Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/259522186

New insights into regional tectonics of the Sunda–Banda Arcs region from
integrated magnetic and gravity modelling

Article  in  Journal of Asian Earth Sciences · February 2014


DOI: 10.1016/j.jseaes.2013.11.013

CITATIONS READS

11 1,079

4 authors, including:

Teti Zubaidah Monika Korte


University of Mataram Helmholtz-Zentrum Potsdam - Deutsches GeoForschungsZentrum GFZ
42 PUBLICATIONS   102 CITATIONS    148 PUBLICATIONS   4,423 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Mioara Mandea
Centre National d’Etudes Spatiales
297 PUBLICATIONS   7,279 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Signature of magnetospheric currents on Earth View project

PhD Thesis View project

All content following this page was uploaded by Teti Zubaidah on 21 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TERJEMAHAN dalam BAHASA INDONESIA
T. Zubaidah et al. / Journal of Asian Earth Sciences 80 (2014) 172–184

Wawasan baru tektonik regional wilayah Busur Sunda – Banda


berdasarkan pemodelan magnetik dan gravitasi terintegrasi

Teti Zubaidah a,⇑


, Monika Korte , Mioara Mandea , Mohamed Hamoudi
b c d

a Jurusan Elektro, Fakultas Teknik Universitas Mataram, Jl. Majapahit 62, 83125 Mataram, Lombok, Indonesia
b Helmholtz Centre Potsdam, Deutsches GeoForschungsZentrum (GFZ), Telegrafenberg, 14473 Potsdam, Germany
c CNES – Centre National d’Etudes Spatiales, 2 Place Maurice Quentin, 75039 Paris Cedex 01, France
d Départment de Géophysique USTHB, University of Algiers, PB 32 El-Alia Bab-Ezzouar, 16111 Algiers, Algeria

ABSTRAK
Pulau Lombok (Indonesia), terletak di sepanjang wilayah transisi Busur Sunda–Banda, terletak pada zona
yang dicirikan oleh anomali magnetik intensitas yang sangat besar. Anomali ini telah tercatat sebagai
salah satu dari delapan anomali yang paling penting, seperti terlihat pada World Digital Magnetic
Anomaly Map edisi pertama. Sayangnya, hanya data magnetik dari survey kelautan yang tersedia, dan
tidak ada data dari daratan di pulau ini dengan resolusi tinggi. Sejak tahun 2004, kami telah melakukan
beberapa survei geomagnetik di wilayah daratan pulau ini. Di sini, kami menyajikan hasil pemodelan
geologi dan tektonik yang baru berdasarkan interpretasi anomali magnetik. Hasil baru mengkonfirmasi
pola umum anomali positif dan negatif yang berdekatan, mengungkapkan adanya dua patahan normal
zaman Kuarter dan busur magmatik yang terkait dengan wilayah subduksi. Hasil ini sesuai dengan hasil
survey sebelumnya di daerah sekitarnya yang diperoleh dari data satelit, aeromagnetik, dan platform
laut, dan memberikan gambaran yang lebih rinci tentang anomali magnet yang kuat di pulau ini. Dengan
mempertimbangkan model anomali magnetik dan gravitasi, kami menyarankan suatu perluasan zona
Flores Trust (mencapai barat laut dari Pulau Lombok). Zona ini dapat dianggap sebagai subduksi yang
telah matang di wilayah busur belakang, yang menunjukkan kecenderungan subduksi progresif selama
dekade terakhir.

1. PENDAHULUAN
Pulau Lombok, sebagai bagian dari wilayah Kepulauan Sunda Kecil (LSI) Indonesia, terletak pada daerah
pertemuan tiga lempeng tektonik dan menjadi salah satu daerah geologis yang paling kompleks dan
aktif di Indonesia. Meskipun banyak kejadian gempa, namun sejarah kegempaan wilayah ini kurang
dipahami, karena terbatasnya jumlah data yang tersedia yang tidak lebih tua dari tahun 1963 (Engdahl
et al., 1998, 2007).

Umumnya diasumsikan bahwa periodisitas perulangan terjadinya gempa raksasa untuk wilayah subduksi
adalah sekitar 300 sampai 500 tahun (Satake dan Atwater, 2007). Sepanjang batas lempeng Sumatra-
Andaman, gempa bumi dengan M 8,4 dan M 8,9 masing-masing terjadi pada tahun 1797 dan 1833
(Rajendran, 2013); setelah sekitar 300 tahun terakumulasinya momen, gempa bumi raksasa dan dahsyat
terjadi kembali pada bulan Desember tahun 2004.

Melihat data gempa bumi besar yang dangkal di wilayah Indonesia timur, Triyoso1 telah mengidentifikasi
kemungkinan periode perulangan sekitar 100 tahun di wilayah LSI; periode yang sedikit lebih pendek
daripada yang umum. Selain itu, Soloviev dan Ismail-Zadeh (2003) telah menghasilkan model numerik
dinamis non-linear untuk prediksi gempa jangka panjang berdasarkan data pergerakan lempeng global
model HS2-NUVEL1 (Gripp dan Gordon, 1990). Mereka telah memperkirakan bahwa untuk kegempaan
yang diamati dari M> 6 dan M> 7, terdapat dua klaster utama di wilayah Indonesia. Satu klaster berada
di sekitar ujung barat laut Pulau Sumatra dan yang lainnya ada di wilayah LSI.
1 http://www.hrdp-network.com/pirba/content/e5781/e5795/e5809/e15439/eventReport15468/PSHA_Wahyu2009.pdf.

1
Evolusi yang terjadi pada area dinamis ini dapat disimpulkan menggunakan pengukuran geofisika dan
menafsirkannya. Memang, peta anomali magnetik litosfer (kerak) yang diperoleh dari pengukuran satelit
dan data regional sekitarnya dari survey kelautan dan aeromagnetik (Maus et al., 2008, 2009; Maus,
2010) menunjukkan bahwa LSI, khususnya Pulau Lombok, terletak di zona-zona yang ditandai oleh
anomali magnetik intensitas tinggi (Zubaidah et al., 2010). Mandea dan Thébault (2007) mencatatnya
sebagai salah satu dari delapan fitur geologis paling penting yang terlihat pada Peta Anomali Magnetik
Digital Dunia/World Digital Magnetic Anomali Map (Korhonen et al., 2007), jadi wilayah Pulau Lombok
ini adalah item yang penting untuk analisis secara lebih terperinci.

Di sini, kami menggunakan pola anomali magnetik yang diperoleh dari survei di daratan Pulau Lombok
untuk menyelidiki beberapa aspek tektonik regional. Setelah memberikan ringkasan seting tektonik
wilayah tersebut, kami akan menguraikan bagaimana peta anomali magnetik pulau Lombok diperoleh
dan kami akan menghadirkan model magnet dan gravitasi terintegrasi yang baru untuk dua profil. Kami
akan mendiskusikan masing-masing model untuk bagian selatan dan utara pulau Lombok dan
menafsirkannya secara kombinasi untuk mendapatkan deskripsi komprehensif tentang seting tektonik
Lombok masa kini. Kesimpulan kami fokuskan pada keberadaan dari dua sesar aktif zaman Kuarter di
atas pulau ini, demikian halnya perluasan dari zona Flores Thrust (mencapai barat laut lepas Pulau
Lombok), yang telah menjadi subduksi matang di daerah busur belakang, yang menunjukkan
kecenderungan subduksi progresif.

2. SETING TEKTONIK DAN GEOLOGI


Wilayah LSI terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, di mana subduksi yang hampir tegak lurus dari
lempeng Indo-Australia sepanjang Palung Jawa sudah lama dikenal (Hamilton, 1979). Busur Sunda dan
Banda dibentuk oleh subduksi aktif ini. Pulau Lombok, seperti yang ditunjukkan pada inset Gambar 1,
adalah bagian dari wilayah LSI: rantai pulau-pulau kecil hingga menengah yang terletak di sepanjang
transisi antara dua busur ini (Müller et al., 2008; Lüschen et al., 2011). Menjadi bagian dari wilayah
Indonesia Timur, seperti yang ditunjukkan oleh Hinschberger et al. (2005), wilayah ini jelas tampak
sebagai area tektonik yang sangat aktif di mana deformasi didistribusikan secara luas, dengan evolusi
yang cepat.

Keberadaan zona subduksi Flores Thrust di belakang wilayah busur LSI diperkenalkan oleh Hamilton
(1979). Pemicunya adalah palung pada busur belakang yang baru dibentuk, yang mungkin dihasilkan dari
Kerak Samudera Hindia yang patah/tergulung balik (Price dan Audley-Charles, 1983), sebagai
konsekuensi dari tabrakan kontinental yang sedang berlangsung antara sisi timur benua Eurasia dan
Australia. Perluasan zona ini ke utara Pulau Bali diusulkan oleh Silver et al. (1983) dan Silver et al.
(1986). Kemudian, dua lempengan yang mengapit di sebelah LSI didukung oleh studi tomografi seismik
baru yang independen (Hafkenscheid et al., 2001). Studi ini juga menunjukkan kemungkinan subduksi
lempengan di utara Pulau Bali, yang tidak bisa dikenali sebelumnya dalam studi tomografi (Widiyantoro
dan van der Hilst, 1996). Namun, jejak lempengan ini tidak sejelas yang ada di Wilayah Maluku
(Hafkenscheid et al., 2001). Ini mungkin karena usianya yang relatif muda, dimana subduksi ini
diperkirakan berumur sekitar 3 juta tahun oleh Silver et al. (1983), apalagi kerak di wilayah Indonesia
sangat tipis (Hall and Smyth, 2008).

Geologi permukaan dan kelurusan Pulau Lombok telah dijelaskan oleh Mangga et al. (1994), seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2. Bagian selatan pulau terutama terdiri dari unit vulkanik tertua (Tomp),
dengan beberapa batuan intrusif beku (Tmi) dan batuan sedimen (Tomk); sedangkan bagian utara terdiri
dari lava Tersier dan lava Kuarter (TQp, TQb, Qvl, dan Qhv). Unit yang paling muda adalah alluvium (QaR
dan QaL) yang secara tidak selaras membayangi yang lebih tua di tengah pulau. Beberapa kelurusan

2
(garis abu-abu pada Gambar 2) serta patahan normal (garis putus-putus merah pada Gambar. 2) dapat
diidentifikasi di bagian selatan pulau (Mangga et al., 1994); namun sejauh ini tidak jelas apakah itu
merupakan patahan Kuarter aktif.

3. INVESTIGASI ANOMALI GEOMAGNETIK REGIONAL


Model MF70 lithospheric geomagnetik (http: //www.geomag.us/models/MF7.html) sebagaimana
disajikan pada Gambar 1 didasarkan pada data satelit CHAMP selama 4 tahun terakhir (dari bulan Mei
2007 hingga April 2010). Model ini menyelesaikan medan magnet kerak hingga harmonik derajat ke 133,
yang bersesuaian dengan skala panjang hingga sekitar 300 km.

Model tersebut mengungkapkan bahwa zona subduksi di sepanjang busur Sunda–Banda terutama
bertepatan dengan sabuk anomali negatif, dengan beberapa anomali yang positif di sepanjang utara
Jawa Timur dan utara LSI. Pulau Lombok berada pada daerah anomali intensitas tertinggi positif-negatif
ini.

Beberapa data magnetik dan aeromagnetik kelautan di sekitar LSI yang tersedia, termasuk data magnet
kelautan yang telah difilter dan diratakan dari GEODAS selama rentang waktu 1950–2004 (Quesnel
et al., 2009), data magnetik kelautan BGR (Müller et al., 2008) dan data aeromagnetik AIST dan CCOP
(Ishihara dan Kisimaoto, 2002). Khususnya, tim riset SINDBAD dari BGR telah melakukan survei magnetik
kelautan di atas cekungan Lombok pada tahun 2006 (Gambar 3a). Mereka memetakan anomali
magnetik dalam orde beberapa ratus nT, yang telah ditafsirkan sebagai pusat penyebaran laut tua
dengan usia mulai dari zaman Kapur awal sampai zaman Jurassic akhir (Müller et al., 2008). Hasilnya
telah digunakan lebih lanjut dalam kombinasi dengan pengukuran gravimetri dan profil refleksi seismik
multi-channel (MCS) untuk menyelidiki struktur dan geologi evolusi cekungan muka busur Lombok saat
ini (Lüschen et al., 2011).

Menimbang bahwa data magnetik berbasis survey yang dilakukan di daratan Pulau Lombok adalah
pelengkap yang cocok untuk data kelautan yang tersedia di Indonesia untuk dapat menyimpulkan model
tektonik dan geologi yang lebih komprehensif untuk wilayah ini, maka kami melakukan beberapa survey
geomagnetik pada beberapa bagian pulau Lombok (Zubaidah et al., 2005, 2010). Data yang pertama
diperoleh (tahun 2006) tidak cukup untuk memberikan kesimpulan implikasi geologi dan tektonik yang
baru. Oleh karenanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, kami melakukan survey baru
yang mencakup sebagian besar Pulau Lombok di tahun 2007/2008, dengan meningkatkan kualitas
akuisisi data dan pengolahan data. Dari tanggal 24 November 2007 hingga 3 April 2008, telah dilakukan
survey magnetik berbasis daratan terbaru untuk mengukur intensitas medan total di 177 stasiun dengan
grid yang hampir teratur berjarak 2,5 km x 2,5 km, termasuk pengukuran ulang di 55 stasiun yang
sebelumnya telah disurvey pada tahun 2006. Beberapa stasiun, bagaimanapun, harus dipindah ke
tempat-tempat sekitarnya yang lebih tenang secara magnetis untuk menghindarkan derau akibat
aktifitas manusia, terutama karena perubahan cepat pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Kami
menambahkan 31 stasiun baru sebagian besar di selatan pulau untuk dapat lebih menggambarkan pola
anomali magnetik di batas anomali antara bagian negatif dan positif. 91 stasiun baru lainnya
ditambahkan di bagian utara, mengingat anomali positif maksimum yang diduga ada kaitannya dengan
aktifitas seismik terbaru di area ini. Informasi lengkap tentang survei geomagnetik ini, termasuk
metodologi, pemrosesan data, dan kualitas data dapat ditemukan di Zubaidah (2010).

Gambar 4 menunjukkan hasil, yang menggambarkan struktur anomali magnet yang kuat berupa dua
pasangan kutub di bagian utara dan selatan pulau. Struktur pasangan kutub di bagian selatan pulau
sangat mirip dengan struktur pasangan kutub yang telah disimpulkan dari pengukuran pada tahun 2006,

3
tetapi sekarang dengan sedikit nilai yang lebih rendah. Anomali negatif memanjang ke arah selatan,
seperti yang diharapkan, sesuai dengan pola anomali magnetik umum sepanjang Palung Jawa. Selain itu,
terdapat puncak anomali positif yang bersebelahan di ujung utara pulau juga cocok dengan pola anomali
magnet umum di sepanjang zona Flores Thrust.

Pola transisi yang sangat halus ke data magnet yang tersedia di wilayah sekitarnya, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 memastikan keandalan pola anomali yang telah dihasilkan dalam survei kali
ini. Panel (a) dari gambar ini telah dihasilkan hanya dengan menggunakan data kelautan dan
aeromagnetik yang tersedia, sedangkan untuk panel (b) menggunakan data yang telah digabungkan
dengan data Lombok yang paling dapat diandalkan yang diperoleh dalam survey tahun 2007/2008, dan
untuk panel (c) digunakan data EMAG2 (Maus et al., 2009) yang digabungkan dengan data Lombok yang
paling dapat diandalkan yang diperoleh dalam survey 2007/2008. Mengingat jika hanya mengacu pada
panel (a), masih ada ketidakpastian yang besar untuk menggambarkan dengan jelas transisi antara skala
besar anomali negatif di selatan dan positif di utara; sedangkan beberapa garis magnetik yang menonjol
di atas pulau tersirat oleh data tambahan yang termasuk dalam panel (b) dan panel (c). Penggolongan ini
dapat menggarisbawahi unsur tektonik aktif di wilayah ini, seperti yang dibahas nanti.

4. PENENTUAN SUMBER MAGNET


Sebelum melakukan pemodelan, kita perlu mengevaluasi kemungkinan kedalaman dari sumber magnet
dengan menggunakan teknik power spectra. Mengacu pada Spector dan Grant (1970), distribusi
spektrum energi dari sumber magnet diberikan, dalam domain spektral kutub, oleh:

dimana < > menunjukkan nilai yang diharapkan,  = (u2 + v2) adalah frekuensi radial dan  = tan-1 (u/v)
adalah arah pada bidang spektral (u, v), M adalah momen magnetik per satuan kedalaman, h adalah
kedalaman struktur magnetik dan t adalah ketebalannya. S adalah faktor untuk ukuran horizontal dari
struktur; Rp dan RG adalah faktor yang masing-masing tergantung pada arah magnetisasi struktur dan
arah medan geomagnetik global. Walaupun asumsi yang mendasari sepenuhnya tidak berkorelasi
dengan distribusi magnetisasi mungkin tidak sepenuhnya benar (Pilkington dan Todoeschuck, 1990,
1993), namun kami menganggap metode ini sebagai perkiraan urutan pertama yang masuk akal.

Umumnya, berguna untuk melihat spektrum daya dalam satu dimensi atau bentuk profil daripada dalam
dua dimensi atau bentuk peta. Ini terutama karena kuantitas <S2> merupakan fungsi yang agak
bergelombang, ketika perpanjangan horizontal dari struktur magnet cukup besar (Spector dan Grant,
1970), dan kebergelombangan itu membuat ketidakteraturan tertentu pada kontur. Demikian pula,
mengambil nilai rata-rata dari Persamaan (1) terhadap nilai  dan mengasumsikan bahwa arah medan
geomagnetik tidak terlalu bervariasi (variasi deklinasi dan inklinasi kurang dari 20°) di area survey,
memberikan:

Parameter rata-rata memberikan efek yang sangat spesifik pada bentuk kurva power spektrum. Batas
bawah sumber magnet dinyatakan oleh puncak kurva power spektrum, posisi yang membentang untuk
bermigrasi ke frekuensi rendah dengan pertumbuhan ketebalan benda/objek. Dalam banyak kasus,
ketika perpanjangan kedalaman benda/objek geologi menjadi lebih besar, maka basisnya menjadi
hampir tak terlihat melalui spektranya. Namun, dimungkinkan untuk membatasi kedalaman ini dengan
4
memperpanjang wilayah geografis yang disurvey. Tanpa batasan pada dimensi area survey, adalah
mungkin untuk mencapai kedalaman isoterm Curie. Ini memungkinkan untuk memperkirakan ketebalan
bagian magnetik kerak bumi yang di luar itu batuan kehilangan sifat magnetnya karena nilai suhu yang
sangat tinggi. Dengan tumbuhnya minat terhadap sumber geothermal, metode spektral analisis telah
berhasil diterapkan untuk penentuan kedalaman Curie isotermal (Connard et al., 1983; Ravat et al.,
2007).

Seseorang tidak dapat memperoleh transformasi Fourier untuk panjang gelombang yang lebih besar
dari L/2, di mana L adalah karakteristik skala panjang daerah survey; akibatnya spektrum Fourier hanya
mencerminkan informasi yang berasal dari batuan pada kedalaman yang kurang dari L/2. Karena itu,
jelaslah bahwa jika batas bawah kedalaman sumber magnet nya adalah t > L/2, maka puncak spektral
tidak muncul pada kurva power spektrum, karena akan muncul pada frekuensi yang lebih rendah
dari frekuensi dasar ( = 1/L) dari peta. Jika kita berasumsi bahwa L kira-kira 100 km untuk Pulau
Lombok, maka kedalaman maksimum yang dapat disimpulkan dengan menggunakan analisis spektral
adalah 16 km, yang cukup untuk pemodelan sumber magnetik untuk kerak tipis pulau ini.

Spektrum energi yang ditunjukkan pada Gambar 5 diperoleh dengan menggunakan data hasil
pengukuran selama survey 2006 dan 2007. Bagian terbaik yang cocok secara linear dipilih dengan
menggunakan metode kuadrat terkecil. Hasil analisis spektral ini menunjukkan kedalaman sumber
magnetik dari kedalaman 2 km hingga 13 km, oleh karena itu kami memasukkan dalam model baik
sumber magnet yang ada di permukaan dan pada struktur yang lebih dalam.

5. PENGEMBANGAN MODEL MAGNETIK-GRAVITASI TERINTEGRASI


Model magnetik saja tidak cukup untuk memastikan keandalannya dalam menjelaskan struktur
kompleks geologi dan tektonik. Di sisi lain, data gravitasi membawa informasi geofisika independen
untuk model inversi, namun data tersebut umumnya jarang terdapat. Oleh karena itu, inversi medan
potensial yang menggunakan pengukuran gravitasi saja (atau magnetik saja) sering menghasilkan solusi
yang tidak unik. Ada kebutuhan untuk penggunaan kombinasi yang optimal antara data gravitasi dan
data magnetik, dan data geofisika lainnya yang tersedia, secara bersamaan untuk mengatasi kekurangan
data dan ketidak-khususan solusi inversi (Priezzhev, 2010).

Kami telah menghasilkan pemodelan maju gravitasi-magnetik yang baru, yang diperoleh dengan
menggunakan Pemodelan Profil GM-SYS, dengan algoritma Talwani (Talwani dan Heirtzler, 1964).
Karena kita sudah pernah melakukannya dan telah dijelaskan pula cara menghasilkan model magnetik
secara detail (Zubaidah et al., 2010; Zubaidah, 2010), dalam paper ini, kami terutama akan
menggambarkan pendekatan pemodelan gravitasi dan beberapa perbaikan yang telah dilakukan dalam
pemodelan magnetik.

Meskipun model gravitasi global, seperti Model Gravity GGM02-GRACE 02 (Tapley et al., 2005),
memberikan cakupan wilayah yang baik, namun resolusinya terbatas pada 300 km, jadi model tersebut
tidak cocok untuk studi regional. Karena itu, kami telah menggunakan data gravitasi lokal di Pulau
Lombok untuk dikembangkan pada model kami, yang diperoleh dengan mendigitalkan iso-contour yang
tersedia pada peta anomali Bouguer (Sukardi, 1979). Peta aslinya adalah hasil dari pengukuran gravitasi
pada 246 stasiun dan 2 stasiun pangkalan yang dilakukan selama 5 bulan di tahun 1974–1975.
Digitalisasi peta ini telah dilakukan dengan menginterpolasi peta aslinya dengan interval kontur 5 mGal
hingga 1 mGal, kemudian nilai anomali gravitasi pada setiap stasiun diperkirakan dengan menggunakan
kontur dan grid terdekat berdasarkan estimasi nilai ini. Topografi dengan resolusi 1 km berasal dari data
elevasi SRTM 30 Plus V4 (Becker et al., 2009).

5
Dalam analisis kami terhadap survey yang telah dilakukan sebelumnya, kami hanya mempertimbangkan
investigasi seismik dan geoacoustic di area terdekat Palung Jawa/Java Trench (Kopp dan Flueh, 2007). Di
sini, kami juga mempertimbangkan zona Flores Thrust di utara pulau Lombok (Silver et al., 1983;
McCaffrey dan Nabelek, 1984). Dua lempeng subduksi dimodelkan di bawah pulau Lombok, salah
satunya dengan sudut 30° yang berasal dari selatan (mewakili lempeng samudera Hindia yang telah
mapan dan diketahui) dan yang lainnya dengan sudut 6° dari utara (mewakili lempeng samudera Flores
yang dihipotesakan). Batimetri di sekitar pulau Lombok, Sumbawa dan Bali (Becker et al., 2009), seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 6, menunjukkan dengan jelas di mana lempengan samudera Flores di
wilayah busur belakang harus mulai menyusup.

Pusat gempa bumi digunakan untuk menentukan Zona Wadati-Benioff yang paling mungkin hingga
kedalaman 200 km, seperti ditunjukkan pada Gambar 7, telah digunakan untuk menyimpulkan posisi
yang tepat dari dua lempengan ini. Data yang diperoleh untuk segmen Lombok berada di garis lintang
7°N ke 12°N dan garis bujur 115,5°E hingga 117,5°E, sesuai dengan segmen batas lempeng yang
diusulkan untuk wilayah busur Sunda–Banda yang terungkap dari pengukuran GPS resolusi tinggi
terbaru (Nugroho et al., 2009). Dua sumber data gempa bumi untuk dua interval waktu yang berbeda
digunakan; yaitu 16 Februari 1963 - 24 Oktober 2009 dari Engdahl et al. (pers. comm., 2010) dan 26
Oktober 2009 – 23 September 2013 dari USGS (http://earthquake.usgs.gov).

Diskontinuitas Mohorovicˇic dari wilayah pulau ini dianggap pada kedalaman 15 km, berdasarkan data
seismik lepas pantai dari Hamilton (1979) dan Lüschen et al. (2011). “Root” dari pulau Lombok di bawah
Gunung Rinjani dan ‘anti-root’ di bawah cekungan busur balik telah dihitung dengan
mempertimbangkan prinsip isostasy sebagaimana hipotesis Airy (Fowler, 2005). Karena anomali
Bouguer digunakan, sesuai dengan panduan pengguna GM-SYS, kerapatan lapisan udara dalam kasus
kami harus diatur ke 2670 kg/m3 yang merupakan koreksi Bouguer yang diterapkan (Sukardi, 1979).

Kami kemudian menentukan struktur batuan permukaan juga kelanjutan bawah permukaannya
berdasarkan peta geologi lokal Gambar 2 (Mangga et al., 1994), menunjukkan juga lokasi dari dua model
profil dan beberapa batuan penting dan struktur sedimen yang dibahas dalam paper ini. Skala waktu
geologi baru yang dibuat oleh Ogg et al. (2008) telah dipertimbangkan dalam menentukan interval
waktu yang sesuai untuk usia setiap struktur.

Daftar lengkap batasan model dan referensinya diberikan pada Tabel 1. Parameter magnetik dan
gravitasi lengkap untuk model P1 dan P2 diberikan pada Tabel 2, dengan perincian dalam menentukan
parameter tersebut ada pada Zubaidah (2010). Model baru kami untuk P1 dalam Gambar 8 adalah
penyempurnaan yang cukup mendasar dari model kami sebelumnya (Zubaidah et al., 2010), yang
didasarkan pada lebih sedikit data. Kami juga membangun model baru untuk wilayah utara (P2 pada
Gambar 9), sebagai dijelaskan berikut ini.

Dua lava tersier dari Gunung Rinjani yang diendapkan secara berurutan (TQp dan TQb) dimodelkan
dengan memberikan kecenderungan umur mereka yang paling sesuai, kompatibel dengan skala waktu
polaritas geomagnetik yang diusulkan oleh Cande dan Kent (1995). Perubahan polaritas yang sering
terjadi selama Oligosen akhir ke periode Holocene awal (28-0,01 juta tahun yang lalu) diakomodasi
dengan memberikan polaritas terbalik untuk lava Tersier pertama (TQp) dan struktur lama lainnya.
Kecenderungan inklinasi nol diusulkan untuk terjadi pada periode terakhir Pliosen (pada sekitar 1,81
Ma), seperti yang tercatat pada lava Tersier kedua (TQb). Ini dapat saja berhubungan dengan awal
pembalikan polaritas yang terjadi antara tahap Gelasian dan Calabrian dalam skala waktu geologi Ogg et

6
al. (2008). Setelah tahap transisi di atas, model magnetik kami mengasumsikan polaritas normal saat ini
untuk lava Kuarter (Qvl dan Qhv) dan dua intrusi magmatik terbaru (# 2 dan # 3). Tiga intrusi magmatik
diusulkan sebagai mekanisme pengendali untuk deposisi lava dan saluran magmatik, dimodelkan
langsung di bawah intrusi ini. Anomali nilai-b yang tinggi, menentukan jumlah relatif gempa bumi yang
berbeda-beda magnitudenya (Gutenberg dan Richter, 1945), menunjukkan lapisan mantel yang meleleh
sebagian di kedalaman 90-180 km tepat di bawah Gunung Rinjani (Wandono et al., 2004). Area ini
dianggap sebagai saluran magmatik dalam model kami dan diberi nilai kerapatan lebih rendah 10% dari
lapisan mantel biasa.

Kerak samudera lautan Flores dimodelkan sebagai material yang lebih padat dari batuan dasar, sehingga
memungkinkan inisiasi proses subduksi. Pembentukan eclogite pada kerak samudera yang menunjam
(yaitu perubahan fase dari eclogite menjadi basalt) juga pembentukan endapan mantel terserpentinisasi
di atasnya adalah mungkin ketika pelat subduksi mencapai kedalaman 35 km (Ruff dan Kanamori, 1983).
Oleh karena itu, di bawah kedalaman 35 km, kami memodelkan lempengan eclogite sebagai material
yang sangat padat yang ditindih oleh endapan mantel terserpentinisasi dengan kepadatan yang sangat
rendah (Blakely et al., 2005).

Panjangnya lempeng yang menunjam dipertimbangkan dengan menggunakan kecepatan konvergensi


lempeng di sepanjang zona Flores Thrust, diperkirakan sekitar 22 mm/tahun relatif terhadap busur
belakang atau paparan Sunda yang stabil (Harris et al., 2009) dari hasil pengukuran GPS resolusi tinggi
yang terbaru (Nugroho et al., 2009). Jika proses subduksi sudah dimulai sejak 3 juta tahun yang lalu
(Silver et al., 1983, 1986), seharusnya lempeng yang menunjam saat ini telah mencapai panjang sekitar
66 km.

Potensi panas bumi di bagian utara Lombok dimanifestasikan oleh mata air panas dan dingin (lingkaran
merah dan biru pada Gambar 2). Kami mengakomodir potensi ini dengan menempatkan reservoir pada
beberapa struktur lava, dimana proses demagnetisasi dianggap terjadi (yaitu nilai suseptibilitas dan nilai
kemagnetannya berkurang hingga mencapai nilai yang sangat rendah). Mengacu pada klasifikasi yang
diberikan oleh Hochstein dan Soengkono (1997), sumber geothermal Gunung Rinjani termasuk pola
kompleks tipe C, di mana data anomali resistivitas rendah dapat digunakan untuk melokalisasi area
demagnetisasi. Di sini kami menggunakan batas-batas untuk daerah resistivitas rendah yang diperoleh
dari Hadi et al. (2007). Akhirnya, patahan-patahan utama yang terdapat pada peta geologi rinci untuk
bagian utara Lombok (Sundhoro et al., 2000) telah digunakan untuk menunjukkan lapisan-lapisan pada
stratigrafi dari model P2 yang diusulkan.

6. HASIL
Dalam P1 (Gambar 8) formasi batuan intrusif dalam kombinasi dengan batuan vulkanik dianggap sebagai
sumber utama anomali magnetik. Intrusi ini mungkin terkait dengan proses subduksi dari palung Jawa.
Intrusi tersebut menyebabkan beberapa diskontinuitas dalam struktur geologi lokal dan membentuk
patahan normal di bawah permukaan, seperti yang telah dibahas sebelumnya oleh Zubaidah et al.
(2010). Profil P1 menunjukkan bahwa benda/objek intrusif telah sangat menyebabkan hancurnya
batuan vulkanik dan membentuk patahan-patahan normal yang kompleks yang mengarah pada
terbentuknya struktur horst dan graben. Patahan-patahan ini mengikuti jalur di mana intrusi
bersentuhan langsung dengan batuan vulkanik, dimana yang paling intens terletak persis sesuai dengan
patahan yang telah disimpulkan dalam profil P1-06 oleh Zubaidah et al. (2010), yang dianggap sebagai
patahan normal utama.

7
Riak-riak magnetik di dekat ujung selatan P1 menunjukkan beberapa nilai magnetisasi positif yang lebih
tinggi (Gambar 4), yang menawarkan kemungkinan untuk mempertimbangkan bagian ini sebagai
struktur vulkanik yang terpisah. Ini berarti bahwa patahan normal bawah permukaan sekunder mungkin
ditemukan di antara dua struktur vulkanik yang berbeda ini. Kami menganggap bahwa sebuah
gempabumi yang kuat yang terjadi di dekatnya mungkin akan mengaktifkan kembali baik patahan
primer maupun patahan sekunder ini. Perhatikan bahwa batas antara bagian anomali magnetik negatif
dan positif (garis putus-putus merah di sebelah P1-06/Profil P1 pada Gambar 4), juga dianggap sebagai
arah kelurusan dari patahan yang dicurigai pada kedua model, yang sejajar dengan kelurusan terdekat
yang tampak pada permukaan (garis putus-putus merah di sebelah profil P1-06/P1 pada Gambar 2).

Intrusi magmatik serta lava Tersier dan Kuarter, dan lapisan endapan terserpentinisasi dalam P2 dapat
diasumsikan sebagai sumber utama anomali magnetik di bagian utara pulau, seperti yang digambarkan
pada Gambar 9. Subduksi pada palung Jawa menginisiasi naiknya magma di bagian selatan proto pulau
Lombok pada sekitar 10 juta tahun yang lalu. Sekitar 5,33 juta tahun yang lalu, subduksi di bagian
Selatan ini menjadi lebih dalam dan palung bergerak lebih jauh ke Selatan dari pulau Lombok,
sementara saluran magmatik aktif bergeser lebih ke utara. Inisiasi dari subduksi baru di utara membuat
magma yang terus-menerus naik selama seluruh urutan geologis, karena subduksi dari kedua sisi
tersebut menjadi semakin dalam dan sekaligus mengangkat magma.

Lava-lava Tersier yang diendapkan pada pegunungan berapi aktif Rinjani berkontribusi terhadap anomali
magnetik, karena magnetisasi remanen yang lebih tinggi dan kontras inklinasinya terhadap lava-lava
Kuarter yang lebih muda. Di sisi lain, anomali gravitasi sepanjang profil ini dapat menunjukkan saluran
magmatik aktif di bawah intrusi lava ini, karena kepadatannya yang lebih tinggi, yang sangat kontras
dengan kepadatan batuan induk yang lebih rendah dan kepadatan lava permukaan berupa batu apung
yang sangat rendah.

Kami telah memasukkan kerak samudera Flores, dan endapan mantel yang terserpentinisasi dalam
model P2, mengingat keduanya adalah bahan dengan magnetisasi tinggi tetapi dengan inklinasi yang
sangat berbeda karena perbedaan besar dalam umur mereka. Meskipun umur persisnya lempengan
samudera Flores tidak diketahui, namun kami telah mempertimbangkan bahwa lempeng tersebut mulai
menunjam jauh sebelum terbentuknya endapan mantel yang terserpentinisasi.

Tentu saja, ambiguitas dalam pemodelan yang diterapkan harus dinyatakan. Fakta bahwa tidak
tersedianya data struktur kerak dari hasil survei seismik menjadikan kemungkinan banyak model
juga akan sesuai dengan data. Satu pertanyaan penting adalah seberapa besarkah keberadaan
lempengan samudera Flores diperlukan oleh data yang diberikan akan menjadi batasan/constraint yang
tersedia.

Jika proses subduksi kerak samudera Flores tidak digunakan dalam model, seperti yang diuji pada
Gambar 10, terlihat bahwa kesetimbangan respon gravitasi cukup terganggu dan hasil pengukurannya
tidak ada lagi yang pas, yang menghasilkan kesalahan RMS yang sangat besar (lebih dari 50%
dari anomali gaya berat dari puncak ke puncak). Karena itu model kami mendukung keberadaan kerak
samudera Flores yang menunjam di utara Pulau Lombok.

7. DISKUSI
Dalam mengkarakterisasi zona subduksi yang telah matang, Kim et al. (2009) telah menggunakan
keberadaan endapan mantel terserpentinisasi sebagai salah satu dari empat kemungkinan penjelasan
untuk anomali gravitasi yang lebar dan rendah. Hacker et al. (2003) telah menggunakan mantel

8
terserpentinisasi untuk menggambarkan subduksi seismik aktif. Dengan menggunakan model magnetik-
gravitasi yang terintegrasi, kami menyarankan bahwa subduksi di daerah busur belakang (zona Flores
Thrust) adalah sebuah subduksi yang telah matang, yang ditandai dengan anomali gravimetri dan
magnetik yang besar dan terkait dengan keberadaan material terserpentinisasi.

Dengan mengikutsertakan endapan mantel terserpentinisasi dalam model kami, dapat pula
memberikan petunjuk tentang asal-usul magma ankaramitic di Pulau Lombok. Elburg et al. (2007)
menyelidiki mengapa kandungan air yang diukur dalam struktur lava primitif di bagian paling utara Pulau
Lombok itu sangat rendah untuk suatu magma yang berhubungan dengan sebuah busur. Karena umur
lava ankaramitic ini tidak diketahui secara pasti, maka Lava Tersier tertua yang kami modelkan dapat
dikaitkan dengan lava 'kering' yang dipertanyakan ini. Dalam model kami, lava ini telah diendapkan
sebelum terbentuknya endapan mantel terserpentinisasi di bagian utara pulau (dengan kandungan air
yang tinggi), sedangkan lava normal lainnya hanya diendapkan setelah terbentuknya endapan mantel
terserpentinisasi.

Data gempa yang tersedia di wilayah ini dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas seismik saat ini
dan membuat kesimpulan tentatif tentang kemajuan subduksi. Gambar 11 menunjukkan sejarah gempa
bumi dangkal (hingga kedalaman 60 km) di wilayah Lombok, dengan magnitudo mulai dari 4,0 hingga
6,6 (Engdahl et al., pers. comm., 2010; http://earthquake.usgs.gov). Gempa bumi dikelompokkan
berdasarkan garis lintang menjadi dua daerah subduksi di Palung Jawa dan zona Flores Thrust,
sebagaimana pada Gambar 7. Aktifitas subduksi di kedua wilayah muncul dengan kecenderungan umum
yang serupa; namun tampaknya mereka menjadi lebih aktif dalam beberapa tahun terakhir, melibatkan
lebih banyak gempa bumi di zona Flores Thrust jika dibandingkan dengan di zona Palung Jawa sejak
tahun 2005. Peningkatan aktivitas seismik ini mungkin merupakan indikasi subduksi progresif dari Flores
Thrust. Energi berlimpah yang dilepaskan dari gempa Mega Thrust Sumatera (M 9,2) yang terjadi pada
akhir 2004 mungkin memicu peningkatan aktivitas dari zona Flores Thrust.

Di zona subduksi umum, Stern (2004) telah menyarankan bahwa fase bayi sebuah busur dapat berlanjut
selama 5–10 juta tahun setelah inisiasi subduksi, yakni sebelum subduksi yang belum matang mencapai
kedalaman ambang (60–135 km) untuk genesis busur magma yang matang. Gurnis et al. (2004)
menyimpulkan dengan mengevaluasi evolusi geologis dari palung Izu-Bonin-Mariana, bahwa waktu yang
dibutuhkan palung ini sekitar 10–15 juta tahun untuk menjadi sebuah subduksi yang matang; sebuah
jangka waktu yang lebih lama sebagai zona subduksi bayi. Namun, subduksi progresif yang cepat dari
zona Flores Thrust selama dekade terakhir tampaknya masuk akal, karena pada umumnya busur di
Indonesia adalah berbeda dari busur yang umum lainnya. Alih-alih melakukan perkembangan yang
terus-menerus, busur-busr ini melakukan pertumbuhan secara staccato pada masa Kenozoik (Hall and
Smyth, 2008). Busur Sunda adalah contoh yang bagus, di mana subduksi di sepanjang Sumatera dan
bagian paling barat pulau Jawa berhenti pada zaman Kapur akhir, dan diteruskan ke arah Utara (Meratus
di Kalimantan). Di zaman Eosen awal, subduksi di Palung Jawa kembali aktif dan berevolusi hingga saat
ini, membentuk busur vulkanik di Pegunungan Selatan yang membentang sepanjang pulau Jawa. Sejak
saat itulah terjadi subduksi kerak Samudera Hindia di bawah busur Sunda secara terus menerus.

Potensi penurunan anomali magnetik secara cepat di Pulau Lombok telah tercatat dari perbedaan dalam
hasil pengukuran intensitas magnetik antara dua survey yang dilakukan pada tahun 2006 dan tahun
2007/2008. Perbedaan-perbedaan ini juga dapat dibahas dalam hal piezomagnetic efek untuk
mengajukan sebuah patahan struktural yang melintasi pulau ini, karena perbedaan yang ada melebihi
estimasi teoritis (Zubaidah, 2010). Kemudian, tekanan yang sangat kuat yang disebabkan oleh tekanan
tektonik regional bisa menyebabkan peningkatan permeabilitas magnetik batuan bawah permukaan,

9
sehingga magnetisasinya berkurang. Kondisi spesifik magnetisasi kerak yang tidak homogen diperlukan
untuk meningkatkan medan piezomagnetik, yang dapat diselidiki dengan metode elemen volume
(Stacey, 1964). Dengan menerapkan metode ini, Oshiman (1990, dalam Sasai (1994)) menunjukkan
bahwa suatu peningkatan efek piezomagnetik yang kuat diharapkan terjadi di dekat diskontinuitas
magnetisasi yang dekat dengan permukaan Bumi. Diskontinuitas kemagnetan ini merupakan pertanda
adanya sebuah diskontinuitas struktural.

Sementara itu, batas struktural definitif atas wilayah ini telah diperdebatkan sejak lama (Wallace, 1869;
Audley-Charles, 1975, 2004; Genrich et al., 1996; Pubellier et al., 2008; Roosmawati dan Harris, 2009;
Nugroho et al., 2009). Garis pada inset Gambar 1 merangkum semua batas struktural yang diusulkan di
wilayah ini. Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, mensintesis peristiwa-peristiwa tektonik di
seluruh Asia dan bagian-bagian dari Eropa Timur (Pubellier et al., 2008), mendukung sepenuhnya
gagasan adanya diskontinuitas struktural di Pulau Lombok. Dua patahan aktif strike-slip Kuarter,
melintasi tepi barat LSI diusulkan: salah satunya di Pulau Lombok dan yang lain berakhir di Pulau
Sumbawa (digambarkan sebagai garis merah pada inset Gambar 1).

Selanjutnya, Fleury et al. (2009) secara khusus mempelajari Pulau Sumba (di sebelah Tenggara Pulau
Lombok) dan mengusulkannya sebagai sebuah ‘‘Asperity’’ di wilayah ini, sebagai tempat patahan-
patahan utama macet atau terkunci. Mereka telah menyimpulkan bahwa Pulau Lombok, bersama
dengan (bagian barat dari) Pulau Sumbawa dan Pulau Bali, bertindak sebagai 'pengunci' untuk proses
subduksi yang berlangsung saat ini. Ini berarti bahwa Pulau Lombok akan sedikit terdeformasi untuk
mengakomodasi subduksi yang sedang berlangsung pada kedua sisinya. Namun, alih-alih menganalisa
dua patahan struktural aktif, para penulis makalah tersebut baru-baru ini menekankan hanya pada satu
patahan yang melintasi Pulau Sumbawa (Pubellier, komunikasi pribadi). Adapun patahan yang melintasi
Pulau Lombok belum dapat diidentifikasi sejauh ini sebagai patahan aktif.

Studi terbaru lainnya yang berfokus pada Cekungan Lombok (Lüschen et al., 2011) menunjukkan sebuah
transisi antara rezim subduksi Busur Sunda di wilayah Barat dan rezim tubrukan Busur Banda di wilayah
Timur. Lokasi yang disarankan untuk transisi ini (lihat garis hitam pada inset Gambar 1) hampir
bertepatan dengan patahan struktural yang disarankan oleh Pubellier et al. (2008). Sangatlah mungkin
bahwa bagian-bagian transisi yang berada di lepas pantai ini menjadi dua patahan struktural, yang
melintasi Pulau Lombok dan Sumbawa.

8. KESIMPULAN DAN KOMENTAR


Pengukuran magnetik yang dilakukan pada 2007/2008 memberikan peta anomali magnetik rincian pada
sebagian besar Pulau Lombok, yang melengkapi hasil penelitian sebelumnya (Zubaidah et al., 2010).
Hasil-hasil yang diperoleh dalam survey kali ini cocok dengan hasil yang diperoleh dari satelit,
aeromagnetik, dan platform laut, yang memberikan gambaran jauh lebih rinci mengenai anomali
magnetik yang kuat di pulau Lombok, dengan pola umum anomali negatif-positif yang bersebelahan.
Analisis power spektral menegaskan bahwa sumber anomali magnet berada pada kedalaman 2 hingga
13 km, tidak hanya mencakup sumber pada permukaan namun juga struktur yang lebih dalam.

Kami mengembangkan model magnetik-gravitasi 2D terintegrasi yang baru, yang memperhitungkan


semua batasan/constraint geologi dan tektonik yang tersedia dan menjelaskan datanya dengan baik.
Struktur geologi dari Pulau Lombok dapat dibagi menjadi dua bagian utama yang berbeda umur secara
berurutan; bagian yang lebih tua di selatan berumur Oligosen akhir sampai Miosen awal (28–10 juta
tahun yang lalu) dan yang lebih muda di utara adalah dari Pliosen awal (5,33 juta tahun yang lalu) hingga
saat ini, dengan dua patahan normal Kuarter besar di bagian selatan yang bisa diaktifkan kembali oleh
gempa bumi kuat di dekatnya. Kami mengusulkan bahwa subduksi di daerah busur belakang (zona
10
Flores Thrust) sebagai sebuah subduksi yang matang dan aktif, dan meluas sampai ke barat laut Pulau
Lombok.

Model medan potensial memang tidak pernah unik, dan khususnya karena kurangnya data struktur
kerak, informasi dari survey seismik sebagai model alternatif mungkin juga dapat menjelaskan data.
Namun, kami menemukan bahwa sulit untuk menyesuaikan data kami tanpa struktur subduksi baru ini.
Peningkatan aktivitas seismik (misalnya jumlah gempa bumi dangkal) di wilayah utara selama 2005–
2008 mungkin mengindikasikan kecenderungan subduksi progresif dari Flores Thrust. Sebuah penurunan
cepat yang tampak jelas dari nilai anomali magnetik regional di Utara, antara dua survei berturut-turut,
mungkin terkait dengan subduksi progresif di daerah busur belakang, tetapi besarnya nilai-nilai sulit
dipahami sepenuhnya saat ini.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki perkembangan anomali magnetik dan untuk
memperluas profil yang dimodelkan lebih lanjut ke arah Utara pulau Lombok dengan menggunakan data
aero magnet dan/atau satelit dan data gravitasi. Studi-studi ini penting untuk memperoleh penilaian
yang lebih baik dari potensi bahaya gempa yang ditimbulkan oleh zona Flores Thrust.

Kami merencanakan studi magnetik lebih lanjut untuk berkontribusi dalam penilaian bahaya gempa
jangka menengah dan jangka panjang untuk wilayah ini. Pengukuran geomagnetik secara kontinu dari
stasiun rekaman yang akan didirikan di bagian utara pulau (berlabel NRB pada Gambar 4) akan secara
teratur dibandingkan dengan data pada observatorium geomagnetik baru yang akan didirikan di bagian
selatan pulau ini (berlabel LOK pada Gambar 4). Untuk tujuan jangka panjang, survei regional rinci juga
diperlukan di pulau tetangga, dan sinergi dengan pengukuran gravitasi yang tersedia dari misi satelit
GOCE dan sinergi dengan pengukuran magnetis dari konstelasi Swarm yang akan datang juga sangat
diharapkan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada dua reviewer anonim, Ian Metcalfe, Fabrizio Storti, dan Robert
Hall untuk komentar yang membangun. Sri Widiyantoro, Manuel Pubellier, Awang Satyana, Asnawir
Nasution, dan Widya Utama telah melakukan diskusi yang bermanfaat. Dukungan yang tak pernah
berakhir dari keluarga kami, tim survei geomagnetik dari Jurusan Teknik Elektro Universitas Mataram
dan Lombok masyarakat sangat kami hargai. Dukungan keuangan untuk proyek ini sebagian berasal dari
DAAD dan DIKTI.

LAMPIRAN A. DATA TAMBAHAN


Tambahan data yang terkait dengan artikel ini dapat ditemukan, di versi online, di
http://dx.doi.org/10.1016/j.jseaes.2013.11.013. Data ini termasuk peta Google untuk area yang paling
penting yang dijelaskan dalam artikel ini.

11
Gambar 1. Seting tektonik umum wilayah Indonesia yang digambarkan pada peta intensitas medan magnet litosfer
yang diperoleh dari model MF7 (http://www.geomag.us/models/MF7.html). Wilayah Kepulauan Sunda Kecil (LSI),
dibatasi dengan kotak putih, terletak pada pertemuan tiga lempeng: Benua Eurasia (EUR) – Lautan Hindia (IND) -
Benua Australia (AUS), dengan subduksi yang hampir tegak lurus dari lempeng Indo - Australia di bawah lempeng
Eurasia di sepanjang Palung Jawa (Hamilton, 1979). LSI terletak di sepanjang daerah transisi antara busur Sunda –
Banda (Müller et al., 2008; Lüschen et al., 2011), diapit oleh Palung Java dan zona Flores Thrust (Silver et al., 1983,
1986). Wilayah ini, khususnya Pulau Lombok (pulau kedua dari kiri dalam kotak inset putih), terletak di zona
anomali magnetik intensitas tertinggi di Indonesia (Zubaidah et al., 2010). PSP adalah lempeng lautan samudera
Pasifik-Filipina. Data gunung berapi berasal dari Smithsonian Institution Global Volcanism Program
(http://www.volcano.si.edu). Batas lempeng (kurva tebal) dan zona subduksi (kurva biru tebal) berasal dari Bird
(2003), sedangkan tingkat konvergensi berasal dari NNRMORVEL56 (Argus et al., 2011). Garis putih tebal adalah
perpanjangan dari Flores Thrust seperti yang diusulkan dalam penelitian ini. Ringkasan semua usulan batas-batas
struktural yang melintasi wilayah LSI, berdasarkan studi oleh: (a) Wallace (1869), (b) Audley-Charles (1975, 2004),
(c1 dan c2) Genrich et al. (1996), (d1 dan d2) Pubellier et al. (2008), (e) Roosmawati dan Harris (2009); dan (f1, f2
dan f3) Nugroho et al. (2009). Kurva tebal adalah batas lempeng dan daerah subduksi yang berwarna biru,
sedangkan garis putih tebal adalah perpanjangan dari Flores Thrust seperti yang diusulkan dalam penelitian ini.
Dua patahan aktif Kuarter (garis merah), salah satunya melintasi Pulau Lombok, diusulkan oleh Pubellier et al.
(2008). Garis hitam menunjukkan perkiraan diskontinuitas daerah transisi dari zona subduksi Busur Sunda ke zona
tumbukan Busur Banda, seperti yang disarankan oleh Lüschen et al. (2011).
12
Gambar 2. Peta geologi Pulau Lombok (Mangga et al., 1994). Struktur geologi utama yang disebutkan dalam
pemodelan diberi label dengan huruf hijau (lihat Tabel 1 untuk penjelasan). Garis biru menunjukkan profil
magnetik yang dipelajari (P1 dan P2), sedangkan garis hitam (P1-06) adalah jejak dari profil magnetik yang telah
disimpulkan dari pengukuran sebelumnya pada tahun 2006 (Zubaidah et al., 2010). Garis putus-putus merah
adalah arah patahan yang dimodelkan, dengan Fp sebagai patahan primer dan Fs sebagai patahan sekunder, yang
sejajar dengan kelurusan yang tampak pada permukaan (garis abu-abu). Segitiga terbalik merah dan biru adalah
puncak maxima dan minima anomali magnetik dari masing-masing profil. Lingkaran merah dan biru mewakili mata
air panas dan dingin, sementara segitiga merah besar menggambarkan posisi puncak Gunung Rinjani (3726 m).

13
Gambar 3. Perbandingan anomali magnetik pada Pulau Lombok dan sekitarnya, dihasilkan dari (a) semua data
kelautan dan aeromagnetik yang tersedia (Quesnel et al., 2009; Müller et al., 2008; Ishihara dan Kisimaoto, 2002),
(b) kumpulan data yang sama dikombinasikan dengan data yang paling dapat diandalkan dari survei geomagnet di
Pulau Lombok tahun 2007/2008, dan (c) kumpulan data EMAG2 (Maus et al., 2009) dikombinasikan dengan data
survei di Pulau Lombok tahun 2007/2008 yang paling dapat diandalkan. Area kosong di atas lautan atau pulau
menunjukkan bahwa tidak ada data yang ersedia. Elemen tektonik paling aktif di wilayah ini ditandai, yaitu Palung
Jawa (garis hitam penuh di Selatan), zona Flores Thrust dan dugaannya kelanjutannya (garis hitam penuh dan garis
putus-putus di Utara), dan Gunung Rinjani (segitiga kuning).

14
Gambar 4. Peta anomali medan magnetik total di Pulau Lombok, diperoleh dari survey pada tahun 2007/2008.
Stasiun survey ditampilkan: dengan kualitas yang baik (titik hitam) dan kualitas menengah (segitiga biru). Tanda
silang hitam mewakili stasiun dengan perbedaan nilai anomali yang besar (lebih dari 100 nT) bila dibandingkan
dengan hasil survey sebelumnya pada tahun 2006, oleh karena itu tidak digunakan untuk pemetaan. Garis biru
menunjukkan profil magnetik yang dipelajari (P1 dan P2), sedangkan garis hitam (P1-06) adalah jejak dari profil
magnetik yang telah disimpulkan dari hasil pengukuran pada tahun 2006 (Zubaidah et al., 2010). Garis putus-putus
merah adalah arah patahan yang dimodelkan, dengan Fp sebagai patahan primer dan Fs sebagai patahan
sekunder, yang sejajar dengan kelurusan yang tampak pada permukaan (garis abu-abu). Lingkaran merah dan biru
merupakan mata air panas dan dingin, sedangkan segitiga merah besar menggambarkan posisi puncak Gunung
Rinjani (3726 m). LOK adalah lokasi baru dari Observatorium Geomagnetik Lombok (dalam pembangunan),
sementara NRB adalah lokasi stasiun geomagnetik di ‘Nurul Bayan’ (dalam perencanaan).

15
Gambar 5. Analisis power spektrum anomali magnetik di Pulau Lombok. Kedalaman sumber magnetik diperkirakan
dalam kisaran 2–13 km. Segmen garis lurus berwarna adalah perkiraan orde pertama dari spektrum yang
digunakan untuk menghitung kedalaman sumber magnetik, berdasarkan metode Spector dan Grant (1970).

Gambar 6. Batimetri di sekitar pulau Lombok, Sumbawa dan Bali (Becker et al., 2009). Tampilan 3D di sebelah
kanan menunjukkan dengan jelas di mana lempengan samudera Flores di daerah busur belakang harus mulai
menunjam, dengan skala jarak yang tepat dapat diambil dari panel sebelah kiri.

16
Gambar 7. Penampang longitudinal pusat gempa untuk segmen Lombok, hingga kedalaman 200 km dari tahun
1963 hingga 2013 (Engdahl et al., pers. Comm., 2010; http://earthquake.usgs.gov). Ukuran lingkaran mewakili
magnitudo, dengan rentang besarnya diberikan dalam tiga warna berbeda. Posisi lempeng samudera Hindia yang
mapan dan lempeng samudera Flores yang dihipotesakan diperkirakan dari zona Wadati–Benioff yang paling
mungkin.

17
Gambar 8. Perbandingan antara model dan data hasil survey untuk profil P1 di Lombok bagian selatan, yang
mengasumsikan batuan beku intrusif dan batuan vulkanik sebagai sumber utama anomali magnetik dan anomali
gravitasi. Kepadatan setiap struktur diberikan dalam kg/m3.

18
Gambar 9. Perbandingan antara model dan data hasil survey untuk profil P2 di Lombok bagian utara,
yang mengasumsikan intrusi magmatik serta lava Tersier dan Kuarter, dan endapan mantel terserpentinisasi
sebagai sumber utama anomali magnetik; sedangkan saluran magmatik dan subduksi kerak samudera Flores
adalah sumber utama anomali gravitasi. Kepadatan masing-masing struktur diberikan dalam kg/m3.

19
Gambar 10. Respon magnetik dan gravitasi model P2 tanpa kontribusi dari kerak samudera Flores Thrust yang
menunjam. Tidak ada perubahan signifikan dalam respon magnetik, tetapi keseimbangan respon gravitasi cukup
terganggu dan tidak lagi sesuai dengan data hasil survey. Kepadatan setiap struktur adalah sama seperti pada
Gambar 9.

20
Gambar 11. Sejarah gempa dangkal (hingga kedalaman 60 km) di wilayah Lombok (dari 7°N hingga 12°N; 115,5°E
hingga 117,5°E) yang terjadi dari tahun 1963 hingga 2013, dengan magnitudo mulai dari 4,0 hingga 6,6 (Engdahl et
al. pers. comm., 2010; http://earthquake.usgs.gov). Gempa bumi tersebut dikelompokkan berdasarkan garis
lintang menjadi dua daerah subduksi, yakni di Palung Jawa (biru) dan di zona Flores Thrust (merah), seperti pada
Gambar 7. Kedua subduksi menunjukkan perilaku hampir sama dan menjadi lebih aktif dalam beberapa tahun
terakhir, yang melibatkan lebih banyak gempa bumi dari Flores Thrust daripada di wilayah Palung Jawa sejak tahun
2005. Garis hitam putus-putus adalah jumlah gempa bumi di zona Flores Thrust sebagai persentase dari jumlah
total gempa bumi, menunjukkan kecenderungan yang meningkat tajam di tahun-tahun terakhir.

21
REFERENSI

Argus, D.F., Gordon, R.G., DeMets, C., 2011. Geologically current motion of 56 plates relative to the no-net-
rotation reference frame. Geochem. Geophys. Geosyst. 12 (11), Q11001.
Audley-Charles, M.G., 1975. The Sumba fracture: a major discontinuity between eastern and western Indonesia.
Tectonophysics 26 (3–4), 213–228.
Audley-Charles, M.G., 2004. Ocean trench blocked and obliterated by Banda forearc collision with Australian
proximal continental slope. Tectonophysics 389, 65–79.
Becker, J.J., Sandwell, D.T., Smith, W.H.F., Braud, J., Binder, B., Depner, J., Fabre, D., Factor, J., Ingalls, S., Kim, S.-H.,
Ladner, R., Marks, K., Nelson, S., Pharaoh, A., Trimmer, R., Von Rosenberg, J., Wallace, G., Weatherall, P.,
2009. Global bathymetry and elevation data at 30 arc seconds resolution: SRTM30_PLUS. Mar. Geodesy 32
(4), 355–371.
Bird, P., 2003. An updated digital model of plate boundaries. Geochem. Geophys. Geosyst. 4 (3), 1027.
Blakely, R.J., Brocher, T.M., Wells, R.E., 2005. Subduction-zone magnetic anomalies and implications for hydrated
forearc mantle. Geology 33 (6), 445–448.
Cande, S.C., Kent, D.V., 1995. Revised calibration of the geomagnetic polarity timescale for the Late Cretaceous and
Cenozoic. J. Geophys. Res. 100 (B4), 6093–6095.
Connard, G., Couch, R., Gemperle, M., 1983. Analysis of aeromagnetic measurements from the Cascade range in
Central Oregon. Geophysics 48, 376–390.
Elburg, M.A., Kamenetsky, V.S., Foden, J.D., Sobolev, A., 2007. The origin of medium-K ankaramitic arc magmas
from Lombok (Sunda arc, Indonesia): mineral and melt inclusion evidence. Chem. Geol. 240, 260–279.
Engdahl, E.R., van der Hilst, R.D., Buland, R.P., 1998. Global teleseismic earthquake relocation with improved travel
times and procedures for depth determination. Bull. Seismol. Soc. Am. 88, 722–743.
Engdahl, E.R., Villasenor, A., DeShon, H.R., Thurber, C.H., 2007. Teleseismic relocation and assessment of seismicity
(1918–2005) in the region of the 2004 Mw 9.0 Sumatra–Andaman and 2005 Mw 8.6 Nias island great
earthquakes. Bull. Seismol. Soc. Am. 97, S43–S61.
Fleury, J.M., Pubellier, M., de Urreiztieta, M., 2009. Structural expression of forearc crust uplift due to subducting
asperity. Lithos 113 (1–2), 318–330.
Fowler, C.M.R., 2005. The Solid Earth, second ed. Cambridge University Press, Cambridge, ISBN: 978-0-521-89307-
7.
Genrich, J.F., Bock, Y., McCaffrey, R., Calais, E., Stevens, C.W., Subarya, C., 1996. Accretion of the southern Banda
Arc to the Australian plate margin determined by Global Positioning System measurements. Tectonics 15,
288–295.
Gripp, A.E., Gordon, R.G., 1990. Current plate velocities relative to the hotspots incorporating the NUVEL-1 global
plate motion model. Geophys. Res. Lett. 17 (8), 1109–1112.
Gurnis, M., Hall, C., Lavier, L., 2004. Evolving force balance during incipient subduction. Geochem. Geophys.
Geosyst. 5 (7), Q07001.
Gutenberg, B., Richter, C.F., 1945. Seismicity of the Earth. Bull. Seismol. Soc. Am. 56, 603–668.
Hacker, B.R., Peacock, S.M., Abers, G.A., Holloway, S.D., 2003. Subduction factory, 2 Are intermediate-depth
earthquakes in subducting slabs linked to metamorphic dehydration reactions? J. Geophys. Res. 108 (B1),
2030.
Hadi, M.N., Yushantarti, A., Suhanto, E., Sundhoro, H., 2007. Survei panas bumi terpadu (geologi, geokimia dan
geofisika) daerah Sembalun, Kabupaten Lombok Timur – NTB. Pemaparan hasil kegiatan lapangan dan non
lapangan tahun 2007, Pusat Sumber Daya Geologi.
Hafkenscheid, E., Buiter, S.J.H., Wortel, M.J.R., Spakman, W., Bijwaard, H., 2001. Modelling the seismic velocity
structure beneath Indonesia: a comparison with tomography. Tectonophysics 333, 35–46.
Hall, R., Smyth, H.R., 2008. Cenozoic arc processes in Indonesia: identification of the key influences on the
stratigraphic record in active volcanic arcs. In: Draut, A.E., Clift, P.D., Scholl, D.W. (Eds.), Formation and

22
Applications of the Sedimentary Record in Arc Collision Zones, vol. 436. Geological Society of America, pp. 27–
54 (Special Paper).
Hamilton, W.B., 1979. Tectonic of the Indonesian Region, Geological Survey Professional Paper 1078. US
Government Printing Office, Washington.
Harris, R., Vorkink, M.W., Prasetyadi, C., Zobell, E., Roosmawati, N., Apthorpe, M., 2009. Transition from
subduction to arc-continent collision: geologic and neotectonic evolution of Savu Island, Indonesia.
Geosphere 5 (3), 152–171.
Hinschberger, F., Malod, J.A., Rehault, J.P., Villeneuve, M., Royer, J.V., Burhanuddin, S., 2005. Late Cenozoic
geodynamic evolution of eastern Indonesia. Tectonophysics 404, 91–118.
Hochstein, M.P., Soengkono, S., 1997. Magnetic anomalies associated with high temperature reservoirs in the
Taupo volcanic zone (New Zealand). Geothermics 26 (1), 1–24.
Hunt, C.P., Moskowitz, B.M., Banerjee, S.K., 1995. Magnetic properties of rocks and minerals. In: Ahrens, T.J. (Ed.),
Rock Physics & Phase Relations, Handbook of Physical Constants. American Geophysical Union, Washington,
pp. 189–204.
Ishihara, T., Kisimaoto, K., 2002. Magnetic Anomaly Map of East Asia 1:4,000,000, CD-ROM Version, second ed.
Digital Geoscience Map P-3. Geological Survey of Japan (AIST) and Coordinating Committee for Coastal and
Offshore Geoscience Programmes in East and Southeast Asia (CCOP).
Kim, Y.M., Lee, S.M., Okino, K., 2009. Comparison of gravity anomaly between mature and immature intra-oceanic
subduction zones in the western Pacific. Tectonophysics 474, 657–673.
Kopp, H., Flueh, E.R., 2007. Seismic and Geoacoustic Investigations along the Sunda–Banda Arc Transition. FS
Sonne Fahrtbericht/Cruise Report SO 190 SINDBAD, Report No. 8. IFM-GEOMAR, Leibniz-Institut fur
Meerewissenschaften an der Universitat Kiel.
Korhonen, J.V., Fairhead, J.D., Hamoudi, M., Hemant, K., Lesur, V., Mandea, M., Maus, S., Purucker, M., Ravat. D.,
Sazonova, T., Thebault, E., 2007. Magnetic Anomaly Map of the World 1: 50 000 000, first ed. Commission for
the Geological Map of the World (CGMW).
Luschen, E., Muller, C., Kopp, H., Engels, M., Lutz, R., Planert, L., Shulgin, A., Djajadihardja, Y.S., 2011. Structure,
evolution and tectonic activity of the eastern Sunda forearc, Indonesia, from marine seismic investigations.
Tectonophysics 508, 6–21.
Mandea, M., Thebault, E., 2007. The Changing Faces of the Earth’s Magnetic Field. Commission for the Geological
Map of the World (CGMW), Paris. ISBN: 978-2-9517181-9-7.
Mangga, S.A., Atmawinata, S., Hermanto, B., Amin, T.C., 1994. Geologi lembar Lombok, Nusatenggara, Lembar
1807. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia.
Maus, S., 2010. An ellipsoidal harmonic representation of Earth’s lithospheric magnetic field to degree and order
720. Geochem. Geophys. Geosyst. 11 (6), Q06015.
Maus, S., Yin, F., Luhr, H., Manoj, C., Rother, M., Rauberg, J., Michaelis, I., Stolle, C., Muller, R.D., 2008. Resolution
of direction of oceanic magnetic lineations by the sixth-generation lithospheric magnetic field model from
CHAMP satellite magnetic measurements. Geochem. Geophys. Geosyst. (Technical Brief) 9 (7), Q07021.
Maus, S., Barckhausen, U., Berkenbosch, H., Bournas, N., Brozena, J., Childers, V., Dostaler, F., Fairhead, J.D., Finn,
C., von Frese, R.R.B., Gaina, C., Golynsky, S., Kucks, R., Luhr, H., Milligan, P., Mogren, S., Muller, D., Olesen, O.,
Pilkington, M., Saltus, R., Schreckenberger, B., Thebault, E., Caratori Tontini, F., 2009. EMAG2: a 2-arc min
resolution Earth Magnetic Anomaly Grid compiled from satellite, airborne, and marine magnetic
measurements. Geochem. Geophys. Geosyst. 10 (8), Q08005.
McCaffrey, R., Nabelek, J., 1984. The geometry of back arc thrusting along the eastern Sunda Arc, Indonesia:
constraints from earthquake and gravity data. J. Geophys. Res. 89 (B7), 6171–6179.
Muller, C., Kopp, H., Djajadihardja, Y.S., Barckhausen, U., Ehrhardt, A., Engels, M., Flueh, E.R., Gaedicke, C.,
Keppler, H., Lutz, R., Luschen, E., Neben, S., Seeber, L., Dzulkarnaen, D.P.S., 2008. From subduction to
collision: the Sunda–Banda Arc transition. Eos (Transactions American Geophysical Union) 89 (6), 49–50.
Nugroho, H., Harris, R., Amin, W.L., Bilal, M., 2009. Plate boundary reorganization in the active Banda Arc–
continent collision: insights from new GPS measurements. Tectonophysics 479, 52–65.
23
Ogg, J.G., Ogg, G., Gradstein, F.M., 2008. The Concise Geologic Time Scale. Cambridge University Press, Cambridge,
ISBN: 9780521898492.
Oshiman, N., 1990. Enhancement of tectonomagnetic change due to non-uniform magnetization in the Earth’s
crust-two dimensional case studies. J. Geomagn. Geoelectr. 42, 607–619.
Pilkington, M., Todoeschuck, J.P., 1990. Stochastic inversion for scaling geology. Geophys. J. Int. 102, 205–217.
Pilkington, M., Todoeschuck, J.P., 1993. Fractal magnetization of continental crust. Geophys. Res. Lett. 20 (7), 627–
630.
Price, N.J., Audley-Charles, M.G., 1983. Plate rupture by hydraulic fracture resulting in overthrusting. Nature 306,
572–575.
Priezzhev, I., 2010. Integrated Interpretation Technique of Geophysical Data for Geological Modeling. Post doc
thesis, State university Of Sergo Ordjonikidze, Moscow, 232.
Pubellier, M., Chamot-Rooke, N., Ego, F., Guezou, J.C., Konstantinoskaya, E., Rabaute, A., Ali, J., Aitchison, J.C.,
Aubourg, C., Charvet, J., Fournier, M., Hebert, R., Jolivet, L., Lepvrier, C., Mascle, G., Popolov, I., Ringenbach,
J.C., Shokalvsky, S., Sosson, M., Verges, J., Wang, C., 2008. Structural Map of Eastern Eurasia: Evolution of
Crustal Blocks and Orogenic Belts Through Time. Commision for the Geological Map of the Word (CGMW) 10–
20.
Quesnel, Y., Catalan, M., Ishihara, T., 2009. A new global marine magnetic anomaly data set. J. Geophys. Res.-Solid
Earth 114, B04106.
Rajendran, K., 2013. On the recurrence of great subduction zone Earthquakes. Curr. Sci. 104 (7), 880–892.
Ravat, D., Pignatelli, A., Nicolosi, I., Chiappini, M., 2007. A study of spectral methods of estimating the depth to the
bottom of magnetic sources from near-surface magnetic anomaly data. Geophys. J. Int. 169, 421–434.
Roosmawati, N., Harris, R., 2009. Surface uplift history of the incipient Banda Arc–continent collision: geology and
synorogenic foraminifera of Rote and Savu Islands, Indonesia. Tectonophysics 479, 95–110.
Ruff, L., Kanamori, H., 1983. Seismic coupling and uncoupling at subduction zones. Tectonophysics 99 (2–4), 99–
117.
Sasai, Y., 1994. Piezomagnetic fields produced by dislocation sources. Surv. Geophys. 15, 363–382.
Satake, K., Atwater, B.F., 2007. Long-term perspectives on giant earthquakes and tsunamis at subduction zones.
Annu. Rev. Earth Planet. Sci. 35, 349–374.
Silver, E.A., Reed, D., McCaffrey, R., Joyodiwiryo, Y., 1983. Backarc thrusting in the Eastern Sunda Arc, Indonesia: a
consequence of arc–continent collision. J. Geophys. Res. 88, 7429–7448.
Silver, E.A., Breen, N.A., Prasetyo, H., Hussong, D.M., 1986. Multibeam study of the Flores backarc thrust belt,
Indonesia. J. Geophys. Res. 91, 3489–3500.
Soloviev, A., Ismail-Zadeh, A., 2003. Models of dynamics of block-and-fault systems. In: Keilis-Borok, V., Soloviev, A.
(Eds.), Nonlinear Dynamics of the Lithosphere and Earthquake Prediction. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg,
pp. 71–139.
Spector, A., Grant, F.S., 1970. Statistical models for interpreting aeromagnetic data. Geophysics 35, 293–302.
Stacey, F.D., 1964. The seismomagnetic effect. Pure Appl. Geophys. 58, 5–22.
Stern, R.J., 2004. Subduction initiation: spontaneous and induced. Earth Planet. Sci. Lett. 226, 275–292.
Sukardi, S., 1979. Peta anomali Bouguer Lembar Lombok (Bouguer Anomaly Map of the Lombok Quadrangle).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia.
Sundhoro, H., Nasution, A., Simanjuntak, J., 2000. Sembalun Bumbung geothermal area, Lombok Island, West
Nusatenggara, Indonesia: an integrated exploration. In: Proceeding of World Geothermal Congress 2000.
Talwani, M., Heirtzler, J.R., 1964. Computation of magnetic anomalies caused by two-dimensional bodies of
arbitrary shape. Geol. Sci. 9, 464–480.
Tapley, B., Ries, J., Bettadpur, S., Chambers, D., Cheng, M., Condi, F., Gunter, B., Kang, Z., Nagel, P., Pastor, R.,
Pekker, T., Poole, S., Wang, F., 2005. GGM02 – an improved Earth gravity field model from GRACE. J. Geodesy
79 (8), 467–478.

24
Wallace, A.R., 1869. The Malay Archipelago. Kessinger Publishing (Reprinted), ISBN: 1419171380.
Wandono, Widiyantoro, S., Ibrahim, G., Soewono, E., 2004. Analisis Hubungan Frekuensi-Magnitudo Gempa Bumi
di Bali dan Sekitarnya. J. Matematika Sains 9 (3), 273–277.
Widiyantoro, S., van der Hilst, R., 1996. Structure and evolution of lithospheric slab beneath the Sunda Arc,
Indonesia. Science 271 (5255), 1566–1570.
Zubaidah, T., 2010. Spatio-Temporal Characteristics of the Geomagnetic Field over the Lombok Island, the Lesser
Sunda Islands Region: New Geological, Tectonic, and Seismo-Electromagnetic insights along the Sunda–Banda
Arcs Transition. Scientific Technical Report of GFZ, STR10/07. ISSN: 1610-0956.
Zubaidah, T., Kanata, B., Utama, W., Arumdati, N., 2005. Pengembangan metodologi elektromagnetik dan
aplikasinya untuk evaluasi sumber anomali magnetic bumi: Kajian tentang potensi sumber daya alam di Kota
Mataram Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Laporan akhir kegiatan insentif riset matematika dan
ilmu pengetahuan alam, Jurusan Elektro Fakultas Teknik-Universitas Mataram 10–20.
Zubaidah, T., Korte, M., Mandea, M., Quesnel, Y., Kanata, B., 2010. Geomagnetic field anomalies over the Lombok
Island region: an attempt to understand the local tectonic changes. Int. J. Earth Sci. 99 (5), 1123–1132.

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai