Disusun Oleh :
Kelompok 5
FARMASI
FAKULTAS INDUSTRI HALAL
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA YOGYAKARTA
ANGKATAN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Farmakologi dapat didefinisikan secara sempit sebagai ilmu tentang interaksi antara
senyawa kimia dan sistem biologi. Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja
obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Obat adalah bentuk
sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada organisme hidup dan dapat
menimbulkan respon pada pemakainya.
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui
rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan
secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat
menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.
Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya
harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien
dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau
petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses
absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat
seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap),
cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration
of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat
untuk memberikan respons tertentu.
Absorbsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberiannya ke dalam pembuluh
darah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dan besarnya dosis obat yang
diabsorbsi, diantaranya adalah rute pemberian. Secara garis besar obat dapat diberikan
melalui 2 rute pemberian yaitu enteral dan parenteral. Pemberian melalui enteral
umumnya dilakukan melalui oral, dimana obat masuk ke dalam mulut, turun ke
kerongkongan dan masuk ke dalam lambung dan sebagian besar penyerapan obat terjadi
melalui usus. Sedangkan pemberian parenteral umumnya dilakukan melalui injeksi baik
secara intravena, subcutan dan lain sebagainya.
Selain karena faktor rute pemberian maka absorbsi juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan
kimia dari bahan aktif yang diberikan, Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat
dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu
bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorbsi.
Pemberian oral pada hewan uji akan memberian bioavailabilitas yang beragam,
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi obat sebelum mencapai pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan kecepatan dan jumlah dosis yang mencapai pembuluh darah
beragam pula, akibanya efek obat juga akan memberikan onset dan durasi yang beragam
pula. Sedangkan pada pemberian dengan cara parenteral terutama secara intravena maka
obat langsung dimasukkan dalam pembuluh darah vena sehingga tidak terjadi proses
absorbsi, akibatnya jumlah obat yang ada dalam pembuluh darah akan sama dengan
jumlah obat yang diberikan. Tetapi rute pemberian parenteral lain tetap melalui proses
absorbsi karena letak injeksi diberikan diluar pembuluh darah, seperti injeksi intra
muskular yang diberikan melalui otot, atau injeksi lainnya sehingga pada pemberian
tersebut tetap terjadi proses absorbsi.
Pada kegiatan praktikum ini, praktikan akan menganalisis efek absorbsi obat yang
diberikan dalam berbagai rute pemberian terhadap kadar obat didalam tubuh dengan
mengamati efek kecepatan efek yang tarjadi (onset) dan lama efek tersebut bertahana
pada hewan uji (durasi).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah efek absorbsi obat yang diberikan dalam berbagai rute pemberian
terhadap kadar obat didalam tubuh?
2. Bagaimanakah kecepatan efek yang terjadi (onset)?
3. Berapa lama efek tersebut bertahan pada hewan uji (durasi)?
C. TUJUAN
Pada kegiatan praktikum ini, mahasiswa akan menganalisa efek absorbsi obat yang
diberikan dalam berbagai rute pemberian terhadap kadar obat didalam tubuh dengan
mengamati kecepatan efek yang terjadi (onset) dan lama efek tersebut bertahan pada
hewan uji (durasi).
BAB II
DASAR TEORI
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis
sesuai dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya.
Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi
menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat pemberiannya. Rute pemberian obat
terutama dipengaruhi oleh sifat obat, kestabilan obat, tujuan terapi ,kecepatan absorbsi
yang diperlukan, kondisi pasien, keinginan pasien, dan kemungkinan efek samping.
Pemakaian obat dikatakan tidak tepat apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat
kecil atau tidak ada sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding
dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Nasif dkk., 2013).
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek
samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma atau
sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi
tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya
menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi (Gitawati,
2012).
Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati
atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan (Ansel, 1985).
1. Fase Farmasetik
Fase ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,
pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Karena itu fase ini utamanya
ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat
untuk diabsorpsi ke dalam tubuh (ketersediaan farmasetik).
2. Fase Farmakokinetik
Fase ini meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Fase ini
berperan dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma (ketersediaan hayati)
sehingga dapat menimbulkan efek. Fase ini termasuk bagian proses invasi dan
eliminasi. Yang dimaksud dengan invasi adalah proses-proses yang berlangsung pada
pengambilan suatu bahan obat dalam organisme, sedangkan eliminasi merupakan
proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme.
3. Fase Farmakodinamik
Fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi obat. Fase ini berperan dalam
menentukan seberapa besar efek obat dalam tubuh.
Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini tidak hanya bergantung
pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga tergantung pada:
jenis dan tempat pemberian
keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi
distribusi dalam organisme
ikatan dan lokalisasi dalam jaringan
biotransformasi
keterekskresian dan kecepatan ekskresi
Suatu obat mungkin lebih efektif jika diberikan melalui salah satu cara pemberian,
tetapi tidak atau kurang efektif melalui cara pemberian yang lain. Perbedaan ini salah
satunya dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan absorpsi dari berbagai
cara pemberian tersebut. Konsekuensinya, efek farmakologi yang ditimbulkan juga
berbeda untuk masing-masing pemberian.
2. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, untuk mencapai tepat pada letak dari
aksi harus melalui membrane sel yang kemudian dalam peredaran, kebanyakan obat-
obatan didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi merupakan transfer obat yang
reversible antara letak jaringan dan plasma. Pola distribusi menggambarkan
permainan dalam tubuh oleh beberapa factor yang berhubungan dengan
permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan ikatan pada makromolekul. Distribusi obat
dibedakan menjadi dua fase berdasarkan penyebarannya dalam tubuh. Fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan yaitu kedalam organ yang perfusinya sangat baik
misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih
luas, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik jaringan diatas yang
meliputi otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan distribusi obat dalam badan adalah:
Perfusi darah melalui jaringan
Kadar gradient, PH, dan ikatan zat dengan makromolekul
Partisi kedalam lemak
Transport aktif
Sawar
Ikatan obat dengan protein plasma
3. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan struktur kimia obat
didalam tubuh yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi bentuk yang lebih polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut
didalam lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain intu pada umumnya
obat diubah menjadi bentuk inaktif, sehingga proses biotransformasi menentukan
dalam mengakhiri kerja obat.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan organ ekskresi
yang terpenting. Ekskresi pada ginjal merupakan resultan dari tiga proses yaitu filtrasi
diglomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal dan reabsorpsi pasif di tubulus
proximal dan distal. Ekskresi obat selain pada ginjal juga dapat terjadi melalui air
liur, keringat, air mata, air susu dan rambut.
2. Parenteral
Cara pemberian ini tidak memasukkan obat ke dalam tubuh melalui saluran cerna.
Pemberian obat secara intravaskuler termasuk ke dalam parenteral.
Berdasarkan ada tidaknya proses absorbsi, pemberian obat dibagi menjadi 2, yakni:
a) Intravaskuler
Merupakan cara pemberian obat yang pengaplikasiannya pada pembuluh darah,
meliputi intra vena dan intra cardiac, intra arterial. Intravena tidak mengalami
proses absorpsi karena semua obat masuk sirkulasi sistemik, bioavalibilitasnya
100% serta kadarnya akurat. Namun, efek toksik mudah terjadi dan tidak dapat
ditarik kembali jika ada kesalahan dosis, serta perlu teknik medik khusus. Intra
cardiac merupakan cara pemberian yang langsung dimasukkan ke dalam
pembuluh darah cardiac.
b) Ekstravaskuler
Merupakan pemberian obat yang aplikasinya di luar pembuluh darah. Ada 4
macam, yaitu:
Intra muscular (i.m). Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot,
umumnya pada otot pantat dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak
terdapat banyak pembuluh darah dan saraf sehingga relative aman untuk
digunakan. Obat dengan cara pemberian ini dapat berupa larutan, suspensi,
atau emulsi.
Subkutan (s.c). Pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah
kulit. Bentuk sediaan yang mungkin diberikan dengan cara ini antara lain
larutan dan suspensi dalam volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya insulin.
Obat diabsorpsi secara lambat sehingga intensitas efek sistemik dapat diatur.
Pemberian obat dengan cara ini dilakukan bila obat tidak diabsorpsi pada
saluran pencernaan atau dibutuhkan kerja obat secara tepat, misalnya pada
situasi akut. Pemberian subkutan hanya boleh digunakan untuk obat-obat yang
tidak menyebabkan iritasi pada jaringan.
Intra peritoneal (i.p). Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus
atau terkena hati, karena dapat menyebabkan kematian. Di dalam rongga
perut ini, obat diabsorpsi secara cepat karena pada mesentrium banyak
mengandung pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya lebih cepat
dibandingkan peroral dan intramuscular. Obat yang diberikan secara i.p akan
diabsorpsi pada sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati
sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Intra vena (i.v). Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan
cepat, tepat, dan dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk
larutan iritatif. Namun, cara pemberian intravena biasanya efek toksik
mudah terjadi, dan tidak dapat ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan
dosis, juga bagi obat yang larut dalam larutan minyak tidak boleh diberikan
karena mengendapkan konstituen darah, serta bagi intravena penyuntikan
dengan cara perlahan-lahan sambil mengawasi respon.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.
2. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama.
3. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.
4. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.
5. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
6. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam
rute.
7. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat.
Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik
diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal
adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
E. HEWAN UJI
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran atau
biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana
percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan
genetis atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping
factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis
yang mirip kejadiannya pada manusia. (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara
memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam
caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini
akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan
juga bagi orang yang memegangnya. (Katzug, B.G, 1989).
Perbedaan antara mencit dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan
farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri.
Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan farmakologi pada hewan
coba dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan pengujian
menunjukkan efek farmakologi yang sama.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempuran pula hasil percobaan yang
dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan dengan hewan
percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan
konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman.
BAB III
PERCOBAAN
A. ALAT
Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
Jarum tumpul untuk per oral (sonde)
Sarung tangan
Stop watch
Wadah tempat pengamatan uji (kotak kaca)
Luminal Na
B. HEWAN UJI
Mencit
C. PROSEDUR KERJA
Oral
Subkutan
masukkan sampai bawah kulit pada tengkuk hewan uji dengan jarum
injeksi.
Intramuscular
Intravena
A. HASIL PENGAMATAN
1. Data Pengamatan Volume Pemberian Obat pada Mencit
Diketahui :
Dosis luminal 80 mg/kg BB hewan uji.
Konsentrasi sediaan 20 mg/mL.
1 21,5 0,086
Peroral 2 22,6 0,0904
3 20,1 0,0804
1 18,9 0,0756
Subkutan 2 23,4 0,0924
3 21,3 0,0852
1 23,1 0,0924
Intramuskular 2 23,6 0,0944
3 24,4 0,0976
1 30,1 0,1204
Intravena 2 31,3 0,1252
3 33,6 0,1344
Durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi karena
:
Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor
penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.
2. Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme
serempak sehingga durasinya agak cepat.
3. Intramuscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama.
4. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding
intramuscular.
B. PEMBAHASAN
1. Antimikroba
3. Percobaan
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Antibakteri
B. SARAN
Dalam praktikum ini diperlukan konsentrasi dan ketelitian, terlebih lagi saat melakukan
proses inokulasi. Karena saat kita melakukan kesalahan langkah, itu akan berpengaruh
terhadap hasil pengamatan. Pencampuran larutan yang tidak sesuai prosedur dan takaran
yang tidak tepat dapat menyebabkan kesalahan pada hasil penelitian. Lakukanlah
pengujian potensi antimikroba dengan metode sumuran sesuai dengan syarat dan
prosedur kerja pada modul, serta tetap perhatikan kesterilan alat dan bahan yang
digunakan agar tidak terjadi kontaminasi.
DAFTAR PUSTAKA
Gitawati, R., 2008, “Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya”, Media Litbang
Kesehatan, Vol. 18(4)
Nasif, H., Monalisa. Y., Husni. M., 2013, “Kajian Penggunaan Obat Intra Vena di
SMF Penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi”, Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi, Vol. 18(1).
Ansel, H. C, 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.
Anief,Moh,1993,Farmasetika,Gadjahmada University Press,Yogyakarta.
Anonim,1995,Farmakope Indonesia edisi IV,Depkes RI,Jakarta.
Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
https://www.academia.edu/18915181/PENGARUH_CARA_PEMBERIAN_TERHADAP_
ABSORBSI_OBAT
https://www.academia.edu/9184359/PRAKTIKUM_FARMAKOLOGI_EKSPERIMENTA
L_I_PENGARUH_CARA_PEMBERIAN_TERHADAP_ABSORBSI_OBAT
https://edoc.tips/download/pengaruh-cara-pemberian-terhadap-absorbsi-obat_pdf