Anda di halaman 1dari 5

Nama : Guna Abi Wiranto

NIM : 201710110311292
Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata (A)
Dosen : Mohammad Isrok, SH.CN.MH

1.Apa argumentasi hukum bahwa Upaya Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata
dibatasi hanya sekali? Bagaimana wacana upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)
yang kedua berbasis Keadilan dan Kepastian Hukum dalam wacana pembaharuan
hukum acara perdata?
Putusan No.108/PUU-XIV/2016 tertanggal 26 juli 2017 adalah sebagai berikut:
Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman ruang
lingkupnya meliputi peninjauan kembali perkara pidana dan perkara selain pidana. Hal
ini artinya, ketentuan peninjauan kembali dalam kedua UU a quo tidak hanya berlaku
untuk perkara pidana, tetapi juga berlaku untuk perkara selain pidana. Dilain sisi
peninjauan kembali perkara pidana telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah
sehingga memungkinkan untuk diajukan lebih dari satu kali. Hal ini memungkinkan jika
Mahkamah membatalkan ketentuan peninjauan kembali dalam Pasal 66 ayat (1) UU MA
dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman secara keseluruhan maka akan
membawa dampak secara langsung bagi pengajuan peninjauan kembali terhadap jenis
perkara selain pidana. Sebab norma a quo juga menjadi dasar ketentuan peninjauan
kembali bagi perkara-perkara selain pidana.

Demi mewujudkan kepastian hukum Ratio Legis pembatasan PK hanya dapat


dilakukan satu kali saja. Seperti lain hal yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch
kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum, disamping keadilan dan
kemanfaatan. Kepastian hukum adalah pelaksanaan tata kehidupan hukum yang jelas,
konsisten, teratur dan tidak dapat dipengaruhi keadaan bersifat subyektif.” Oleh karena
itu, kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum merupakan bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata kepastian hukum diwujudkan dalam norma,
dilaksanakan oleh penegak hukum kepada siapapun juga, tanpa memandang status
sehingga dengan adanya kepastian hukum maka setiap orang akan dapat memperkirakan,
menerima konsekuensi yuridis dan sanksi apabila melakukan tindakan melawan hukum.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) jis. UU Nomor 5 Tahun 2004, UU Nomor 3 Tahun 2009
Tentang MA serta Pasal 268 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (UU KUHAP) PK adalah upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya 1
(satu) kali. Pembatasan ini dirasakansangat membungkam individu maupun kelompok
untuk besarnya keinginan mencari keadilan ke pengadilan tertinggi.

Konsekuensi dari yang telah diuraikan diatas berorientasi kepada aspek-aspek sebagai
berikut:
PERTAMA, dirinjau dari sisi “keadilan” kususnya bagi “kesetaraan pemberian
kesempatan mengajukan PK kepada para pihak”, PK dapat diajukan dua kali dari
PEMOHON dan TERMOHON. Permohonan PK kedua hanya dapat dilakukan oleh pihak
berbeda dalam perkara yang belum melakukan PK dan PK kedua ini bersifat final dan
mengikat. Bagi termohon dapat mengajukan PK atau permohonan PK atas putusan PK
apabila ada putusan PK yang bertentangan dengan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap, bukan putusan PK yang saling bertentangan untuk menjadi alasan
permohonan pengajuan PK. Oleh karena itu, permohonan upaya PK boleh dua kali yang
berdimensi keadilan dan kepastian hukum diartikan untuk “kesetaraan pemberian
kesempatan mengajukan PK kepada para pihak” dan kepastian hukum terhadap putusan
PK yang bertentangan dengan putusan telah berkekuatan hukum tetap. Pembatasan PK
dalam perkara perdata hanya dapat dilakukan satu kali saja demi adanya kepastian hukum
hakikatnya tidak memberikan kesetaraan kesempatan kepada para pihak untuk
mengajukan upaya hukum PK. Berdasarkan uraian di atas, maka dibukanya peluang
pengajuan PK lebih dari satu kali pada dasarnya bertujuan untuk mengedepankan
keadilan bagi masyarakat. Namun demikian apabila tidak terdapat peraturan yang jelas
dan lengkap atas proses pengajuan, pemeriksaan maupun putusan PK kedua dan
seterusnya tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
KEDUA, dilihat dari sisi “kepastian hukum” maka harus dilihat dari keajegan
peraturan atau norma. Pada aspek ini, maka kepastian hukum berorentasi kepada
kekuasaan MA khususnya tugas dan wewenangnya serta adanya pembatasan perkara
yang dapat diterima oleh MA. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf b UU Nomor 14
Tahun 1985 jis UU Nomor 5 Tahun 2004, UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung maka MA bersifat judex juris yang memeriksa tentang penerapan hukum yang
dilakukan oleh judex facti (Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding) telah tepat,
benar dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimensi ini sejalan dengan hasil
Penulisan Balitbangkumdil MA yang menentukan bahwa:
Berdasarkan hasil penulisan empiris, penulis telah melakukan interview dengan
responden beberapa hakim agung dan hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Hakim
tingkat pertama sepakat berpendapat pada normatif hukum bahwa kompetensi hakim
pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding adalah merupakan kompetensi
judex factie dengan argumentasi bahwa hakim tingkat pertama dan tingkat banding
melakukan intepretasi terhadap fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan
keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice) dan filosofis justice,
sedangkan kompetensi dari hakim agung adalah judex juris. Seyogyanya Mahkamah
Agung sebagai peradilan tertinggi mempunyai kewenangan yang lebih tinggi dari
kompetensi hakim pada tingkat banding dengan kompetensi untuk menilai apakah hakim
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah tepat atau salah dalam penerapan
hukum dalam menilai fakta persidangan.
2.Bagaimana pandangan Hukum Progresif terhadap pegeseran prinsip hakim pasif ke
aktif dalam hukum acara perdata?
Perbedaan utama terhadap kewenang hakim dalam hukum acara pidana dan
perdata yaitu jika dalam hukum acara pidana hakim tidak secara semena-mena menerima
keterangan yang dilontarkan oleh terdakwa yang tidak dikuatkan dengan hal-hal yang
lainnya yang salah satunya keyakinan hakim itu sendiri. Berbeda dengan ranah hukum
acara perdata, dimana hakim selalu terikat dengan alat bukti yang diajukan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan. Asas hakim pasif dalam hukum acara perdata memberikan
maksud bahwa hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan ke pengadilan
oleh para pihak yang berkepentingan dan bisa dikatakan hakim tidak berbuat apa-apa.
Bagian keistimewaan hakim dalam hukum acara perdata yaitu penjatuhan putusan sesuai
dengan yang di jadikan gugatan ataupun dalam arti lain tidak melebihi apa yang diminta
dalam gugatan (ultra petita principle) sehingga hakim yang melanggar ultra petita dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang melewati ataupun melampaui wewenang hakim itu
sendiri, karena dalam ranah hukum acara perdata hakim harus memutuskan suatu perkara
dengan mengacu kepada petitum atau apa yang dimohon.
Perihal diatas telah jelas diatur dalam Pasal 178 ayat (3) Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (3) Rbg. Terdapat beberapa ahli hukum yang
memberikan pandangan terhadap hakim pasif dalam hukum acara perdata, salah satunya
Sudikno Mertokusumo yang mengemukakan bahwa asas hakim pasif tidak berkaitan
dengan kepasifan total atau absolut dari hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
bagi para pihak, tetapi berkaitan dengan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Salah
satu alasan mengapa harus bersifat aktif dalam hukum acara perdata yaitu karena para
pihak yang bersengketa telah sepenuhnya mempercayakan kepada hakim untuk
memberikan putusan yang adil.
Pertentangan asas hakim pasif dan aktif selalu di korelasikan dengan persoalan
larangan hakim memutuskan perkara melebihi apa yang di tuntut. Dalam putusan
Mahkamah Agung tanggal 10 November 1971 menyatakan bahwa membolehkan hakim
mengabulkan lebih dari yang dituntut selama sesuai dengan kejadian material da nada
tuntutan subsider yang berupa ex aequo et bono, hal ini berlaku terhadap hukum acara
perdata dan hukum acara pidana selama diyakini kebenarannya dan belum terbukti
sebaliknya, kerena yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum positif yang diakui
di Indonesia. Dalam pandangan hukum progresif, tujuan utama pergeseran hakim pasif ke
hakim aktif dalam ranah hukum acara perdata tetap diperbolehkan jika bertujuan untuk
mencari keadilan bagi para pihak. Hakim selalu menjadi orang yang dianggap dapat
memberikan putusan yang sempurna tanpa adanya keterpihakan dari salah satu pihak.
3. Berikan beberapa identifikasi dan argumentasi terkait kelebihan dan kekurangan
Peraturan Mahkamah agung (Perma No.2 Tahun 2015 Juncto No. 4 Tahun 2019)
yang mengatur Gugatan Sederhana
Gugatan sederhana atau disebut dengan small claim court, merupakan terobosan
baru dalam hukum acara di Indonesia. pengaturan mengenai gugatan sederhana dapat
dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015, tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana (untuk selanjutnya disebut PERMA No.2 Tahun 2015).
Aturan tersebut merupakan salah satu jawaban bagi para pencari keadilan yang hendak
mengajukan gugatan dengan penyelesaian secara cepat. Kehadiran PERMA No. 2 Tahun
2015 merupakan implementasi dari asas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan bagi
para pencari keadilan dengan sistem pembuktian yang sederhana. Terbitnya PERMA No.
2 Tahun 2015, juga merupakan salah satu cara mengurangi volume perkara di Mahkamah
Agung. Gugatan sederhana dengan gugatan perdata umum di Pengadilan adalah sama-
sama berada di ranah hukum perdata. Selain itu, baik gugatan perdata umum, sama-sama
dapat menyelesaikan sengketa atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) atau ingkar
janji (Wanprestasi). Proses pemeriksaan gugatan, sebagaimana pada pasal 17 PERMA
No. 2 Tahun 2015 mengatakan, bahwa dalam gugatan sederhana tidak dapat diajukan
tuntutan provinsi, eksepsi, rekovensi, intervensi, replik, duplik atau kesimpulan. Maka
upaya hukum dalam penyelesaian gugatan sederhana, putusan bersifat final dan banding,
di mana upaya hukum yang dapat diajukan olehpara pihak yang tidak menerima putusan
pengadilan, berupa upaya hukum keberatan (pasal 21—30). Penggugat dapat mengajukan
gugatn sederhana dengan tuntutan ganti rugi materil paling banyak Rp. 200.000.000.
Kerugian materil paling gugatan sederhana terhadap gugatan wanprestasi berupa kerugian
dari perjanjian serta biaya-biaya lain diluar yang diperjanjikan. Tuntutan ganti kerugian
dalam gugatan sederhana sama saja seperti dalam gugatan umum, namun dalam gugatan
sederhana diharapkan apa yang dituntut oleh penggugat dapat dibuktikan secara
sederhana. Setelah adanya putusan Pengadilan Negeri tingkat pertama, apabila salah satu
pihak tidak menerima putusan, maka salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum
keberatan. Upaya hukum keberatan yang telah disebutkan itu, yang membedakan dengan
upaya hukum dalam gugatan perdata umum terdapat upaya hukum banding, kasasi dan
Peninjauan Kembali (PK). Dengan adanya upaya hukum keberatan dalam gugatan
sederhana, maka tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat diajukan oleh para pihak
dimana putusan keberatan merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Hal ini sesuai dengan pasal 30 PERMA No. 2 tahun 2015 yang
menyatakan, bahwa putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia
upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali. Jadi, alur penyelesaian gugatan
sederhana terakhir ialah di tingkat keberatan. Selanjutnya, permohonan keberatan oleh
pihak yang tidak menerima putusan oleh Hakim tunggal paling lambat 7 hari setelah
putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan oleh jurusita dilakukan.Peraturan
Mahkamah Agung (perma no 2 Tahun 2015 juncto no 4 Tahun 2019) Memiliki Tujuan
yakni untuk mengurangi jumlah volume perkara di MA serta diadopsi dari system small
claim court dan juga memiliki tujuan mempercepat sebuah penyelesaian perkara sesuai
dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Gugatan sederhana sendiri
dapat diajukan ke dalam perkara Wanprestasi kemudian Perbuatan yang melawan Hukum
dalam kerugian materiil paling banyak 500 juta. Ada beberapa kelebihan dari Perma ini
yaitu Mekanisme penyelesaian gugatan Sederhana Menjadi lebih luas Sehingga
Mencakup Seluruh Keadilan bagi Masyarakat, Bisa tidak didampingi oleh kuasa Hukum,
Sita Jaminan jangka Waktu 25 hari Untuk kekurangan mungkin pelaksanaan di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai