PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “An” yang berarti “tidak,
tanpa” dan “aesthesos” yang berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Masing-masing anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.2
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.3
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.3
1
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.3
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi
spinal juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada
operasi tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun
abdomen bagian bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik
anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan
keadaan hipovolemia.4
Fraktur adalah kehilangan atau terputusnya kontinuitas tulang, tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. 5,6
Fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau
tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis. 7
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma.6 Gambaran klasik fraktur adalah adanya
riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas
(angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi
muskuloskletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskular.8
Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis fraktur (transversal, spiral,
oblik, segmental, komunitif, kupu-kupu, simpel, kompresi), lokasi (diafise,
metafise, epifise) dan integritas dari kulit serta jaringan lunak yang mengelilingi
(terbuka atau compound dan tertutup).8,9 Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan
darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko
infeksi sebab fraktur tebuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan
dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga memungkinkan masuknya kuman
dari luar ke dalam luka sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.5,8
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus anestesi subarachnoid blok pada
pasien open fraktur 1/3 middle femur sinistra grade IIIA.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 FEMUR
Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang
itu bersendi dengan asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari
sini menjulur medial ke lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya
berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan dua ujung yaitu ujung
atas, batang femur dan ujung bawah.5
A. DEFINISI FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya atau hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total
maupun parsial.5,7 Fraktur femur adalah terputusnya atau hilangnya
kontinuitas batang tulang tulang femur yang bisa terjadi akibat trauma
langsung. Kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur
terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang
disebabkan oleh trauma langsung pada paha.5
B. KLASIFIKASI
a. Klasifikasi Etiologi5
- Fraktur traumatik: fraktur yang terjadi karena trauma yang yang
terjadi secara tiba-tiba.
- Fraktur patologis: fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang
akibat keadaan patologis tulang.
- Fraktur stress: fraktur yang terjadi karena trauma yang terus
memenerus pada suatu tempat tertentu.
b. Klasifikasi Klinis5
3
- Fraktur tertutup: fraktur yang tidak ada hubungan dengan dunia
luar.
- Fraktur terbuka: fraktur yang mempunyai hubungan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak. Bisa dari dalam (from
within) atau dari luar (from without).
Klasifikasi fraktur tebuka yang dianut adalah menurut
Gustilo, Merkow, dan Templeman yaitu:
Tipe I
Luka kecil < 1 cm panjangnya, bersih, biasanya
karena luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus
keluar kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan atau tidak
terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simple, transversal,
oblik pendek, atau sedikit komunitif.
Tipe II
Ukuran luka antara 1-10 cm, tetapi tidak ada
kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat
kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi dari fraktur.
Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak
termasuk otot, kulit, dan struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya disebabkan oleh
karena trauma dengan kecepatan tinggi.
Tipe III dibagi lagi dalam 3 subtipe:
Tipe III a
Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya
flap. Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat.
Tipe III b
4
Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan
kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan
(stripping) periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebat
serta fraktur komunitif yang hebat.
Tipe III c
Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memerhatikan
tingkat kerusakan jaringan.
- Fraktur dengan komplikasi: fraktur yang disertai dengan
komplikasi misalnya infeksi tulang, malunion, delayed union, dan
nonunion.
c. Klasifikasi Radiologis5
- Lokalisasi
Diafisis.
Metafisis.
Intra artikuler.
Fraktur dengan dislokasi.
5
Komunitif: fraktur lebih dari 2 fragmen fraktur dimana garis
patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
Avulsi: fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot yang insersinya pada tulang.
Depresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kearah permukaan lain.
Impaksi: satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
Fraktur epifisis
- Ekstensi
Total/ komplit
Tidak total (crack)/ parsial
Torus
Garis rambut
Green stick
6
Displaced (bergeser)
o Shifted Sideways – menggeser ke samping tapi dekat
o Angulated – membentuk sudut tertentu
o Rotated – memutar
o Distracted – saling menjauh karena ada interposisi
o Overriding – garis fraktur tumpang tindih
o Impacted – satu fragmen masuk ke fragmen yang lain
7
Gambar 4. Macam-macam fraktur.10
C. DIAGNOSIS FRAKTUR
a. Anamnesa5
Anamnesa: biasanya penderita datang dengan suatu trauma
(traumatic fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan
diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota
gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur
tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin terjadi pada
daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
penganiyaan, tertimpa benda beratkecelakaan pada pekerja oleh
karena mesin atau karena trauma olahraga. Penderita biasanya
datang karena adanya nyeri, pembengkakan, ganguan fungsi
anggota gerak, deformitas dan kelainan gerak.
8
b. Pemeriksaan Fisik5
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
- Syok, anemia, atau perdarahan.
- Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang, atau organ-organ dalam rongga thorax,
panggul, dan abdomen.
- Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
- Pemeriksaan Neurologis
9
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara
sensorik dan motoris serta gradasi kelainan neurologis, yaitu
neuropraksia, aksonotmesis, atau neurotmesis.
- Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan rule of two, yaitu:
Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu
pada antero-posterior dan lateral.
Dua sendi pada anggota gerak harus di foto, diatas dan
dibawah sendi yang mengalami fraktur.
Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan
foto pada kedua anggota gerak terutama pada fraktur
epifisis.
Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan
fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur
kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada
panggul dan tulang belakang.
Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya
frakur tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas
sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian.
10
reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi
normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas
serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah:
- Alignment yang sempurna
- Aposisi yang sempurna
Fraktur seperti fraktur clavikula, iga dan fraktur impaksi
dari humerus tidak memerlukan reduksi. Angulasi < 5o pada tulang
panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai
10o pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-
kurangnya 50% dan over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada
fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokasi
frakturnya. Ada 3 cara reduksi yaitu: Close reduksi, traksi mekanis
dan operasi terbuka.
11
c. Retention
Imobilisasi fraktur untuk mencegah pergeseran,
menurunkan nyeri dan memperantarai penyembuhan. Caranya
berupa: Traksi, Cast splintage, Fungsional bracing dan Internal
fiksasi (ORIF). Pada internal fiksasi, fragmen tulang difiksasi
menggunakkan sekrup, pin, plate, intramedullary nail, pita yang
melingkar dan kombinasi teknik tersebut. Pemasangan fiksasi
interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau
lengan bawah. Keuntungannya mampu menahan fragmen dengan
baik dan tidak menimbulkan kekakuan sendi dan edema serta
sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera
bisa dilakukan imobilisasi. Kerugian dapat menimbulkan infeksi.
Indiksasi fiksasi interna: (1) fraktur yang tidak bisa di reduksi
tanpa operasi (2) fraktur yang tidak sabil dan kemungkinan akan
bergeser setelah reduksi (3) fraktur collum femoris (4) fraktur
patologis (5) fraktur multiple.
12
d. Rehabilitation
Lebih tepatnya memulihkan fungsi, bukan saja pada bagian
yang mengalami cedera tetapi juga pada pasien secara
keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi edema,
mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot, dan
memandu pasien kembali ke aktifitas normal.
13
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi
lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang
dioperasi.3
A. DEFENISI
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarachnoid)
ialah pemberian obat anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid.
Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikan anestesi lokal
kedalam ruang subaracnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan
mudah dikerjakan.1
14
tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta
pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang
melewatinya.
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal
(terdiri dari 7 ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang),
segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus
(terdiri dari 9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas
tulang servikal ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).
Peredaran darah
Medula spinalis diperdarahi oleh a. spinalis anuterior dan a.
spinalis posterior.
Lapisan jaringan punggung
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan
menembus kulit – subkutis – lig. Supraspinosum- lig. Interspinosum
- lig. Flavum - ruang epidural - duramater - ruang subarachnoid.
Medula Spinalis (korda spinalis, the spinal kord)
Berada dalam kanalis dpinalis dikelilingi cairan oleh cairan
serebrospinalis dibungkus meningen (duramater, lemak dan pleksus
15
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada
bayi L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.
Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang
berasal dari pleksus arteri koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4
dan lateral. Cairan ini jernih tak berwarna mengisi ruang
subarachnoid dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan yang
dipunggung sekitar 25-45 ml.
16
Tungkai bawah T8
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen lain T4
Kontraindikasi absolut:
Bila pasien menolak
Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan
ditusuk jarum spinal
Hipotensi, sistolik di bawah 80 – 90 mmHg, syok hipovolemik
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat karena bisa terjadi pergeseran otak
bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.
17
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
18
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan
pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time)
19
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3 ml.
20
pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah
jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu
dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk
Ada 2 macam posisi dalam melakukan anestesi spinal, yaitu:
1) Posisi Duduk
Dagu pasien menempel di dada, lengan bersandar di lutut dan
menggunakan tempat duduk yang memiliki sandaran kaki.
2) Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi
pinggang di tepi tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau
posisi lutut menempel di dada. Pria cenderung mempunyai bahu
yang lebih lebar daripada pinggang sehingga harus menaikkan
posisi kepala ketika berbaring. Wanita dengan pinggang lebih
lebar harus menurunkan posisi kepala.
21
disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari
CSS disebut hipobarik.
1. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat
memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan
5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula
kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1 - 2 jam. Dosis rata-rata 40-
50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah
dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia
tinggi. Lama analgesi prokain <1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain
2 jam lebih.
2. Bupivacain konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesiknya sampai 8
jam. Volume yang digunakan < 20 ml. 3Bupivakain adalah obat
anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida.
Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk
anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi
intratekal. Bupivakain kadang diberikan pada injeksi epidural
sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga
biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa
nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain
untuk memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin,
glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk
pemberian bupivakain adalah anestesi regional IV (IVRA) karena
potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi
sistemik dari obat tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intraselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel
sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih
tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
22
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan
dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Mulai
Nama Efek
Kerja Durasi
Obat Samping
Obat
Lidokain Cepat 10 – 20 Kardiovaskuler: aritmia, bradikardi,
menit spasme arteri, kolaps kardiovaskuler,
ambang defibrilasi meningkat, udem,
flushing, blok jantung, hipotensi,
supresi simpul SA, insufisiensi
vaskuler (injeksi periartikuler). SSP:
agitasi, cemas, koma, bingung,
disorientasi, pusing, mengantuk, eforia,
halusinasi, sakit kepala, hiperestesia,
letargi, kepala terasa ringan, cemas,
psikosis, seizure, bicara tidak jelas,
somnolens, tidak sadar. Dermatologi:
angioedema, memar, dermatitis kontak,
23
depigmintasi, udem kulit, gatal,
petekia, pruritis, ruam, urtikaria.
24
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan
dan komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan:
1. Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya
adalah terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan
anestesi spinal merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi.
Hal ini terjadi karena: (1) Penurunan darah balik, penurunan secara
fungsional volume sirkulasi efektif karena venodilatasi, dan
penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah sistemik
karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal
adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena.
Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan
tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat
menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran
balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh
terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak
adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat
berbahaya pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya
pada geriatri). Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan
darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg, atau penurunan
prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan
bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian hipotensi
harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi
akibat spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban
yaitu Ringer Laktat (RL) dan atau obat vasopressor salah satunya
dengan pemberian efedrin. Efedrin merupakan vasopresor pilihan
yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan
25
untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat
sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung
dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output,
denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan
aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara
subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg
bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. Jadi lebih bersifat
simtomatik bukan pencegahan.
2. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan
bradikardi adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan sering
pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis
yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan denyut jantung
penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan
anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda
vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil
dapat menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi
denyut nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal
merupakan hal yang penting mengingat adanya efek-efek yang
ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan frekuesi
denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis.
Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer,
sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi.
26
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
Mual dan muntah pasca anestesi biasa terjadi setelah anestesi
umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intraabdomen,
hipotensi dan pada analgesia regional.
Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia
ialah ondansetron 0,05 - 0,1 mg / KgBB intravena atau metoklopramid
0,1 mg / KgBB intravena.
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
27
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.
28
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:
Memakai abdominal binder.
Epidural blood patch: suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di
ruang epidural tempat kebocoran.
Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun;
>10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai
jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit
kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urin.
5. Meningitis.
29
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 25 Januari 2018
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai atas sebelah kiri ± 20
hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
30
dan dari arah berlawanan melintas sebuah mobil rush dan truk dengan
kecepatan 40 km/jam, kemudian mobil rush tersebut melambung truk
dan akhirnya menabrak pasien yang sedang mengendarai motor. Setelah
tertabrak, pasien jatuh terlempar, jarak terlempar dan mekanisme jatuh
pasien tidak mengingatnya. Pingsan disangkal, nyeri kepala setelah
kejadian ini disangkal, mual (+), muntah, keluar darah dari hidung (+),
keluar darah dari telinga disangkal.
31
Status Gizi: Baik
IMT = Berat Badan (kg) / (Tinggi Badan (m))2
= 70 / (1,7)2 = 24,2 (Normal)
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 75 x/m
- Respirasi : 24 x/m
- Suhu badan : 36,5 oC
Kepala/leher : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, edema palpebra -/,
sekret -/-
Hidung : Jejas -/-, deformitas -/-, sekret -/-,
fungsi pembau : tidak dilakukan
pemeriksaan
Telinga : Sekret -/-, fungsi pendengaran :
normal
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas,
retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus (dekstra sama
dengan sinistra)
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (dekstra
sama dengan sinistra), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat
Perkusi : Batas Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak datar, jejas (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani
32
Auskultasi : Bising usus (+) normal (3x/15”)
Ekstremitas : Akral teraba hangat, edema (-)
b. Status Lokalis
Lokasi : Regio Cruris Sinistra:
Look : Edema (-), deformitas (+), terdapat vulnus laceratum
pada femur anterior sinistra ukuran ± 10 cm
Feel : Nyeri tekan (+).
Movement : Gerak aktif-pasif terbatas karena nyeri.
NVD : Pulsasi a. dorsalis pedis teraba, sensibilitas baik,
Capillary Refill Time < 2”.
b. Rontgen
Rontgen Thorax (05 Januari 2018)
33
Rontgen Femur (05 Januari 2017)
34
Pasang IV line
Siap Whole Blood 2 – 3 kantong
3.6 PENENTUAN PS ASA / STATUS ANESTESI
PS. ASA : PS ASA 2 (Pasien dengan gangguan sistemik ringan atau sedang
karena penyakit bedah ataupun penyakit lain).
Pada kasus ini pasien mengalami anemia (Hb: 12,3 g/dl).
35
Breathing:
Gerak dinding dada simetris,
Inspeksi : retraksi sela iga (-), frekuensi
napas: 24 kali/menit.
Vocal fremitus dextra =
Palpasi :
sinistra.
Perkusi : Sonor
Suara nafas vesikuler (+/+),
Auskultasi
: suara rhonki (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering,
warna: merah muda, Capillary
Perfusi Refill Time < 2”, TD: 120/80
:
mmHg,
Nadi: 75 x/m, reguler, kuat
angkat, terisi penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Ictus cordis teraba 2 cm
Palpasi : medial dari linea
B2 : midklavikular sinistra
Batas atas : ICS II linea
parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea
parasternalis sinistra
36
pingsan (-).
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3
mm, refleks cahaya (+/+)
B4 : Tidak terpasang DC, Buang air kecil lancar
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) 2-4 kali/menit
Supel, nyeri tekan (-),
B5 :
Palpasi : hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Edema (-), fraktur (+) di extremitas inferior sinistra,
kekuatan otot extremitas superior dextra et sinistra = 5,
B6 : kekuatan otot extremitas inferior dextra = 5, kekuatan
otot extremitas inferior sinistra tidak di evaluasi karena
terpasang skin traksi dengan beban 3 kg
37
Posisi : Tidur terlentang (Supine)
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL 500
cc
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir : Tekanan Darah: 137/93 mmHg, Nadi: 100x/m,
pembedahan reguler, kuat angkat, Suhu Badan: 36,7°C, Frekuensi
nafas: 22 x/m, SpO2: 99%
Pre Medikasi : -
Induksi : - Bupivakain 0,5% 20 mg (09:05 WIT)
Maintenance : - Ranitidine 50 mg (10:20 WIT)
- Ondansentron 4 mg (10:25 WIT)
- Santagesik1000 mg (11:45 WIT)
38
3.10 TERAPI CAIRAN
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 70 Kg Input:
Operasi - Kebutuhan cairan harian: 40 - 50 cc / KgBB / hari RL: 500 cc
= 40 cc x 70 Kg = 2800 cc / hari -
50 cc x 70 Kg = 3500 cc / hari
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2800 cc : 24 jam = 116,6 cc / jam -
3500 cc : 24 jam = 145,8 cc / jam
- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 9 jam:
= 9 jam x (116-145 cc/jam)
= 1044-1305 cc / 9 jam
39
3. Selama 2 jam 25 menit operasi cairan yang
hilang
420 x 2,5 jam – 560 x 2,5 jam
1.050-1.400cc/ 2 jam 25 menit
40
- IVFD RL 500 cc / 8 jam (IV)
- Injeksi ceftriaxone 3 x 1 gr (IV)
- Injeksi netilmisin sulfat 2 x 300 mg (IV)
- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg (IV)
- Injeksi tramadol 2 x 50 mg (IV)
- Injeksi natrium metamizole 3 x 500 mg (IV)
- Ganti verban 1x / 2 hari
41
O: - Injeksi netilmisin sulfat 2 x 300
B1: airway bebas, nafas spontan,
mg (IV)
RR: 24 x/mnt, suara nafas
vesikuler +/+, rhonki -/, wheezing - Injeksi ranitidin 2 x 50 mg (IV)
-/-.
- Injeksi tramadol 2 x 50 mg (IV)
B2: perfusi hangat, kering, merah,
CRT <2’, TD 110/70mmHg, nadi - Injeksi natrium metamizole 3 x
85 x/mnt, regular, kuat angkat,
500 mg (IV)
suhu badan: 36,5ᵒC, SpO2: 99%.
Bunyi jantung I-II regular, - Ganti verban hari ini
murmur (-), gallop (-).
- Besok aff drain
B3: Kesadaran GCS 15
(E4V5M6), kesan compos mentis. - Observasi KU dan TTV
Pupil bulat isokor, diameter ODS
- Mobilisasi
3 mm, refleks cahaya (+)
B4: Tidak terpasang DC, BAK
lancar
B5: abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-), timpani
B6: Edema (-), fraktur (-)
42
B6: Edema (-), fraktur (-)
BAB IV
PEMBAHASAN
43
jalan pembedahan maupun oleh proses patofisiologis). Dengan demikian, pasien
digolongkan kedalam PS ASA II karena pasien mengalami anemia (Hb:12,3 g/dl).
Pada kasus ini dilakukan tindakan interna fiksasi pada femur sinistra
dengan menggunakan jenis anestesi spinal (blok subaraknoid). Hal ini sesuai
dengan indikasi anestesi blok subaraknoid yang digunakan pada: bedah
ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah
obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah abdomen
atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum
ringan. Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah,
pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress lebih sempurna. Dengan demikian, pemilihan jenis
anestesi pada kasus ini sudah tepat.
Ada dua golongan besar obat anestesi regional berdasarkan ikatan kimia,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja
yang sama namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja
anestesi lokal ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya
adalah mengubah permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak
terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri. Sifat
hambatan sensoris lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya,
ekskresi melalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh, dan sebagian besar
dalam bentuk metabolitnya, konsentrasi 0,25 – 0,75 %. Dosis 1 – 2 mg/Kg BB,
dosis maksimal untuk satu kali pemberian 200 – 500 mg.
Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain
HCL. Berdasarkan teori bupivakain lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih
lama dibanding lidokain atau mepivakain, Onset anestesinya juga lebih lambat
dibanding lidokain, ikatan dengan HCl mudah larut dalam air, pada konsentrasi
rendah blok motorik kurang adekuat. Pada pasien digunakan Bupivakain 0,5%
dengan dosis 20 mg dengan durasi pembedahan ± 2 jam 30 menit.
Pasien juga diberikan ranitidin, ondansentron dan natrium metamizole.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme
44
kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan
dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor
5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun
mengatasi mual dan muntah. Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah.
Namun mual selama anestesi biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau
terhalanginya stimulus vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi.
Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang
berlebihan pada traktus gastrointestinal. Pemberian natrium metamizole pada
pasien yakni sebagai analgetik post operasi, natrium matamizole merupakan
derivat aminofenazon yang merupakan analgetika non-opioid yang bekerja
perifer, pada pasien telah dilakukan insisi kulit yang dapat menyebabkan rasa
nyeri pada luka post operasi sehingga diputuskan untuk diberikan obat injeksi
natrium metamizole. Dosis natrium metamizole sendiri yakni 0,5-4 gr / hari dibagi
3-4 dosis. Pada pasien diberikan natrium metamizole 1 gr, sehingga dosis yang
diberikan sesuai dengan dosis pemeliharaannya.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam
tatalaksana anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing sistem
organ dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: bebas, Pre-operatif
Malampati score 2, - Hipoksia - Preoksigenasi yang
gigi goyah (-) adekuat
45
Durante Operatif
Breathing : thoraks - Aspirasi oleh - 02 nasal atau masker
simetris, ikut gerak hipersekresi saliva sesuai saturasi oksigen
napas, RR: 24 x/m, - Jatuhnya pangkal - Chin Lift
perkusi: sonor, lidah. - Suction bila perlu
- Hipoksia
suara napas
vesikuler +/+,
ronkhi-/-, wheezing
-/-
Post Operatif
- Desaturate oksigen - Pemberian O2 adekuat
dengan mengunakan
masker post-operasi
- Monitoring tanda-tanda
vital
B2 Perfusi: hangat, Pre Operatif
kering, merah, - Dehidrasi akibat - Pemberian cairan pre
Capilary Refill Time puasa operatif adekuat
< 2 detik, BJ I-II Durante Operatif
regular, konjungtiva - Perdarahan - Persiapan transfusi
anemis (-/-) - Syok hipovolemik darah, paling baik
- Overload dengan WB untuk
- Bradikardia perdarahan akut
- Hipotensi - Penggantian kehilangan
darah dengan kristaloid
(2-4 x EBL), koloid (1 x
EBL), atau produk
darah (1 x EBL)
- Resusitasi cairan
dengan tepat,
pertahankan keadaan
normovolemia
- Monitoring vital sign
Post Operatif
- Perdarahan pada - Periksa Hb post operasi,
luka operasi jika Hb rendah tranfusi
B3 Kesadaran Compos
Mentis, Riwayat
kejang (-), riwayat Durante Operatif
pingsan (-) - Penurunan
kesadaran - Observasi kesadaran
- Peningkatan TIK - Observasi tanda-tanda
46
akibat obat TTIK
anastesi
B4 Tidak terpasang DC
B5 Abdomen datar, Pre Operatif - Pemberian Ranitidin
bising usus (+), Mual, muntah dan Ondansentron
supel, nyeri tekan (-), Durante operatif
BAB (+), mual (-), - Risiko refluks
muntah (-). gastroesofageal
saat operasi
B6 Akral hangat (+), 1.Posisikan pasien dengan
Edema (-) fraktur (+) tepat
47
3500 cc : 24 jam = 145,8 cc / jam
Pre Operatif:
Pasien puasa selama 9 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus dipenuhi
sebelum operasi ialah:
Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 9 jam:
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 9 jam
= (116-145 cc) x 9 jam
= 1044-1305 cc
Durante Operatif :
Penguapan:
10 x BB = 10 x 70 = 700 cc
Perdarahan:
- Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah:
70 cc x BB = 70 cc x 70 kg = 4.900 cc
- Perdarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 620 cc sehingga
Estimate Blood Lost (EBL) dari pasien ini:
EBL: 620 / 4.900 cc x 100% = 12,65 %
2. Pada pasien ini perdarahan yang terjadi dapat digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 2 - 4x dari jumlah perdarahan. Kebutuhan cairan
sebagai pengganti perdarahan ialah:
(2 x 620 cc) s/d (4 x 620cc) = 1.240 cc s/d 2.480 cc
Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah penguapan + pengganti
perdarahan yaitu:
(700 + 1.240) s/d (700+2.480) = 1.940 cc s/d 3180 cc
48
Saat operasi berjalan pasien diberikan resusitasi cairan RL 1000 cc dan
cairan gelofusal 500 cc. Sehingga kebutuhan cairan pasien saat operasi
belum terpenuhi dengan pemberian cairan tersebut.
Post Operatif
Kebutuhan cairan per jam: 70 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 70-140 cc / jam
Kebutuhan cairan per 24 jam: 1.680 cc – 3.360 cc
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis open fraktur 1/3 middle femur sinistra. Klasifikasi
49
status penderita digolongkan dalam PS. ASA 2 karena pasien
mengalami anemia (Hb:12,3 g/dl).
2. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi internal fiksasi dan jenis
anestesi regional berupa Sub Arachnoid Block (SAB). Berdasarkan
indikasi anestesi blok subaraknoid digunakan pada, bedah ekstremitas
bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah
obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah
abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan menghasilkan analgesi adekuat dan
kemampuan mencegah respon stres lebih sempurna.
3. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain
HCL karena bupivakain lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama
dan onset anestesinya juga lebih lambat dibanding lidokain atau
mepivakain.
4. Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan
stabilnya hemodinamik durante dan post operatif.
5.2. Saran
50