Undang-
peradilan umum melalui Sistem Informasi Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Penelusuran Perkara (SIPP) dan Sistem Informasi Kekuasaan Kehakiman juga telah mengatur bahwa
Mahkamah Agung RI (SIMARI) yang dikembangkan pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
oleh Mahkamah Agung. Melalui SIPP dan SIMARI, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
penulis menemukan fakta yang menunjukkan bahwa dengan dalih bahwa aturan hukumnya tidak ada atau
begitu banyak perkara atau sengketa di bidang kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
perpajakan (sengketa pajak) yang diajukan gugatan mengadilinya. Selain itu, dengan mengacu pada Pasal
oleh para Wajib Pajak atau penanggung pajak melalui 5 ayat (1) undang-undang yang sama, hakim wajib
badan peradilan selain Pengadilan Pajak, seperti menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(PTUN), Pengadilan Niaga, Sidang Ajudikasi Namun demikian, meskipun dilarang menolak
Keterbukaan Informasi Publik (KIP), bahkan ada pula terhadap setiap perkara yang diajukan, suatu badan
yang sampai diajukan ke Pengadilan Agama. peradilan memiliki batasan kewenangan dalam
Pada umumnya, gugatan diajukan ke Pengadilan mengadili suatu perkara atau kompetensi pengadilan.
Negeri ketika Wajib Pajak menganggap bahwa DJP Terdapat dua jenis kompetensi pengadilan: pertama,
telah melakukan perbuatan melawan hukum kompetensi absolut (absolute kompetentie), yaitu
(onrechtmatige daad) sebagaimana dimaksud dalam kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai
Pasal 1365 KUHPerdata; Pihak Ketiga yang melakukan pembagian kekuasaan mengadili (attributie van
sanggahan atau gugatan intervensi atas kepemilikan rechtmacht) kepada suatu macam pengadilan, bukan
barang yang disita oleh DJP; atau Penanggung Pajak pada pengadilan lainnya. Kedua, kompetensi relatif
yang dikenakan tindakan penyanderaan (gijzeling) (relatieve kompetentie), yaitu kekuasaan berdasarkan
oleh DJP. peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan
Sementara gugatan diajukan ke PTUN, biasanya mengadili (distributie van rechtmacht) di antara satu
terkait keabsahan dari suatu putusan (beschikking) macam pengadilan (Hamzah, 2008).
yang diterbitkan oleh Pejabat TUN c.q. DJP baik Terkait dengan kompetensi relatif, dalam perkara
menyangkut kewenangan penerbitan maupun pidana, dengan jelas KUHAP telah mengaturnya dalam
prosedur penerbitannya. Gugatan diajukan ke Pasal 84, Pasal 85 dan Pasal 86. Demikian pula dalam
Pengadilan Niaga, biasanya terkait dengan sengketa perkara Perdata, pengaturannya dapat dijumpai pada
hak mendahulu DJP atas Boedel Pailit. Untuk sidang Pasal 118 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) HIR, Pasal 142
ajudikasi Keterbukaan Informasi Publik, biasanya ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) Rbg. Oleh karenanya,
diajukan terkait ijin peminjaman data atau dokumen terkait penerapan jenis kompetensi ini, relatif jarang
perpajakan yang menurut ketentuan termasuk dalam terjadi sengketa.
klasifikasi rahasia jabatan. Sementara gugatan ke
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 3

Kondisi berbeda terjadi pada kompetensi absolut, undangan dalam sistem hukum nasional Indonesia
dimana tidak terdapat satu pun aturan yang secara adalah sebagai berikut:
eksplisit mengaturnya, melainkan dikembalikan pada a. UUD 1945
ketentuan dari masing-masing lapangan hukum serta b. Ketetapan MPR
pendapat para hakim yang bersangkutan untuk c. Undang-Undang/Perpu
memutuskannya. (Harahap, 2011), d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
1.2. Perumusan Masalah
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas,
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
dimana atas suatu sengketa pajak sangat mungkin
memiliki titik taut dengan bidang hukum lain yang Sebagai contoh dalam hukum pidana, berbagai
notabene juga bersifat khusus, maka apakah kejahatan dan pelanggaran yang tertuang dalam Kitab
spesialitas hukum pajak (dalam hal ini Pengadilan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah hukum
Pajak) sebagai satu-satunya badan peradilan yang pidana umum, sedangkan bentuk-bentuk kejahatan
memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa dan dan pelanggaran yang diatur dalam undang-undang
mengadili perkara a quo masih dapat diterapkan tersendiri (di luar KUHP) merupakan hukum pidana
(enforceable) ? khusus yang disebut juga bijzonder strafrecht, yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum hukum
2. LANDASAN TEORI pidana baik dari segi materiil maupun formil. Artinya,
Sebagai pisau analisis, penelitian ini ketentuan-ketentuan tersebut menyimpang dari
menggunakan teori yang merupakan asas preferensi ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP maupun
dalam hukum, yaitu lex specialis derogate legi generali menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang
(hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang terdapat Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana
umum), lex specialis sistematis (hukum yang lebih (KUHAP) (Hiariej, 2006).
khusus lagi) dan lex consumens derogate legi Menurut teori sistem hukum dari Hart, aturan
consumptae (hukum yang satu mengabsorbsi hukum hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi
yang lain). generali, termasuk kategori rule of recognition.
2.1. lex specialis derogate legi generali Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana
Dalam hal terjadi kontradiksi hukum, dimana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku.
terdapat dua atau lebih aturan hukum yang mengatur Dengan demikian, asas ini merupakan salah
secara berbeda atas obyek yang sama, maka sudah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur
tentu hanya ada satu aturan hukum yang harus dipilih perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur
untuk diterapkan. Dalam kondisi demikian, untuk (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat)
menyelesaikannya dikenal beberapa asas yang dikenal negara dalam mengadakan suatu represi terhadap
dalam preferensi hukum, antara lain (Fuady, 2013): pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
a. hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang
2.2. lex specialis sistematis sebagai derivat lex
umum;
specialis derogate legi generali
b. hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama;
c. hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan Masih dalam contoh hukum pidana, ketika KUHP
hukum yang rendah; ‘dihadapkan’ dengan undang-undang khusus, maka
d. hukum yang lebih menyangkut kepentingan umum dengan mudah dapat ditentukan undang-undang
mengesampingkan hukum yang kurang menyangkut mana yang harus digunakan. Pasal 103 KUHP sendiri
kepentingan umum; telah membuka ruang untuk hal tersebut, dengan
e. jika belum ada hukum baru, maka hukum yang lama menyatakan: “ketentuan-ketentuan dalam Bab I
masih dianggap berlaku; sampai BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
f. mencari hukum yang dianggap paling sesuai dengan
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
norma dasar (konstitusi);
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
g. mencari hukum yang paling adil;
h. mencari hukum yang paling dapat diterima oleh undang-undang ditentukan lain”. Kesulitan akan
masyarakat. muncul ketika yang saling “berhadapan” atau
Hukum yang khusus mengesampingkan hukum bertentangan adalah sesama undang-undang yang
yang umum atau lebih dikenal dengan istilah dalam bersifat khusus. Untuk menentukan ketentuan mana
bahasa latin lex specialis derogate legi generali, yang harus digunakan, tentu memerlukan suatu
merupakan suatu asas yang pada intinya menyatakan argumentasi tersendiri.
bahwa apabila terdapat pertentangan antara dua atau Sebagai contoh, tindak pidana perpajakan dan
lebih ketentuan perundang-undangan, maka yang tindak pidana korupsi merupakan lex specialis dari
berlaku adalah ketentuan yang bersifat khusus. Salah KUHP. Namun, permasalahan yang timbul adalah jika
satu syarat dalam penerapan asas ini adalah bahwa kejahatan perpajakan yang notabene menimbulkan
dua atau lebih aturan tersebut memiliki kedudukan adanya kerugian negara juga akan diproses
yang setingkat dalam tata urutan perundang- menggunakan undang-undang di bidang korupsi.
undangan (sistem hukum nasional). Adapun menurut Dalam hal demikian, muncul pertanyaan tentang
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun undang-undang manakah yang dapat dan harus
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- digunakan, mengingat antara kejahatan di bidang
Undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang- perpajakan dan kejahatan di bidang korupsi sama-
sama merupakan bijzonder delic.
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 4

Dalam perkembangannya, asas lex specialis tersebut, berdasarkan fakta-fakta yangg ada lebih
derogate legi generali tidak lagi bisa menyelesaikan dominan bersesuaian dengan unsur-unsur dalam
sengketa yuridis bilamana terjadi suatu perbuatan undang-undang “B” maka yang digunakan adalah
yang diancam lebih dari satu undang-undang yang undang-undang “B”. Jika sama-sama dominan, maka
dikualifikasikan sebagai bijzonder delic atau delik kedua undang-undang tersebut digunakan secara
khusus. Jika demikian halnya, maka menurut ilmu kumulatif dalam dakwaan berdasarkan concursus
hukum, dapat digunakan asas lex specialis sistematis idealis sebagaimana diatur dalam KUHP dan KUHAP.
yang merupakan derivat dari asas lex specialis Sebagai contoh lainnya adalah dalam hal
derogate legi generali. Menurut Remmelink, asas ini di penentuan usia kedewasaan seseorang, dimana
Belanda dikenal dengan istilah specialitas yuridikal terdapat begitu banyak undang-undang berbeda yang
atau specialitas sistematikal. Sementara Enschede memberikan batasan berbeda pula, sebagaimana
menyebutnya sebagai logische specialiteit (Hiariej, dapat dilihat pada berbagai ketentuan berikut:
2006).  KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW), Pasal 330:
Dalam konteks hukum pidana, ada tiga ukuran anak yang belum dewasa adalah yang belum mencapai
yang menjadi parameter satu undang-undang genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya;
 KUHP, Pasal 45: orang yang belum dewasa adalah
dikualifikasikan sebagai lex speialis sistematis.
sebelum berusia 16 tahun, namun R. Soesilo menjelaskan
Pertama, ketentuan pidana materiil dalam undang-
batasannya adalah belum berumur 21 tahun dan belum
undang tersebut menyimpang dari ketentuan umum kawin;
yang ada. Kedua, undang-undang tersebut mengatur  UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hukum pidana formil yang juga menyimpang dari menyatakan batas minimal usia nikah untuk laik-laki
ketentuan acara pidana pada umumnya. Ketiga, adalah 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun, sementara
adresat atau subyek hukum dalam hukum tersebut usia dewasa ditentukan 18 tahun;
bersifat khusus (Hiariej, 2006).  Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 98 ayat (1): batas
Dalam kaitannya dengan asas lex specialis umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun;
sistematis, ketiga prasyarat tersebut telah terpenuhi
 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dalam hukum pajak. Ketentuan material telah diatur
Pasal 1 angka 1: anak adalah seseorang yang belum
dalam berbagai undang-undang materiil seperti UU berumur 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
PPh, UU PPN, UU PBB, dan lain sebagainya; sementara kandungan;
ketentuan formalnya telah diatur dengan UU KUP, UU  UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,
PPSP dan UU tentang Pengadilan Pajak. Demikian Pasal 1 angka 3, 4 dan 5: anak berkonflik dengan hukum
juga, adresat atau subyek hukum yang dituju dalam adalah 12-18 tahun, korban anak belum 18 tahun, saksi
pengaturan hukum pajak bersifat khusus, yaitu Wajib anak belum 18 tahun;
Pajak.  UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal
1 angka 1: anak didik pemasyarakatan adalah 18 tahun;
2.3. lex consumens derogate legi consumptae  UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal
sebagai derivat lex specialis sistematis 1 angka 26: anak adalah setiap orang yang berumur di
bawah 18 tahun;
Selanjutnya, dalam hal asas hukum lex specialis
 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 1 angka 5:
sistematis belum juga dapat diterapkan karena kedua anak adalah yang berumur di bawan 18 tahun dan belum
undang-undang yang saling bertentangan tersebut menikah;
tidak ada yang memenuhi syarat (sebagai contoh, UU  UU nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI,
di bidang perbankan tidak ada hukum formilnya, Pasal 4 huruf h: anak sebelum 18 tahun;
sementara di lain pihak UU di bidang pemberantasan  UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pasal 1
tindak pidana korupsi tidak memenuhi unsur adresat angka 4: anak sebelum berumur 18 tahun;
yang bersifat khusus), maka undang-undang yang  UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
digunakan adalah yang mengandung unsur-unsur yang Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka 5: anak belum
berumur 18 tahun;
dominan berdasarkan fakta yang ada. Dengan kata
 SK Mendagri 1977: Dewasa Politik adalah 17 tahun (untuk
lain, perlu dilihat fakta dominan dalam perkara dapat ikut pemilu), Dewasa Seksuil adalah 18 tahun
tersebut. Hal ini berdasarkan pada asas lex consumens (untuk dapat melangsungkan perkawinan menurut UU
derogate legi consumptae (Hiariej, 2013). Perkawinan), Dewasa Hukum adalah batas umur tertentu
Menurut Jan Remmelink, dalam kerangka lex menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak
specialis sistematis, terdapat perkembangan dalam hukum;
consumptie, dimana Aturan “A” memakan atau  UU Pajak Penghasilan, Pasal 8 ayat (4): anak yang belum
mengabsorbsi Aturan “B”, yang dikenal dengan asas dewasa adalah yang belum mencapai usia 18 tahun dan
lex consumens derogat legi consumptae yang berarti belum menikah.
undang-undang yang satu mengabsorbsi undang- Dalam kondisi demikian, untuk menentukan
undang yang lain. Dalam hukum pidana, hukum atau undang-undang mana yang harus
parameternya adalah berdasarkan fakta-fakta yang digunakan terkait tingkat kedewasaan seseorang
dominan yang telah diverifikasi dalam pemeriksaan tersebut, adalah dengan melihat fakta yang paling
bukti permulaan. Dengan demikian, jika suatu tindak dominan dalam permasalahan yang sedang dihadapi.
pidana berdasarkan fakta-fakta yang ada lebih Misalnya, apakah ukuran kedewasaan diperlukan
dominan bersesuaian dengan unsur-unsur dalam dalam rangka menentukan cakap tidaknya seseorang
undang-undang “A” maka yang digunakan adalah di muka hukum, hendak melangsungkan perkawinan,
undang-undang “A”. Sebaliknya jika tindak pidana
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 5

perindungan anak, mengikuti pemilu, penentuan termasuk Komisi Informasi Pusat (KIP) dan
kewajiban ber-NPWP, dan seterusnya. Ombudsman RI.
Ironisnya, dalam memeriksa dan mengadili
3. METODE PENELITIAN
perkara-perkara atau sengketa perpajakan yang
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal
diajukan gugatan ke badan peradilan di luar
research) atau disebut juga penelitian doktrinal
Pengadilan Pajak tersebut, seringkali hakim pada
(doctrinal research). Oleh karenanya menggunakan
pengadilan lain tersebut memutuskan untuk tetap
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
melanjutkan proses pemeriksaan pada pokok perkara,
approach), disamping pendekatan konseptual
dengan menolak eksepsi yang diajukan oleh pihak DJP,
(conceptual approach). Analisis terhadap bahan
dengan berbagai pertimbangan tertentu.
hukum dilakukan dengan metode deduktif dan
interpretatif (hermeneutika) untuk membangun 4.1. Spesialitas Hukum Pajak dalam Lapangan Hukum
argumentasi. Hermeneutika atau metode memahami di Indonesia
atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks Meskipun keberadaan pajak sebagai sumber
secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, pembangunan negara telah lama dikenal, namun
konteks, dan kontekstualisasi. Dalam hubungan ini, hukum pajak sendiri lahir setelah adanya
Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief pembidangan hukum ke dalam hukum publik dan
Sidharta, Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar hukum privat yang di dalamnya hanya meliputi enam
Hermeneutik in optima forma yang diaplikasikan pada bidang hukum, yaitu hukum tata negara, hukum
aspek kehidupan bermasyarakat (Asshiddiqie, 2011). administrasi negara, hukum pidana, hukum acara,
4. PEMBAHASAN hukum perdata dan hukum dagang. Hukum baru yang
Sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara muncul setelah pembagian hukum tersebut ada yang
atau Hukum Tata Usaha Negara dalam genus Hukum berasal dari pemisahan bagian dari bidang hukum
Publik, Hukum Pajak memiliki kekhususan dibanding yang telah ada sebelumnya kemudian berdiri sendiri
Hukum Tata Usaha Negara itu sendiri maupun bidang dengan ditambah dengan aturan-aturan khusus,
hukum lainnya dalam lapangan hukum di Indonesia. sehingga membentuk satu kesatuan hukum untuk
Oleh karenanya, meskipun DJP dan para Pejabatnya mengatur bidang kehidupan tertentu.
merupakan Badan dan Pejabat Tata Usaha Negara Hukum pajak merupakan bidang hukum baru,
(Pejabat TUN), yang oleh karenanya keputusan- yang berasal dari bagian bidang hukum administrasi
keputusan (beschikking) yang diterbitkan termasuk negara atau sering juga disebut hukum tata usaha
dalam kualifikasi Keputusan Tata Usaha Negara negara. Bagian dari hukum tata usaha negara karena
(KTUN), namun keputusan-keputusan tersebut di dalam hukum pajak diatur tentang pelaksanaan
tidaklah termasuk obyek sengketa Peradilan Tata tugas penguasa pemerintahan, khususnya terkait
Usaha Negara (PTUN). Demikian pula, Keputusan DJP keuangan negara, yakni bagaimana pemerintah dapat
atau Pejabat DJP bukan merupakan obyek sengketa memperoleh uang untuk menjalankan roda
pada peradilan lainnya, melainkan Pengadilan Pajak. pemerintahan (termasuk upaya mensejahterakan
Memang, untuk beberapa sengketa pajak masyarakat), dengan mewajibkan masyarakat untuk
tertentu, peraturan perpajakan secara tegas membayar iuran. Hukum pajak dengan demikian
menyatakan bahwa kewenangan untuk memeriksa sebelumnya berasal dari hukum tata usaha negara
dan mengadilinya ada pada pengadilan lain di luar dengan penambahan aturan-aturan lain yang bersifat
Pengadian Pajak. Sebagai contoh, gugatan terhadap khusus.
tindakan penyanderaan atau paksa badan (gijzeling) Dari bidang hukum asalnya serta aturan-aturan
dan sanggahan (intervensi) pihak ketiga terhadap khusus yang ditambahkan, secara keseluruhan unsur-
kepemilikan barang yang disita dalam rangka unsur dalam hukum pajak meliputi: (1) Hukum tata
penagihan pajak oleh DJP, dimana berdasarkan Pasal usaha negara, meliputi pelaksanaan tugas
34 ayat (3) dan Pasal 38 UU Penagihan Pajak dengan pemerintahan untuk mencari sumber pemasukan
Surat Paksa (UU PPSP), kewenangannya ada pada negara), (2) Hukum pidana, meliputi upaya paksa atau
Pengadilan Negeri. Demikian pula ketika dalam law enforcement berupa sanksi termasuk sanksi
pelaksanaan tugas DJP dianggap telah melakukan pidana bagi pelanggarnya ketika memenuhi unsur
penyalahgunaan wewenang (abuse of power), salah pidana, dan (3) Hukum acara, terkait bagaimana tata
prosedur (ultra vires) serta bentuk-bentuk perbuatan cara menerapkan ketentuan perpajakan materiil dan
melawan hukum (onrechtmatige daad) lainnya, tentu termasuk mekanisme pengenaan sanksi (Sundari dkk,
kewenangan penyelesaiannya bukan pada Pengadilan 2015).
Pajak. 4.2. Kedudukan Pengadilan Pajak diantara Badan
Pada kenyataannya, kekhususan atau spesialitas Peradilan Lain
dari hukum pajak, dalam hal ini Pengadilan Pajak, Salah satu ciri negara hukum modern adalah
seolah menjadi ‘hilang’ ketika harus berhadapan adanya jaminan terhadap masyarakat dari tindakan-
dengan bidang hukum lain yang juga bersifat khusus. tindakan pemerintahan yang terdiri dari (1)
Alih-alih menempuh upaya hukum keberatan dan pengawasan terhadap kegiatan administrasi negara,
banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak, Wajib (2) peradilan yang menyelesaikan sengketa antara
Pajak justru langsung menempuh jalur gugatan ke pemerintah dengan warga negaranya. Dalam konsep
badan peradilan lain di luar Pengadilan Pajak, John Locke, negara mempunyai kesetaraan dengan
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 6

warga negara dalam hukum. Oleh sebab itu, dalam Sebagai ilustrasi, gambar berikut menunjukkan
pemikiran Locke, apabila seseorang merasa dirugikan kedudukan Pengadilan Pajak dalam Lingkungan
oleh perbuatan-perbuatan negara yang dianggapnya Peradilan lain dalam penyelenggaraan kekuasaan
telah melanggar hukum atau mengurangi hak-haknya kehakiman.
secara tidak sah, maka negara dapat dituntut dimuka
pengadilan oleh orang yang bersangkutan tadi (Siong, Kekuasaan Kehakiman
1955).
Prajudi Atmosudirdjo mengelompokan peradilan
administrasi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi
Mahkamah Konstitusi Mahkamah Agung
dalam arti luas dan peradilan administrasi dalam arti
sempit. Peradilan administrasi dalam arti luas adalah
peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan
instansi administrasi negara baik yang bersifat perkara Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan
pidana, perkara perdata, perkara adat, perkara agama Umum Militer Agama TUN
dan perkara administrasi murni. Sementara peradilan
administrasi dalam arti sempit adalah peradilan yang
semata-mata menyelesaikan perkara administrasi 1. Pengadilan HAM Mahkamah Pengadilan
murni. Perkara adminisrasi murni itu sendiri adalah 2. Pengadilan Tipikor Syar’iyah Pajak
3. Pengadilan Niaga NAD
perkara yang bukan merupakan pelanggaran hukum 4. Pengadilan Anak
pidana dan perdata, melainkan suatu persengketaan 5. Pengadilan
atau konflik yang berkisar atau berpangkal pada atau Hubungan Industrial
6. Pengadilan
mengenai interpretas dari suatu pasal ketentuan Perikanan
perundang-undangan (Nugraha dkk, 2007). 7. Pengadilan Adat di
Papua
Adapun lembaga atau forum penyelesaian
Sengketa Administrasi antara lain (Lotulung, 1986).
1. Melalui Pengadulan (administratieve beroep) Sumber: UUD 1945 jo. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
2. melalui Badan Pengadilan Semu (quasi peradilan) Kekuasaan Kehakiman dan UU lain Pengadilan Khusus.
3. Melalui Badan Pengadilan Administrasi
4. Melalui Pengadilan Umum 4.2.2. Sengketa Pajak
5. Melalui Badan Pengadilan Tata Usaha Negara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
6. Melalui suatu Badan Arbitrase Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
7. Melalui suatu ‘Badan Teknis’ atau ‘ Panitia Teknis’ sengketa mempunyai tiga pengertian sebagai berikut:
atau ‘Panitia Ad Hoc’ atau ‘Panitia Khusus’ yang (1) sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,
dibentuk oleh Departemen atau Instansi lain. pertengkaran, perbantahan; (2) pertikaian,
4.2.1. Pengadilan Pajak perselisihan; (3) perkara (dalam pengadilan).
Sementara menurut Black’s Law Dictionary, sengketa
Penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan adalah a conflict or controversy especially one that has
melalui jalur administratif dan jalur peradilan. Untuk given rise to a particular lawsuit. Berdasarkan definisi
penyelesaian secara administratif, dilakukan oleh DJP tersebut, sengketa merupakan suatu konflik,
melalui permohonan Wajib Pajak ataupun secara kontroversi atau perdebatan antara beberapa pihak
jabatan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. yang akan menimbulkan suatu tuntutan hukum.
Sementara penyelesaian secara peradilan dilakukan Dengan demikian, suatu konflik, kontroversi atau
dengan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak dan perdebatan yang tidak menimbulkan suatu tuntutan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. hukum oleh salah satu pihak, tidak dapat disebut
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 sebagai sengketa.
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bentuk- Sengketa pajak menurut Pasal 1 angka 5 Undang-
bentuk peradilan di Indonesia terdiri dari Peradilan Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Umum, Peradilan TUN, Peradilan Agama dan Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Peradilan Militer, yang berpuncak pada Mahkamah perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak
Agung. Selanjutnya pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
bahwa Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan
dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak
di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud berdasarkan peraturan perundang-undangan
dalam Pasal 25 UU ini. Yang dimaksud dengan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan
“pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan penagihan berdasarkan UU PPSP. Dari pengertian di
anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, atas, sengketa pajak pada dasarnya merupakan
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan sengketa atau dispute yang timbul dalam bidang
hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang perpajakan.
berada di lingkungan peradilan umum, serta
Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan 4.2.3. Kompetensi Absolut Pengadilan Pajak
peradilan tata usaha negara. Istilah kompetensi berasal dari bahasa latin
competentia yang secara etimologis diartikan sebagai
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 7

kecakapan, kemampuan atau kewenangan. Jika Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) adalah
dikaitkan dengan kewenangan pengadilan, maka sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang
kompetensi berarti kewenangan suatu pengadilan atau badan hukum perdata dengan badan atau
untuk mengadili dan memutus perkara tertentu. pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat
Kompetensi pengadilan dibedakan menjadi dua, yaitu maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
kompetensi absolut (atribusi) dan kompetensi relatif Keputusan TUN. Keputusan TUN adalah suatu
(distribusi). Kompetensi absolute (absolute penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
competentie, attributie van rechstmach) pengadilan (negara) atau oleh Pejabat TUN (pegawai negara yang
dapat diartikan sebagai kewenangan mutlak yang menjabat fungsi negara tertentu) yang berisi suatu
dimiliki suatu pengadilan untuk menerima, mengadili tindakan hukum (rechts handeling) dari Pejabat TUN
dan memutus suatu perkara tertentu berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
kriteria objek perkara dan subyek perkaranya. berlaku, bersifat kongkret, individual dan final, yang
Wewenang mutlak atau kompetensi absolut menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau bagi
adalah wewenang badan pengadilan dalam suau badan hukum perdata tertentu.
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak Dalam konteks kewenangan absolut peradilan di
tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik bidang perpajakan, penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU
dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
lingkungan peradilan lain. Biasanya kompetensi menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan
absolut ini tergantung pada isi gugatan, yaitu nilai pengadilan khusus yang berada di lingkungan
daripada gugatan. Wewenang mutlak ini disebut juga peradilan tata usaha negara. Posisi atau kedudukan
atribusi kekuasaan kehakiman (Mertokusumo, 1982). Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus yang
Pendapat ini senada dengan pendapat TJ. Buys, merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan
dimana dalam penentuan kompetensi absolut dengan juga sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 9A
mendasarkan pada jenis perkara atau objek ayat (1) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
sengketanya (objectum litis). Sebagai contoh, apabila tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
objectum litis terletak pada hak perdata maka menjadi Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
kewenangan peradilan umum, namun apabila terletak Dengan telah beroperasinya Pengadilan Pajak
pada hukum administrasi negara maka menjadi berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002, maka
kewenangan peradilan administrasi (Utrecht, 1960 sengketa pajak yang dahulu menjadi kewenangan
dan Mangkudilaga, 1988) Peratun melalui upaya Banding Administrasi (vide
Sementara kompetensi relatif merupakan Pasal 48 jo. Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1986), saat ini
wewenang mengadili perkara dalam satu lingkungan bukan lagi menjadi kewenangan Peratun (i.c.
badan peradilan, namun berbeda tempat pengadilan Pengadilan Tinggi TUN) (Priyatmanto, 2016). Lingkup
secara teritorial. Hal-hal yang mempengaruhi kewenangan atau yurisdiksi yang merupakan
penentuan kewenangan ini misalnya terkait dengan kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak adalah
locus delicti, kedudukan para pihak, kedudukan obyek memeriksa dan mengadili serta memutus Sengketa
gugatan dalam hal objek gugatan adalah barang tidak Pajak.
bergerak, dan lain sebagainya. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat
Dengan adanya pemisahan lingkungan peradilan pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus
sebagaimana digariskan dalam amandemen Pasal 24 Sengketa Pajak. Pengadilan Pajak dalam hal banding,
UUD 1945 dan Pasal 18 jo. Pasal 25 UU Nomor 48 hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, besar keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh
sekali kemungkinan terjadinya sengketa kewenangan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
mengadili. Sejauh ini, ketentuan yang mengatur Pengadilan Pajak dalam hal gugatan, memeriksa
tentang kewenangan mengadili hanya dapat dijumpai dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan
dalam Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009. (2) UU KUP. Selanjutnya, berdasarkan Putusan
Meskipun tidak secara tegas mengatur tentang Mahkamah Agung Nomor 73P/Hum/2013 Tentang Uji
sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan Materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan
dengan peradilan khusus (special jurisdiction) antara Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, obyek gugatan
peradilan umum (PN) dengan arbitrase atau telah mengalami perluasan, dimana obyek gugatan
Pengadilan Pajak, misalnya, namun pasal-pasal meliputi juga meliputi putusan-putusan sebagaimana
tersebut dapat dijadikan pedoman dalam diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP.
menyelesaikan sengketa mengadili yang terjadi antara Meskipun Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak)
lingkungan pengadian negara yang disebut dalam merupakan Pejabat TUN, namun putusan Dirjen Pajak
pasal 48 UU Nomor 2009 tentang kekuasan bukanlah termasuk obyek yang dapat diajukan
kehakiman dengan badan peradilan khusus (special gugatan melalui peradilan TUN. Terdapat beberapa
court) sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 30 perbedaan antara putusan Dirjen Pajak dengan
Tahun 1999 tentang Abitrase, UU Nomor 14 Tahun putusan Pejabat TUN lainnya, salah satunya adalah
2002 tentang Pengadilan Pajak, Statsblaad 1934-12 bahwa adresat yang dituju oleh Pejabat TUN lainnya
tentang Mahkamah Pelayaran (Harahap, 2008). adalah orang atau badan hukum perdata, sementara
untuk putusan Dirjen Pajak adresatnya adalah Waajib
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 8

Pajak Orang pribadi dan Badan (tidak mesti berstatus 4.3.2. Metode Penentuan Kompetensi Absolut
badan hukum secara perdata). Di dalam praktik, terdapat dua metode yang
Putusan yang diterbitkan oleh DJP bukanlah dapat digunakan untuk menentukan suatu kegiatan
termasuk obyek sengeta perdata yang dapat diajukan administrasi dapat digugat di peradilan asministrasi
gugatan ke pengadilan negeri, mengingat kewenangan yaitu metode enumeratif dan metode general
yang memang dimiliki oleh DJP untuk melakukan (Mangkudilaga dalam Priyatmanto, 2016). Metode
tindakan administrasi negara di bidang perpajakan. enumeratif merupakan metode untuk menentukan
Demikian pula terkait pelaksanaan hak mendahulu kompetensi absolut pengadilan yang bersifat
DJP atas boedel pailit, negara dalam hal ini DJP enumeratif yaitu dengan menyebutkan jenis-jenis
tidaklah termasuk dalam kategori kreditur-kreditur obyek sengketa yang menjadi wewenang pengadilan
lain sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata, secara terinci. Metode enumeratif dibedakan menjadi
meskipun dalam Pasal 21 ayat (1) UU KUP jo. Pasal 19 dua yaitu enumeratif tertutup dan enumeratif
ayat (6) UU PPSP dinyatakan bahwa DJP merupakan terbuka.
kreditur preferen. Kedudukan DJP tetap lebih tinggi Enumeratif tertutup merupakan metode
dibanding dengan kreditur preferen yang lain, bahkan enumeratif yang ketat dengan menyebutkan secara
jika dibandingkan dengan kreditur separatis sekalipun terinci dan limitatif jenis-jenis sengketa yang dapat
(meskipun hal ini masih debatable). Oleh karenanya, diajukan ke pengadilan administrasi sehingga akan
atas pelaksanaan hak mendahulu DJP ini tidak dapat menutup kemungkinan jenis-jenis sengketa lain yang
diajukan gugatan, baik ke pengadilan negeri maupun tidak disebutkan di dalam undang-undang. Sementara
ke pengadilan niaga (melalui mekanisme keberatan untuk enumeratif terbuka lebih longgar, meskipun di
kepada hakim pengawas dalam perkara kepailitan dalam undang-undang disebutkan secara rinci jenis-
atau faillissements). jenis sengketa yang dapat diajukan ke pengadilan
Dengan demikian, sepanjang tidak terdapat administrasi, tetapi dimungkinkan bagi peradilan
unsur-unsur penyalahgunaan wewenang (abuse of untuk mengadili jenis-jenis obyek sengketa lainnya
power), salah prosedur (ultra vires) serta bentuk- yang belum aau tidak disebutkan di dalam undang-
bentuk perbuatan melawan hukum (onrechtmatige undang.
daad) lainnya, maka terhadap putusan Pejabat TUN Sementara metode general merupakan metode
c.q. Direktur Jenderal Pajak, tidak dapat diadili oleh yang bersifat general dalam penentuan kompetensi
badan peradilan lain selain Penadilan Pajak. Dengan absolut, yaitu hanya merumuskan kirteria secara
kata lain, sepanjang tidak terdapat ‘titik taut’ dengan umum tentang obyek sengketa yang menjadi
bidang hukum lainnya, maka atas perkara a quo wewenang suatu pengadilan tanpa menyebutkan
kewenangan absolutnya ada pada Pengadilan Pajak. jenis-jenis sengketa secara terinci dalam undang-
undang. Dalam metode general ini ada tiga kriteria
4.3. Putusan Hakim Terkait Berkaitan Kompetensi
Absolut Pengadilan Pajak yang dapat digunakan untuk menentukan kompetensi
absolut, yaitu kriteria obyek, kriteris subyek, dan
4.3.1. Putusan Sela krieria subyek dan obyek (Priyatmanto, 2016).
Ditinjau pada saat penjatuhannya, putusan hakim Tidak jarang, tindakan yang dilakukan atau
dapat berupa: a) Putusan Sela, yang sering disebut produk hukum yang diterbitkan oleh DJP
juga dalam beberapa istilah lain sebagai putusan bersinggungan atau memiliki ‘titik taut’ dengan bidang
sementara, incidental vonnis, atau tussen vonnis yang hukum lainnya. Untuk dapat menentukan apakah
diartikan putusan antara; dan b) Putusan Akhir (eind perkara tersebut termasuk dalam pengertian sengketa
vonnis) atau dalam common law sama dengan final pajak atau sengketa dalam bidang hukum lainnya
judgement yang diambil dan dijatuhkan setelah tersebut, dapat digunakan beberapa asas preferensi
dilakukannya pemeriksaan terhada pokok perkara. hukum. Adapun type penyelesaian berkaitan dengan
Apabila terjadi sengketa kewenangan absolut asas preferensi hukum yang meliputi asas lex spesialis
dalam mengadili suatu perkara, baik yang derogat legi generali, lex superior, dan lex posterior,
disampaikan oleh para pihak berperkara melalui adalah: (1) pengingkaran (disavowal), (2)
pengajuan eksepsi ataupun berdasarkan pendapat reinterpretasi, (3) pembatalan, (4) pemulihan
hukum dari hakim, maka hakim dapat mengeluarkan (remedy) (Hadjon, 2011).
penetapan melalui suatu putusan sela. Dalam hal Asas-asas preferensi hukum tersebut dapat
masih terdapat keraguan untuk menentukan digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam
kompetensi absolut dari perkara yang sedang menentukan kompetensi suatu peradilan, dalam hal
disengketakan, maka dengan mengacu pada terdapat irisan atau ‘titik taut’ di antara beberapa
ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 bidang hukum khusus, atas suatu perkara atau
tentang Mahkamah Agung stdtd UU Nomor 3 Tahun sengketa. Apabila dengan asas preferensi hukum
2009, para pihak berperkara maupun majelis hakim tersebut masih belum dapat ditentukan hukum mana
dapat meminta penegasan atau fatwa kepada yang berlaku karena bidang hukum lainnya tersebut
Mahkamah Agung. Dalam hal ini MA berkedudukan juga bersifat khusus, maka selanjutnya dapat
dan berfungsi sebagai peradilan tingkat pertama dan diterapkan asas preferensi hukum lex specialis
terakhir. Oleh karenanya putusan yang dijatuhkan sistematis yang merupakan derivat dari lex specialis
oleh MA bersifat final and binding. derogate legi generali dan asas lex consumens
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 9

derogate legi consumptae yang merupakan derivat lex dikedepankan, penerap hukum harus pandai-pandai
specialis sistematis. memberikan interpretasi terhadap undang-undang
yang ada. Tanpa memberikan interpretasi yang tepat,
4.3.3. Penemuan Hukum oleh Hakim
akan berlaku lex dura sed tamen scripta, yang berarti
Mengacu pada perkara perdata, tugas hakim
‘undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau
dalam persidangan ialah memeriksa dan mengadili
memang demikian bunyinya’. Kepastian hukum ini
perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU lebih mengemuka terutama pada negara-negara yang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
menganut sistem kodifikasi yaitu sistem hukum eropa
Kekuasaan Kehakiman. Tugas ini dapat diklasifikasikan
kontinental (civil law) dibanding anglo-saxon (common
menjadi tiga bagian, yaitu: 1) konstatiring; 2) kualifisir; law).
dan 3) konstituiring. Tugas-tugas tersebut dapat
Sebaliknya, ketika berbicara tentang keadilan,
diperinci menjadi sebagai berikut (Arto, 2017):
sebagaimana teori yang dikembangkan oleh Plato,
1. Konstatiring, meliputi:
Hans Kelsen, H.L.A. Hart, John Stuart Mill dan John
a. Menemukan fakta (sengketa);
b. Menemukan sebab-sebab sengketa;
Rawls (Salim HS dkk, 2015), keadilan adalah istilah
c. Menemukan siapa penyebab sengketa; dan yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi
d. Menemukan karakteristik sengketa. klam-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan
2. Kualifisir, meliputi: masyarakat, klaim-klaim untuk memegang janji
a. Menemukan dan memilih sistem hukum; diperlakukan dengan setara, dan sebagainya (Lebacqz,
b. Menemukan hukum; 2011). Tujuan dari klaim itu adalah untuk
c. Menemukan metode penyelesaian yang tepat; dan meningkatkan kesejahteraan dan memegang janji
d. Mendesain hukum agar cocok dengan karakteristik secara setara, yang artinya bahwa kedudukan setiap
sengketa.
orang adalah sejajar (sama tingginya), sama
3. Konstituiring, meliputi:
a. Menerapkan hukum yang telah didesain, dan
kedudukannya atau seimbang. Pandangan-pandangan
b. Menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan tentang keadilan ini juga banyak dipengaruhi oleh
putusan. ajaran utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy
Bentham.
Ketika perkara atau sengketa yang diajukan oleh
Baik di negara-negara common law maupun civil
para pihak bersengketa sudah jelas norma atau
law, apabila hukum lebih mengarah kepada kepastian
hukumnya, maka hakim tinggal menerapkan hukum
hukum, artinya semakin condong pada aturan hukum,
yang ada. Demikian pula terkait kewenangan
maka akan terdesaklah aspek keadilan. Akhirnya,
mengadili, hakim dapat dengan mudah memutuskan
bukan tidak mungkin terjadi summum ius summa
pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa
iniuria, yang artinya ‘kepastian hukum tertinggi
dan pengadili perkara a quo. Namun, ketika atas satu
adalah ketidakadilan tertinggi’. Dengan demikian,
obyek sengketa terdapat persinggungan atau ‘titik
terjadi antinomi antara keadilan dan kepastian
taut’ di antara lebih dari satu bidang hukum, terlebih
hukum.
masing-masing bidang hukum tersebut juga bersifat
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa
spesialis, maka dibutuhkan terobosan hukum oleh
dengan pertimbangan aspek kemanusiaan dan
hakim. Hakim wajib melakukan penemuan hukum
kemaslahatan, penerap hukum dapat melakukan
sesuai dengan kaidah yang berlaku.
penyimpangan terhadap prosedur baku. Dalam hal
Menurut Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum
demikian, kepastian hukum dapat dikorbankan. Begitu
dari Jerman, tujuan atau cita hukum (idee des recht),
pula pengadilan, dengan berlandaskan moral dapat
adalah untuk mencapai keadilan (gerechtigkeit),
memutuskan yang berbeda untuk kasus serupa yang
kepastian hukum (rechtzickerkeit) dan kemanfaatan
sudah diputus oleh pengadilan terdahulu jika
(zweckmaziegkeit). Dalam literatur-literatur klasik,
pengadilan itu menimbang bahwa putusan pengadilan
seringkali antara keadilan dan kepastian hukum tidak
terdahulu tersebut secara moral perlu diperbaiki.
dapat diwujudkan sekaligus dalam situasi yang
Betapapun, tujuan hukum adalah menciptakan
bersamaan. Oleh karenanya, dalam penerapan hukum
kedamaian dalam hidup bermasyarakat (Marzuki,
seringkali diperlukan adanya kompromi-kompromi,
2013).
yaitu mengorbankan keadilan untuk mencapai
Sebagai konsekuensinya, hakim tidak boleh
kepastian hukum, atau sebaliknya (Marzuki, 2013).
menyerah pada norma atau kaidah hukum an sich.
Dalam menghadapi atinomi ini, peran penerap
Tugas hakim bukanlah semata-mata menjadi ‘corong’
hukum sangat diperlukan. Penerap hukum harus
dari undang-undang. Mantan ketua MA Purwoto S
mampu untuk melakukan pilihan mana yang harus
Gandasubrata mengatakan, dalam mengadili perkara
dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan.
yang dihadapinya, yang dilakukan oleh seorang hakim
Adapun yang menjadi acuan dalam hal ini adalah
adalah: (1) dalam kasus yang hukum atau undang-
moral serta kemanfaatan.
undangnya sudah jelas tinggal menerapkan saja
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal
hukumnya, (2) dalam kasus yang hukum atau undang-
dalam undang-undang, melainkan juga adanya
undangnya tidak atau belum jelas, maka hakim akan
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang
menafsirkan UU melalui cara-cara atau metode
satu dan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa
penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum, (3)
yang telah diputuskan. Roscoe Pound mengatakan
dalam kasus dimana terjadi pelanggaran atau
bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan
penerapan hukumnya bertentangan dengan udang-
adanya predictibiliy. Jika kepastian hukum yang
undang yang berlaku, maka hakim akan menggunakan
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 10

hak mengujinya (toetsingrecht atau judicial review), Pajak saja, melainkan sejak dilakukannya penelitian
baik yang berupa formele toetsing ataupun materiele atau pemeriksaan oleh Fiskus. Penelitian atau
toetsing. pemeriksaan dilakukan dilakukan oleh fiskus dalam
Dengan demikian, ketika suatu perkara telah jelas rangka pengujian kepatuhan Wajib Pajak sebagai
aturan undang-undang atau aturan hukumnya, hakim konsekuensi dari self assessment yang dianut dalam
tidak perlu melakukan interpretasi lagi. Apabila hal ini sistem perpajakan Indonesia.
dilakukan, maka hakim telah bertindak sebagai Namun demikian, dengan pertimbangan
legislator, bukan seedar mengisi ketidaksempurnaan kesetaraan dalam perbandingan antara Pengadilan
undang-undang untuk memberikan keadilan. Dalam Pajak dengan badan peradilan lainnya, sengketa pajak
hal demikian tidak ditaati, maka hakim dengan dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk sengketa di
putusannya telah opens the door to uncertainty bidang perpajakan yang telah masuk dalam tahap
(Lebacqz, 2011). persidangan atau yang telah melewati tahapan
Dalam memutus sengketa kewenangan mengadili penyelesaian administratif yang sering juga disebut
suatu sengketa pajak, peraturan prundang-undangan semi peradilan (quasi peradilan).
di bidang perpajakan telah dengan jelas menyatakan Selain itu, mengingat jumlah perkara atau
bahwa kewenangan absolut ada pada Pengadilan sengketa pajak yang diajukan gugatan oleh Wajib
Pajak. Oleh karenanya tidak diperlukan lagi adanya Pajak paling banyak ada di Pengadilan Negeri dalam
penemuan hukum (rechvindings) oleh hakim dengan perkara perdata, maka pembahasan dalam penelitian
alasan apapun, termasuk alasan ius curia novit demi ini lebih menitikberatkan pada mekanisme penyelesaian
keadilan dan kemanfaatan. perkara perdata pada Badan Peradilan Umum (Pengadilan
Demi kepastian hukum, hakim pada pengadilan Negeri).
selain Pengadilan Pajak, harus memutuskan untuk
menolak memeriksa dan mengadili pokok perkara atas 6.2. Usul Penelitian Lanjutan
sengketa pajak yang diajukan kepadanya, dengan Dari hasil wawancara dengan salah satu pegawai
menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau NO pada Subdit Bankum DJP (Bapak Hendra Susilo),
(niet ontvankelijke verklaard), melalui suatu Putusan diperoleh informasi bahwa dalam banyak perkara atau
Sela. sengketa pajak, majelis hakim menolak eksepsi atau
keberatan DJP dalam Putusan Sela terkait kompetensi
5. PENUTUP absolut Pengadilan Pajak, lebih disebabkan karena
5.1. Simpulan beban kerja atau load perkara yang ditangani oleh
Selain perkara atau sengketa tertentu dibidang para hakim tersebut, disamping soal profesionalisme
perpajakan yang forum penyelesainnya telah dari tiap-tiap hakim. Kuat dugaan, banyak hakim yang
ditentukan ada pada badan peradilan lain, seperti menolak eksepsi DJP dalam Putusan Sela dan memilih
gugatan atas tindakan penyanderaan atau paksa untuk tetap melanjutkan pemeriksaan pada pokok
badan (gijzeling) dan sanggahan pihak ketiga pemilik perkara, lebih disebabkan karena para hakim tersebut
barang yang disita oleh DJP yang menjadi domain tidak memiliki cukup waktu untuk mendalami perkara
pengadilan negeri, penyelesaian sengketa pajak yang sedang disengketakan pada tahap-tahap awal
sepenuhnya menjadi kewenangan Pengadilan Pajak. persidangan.
Meskipun harus berhadapan dengan bidang Hal ini terlihat pada isi atau amar putusan yang
hukum lain yang juga bersifat spesialis, spesialitas diambil dalam Putusan Akhir, dimana hakim tersebut
hukum pajak, dalam hal ini kewenangan absolut pada akhirnya menyatakan menolak gugatan yang
Pengadilan Pajak dalam mengadili sengketa pajak, diajukan Wajib Pajak (memenangkan DJP) dengan
tetap dapat diterapkan (enforceable) dengan pertimbangan kompetensi absolut. Jika dianalogikan,
mendasarkan pada teori yang merupakan asas putusan semacam ini ibarat Putusan Akhir ‘rasa’
preferensi hukum, yaitu lex spesialis sistematis dan lex Putusan Sela.
consumens derogate legi consumptae, yang Oleh karenanya, menarik untuk dilakukan kajian
merupakan derivat dari asas lex specialis derogate legi atau penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor apa
genarali. saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam
5.2. Saran memutus sengketa kewenangan mengadili secara
Ketika menghadapi gugatan atas sengketa pajak mutlak (kopetensi absolut) pada suatu badan
yang diajukan oleh Wajib Pajak pada badan peradilan peradilan, dalam hal ini atas sengketa pajak. Apakah
selain Pengadilan Pajak, DJP dapat memfokuskan semata-mata soal beban kerja (load perkara), pola
keberatan atas eksepsi pada aspek kewenangan atau rekruitmen hakim, jenjang karier, independensi
kompetensi absolut Pengadilan Pajak, dengan hakim, ataukan ada faktor-faktor lain terkait
mendasarkan pada teori yang merupakan asas profesionalisme hakim.
preferensi hukum di atas.
6. PEMBATASAN PENELITIAN DAN USUL PENELITIAN
LANJUTAN
6.1. Pembatasan Penelitian
Sejatinya, dispute atau sengketa pajak tidak
hanya terdiri dari perkara-perkara atau sengketa yang
telah masuk dalam tahap persidangan di Pengadilan
MENAKAR ULANG SPESIALITAS HUKUM PAJAK DALAM LAPANGAN HUKUM DI INDONESIA
(Tinjauan atas Penerapan Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa Pajak)
Jurnal Pajak Indonesia Vol.1, No.1, (2017), Hal.12-22

Imam Muhasan Halaman 11

7. DAFTAR PUSTAKA Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP), UU No. 1 Tahun 1946.
Buku:
Arto, Mukti. Teori dan Seni Menyelesaikan Perkara Internet:
Perdata di Pengadilan. Depok: Kencana, 2017. Edddy OS Hiariej, diunduh dari:
Abdullah, Priyatmanto. Revitaslisai Kewenangan news.okezone.com/read/2013/04/16/339/792202/
PTUN: Gagasan Perluasan Kompetensi PTUN, saksi-ahli-tegaskan-kerugian-negara-belum-tentu-
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016. korupsi, pada tanggal 7 April 2017.
Sundari, E. & M.G. Endang Sumiarni. Politik Hukum Eddy OS Hiariej, dalam Anotasi Putusan 1144
dan Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Cahaya K/Pid/2006, diunduh dari: www.indekhukum.org/
Atma Pusaka, 2015. annotation/detail/dad321cc-0afb-a315-
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum, Ed. 303332343137.html pada tanggal 7 Agustus 2017.
Revisi, cet. ke-5. Jakarta: Prenadamedia Group,
2013.
Fuady, Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam
Hukum. Jakarta: Kencana, 2013.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana, Ed. Kedua,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Siong, Gouw Giok. Pengertian tentang Negara Hukum.
Jakarta: Penerbitan Keng Po, 1955.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, cet. ke-3. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Nugraha, Safri dkk. Hukum Administrasi Negara,
Depok: CLGS FHUI, 2007.
Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa Sistem tentang
Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah.
Jakarta: Buna Ilmu Populer, 1986).
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati.
Argumentasi Hukum, cet ke-5. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Jakarta: Liberty, 1982.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata: Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, cet. ke-8. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan
Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis,
Buku Kedua. Jakarta: RajaGrafindo, 2015.
Lebacqz, Karen. Teori-Teori Keadilan. Bandung: Nusa
Media, 2011.
Tim Penyusun. Diktat Petunjuk Praktis Penanganan
Perkara Gugatan Terhadap Ditjen Pajak di
Pengadilan. Subdit Bantuan Hukum, 2012.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kedua
atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang PTUN, UU Nomor 51 Tahun 2009.
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009.
Indonesia, Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung, UU Nomor 3 Tahun 2009.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12
Tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai