Anda di halaman 1dari 57

NAMUN ternyata bahwa keduanya menjadi semakin

berhati-hati, karena rasa-rasanya mereka tidak pernah


sampai ke batas. Seberapa pun mereka meningkatkan ilmu
mereka, maka lawannya masih saja mampu membuat
keseimbangan.
Dengan demikian maka baik Putut dari padepokan itu,
maupun Mahisa Murti menyadari, bahwa yang mereka
hadapi adalah orang yang memiliki ilmu sampai ke
puncak.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun
semakin meningkat pula. Keduanya ternyata telah mulai
melepaskan kemampuan ilmu mereka. Mereka telah
melewati benturan-benturan kekuatan wantah mereka.
Bahkan mereka telah menjajagi batas tertinggi kekuatan cadangan didalam diri
masing-masing. Namun agaknya mereka masih berada diatas tingkat batas
kemampuan kekuatan cadangan itu.
Karena itu, maka ternyata bahwa mereka pun segera tenggelam dalam benturan ilmu
dalam tataran tertinggi.
Ki Ajar sempat melihat benturan-benturan yang terjadi. Dengan demikian maka
jantungnya menjadi berdebar-debar. Anak-anak muda yang datang ke padepokan itu
benar-benar anak-anak muda yang sudah siap. Tentu demikian pula dengan orang-
orang yang lebih tua. Sebagaimana didengarnya, Pangeran Singa Narpada adalah
seorang yang pilih tanding. Seolah-olah kekuatan Kediri tergantung di pundaknya.
Jika Pangeran Singa Narpada dapat dikalahkannya, maka Kediri akan menjadi
lumpuh dan kehilangan tumpuan.
Dengan demikian, maka pertapa yang berusaha untuk mengendalikan perjalanan dan
perputaran kejadian di Kediri itu, harus menghadapi lawannya dengan sangat berhati-
hati pula.
Tetapi yang dicemaskan oleh Ki Ajar yang pertama-tama justru Pangeran Lembu
Sabdata. Ia kurang menghargai kemampuan lawannya yang ternyata berilmu sangat
tinggi. Namun bahwa ia telah terlempar jatuh dalam satu benturan, adalah merupakan
satu kesalahan dari lawannya. Seandainya lawannya mampu menyembunyikan
kemampuannya yang sebenarnya sehingga Pangeran Lembu Sabdata tetap pada
sikapnya, namun tiba-tiba dengan menghentakkan puncak ilmunya lawannya itu
menyerang, maka Pangeran Lembu Sabdata akan mengalami kesulitan. Bahkan
mungkin lawannya akan segera dapat menyelesaikan pertempuran itu.
“Untunglah bahwa lawannya sempat memperingatkannya,” berkata Ki Ajar didalam
hatinya.
Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Lembu Sabdata kemudian telah menghadapi
lawannya dengan sikap yang berubah. Ia tidak dapat lagi menganggap bahwa
lawannya sama sekali tidak sepantasnya untuk menghadapinya. Ternyata bahwa
lawannya memiliki bekal ilmu yang sangat tinggi.
Pangeran Lembu Sabdata yang terlalu cepat ingin menyelesaikan pertempuran itu
telah dengan cepat pula sampai ke tataran tertinggi ilmunya. Ia tidak mempunyai
1
pertimbangan-pertimbangan lain kecuali menghancurkan lawannya. Kemudian satu
keinginan Pangeran Lembu Sabdata adalah berhadapan dengan Pangeran Singa
Narpada.
Tetapi ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah membentur kemampuan
Mahisa Pukat. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak dapat segera
menyelesaikannya dan mengambil-alih perlawanan terhadap Pangeran Singa
Narpada.
Bahkan pertempuran yang terjadi antara Pangeran Lembu Sabdata dan Mahisa Pukat
itu semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Pukat benar-benar seorang yang
mampu memancarkan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya.
Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata yang telah menyadap ilmu dari Ki
Ajar dalam laku yang berat itu, harus menghadapi satu kenyataan, bahwa ia
bukannya satu-satunya orang yang mampu meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Mahisa Pukat yang diduganya masih saja pada tataran ilmu yang dahulu, ternyata
telah meningkat pula menjadi seorang yang tangguh tanggon.
Pangeran Lembu Sabdata itu mengumpat didalam hati. Tetapi ia tidak dapat sekedar
mengumpat-umpat saja. Tetapi ia harus mengerahkan kemampuannya untuk
mengatasi lawannya.
Serangan-serangannya yang datang membadai dengan kekuatan ilmunya, ternyata
mampu dihindari, dan bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa
ilmu Pangeran Lembu Sabdata tidak lebih baik dari ilmu Mahisa Pukat.
Yang masih saja terdengar suara tertawanya adalah Panembahan Bajang. Sekali-
sekali ia menyerang dengan caranya. Loncatannya yang panjang seakan-akan
membuatnya berputaran di sekitar lawannya. Semakin lama semakin cepat. Suara
tertawanya terdengar berputaran sebagaimana tubuhnya yang kerdil.
Namun Mahisa Bungalan tidak terpengaruh karenanya. Ia berusaha untuk tetap pada
alas perlawanannya yang mapan, sehingga karena itu, maka ia tidak banyak
menghiraukan tingkah Panembahan Kerdil itu.
Namun suara tertawa Panembahan Bajang itu rasa-rasanya telah mengetuk-ngetuk
telinganya menembus ke dalam dadanya.
Meskipun Mahisa Bungalan sama sekali tidak memperhatikannya, namun suara
tertawa itu memang sangat mengganggunya. Getaran-getaran suara tertawa itu
menggelitiknya sehingga Mahisa Bungalan telah menghentakkan daya tahannya
untuk menghapuskan pengaruh itu sama sekali.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang yang memiliki ilmu yang mapan.
Getaran-getaran yang dilontarkan oleh ilmu Panembahan Bajang lewat getaran
suaranya itu, akhirnya mampu diserap dan seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Suara
tertawa itu masih terdengar, tetapi sama sekali tidak mempengaruhi lagi jantung
Mahisa Bungalan.
Ternyata getaran suara tertawa yang dilandasi kekuatan ilmu Panembahan Bajang itu
bukan saja berpengaruh atas Mahisa Bungalan. Tetapi Panembahan Bajang sengaja
melontarkannya untuk mengetuk setiap isi dada.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun merasakan pengaruh itu pula. Sebagaimana
Pangeran Lembu Sabdata dan Putut dari padepokan itu. Namun karena mereka
2
dipisahkan oleh jarak yang tidak melekat sebagaimana jarak Panembahan Bajang dan
Mahisa Bungalan, maka ketukan getaran suara tertawa itu tidak terlalu banyak
mengganggu mereka. Meskipun demikian, mereka memang harus berusaha untuk
melepaskan pengaruh getaran itu dari dalam diri mereka.
Panembahan Bajang pun akhirnya menyadari, bahwa suara tertawanya tidak
mempunyai pengaruh apapun juga atas Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun
kemudian berkata, “Kau memang luar biasa. Tetapi kau harus ingat, bahwa aku
adalah Panembahan Bajang yang memiliki seribu macam ilmu. Yang kau dengar tadi
baru permulaan dari ilmu yang disebut Gelap Ngampar. Jika aku melepaskan seluruh
kekuatan ilmu Gelap Ngampar, maka aku kira jantungmu tidak akan dapat bertahan.”
“Aku akan menggeser arena ini,” jawab Mahisa Bungalan.
“Untuk apa?” bertanya Panembahan Bajang.
“Aku akan mendekati Pangeran Lembu Sabdata,“ jawab Mahisa Bungalan, “Jika isi
dadaku rontok, maka biarlah isi dada Pangeran Lembu Sabdata juga rontok.”
“Kau salah,“ Panembahan Bajang tertawa. Tetapi serangannya tidak mengendor.
Lalu katanya ketika ternyata Mahisa Bungalan sempat menghindar. “Pangeran
Lembu Sabdata memiliki penangkal dari ilmu ini.”
“O,” sahut Mahisa Bungalan, “Jika Pangeran Lembu Sabdata dapat menghindarkan
diri dari ilmu itu, maka aku-pun akan dapat menghindari pula, karena ilmu Gelap
Ngampar bukan ilmu yang asing bagiku.”
“Persetan,“ geram Panembahan Bajang. ”Kau jangan menakut-nakuti aku. Bagimu
lebih baik bertempur berhadapan dengan aku, daripada kau harus mati di
pembaringanmu karena ilmuku.”
“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Itulah agaknya maka kau tidak mengenal takut. Bukan karena kau seorang
pemberani, tetapi karena kau tidak mengetahui bahayanya, sebagaimana seorang
anak-anak yang baru dapat berjalan sama sekali tidak takut kepada seekor harimau
yang garang,” jawab Panembahan Bajang.
Mahisa Bungalan tidak segera dapat menjawab. Panembahan Bajang itu meloncat
menyerang, Ketika Mahisa Bungalan berhasil mengelak, maka Panembahan Bajang
itu meloncat lagi dengan cepatnya, berkisar dan berputar di sekeliling Mahisa
Bungalan.
Mahisa Bungalan dengan hati-hati berkisar. Tetapi kemudian ia sempat berkata,
“Itukah caramu untuk menghina aku?”
“Sama sekali tidak,” jawab Panembahan Bajang. Agaknya Panembahan Bajang
masih akan menjawab. Tetapi Mahisa Bungalan lah yang kemudian menyerang.
Namun Mahisa Bungalan masih belum mengerahkan kemampuannya sampai ke
puncak, sebagaimana Panembahan Bajang.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada dan Ki Ajar Bomantara telah semakin dalam
memasuki pertarungan ilmu yang nggegirisi. Keduanya ternyata benar-benar orang
yang berilmu tinggi. Pangeran Singa Narpada adalah seorang prajurit yang dengan
segenap hati menyerahkan diri ke dalam pengabdian bagi kepentingan Kediri
menurut keyakinannya, yang telah mendalami segala macam ilmu dari beberapa
macam cabang perguruan. Bukan sekedar mengenal, tetapi ia sudah menghayatinya
3
sampai kemampuan puncaknya. Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa ia harus
mempunyai bekal yang cukup bagi tugas-tugasnya mengabdi kepada Kediri.
Sedangkan Ki Ajar Bomantara adalah seorang pertapa yang menghabiskan waktunya
sebagian besar untuk menekuni ilmunya yang dikembangkannya dengan tekun dan
bersungguh-sungguh. Yang telah berusaha membentuk Pangeran Kuda Permati
menjadi seorang prajurit linuwih dan kemudian juga Pangeran Lembu Sabdata.
Namun yang ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih belum sampai pada
tataran kemampuan yang tertinggi dari ilmu yang pernah dituangkan oleh Ki Ajar.
Semula Ki Ajar Bomantara tidak mencemaskannya ketika ia melihat siapa yang akan
melawannya. Tetapi ternyata anak muda yang bernama Mahisa Pukat itu adalah anak
Mahendra yang telah mewarisi puncak kemampuannya, sehingga berhadapan dengan
anak muda itu Pangeran Lembu Sabdata telah membentur kekuatan yang tidak dapat
diabaikan. Bahkan dengan sikapnya yang angkuh, telah membuatnya terlempar dari
arena.
Yang bertempur dengan sungguh-sungguh dan perhitungan-perhitungan yang cermat
adalah Mahisa Murti dan Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar itu. Langkah-
langkah mereka merupakan pertarungan perhitungan yang jika terjadi sedikit saja
kesalahan dalam penilaian tataran ilmu maupun langkah-langkah yang diambil, maka
akibatnya akan menjadi sangat gawat.
Tetapi baik Putut terpercaya dari padepokan Ki Ajar Bomantara itu, maupun Mahisa
Murti, agaknya telah terlatih dengan mapan, sehingga se demikian jauh mereka tidak
membuat kesalahan-kesalahan yang berarti.
Namun justru karena itu, maka pertempuran diantara keduanya kemudian nampaknya
tidak terlalu sengit. Keduanya tidak terlalu banyak menyerang. Tetapi keduanya baru
akan menyerang jika mereka melihat kemungkinan-kemungkinan keterbukaan pada
pertahanan lawan. Itupun ternyata bahwa keduanya belum ada yang berhasil melukai
bahkan menyentuh pun tidak, kecuali benturan-benturan yang memang sering terjadi
diantara keduanya.
Dalam pada itu, maka Putut itupun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi
menggapai puncaknya. Dengan demikian terasa oleh Mahisa Murti, getaran-getaran
yang seakan-akan telah menyengat dan menyusup ke dalam dirinya, sehingga terasa
arus yang menjalar lewat nadi-nadi darahnya menusuk jantung.
“Bukan main,“ geram Mahisa Murti, “ilmu iblis ini mampu merambat dan menggigit
jantung.”
Namun Mahisa Murti pun mampu mengerahkan daya tahannya. Ia berusaha
membentengi dirinya dari kemungkinan yang lebih buruk dari getaran-getaran yang
meloncat lewat benturan-benturan yang terjadi, kemudian merayap melalui saluran
darahnya menyerang jantung.
Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Murti mampu bertahan. Tetapi Putut itu masih
selalu meningkatkan kekuatan daya serangnya. Ketika ia tidak mampu lagi
melampaui kecepatan Mahisa Murti, maka dipusatkannya serangan-serangannya
lewat ilmunya yang aneh itu.

4
Namun Mahisa Murti pun telah berjuang pula mengatasinya. Dikerahkannya
kemampuan ilmunya untuk meningkatkan daya tahannya, sehingga dengan demikian
terjadi benturan-benturan ilmu diantara keduanya.
Bagaimanapun juga, sulit bagi Putut itu untuk mengalahkan Mahisa Murti. Daya
tahan Mahisa Murti akhirnya mampu menahan serangan-serangan yang aneh melalui
sentuhan tubuh dan benturan kekuatan itu.
Namun dengan demikian, ketika Putut itu menyadari, bahwa ia tidak mampu lagi
menyerang lewat sentuhan itu, maka iapun berusaha untuk melepaskan ilmunya yang
lain. Dengan mengerahkan ilmunya, dari tubuh Putut itu terasa seakan-akan
memancar panas yang membakar udara di sekitarnya.
Sekali lagi Mahisa Murti terdesak. Ia merasa udara itu bagaikan uap air yang
mendidih, sehingga dengan demikian, maka beberapa kali Mahisa Murti memang
harus berloncatan menghindar.
Namun akhirnya Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak akan dapat terus menghindarkan
diri. Ia harus langsung menusuk ke pusat sumber panas itu. Jika ia mampu mencapai
sebab dari panasnya udara, maka ia akan dapat meredakannya.
Karena itu, maka untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti berusaha untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sambil meloncat menghindar ia memusatkan
segenap kemampuan daya tahannya agar ia tidak hangus ditelan oleh panasnya udara.
Dengan demikian, setelah Mahisa Murti benar-benar bersiap menghadapi lawannya,
tiba-tiba saja ia justru menyuruk ke dalam lingkungan panasnya udara itu. Dengan
segenap kemampuan daya tahannya, serta dengan segenap kemampuan ilmunya.
Mahisa Murti telah menyerang Putut yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.
Serangan itu memang mengejutkan. Putut yang merasa dirinya terlindung oleh panas
itu tidak menyangka sama sekali bahwa serangan Mahisa Murti datang demikian
cepat dan dengan tenaga yang sangat besar oleh dorongan ilmunya.
Sementara itu Mahisa Murti sendiri merasa kulitnya dibakar oleh panasnya udara.
Namun ia masih berhasil menghentakkan tenaganya. Justru karena lawannya tidak
menduganya sama sekali, maka kaki Mahisa Murti sempat memasuki lingkaran
pertahanan Putut itu dan mengenai dadanya.
Terdengar Putut itu mengaduh tertahan. Justru karena ia tidak siap, maka iapun telah
terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Sementara itu, Mahisa Murti pun hampir saja jatuh di atas kedua lututnya pula.
Panasnya udara hampir tidak tertahankan. Namun serangannya yang tiba-tiba dan
berhasil menjatuhkan lawannya, maka rasa-rasanya udara yang panas itupun segera
menyusut.
Tahulah Mahisa Murti, bahwa usahanya berhasil. Jika ia dapat merusakkan
pemusatan nalar budi lawannya, maka lawannya tidak akan sempat melepaskan
ilmunya yang dapat membakar udara di sekitarnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terlambat. Dengan cepat ia berusaha untuk
mengatasi perasaan nyerinya karena udara yang panas. Namun udara yang sejuk yang
dibawa angin telah membuatnya mendapatkan kesegaran baru.
Dalam pada itu, Putut yang jatuh terguling itupun berusaha untuk segera bangkit.
Dadanya terasa sesak oleh serangan Mahisa Murti. Bukan serangan dengan tenaga
5
kewadagan sewajarnya. Tetapi dilambari dengan kekuatan ilmunya yang mapan dan
disadapnya dari ayahnya sampai tuntas.
Sementara itu, Mahisa Murti tidak mau didera kembali oleh panasnya api yang
membakar udara. Karena itu, demikian Putut itu berdiri, maka Mahisa Murti pun
telah menyerangnya kembali.
Dengan serangan itu, maka Putut itupun tidak sempat membangunkan ilmunya yang
mampu membakar udara.
Dengan demikian maka keduanya pun telah bertempur dengan serunya dengan saling
membenturkan kekuatan ilmunya yang disalurkan lewat tenaganya.
Namun sekali lagi terasa oleh Mahisa Murti, kekuatan getaran ilmu lawannya telah
meloncat dan menelusuri urat darahnya sampai ke jantung. Namun sekali lagi Mahisa
Murti dapat mengatasinya sehingga ia dapat mengabaikan serangan ilmu yang aneh
itu.
Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang telah beberapa kali membentur
kekuatan Mahisa Pukat, akhirnya benar-benar menyadari dengan siapa ia
berhadapan. Betapa ia melepaskan kekuatan ilmunya, namun Mahisa Pukat masih
saja mampu mengimbanginya.
“Anak iblis,” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Namun ia tidak cukup mengumpat-umpat saja. Ternyata serangan-serangan Mahisa
Pukat pun kemudian telah datang bagaikan angin pusaran. Membelit, memutar dan
kemudian bagaikan meremas sasarannya dengan pusaran yang dahsyat.
Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu menghadapi kenyataan itu. Namun ia
tidak dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk memecahkan
pusaran yang mengelilingi tubuhnya dan membuatnya pening itu.
Sebenarnyalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata memiliki alas ilmu yang sama
dengan Putut padepokan itu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk
mempergunakan ilmu yang sama pula.
Dalam cengkaman putaran ilmu Mahisa Pukat, maka Pangeran Lembu Sabdata telah
menggerakkan ilmunya sebagaimana Putut itu mampu memanasi udara di sekitarnya.
Mahisa Pukat terkejut ketika ia merasa udara semakin lama menjadi semakin panas.
Semula Mahisa Pukat agak kebingungan, apakah yang menyebabkannya. Namun
akhirnya iapun menemukan sumbernya. Tentu Pangeran Lembu Sabdata yang berdiri
sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Mahisa Pukat bergeser agak menjauh. Tetapi seperti Mahisa Murti, maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuan daya tahannya, agar jantungnya tidak meledak
oleh panasnya udara.
Namun kekuatan pancaran udara panas itu mampu menerobos daya tahannya dan
menyakitinya, sehingga Mahisa Pukat pun kemudian harus bergeser semakin jauh.
Tetapi yang kemudian memburunya adalah Pangeran Lembu Sabdata. Ia merasa
bahwa dengan ilmunya itu, ia mampu mengatasi perlawanan Mahisa Pukat.
Tetapi karena Mahisa Pukat juga dari guru yang sama dengan Mahisa Murti, maka
iapun mempunyai jalan pikiran yang sama pula dengan Mahisa Murti. Ketika ia
sadar, bahwa sumber panas yang memancar itu adalah Pangeran Lembu Sabdata,
maka iapun berniat untuk menghancurkan sumbernya sama sekali.
6
Namun agak berbeda dengan Mahisa Murti. Mahisa Pukat menyadari bahwa ada
beban yang harus dipikulnya. Sejauh mungkin ia jangan sampai membunuh
lawannya, karena jika terjadi demikian, mungkin Sri Baginda akan menganggapnya
bersalah.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus bertempur lebih berhati-hati daripada Mahisa
Murti.
Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak ingin dirinya sekedar menjadi sasaran.
Karena itu, maka iapun kemudian telah berusaha untuk tiba-tiba menyerang
lawannya dengan mengesampingkan perasaan nyeri yang membakar tubuhnya.
Seperti Mahisa Murti, maka usahanya pun berhasil. Mahisa Pukat sempat menyusup
dan menembus pertahanan Pangeran Lembu Sabdata. Betapapun perasaan panas
menghalanginya, namun Mahisa Pukat dapat mengenai pundak lawannya sehingga
Pangeran Lembu Sabdata terdorong surut beberapa langkah.
Mahisa Pukat tidak melepaskan kesempatan itu. Meskipun ia masih merasakan
kulitnya bagaikan dipanggang di atas bara, tetapi ia telah memburu lawannya dan
menyerangnya sekali lagi.
Pangeran Lembu Sabdata berusaha untuk menghindari serangan-serangan itu. Namun
dengan demikian pemusatan nalar budinya pun telah dikoyakkan oleh serangan-
serangan Mahisa Pukat itu.
“Anak setan,“ Pangeran Lembu Sabdata mengumpat.
Namun ia benar-benar tidak dapat mengatasi serangan-serangan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata harus melepaskan pemusatan
nalar budinya, sehingga ia tidak dapat mempertahankan serangan panasnya atas
lawannya.
Mahisa Pukat memang yakin, bahwa lawannya itu tidak akan mampu
mempertahankan serangannya. Ternyata bahwa udara pun semakin lama menjadi
semakin sejuk kembali. Apalagi angin bertiup agak kencang, sehingga perasaan nyeri
pun semakin berkurang pula.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Panembahan Bajang,
semakin lama menjadi semakin cepat pula. Ternyata bahwa Panembahan Bajang juga
seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya kerdil, tetapi
serangannya bagaikan benturan kekuatan himpitan gunung anakan.
“Untunglah kau cekatan,” berkata Panembahan Bajang sambil berloncatan. Ternyata
ia memang seorang yang banyak berbicara, ”Jika tidak, kau tentu sudah lumat
tersentuh tanganku.”
Namun Panembahan Bajang tidak sempat berbicara lebih panjang ketika Mahisa
Bungalan kemudian menyerangnya dengan lontaran kaki menyamping.
“Uh,” berkata Panembahan Bajang. ”Kau jangan main-main. Aku sudah memasuki
kekuatan ilmuku yang aku andalkan. Jika kau masih saja berkelakar dengan tata
gerakmu, maka kau akan menyesal, karena tiba-tiba saja terasa bahwa jantungmu
telah aku rontokkan.”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya untuk
mengatasi keadaan.

7
Sebenarnya bahwa Panembahan Bajang telah meningkatkan ilmunya sampai ke
tataran tertinggi. Ketika perkelahian itu menjadi semakin sengit dan masih belum ada
tanda-tanda siapakah yang akan mendesak lawannya, maka Panembahan Bajang
mulai menjadi jemu. Karena iapun kemudian mampu bergerak semakin cepat,
sementara kekuatannya itupun bagaikan menjadi berlipat.
Mahisa Bungalan harus menyesuaikan diri. Menghadapi lawan yang telah benar-
benar menjadi masak, Mahisa Bungalan harus memeras segenap kemampuan yang
ada didalam dirinya. Namun karena pengalaman dan bekal Mahisa Bungalan yang
berlimpah tertimbun didalam dirinya, maka ia mampu mengimbangi lawannya.
Sebelum Mahisa Bungalan berguru kepada Mahisa Agni, maka ia memang sudah
memiliki bekal ilmu dari ayahnya. Bahkan sudah sampai pada tataran tertinggi pula.
Namun ia mencapai puncak ilmunya justru pada saat ia berguru kepada Mahisa Agni.
Namun sebagai seorang yang memiliki pandangan yang luas didasari pengalaman
yang bertimbun di dalam dirinya, maka kedua ilmu itu telah luluh sehingga dengan
demikian beberapa unsurnya yang berbeda justru dapat saling mengisi dan
melengkapi. Dengan demikian ilmu yang dimilikinya justru menjadi semakin mapan
dan kaya.
Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah menghadapi tingkat kemampuan
Panembahan Bajang yang semakin memuncak.
Bahkan dalam beberapa hal, Mahisa Bungalan ternyata harus dengan sangat berhati-
hati melihat permainan ilmu Panembahan Bajang yang kadang-kadang sangat
mengejutkan. Loncatan-loncatan yang tiba-tiba, kadang-kadang memang membuat
Mahisa Bungalan berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi itu bukan berarti bahwa
Mahisa Bungalan telah terdesak.
Bahkan Mahisa Bungalan pun telah mulai memanjat pula pada kemampuan
tertingginya. Hampir diluar sadarnya, Mahisa Bungalan telah meningkatkan
kemampuannya mendekati puncak kemampuan yang jarang ada duanya. Aji Gundala
Sasra.
Tetapi Mahisa Bungalan masih belum ingin melepaskan kemampuan puncaknya itu.
Ia masih berusaha untuk mengatasi lawannya dengan ilmunya pada tataran tertinggi.
Tetapi jika tidak perlu sekali, maka ia tidak akan melepaskan ilmu puncaknya itu.
Namun dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin
cepat dan keras. Panembahan Bajang nampaknya tidak lagi mengekang dirinya.
Bahkan, akhirnya Panembahan Bajang yang menjadi marah karena lawannya tidak
segera dapat diatasinya itu, telah mulai melepaskan ilmu pada tataran tertingginya
pula. Dalam saat-saat serangan Mahisa Bungalan yang perkasa datang membadai,
maksud Panembahan Bajang yang yakin akan dapat mengalahkan lawannya yang
masih jauh lebih muda daripadanya itu justru telah terdesak. Pada saat Panembahan
Bajang menghindari serangan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan tidak
membiarkannya.
Ia pun telah sampai pada tataran tertinggi sehingga geraknya menjadi semakin cepat
dan mengejutkan. Ketika Mahisa Bungalan kemudian memburunya, maka
Panembahan Bajang harus beringsut lagi menghindar. Namun Mahisa Bungalan

8
tidak ingin melepaskannya. Sekali lagi telah melancarkan serangan dengan segenap
kekuatannya didorong oleh tenaga cadangan dan lambaran ilmunya.
Serangan itu datang demikian cepatnya, sehingga Panembahan Bajang tidak sempat
menghindarinya. Karena itu, maka Panembahan Bajang telah berusaha untuk
melindungi dirinya dengan menangkis serangan itu.
Yang terjadi adalah satu benturan yang keras. Dua kekuatan pada tataran tertinggi
dari ilmu yang dahsyat telah saling berbenturan. Dengan demikian, maka akibatnya
pun telah mengejutkan kedua belah pihak.
Ternyata Mahisa Bungalan yang mengenai Panembahan Bajang yang sengaja
menangkis serangan itu, merasa bagaikan menghantam dinding baja. Karena itu,
maka ia justru terdorong surut beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan
keseimbangan dan jatuh berguling. Untunglah, ia cepat menguasai diri dan berdiri
tegak diatas kedua kakinya.
Namun sementara itu Panembahan Bajang sendiri telah terdorong pula oleh kekuatan
Mahisa Bungalan. Tubuhnya yang kerdil itu bagaikan terlempar. Namun
Panembahan Bajang itu dengan tangkasnya justru telah melenting dan berputar
sambil berguling diatas tanah. Dengan serta merta iapun telah meloncat berdiri dan
siap menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat itu Mahisa Bungalan telah tegak pula dengan kokohnya. Bahkan demikian
Panembahan Bajang tegak, Mahisa Bungalan telah bersiap untuk menyerangnya.
Namun ternyata Panembahan Bajang tidak ingin didahului lagi oleh Mahisa
Bungalan. Dengan cepat Panembahan Bajang menggerakkan tangannya, membuka
telapak tangannya menghadap ke arah Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan terkejut. Namun iapun segera menyadari, bahwa Panembahan
Bajang telah sampai ke puncak kemampuannya.
Pada saat yang demikian, seakan-akan dari telapak tangan Panembahan Bajang telah
meloncat petir yang menyambar Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan yang sangat berhati-hati menghadapi lawannya yang kerdil
itu, sempat melihatnya.
Karena itu, maka iapun telah sempat meloncat menghindar. Namun Panembahan
Bajang tidak menghentikan serangannya hanya pada serangan yang pertama. Iapun
telah menyusul serangan yang pertama dengan serangan berikutnya, sehingga Mahisa
Bungalan harus berloncatan dengan cepat untuk selalu menghindari serangan itu.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada terlibat ke dalam pertempuran yang sengit
pula melawan Ki Ajar Bomantara. Ternyata pertapa itu benar-benar seorang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Pangeran Singa Narpada benar-benar
harus berhati-hati menghadapinya. Banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam
pertempuran itu, sehingga Pangeran Singa Narpada yakin, bahwa ia tidak sekedar
dapat mempergunakan wadagnya, ilmu dan kemampuannya, tetapi juga otaknya.
Yang dilakukan Ki Ajar memang banyak mengandung kemungkinan. Karena itu,
Pangeran Singa Narpada harus dengan cepat memecahkan kemungkinan-
kemungkinan itu sehingga sampai pada satu kesimpulan sebelum mengambil sikap.

9
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi sulit untuk diterka.
Kadang-kadang yang tidak terduga-duga telah terjadi. Tetapi sebaliknya yang
diperkirakan akan terjadi, justru tidak.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar harus bekerja sebaik-baiknya untuk menghadapi
Pangeran Singa Narpada. Ia harus yakin, bahwa ia akan memenangkan pertempuran.
Seandainya ia sendiri pada saat itu tidak bertemu dengan Pangeran Singa Narpada,
maka Pangeran Lembu Sabdata lah yang harus melakukan untuknya.
Karena itu, menurut perhitungannya, maka Pangeran Singa Narpada yang langsung
menghadapinya itu, pada suatu saat akan dihancurkannya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya digulung
oleh kemampuan dan ilmu Ki Ajar. Karena itu, maka apapun yang terjadi,
dihadapinya dengan hati yang tabah. Ketabahan hati seorang Senapati Agung yang
pantang menyerah.
Tetapi Ki Ajar dengan penuh keyakinan telah menekan lawannya. Ia harus
menunjukkan kepada murid-muridnya di padepokan itu, juga kepada muridnya yang
khusus Pangeran Lembu Sabdata, bahwa Pangeran Singa Narpada bukan apa-apa
baginya.
Dengan perhitungan yang cermat, Ki Ajar berusaha untuk selalu berada selapis diatas
tataran kemampuan lawannya. Demikian Pangeran Singa Narpada berusaha
mengimbangi Ki Ajar dengan meningkatkan ilmunya, maka Ki Ajar sudah selapis
pula di atasnya.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada harus bekerja keras untuk dapat
bertahan terhadap lawannya. Dalam kesempatan yang terbuka, maka serangan Ki
Ajar memang datang bagaikan badai. Menerjang dengan kekuatan yang tidak
terlawan, sehingga setiap kali Pangeran Singa Narpada memang terdesak surut.
Untuk mengimbangi tingkat ilmu lawannya, Pangeran Singa Narpada berusaha untuk
sampai kepada tingkat tertinggi kemampuannya ilmu kewadagannya. Dengan
demikian ia mampu bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata.
Dengan kecepatan gerak itu Pangeran Singa Narpada berusaha, untuk mengurangi
tekanan Ki Ajar yang terus semakin berat.
Namun ternyata bahwa Ki Ajar masih belum sampai ke puncak. Ketika Pangeran
Singa Narpada mengerahkan kemampuannya dan menitik beratkan perlawanannya
kepada kecepatan gerak, maka Ki Ajar itu tertawa. Katanya, “Kau akan mencoba
untuk mengatasi kecepatan gerakku Pangeran.”
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun ia sadar, bahwa dalam keadaan
yang demikian, maka Ki Ajar itu tidak sekedar bergurau. Ia akan mampu untuk
berbuat lebih banyak lagi dari yang dilakukannya.
Sebenarnyalah ternyata bahwa Ki Ajar telah meningkatkan pula kecepatan geraknya,
sehingga Pangeran Singa Narpada tidak berhasil mengatasinya dengan bertumpu
kepada kecepatannya.
Dengan demikian maka akhirnya Pangeran Singa Narpada pun telah meningkatkan
ilmunya pula tidak sekedar pada puncak kemampuan kewadagannya. Dengan
memusatkan nalar budinya, maka iapun telah merambah dalam kemampuan ilmunya

10
yang dilambarinya dengan ungkapan tenaganya yang paling dalam, yang disadapnya
dari kekuatan alam yang melingkunginya.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada telah menggeram bagaikan seekor
singa. Dengan menghentikan semua daya ungkapnya atas kemampuannya untuk
menyadap kekuatan dari alam sekitarnya, maka Pangeran Singa Narpada telah
mengisi semua tatageraknya dan daya tahannya dengan kekuatan-kekuatan yang
hanya dapat disadapnya lewat laku yang rumit dan berat.
Karena itulah maka kekuatan dan daya tahan Pangeran Singa Narpada benar-benar
sampai pada satu tataran diluar jangkauan nalar dan pikiran wantah.
Ki Bomantara terkejut melihat perubahan yang terjadi pada Pangeran Singa Narpada.
Ketika terjadi benturan kekuatan meskipun tidak langsung, namun Ki Ajar telah
mendapat kesan, bahwa kekuatan Pangeran Singa Narpada telah menjadi berlipat
ganda.
Ki Ajar Bomantara menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian katanya,
“Tingkah laku Pangeran lelah mempercepat penyelesaian. Pangeran telah
memamerkan satu kekuatan yang luar biasa. Yang tidak dapat aku lawan dengan
kemampuan wajar dan tenaga cadangan yang tersedia didalam diriku. Karena itu,
maka biarlah kita mempertemukan ilmu kita masing-masing. Justru karena aku tidak
ingin menjadi korban karena ilmu Pangeran, biarlah ilmukulah yang melumatkan
Pangeran.”
Pangeran Singa Narpada pun menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar apa yang akan
terjadi. Karena itu maka sebelum ia dilumatkan, maka ia harus membangunkan
seluruh kekuatannya.
Namun demikian, maka sejenak kemudian, Ki Ajar benar-benar melakukan apa yang
dikatakannya. Dengan ilmunya yang mampu membangunkan kekuatan yang
disadapnya dari luar dirinya, maka iapun bagaikan memiliki kekuatan raksasa.
Bahkan lebih dari itu, maka tiba-tiba saja udara di sekitar Ki Ajar itupun menjadi
hangat. Bukan saja hangat, tetapi semakin lama menjadi semakin panas.
Ilmu yang dilepaskan oleh Ki Ajar adalah sejenis ilmu yang telah diteruskannya
kepada Pututnya dan kepada Pangeran Lembu Sabdata, sehingga keduanya mampu
membangunkan ilmu seperti itu. Namun yang ternyata keduanya membentur
kekuatan yang mampu mengimbanginya.
Sebenarnyalah bahwa Putut terpercaya dari padepokan itu tidak sempat melepaskan
ilmu puncaknya yang dapat membakar udara di sekitarnya. Memang tataran
kemampuan pemusatan nalar budi untuk melepaskan ilmu itu berbeda dari gurunya.
Karena itu ketika ia terlibat dalam pertempuran pada jarak pendek, Putut itu benar-
benar tidak mempunyai kesempatan. Sementara itu Mahisa Murti telah pula
mengerahkan ilmunya yang menggetarkan yang disadapnya dari gurunya yang juga
adalah ayahnya.
Hampir berbareng Pangeran Lembu Sabdata juga mulai digetarkan oleh kemampuan
lawannya. Anak muda yang dikiranya tidak akan mampu bertahan sepenginang.
Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak banyak mendapat kesempatan
untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan pada tataran terakhir, ternyata Mahisa
Pukat benar-benar mampu mengimbanginya.
11
Namun yang nampak mulai terdesak adalah justru Putut terpercaya diantara para
murid Ki Ajar Bomantara. Perlahan-lahan ia merasakan betapa lawannya masih
mampu meningkatkan ilmunya selapis, meskipun sangat tipis.
Tetapi kelebihan selapis tipis itu belum menentukan apakah Putut itu akan dapat
dikalahkan oleh lawannya. Jika lawannya membuat kesalahan sedikit saja, maka
mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Mungkin yang ilmunya kalah selapis tipis
itu akan berhasil menyelesaikan pertempuran dengan kemenangan.
Namun Mahisa Murti pun bertempur dengan sangat cermat. Ia tidak mau membuat
kesalahan barang sedikit pun. Jika lawannya dengan serta merta meloncat menjauh
untuk mengambil jarak, maka iapun dengan cepat memburunya, sehingga ilmu yang
dilontarkan itu tidak sempat memanaskan tubuhnya.
Dengan demikian, maka yang dipergunakan oleh Putut itu adalah ilmunya yang
mempergunakan ujud wadagnya untuk melawan Mahisa Murti. Sekali-sekali Putut
itu mampu juga mengerahkan kemampuannya dan mendesak lawannya.
Mahisa Murti lah yang kemudian merasa bahwa ia telah terlalu lama mengerahkan
segenap kemampuannya, namun tidak berhasil mengalahkan lawannya. Sementara
itu, Mahisa Murti pun menyadari, jika ia dipaksa untuk mengerahkan kemampuannya
dalam tataran itu untuk beberapa lama lagi, maka kemampuannya pun akan segera
susut.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah sampai kepada satu keputusan
untuk mengakhiri pertempuran.
Untuk beberapa saat, para cantrik yang menyaksikan pertempuran itu masih
menganggap bahwa kemampuan ilmu kedua orang itu seimbang. Desak mendesak,
serang menyerang, meskipun Putut terpercaya itu memang lebih sering bergeser
menjauh.
Para cantrik itu juga melihat, bahwa keduanya telah sering tersentuh oleh serangan-
serangan lawannya. Sekali-sekali mereka berdesah. Namun kemudian mereka-pun
telah bertempur bagaikan putaran angin pusaran.
Dalam kesadaran bahwa tenaganya sudah sampai ke batas, sehingga Mahisa Murti
merasa bahwa tataran kekuatannya mulai pada titik menurun, maka Mahisa Murti
pun segera mengambil sikap.
Sementara itu Putut yang berusaha untuk mengambil jarak itu merasa heran, bahwa
pada saat Mahisa Murti tidak memburunya. Putut itu mengira, bahwa kecepatan
geraknya tidak lagi terjangkau oleh kemampuan Mahisa Murti, yang diperhitungkan
oleh lawannya, kemampuannya memang mulai menurun.
Karena itu, maka kesempatan itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Putut itu
mampu mengerahkan ilmunya untuk melepaskan pancaran panas pada udara di
sekelilingnya.
Namun pada saat yang bersamaan Mahisa Murti ternyata telah membangunkan
puncak ilmunya pula. Sebagaimana diwariskan oleh ayahnya, maka Mahisa Murti
akan mampu melepaskan ilmu yang sulit dicari imbangannya.
Dalam waktu yang melampaui batas kecepatan angan-angan para cantrik yang
menyaksikan pertempuran itu, maka keduanya telah mampu melepaskan ilmu
masing-masing. Putut itu benar-benar telah membakar udara di sekitarnya. Sementara
12
itu, Mahisa Murti pun telah membentangkan tangannya, kemudian bersilang dan
ketika terasa udara panas mulai menyentuhnya, maka Mahisa Murti dengan
perhitungan yang matang, telah meloncat justru memasuki lingkungan udara panas
itu.
Kulit dagingnya memang terasa bagaikan dibenam dalam api. Namun Mahisa Murti
harus meyakinkan dirinya, bahwa ia harus melakukannya apapun yang terjadi.
Betapa terasa kulitnya terkelupas oleh panasnya api, namun akhirnya tangan Mahisa
Murti berhasil menyentuh tubuh Putut terpercaya di padepokan itu, yang menjadi
tetua para cantrik yang telah memiliki pula puncak kemampuan dari cabang
perguruan Ki Ajar Bomantara.
Dua ilmu yang nggegirisi telah membentur sasaran masing-masing. Ilmu yang
dilontarkan oleh Putut itu benar-benar telah membakar tubuh Mahisa Murti sehingga
di beberapa bagian tubuh itu benar-benar telah terkelupas.
Namun dalam pada itu, tangan Mahisa Murti dalam puncak ilmunya telah
menghantam, kening Putut yang terpercaya itu.
Benturan ilmu pada sasaran masing-masing itu bagaikan telah mengguncangkan
padepokan itu. Perhatian orang-orang yang ada di halaman itu, bahkan yang sedang
bertempur sekalipun telah tertarik pada peristiwa yang dahsyat itu.
Yang kemudian mereka lihat adalah, dua sosok tubuh yang kemudian terbaring diam.
Beberapa orang cantrik dengan serta merta telah berloncatan mendekat. Namun
dalam pada itu terdengar suara Mahisa Bungalan, “Jangan kalian nodai sifat kesatria
dari dua orang yang telah bertempur mempertaruhkan nyawa mereka. Biarlah mereka
tetap dalam keadaannya.”
Para cantrik itupun tertegun diam. Namun yang terdengar kemudian adalah suara Ki
Ajar, “Kau mencemaskan kejujuran para cantrik. Mereka tidak akan mencekik
kawanmu seandainya mereka masih hidup. Tetapi jika itu membuat kau menjadi
ragu-ragu akan kejujuran kami, maka biarlah keduanya tetap dalam keadaannya.
Tetapi jika kawanmu itu kemudian mati kehausan seandainya ia masih hidup, jangan
menyesal. Cantrik-cantrikku tentu bermaksud menolongnya jika kau tidak
mencurigainya.”
“Ia tidak memerlukan pertolongan,” jawab Mahisa Bungalan, “Terima kasih.”
“O,“ geram Panembahan Bajang sambil bertempur. ”Kau dapat juga mengucapkan
terima kasih.”
Mahisa Bungalan tidak menyahut. Namun keduanya bertempur semakin dahsyat.
Loncatan api yang memancar dari telapak tangan Panembahan Bajang masih
menyambar-nyambar, sementara Mahisa Bungalan masih saja harus meloncat
menghindar. Untunglah bahwa ancang-ancang Panembahan Bajang pada saat
melontarkan ilmunya dapat dibaca oleh Mahisa Bungalan sehingga ia mampu untuk
meloncat menghindar. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya
menjadi sasaran ilmu Panembahan Bajang.
Namun sementara itu, Ki Ajar pun telah berteriak kepada para cantrik, “Biarkan
kedua orang itu dalam keadaannya.”

13
Tetapi dalam pada itu, serangan-serangan Ki Ajar pun telah datang membadai.
Dengan kemampuan ilmunya yang dapat membakar udara di sekitarnya, ia selalu
memburu Pangeran Singa Narpada.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada mengalami sedikit kesulitan dengan
lawannya. Daya tahan Pangeran Singa Narpada memang cukup tinggi, jauh lebih
tinggi dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi ilmu yang disadap dari panasnya
api itupun dilontarkan oleh Ki Ajar Bomantara. Bukan oleh Pututnya yang terbaring
diam di samping tubuh Mahisa Murti.
Namun sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran
Singa Narpada menganggap bahwa ia akan dapat memadamkan ilmu itu pada
sumbernya. Karena itu, dengan mengerahkan daya tahannya maka Pangeran Singa
Narpada telah menyusup pertahanan Ki Ajar Bomantara untuk langsung berusaha
memadamkan ilmu itu.
Usaha Pangeran Singa Narpada untuk menyusup memang berhasil. Tetapi ternyata
kematangan ilmu Ki Ajar membuatnya jauh lebih baik dalam ungkapan ilmu
puncaknya itu. Karena itu serangan Pangeran Singa Narpada memang harus
dihindarinya. Namun pada saat-saat ia berloncatan menghindar, ternyata bahwa
serangannya dengan ilmu puncaknya itu tidak mengendor. Udara masih tetap panas
bagaikan membara, sehingga setiap kali, maka Pangeran Singa Narpada harus
mencari kesempatan untuk berloncatan menjauh.
Ki Ajar Bomantara tertawa. Katanya, “Pangeran. Kau adalah orang yang ditakuti di
seluruh Kediri. Pangeran Kuda Permati pun merasa segan terhadapmu. Namun
menurut perhitunganku, maka kau memang memiliki ilmu setingkat dengan
Pangeran Kuda Permati, atau katakanlah kematangan ilmumu selapis lebih tinggi.
Tetapi kemampuan memecahkan persoalan dengan otaknya, Pengeran Kuda Permati
jauh lebih baik dari padamu. Dan kini kau berhadapan dengan guru Pangeran Kuda
Permati. Nah, kau sudah dapat mengira-irakan akhir dari pertempuran ini.”
Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin cepat. Namun ia tidak dapat
ingkar bahwa kemampuan ilmu Ki Ajar benar-benar nggegirisi. Jika ia harus
bertempur dengan cara itu untuk seterusnya, maka iapun pada akhirnya akan menjadi
arang dan debu.
Namun Ki Ajar memang seorang yang memiliki kemampuan bagaikan tanpa batas.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata.
Ia berhasil mendesak lawannya, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan,
bahwa Pangeran Singa Narpada menghendaki apabila mungkin menangkap Pangeran
itu hidup-hidup.
Karena itu, maka dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya,
Mahisa Pukat telah berusaha mendesak Pangeran Lembu Sabdata untuk sampai pada
satu keadaan yang tidak dapat diatasi lagi atau sampai pada suatu keadaan yang
lemah sekali oleh keletihan.
Namun tidak mudah bagi Mahisa Pukat untuk melakukannya. Pangeran Lembu
Sabdata juga seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi serta perhitungan yang
mapan. Karena itu, maka menanggapi serangan-serangan Mahisa Pukat pada jarak
yang pendek itu, iapun telah berusaha untuk membuat jebakan-jebakan yang dapat
14
membuat jarak antara dirinya dengan Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat tidak mau
kehilangan. Ia mampu bergerak secepat lawannya, serta mampu mengurangi
langkah-langkah yang diambilnya. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata tidak
pernah berhasil memisahkan Mahisa Pukat dengan jarak dari dirinya.
Yang menjadi semakin seru adalah pertempuran antara Ki Ajar Bomantara melawan
Pangeran Singa Narpada. Ilmu Ki Ajar seakan-akan memancar dari dirinya tanpa
jarak waktu sekejap pun dari saat yang dikehendakinya.
Meskipun ia harus berloncatan menghindari dan menangkis serangan lawan, tetapi
serangannya itu masih tetap mencengkam dan membakar udara di seputarnya
bagaikan bara api tempurung.
Beberapa kali Pangeran Singa Narpada harus meloncat menjauh. Ia harus
memecahkan ilmu lawannya yang nggegirisi itu.
Dalam pada itu terdengar suara tertawa Ki Ajar Bomantara sambil berkata,
“Pangeran. Jangan menyesal. Pangeran lah yang telah memasuki padepokan. Jika
kemudian Pangeran akan terbakar hidup-hidup disini, adalah karena pokal Pangeran
sendiri. Dengan demikian maka Pangeran sudah memetik hasil pekerjaan Pangeran
sendiri.”
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia telah digiring oleh Ki Ajar ke
sudut halaman. Jika Pangeran Singa Narpada tidak lagi mampu menjauhi lawannya,
maka ia tentu akan terbakar hangus karena ilmu Ki Ajar yang nggegirisi itu.
Suara Ki Ajar masih terdengar menggetarkan udara halaman padepokan itu.
Selangkah demi selangkah ia bergeser maju, sementara Pangeran Singa Narpada
harus berloncatan mengambil jarak. Meskipun demikian Pangeran Singa Narpada itu
masih juga berusaha untuk menyusup di panasnya ilmu Ki Ajar dan dengan segenap
kekuatan yang ada padanya menyerang lawannya. Namun Ki Ajar mampu
menghindari serangan-serangan itu, atau menangkisnya.
Kadang-kadang Pangeran Singa Narpada memang bergerak terlalu cepat, sehingga
Ki Ajar tidak dapat menghindari serangan itu, dan terpaksa menangkisnya.
Tetapi dalam udara yang panas, maka kemampuan Pangeran Singa Narpada seakan-
akan telah menyusut, karena sebagian besar kemampuannya diterapkan untuk
melindungi dirinya dengan mempertebal daya tahannya. Namun begitu, terasa
kulitnya kadang-kadang masih terkelupas juga.
“Sudahlah Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Sebaiknya Pangeran menghentikan saja
perlawanan ini dan mati dengan tenang. Karena dalam keadaan seperti ini, sudah
tidak ada lagi jalan kembali bagi Pangeran selain kematian. Tetapi bukanlah pada
saat terakhir Pangeran masih dapat memilih jalan kematian yang paling baik?”
Hati Pangeran Singa Narpada bagaikan menyala mendengar kata-kata itu. Karena itu,
maka akhirnya Pangeran Singa Narpada sampai pada suatu pertimbangan untuk
dengan kemampuannya yang terakhir merebut kemenangan.
“Tetapi apakah aku harus mempergunakan ilmu itu?” berkata Pangeran singa
Narpada di dalam hatinya.
Tetapi memang tidak ada jalan lain. Meskipun Pangeran Singa Narpada merasa
segan, namun ia memang berada dalam satu keharusan, meskipun hal itu masih juga

15
belum menjamin bahwa ia akan dapat memecahkan ilmu lawannya yang luar biasa
itu.
Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada sengaja menjauhi lawannya yang berusaha
mendesaknya. Namun sebenarnyalah ia tengah mengambil ancang-ancang. Ia
berusaha untuk dapat mengetrapkan ilmunya, meskipun pada saat itu ilmu itu jarang
dikenal.
“Ilmu ini agak licik,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya. Namun
kemudian dibantahnya sendiri, “Kenapa licik?”
Akhirnya Pangeran Singa Narpada memutuskan, bahwa ia harus mempertahankan
hidupnya. Karena itu, maka tidak ada jalan lain untuk berusaha, selain
mempergunakan ilmunya itu, yang mungkin akan dapat menolongnya atau
memperpanjang perlawanannya.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada pun telah bersiap dengan ilmunya
yang jarang sekali hadir didalam unsur tata geraknya dalam pertempuran yang
betapapun dahsyatnya.
Ketika Ki Ajar dengan kemampuannya membakar udara di sekitarnya maju
selangkah lagi, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berusaha meningkatkan
daya tahannya untuk mengatasi udara panas itu. Dengan kecepatan yang hampir tidak
dapat dilihat, maka Pangeran Singa Narpada pun telah meloncat menyerang
lawannya.
Ki Ajar masih sempat menghindari serangan itu tanpa melepaskan pancaran
panasnya. Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak segera bergeser menjauh.
Tetapi sekali lagi ia menyerang dengan cepatnya. Kakinya terlontar mengarah
lambung.
Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ajar tidak sempat menghindar, tetapi ia
harus menangkisnya sebagaimana selalu dilakukannya.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun Pangeran Singa Narpada tidak
dapat bertahan terlalu lama karena udara panas. Ia harus melenting menjauh untuk
mendapatkan kesegaran baru karena dengan demikian ia terhindar dari panasnya
udara.
Namun sekejap kemudian, diluar dugaan, maka Pangeran Singa Narpada telah
menyerang lagi dengan loncatan yang panjang mengarah ke dada. Demikian tiba-
tiba, sehingga sekali lagi Ki Ajar harus menangkisnya. Kembali terjadi sebuah
benturan yang keras. Namun kembali Pangeran Singa Narpada harus berloncatan
menjauh.
Ki Ajar masih juga tertawa. Katanya, “Marilah Pangeran. Kerahkan semua ilmu dan
jimat. Ternyata bahwa orang terbaik di Kediri sebentar lagi akan terkapar mati di
padepokan terpencil ini meskipun bagi satu pengabdian. Tetapi ternyata pengabdian
itu akan sia-sia.”
Belum lagi Ki Ajar terdiam, Pangeran Singa Narpada sekali lagi menyerang.
Serangannya sangat rendah. Kakinya yang mendatar mengarah ke perut lawan.
Sekali lagi Ki Ajar terkejut, sehingga Ki Ajar tidak menghindari serangan itu, tetapi
memukul kaki Pangeran Singa Narpada dengan pukulan menyamping. Tetapi
Pangeran Singa Narpada justru telah berputar setengah lingkaran. Dan bertumpu
16
pada kakinya yang kemudian diletakkan, maka kakinya yang lain telah menyambar
pula lambung lawannya.
Sekali lagi Pangeran Singa Narpada gagal mengenai sasaran karena Ki Ajar telah
menangkisnya dengan sikunya sambil memiringkan tubuhnya dengan agak
merendah.
Pangeran Singa Narpada masih akan menyerang lagi. Tetapi udara panas serasa
mencekiknya, sehingga ia harus meloncat surut.
Namun ternyata bahwa Ki Ajar tidak ingin melepaskannya. Sebagaimana Pangeran
Singa Narpada, maka lawannya itupun ingin dengan cepat mengalahkannya.
Karena itu, ketika Pangeran Singa Narpada meloncat surut, maka Ki Ajar pun telah
memburunya.
Tetapi ada sesuatu yang terasa agak lain pada dirinya. Ia merasa bahwa tenaganya
tidak sekuat pada saat-saat sebelumnya, sehingga ia tidak mampu bergerak secepat
Pangeran Singa Narpada.
“Aku belum merasa mengerahkan tenaga melampaui daya dan kekuatan yang ada
padaku,” berkata Ki Ajar itu didalam hatinya, “Sehingga menyusutkan
kemampuanku.”
Namun karena itu, maka ia tidak sempat menyerang Pangeran Singa Narpada dengan
serta merta. Pangeran Singa Narpada sempat meloncat lagi menjauhinya.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian telah berusaha mendekati
lawannya lagi. Ia sadar, bahwa Pangeran Singa Narpada berusaha untuk melepaskan
diri dari cengkaman hawa panas.
Pangeran Singa Narpada yang telah mendapat kesempatan menyegarkan tubuhnya,
telah bersiap pula. Namun udara panas yang dilontarkan oleh Ki Ajar itu rasa-rasanya
telah mulai menyusup ke dalam kulit dagingnya dan menyakitinya. Tetapi ia tidak
boleh berhenti. Ia harus bertempur sampai selesai, siapapun yang ternyata kemudian
harus mati.
Namun dalam pada itu, justru Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian memasuki
lingkaran udara panas di sekitar lawannya. Sekali lagi ia menyerang dengan
garangnya meskipun ia harus menyeringai menahan panas.
Ki Ajar masih sempat menghindar. Namun sekali lagi ia merasa bahwa ada sesuatu
yang kurang pada dirinya. Ia tidak dapat bergerak secepat yang dikehendaki,
sehingga hampir saja serangan Pangeran Singa Narpada itu benar-benar
mengenainya.
Namun demikian serangan itu luput dari sasaran, maka Pangeran Singa Narpada telah
berputar dan mengayunkan kakinya mendatar. Betapa terasa panasnya udara yang
menggigit tubuhnya, namun ternyata bahwa serangannya itu cukup berbahaya
sehingga Ki Ajar harus menangkis serangan yang tidak lagi sempat dihindarinya itu.
Terasa dorongan serangan itu hampir saja membantingnya jatuh ketika serangan itu
membentur tangannya yang menangkis serangan itu, terasa kekuatan Pangeran Singa
Narpada seakan-akan telah bertambah-tambah.
Tetapi Pangeran Singa Narpada pun harus segera menghindar ketika udara panas
hampir saja mengelupas kulitnya.

17
Namun, sebenarnyalah Ki Ajar merasa sangat heran tentang dirinya sendiri.
Kemampuannya terasa menjadi susut. Kemampuannya tidak lagi sebagaimana saat-
saat ia mengerahkan pada puncak ilmunya. Bahkan tulang-tulangnya serasa menjadi
semakin lemah dan tidak lagi mampu mendukung gejolak kekuatan ilmunya.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Ajar itu kepada diri sendiri.
Tetapi jawabannya tidak segera didapatkannya. Ia harus bertempur dengan
mengerahkan segenap kemampuannya yang terasa semakin menyusut.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun mulai melihat perubahan pada
lawannya. Ki Ajar tidak lagi mampu bergerak cepat dan bahkan terasa oleh Pangeran
Singa Narpada, kemampuan Ki Ajar membakar udara di sekitarnya pun menjadi
susut. Meskipun udara masih terasa panas, tetapi seorang yang memiliki ilmu yang
tinggi segalanya sudah susut, sehingga akhirnya semuanya akan larut dan habis sama
sekali.
Serangan-serangan Pangeran Singa Narpada pun semakin lama menjadi semakin
sering. Betapa kulitnya benar-benar menjadi terkelupas oleh panasnya udara, justru
dalam benturan-benturan yang terjadi.
Namun demikian, maka ilmunya ternyata mampu mengatasi kesulitan yang hampir
tidak teratasi.
Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih merasa seakan-akan ia tidak lagi
bertempur dengan jujur.
“Aku telah dengan bersembunyi mengurangi daya kekuatan ilmunya,” berkata
Pangeran Singa Narpada.
Namun kemudian dijawabnya sendiri. “Seperti ilmu yang lain yang dapat dianggap
pula licik. Melontarkan udara panas tidak lebih baik dari ilmu yang aku pergunakan.”
Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin nampak bahwa
telah terjadi perubahan yang terhitung cepat pada diri Ki Ajar. Kekuatannya dan
kemampuannya telah menyusut melampaui kewajaran jika ia mengerahkan
kemampuan ilmunya. Bahkan semakin lama semakin jelas, bahwa Ki Ajar
mengalami kesulitan untuk melawan dan menghindari serangan-serangan Pangeran
Singa Narpada berikutnya.
Dalam keadaan yang sulit itulah Pangeran Singa Narpada berusaha untuk
menekannya semakin berat dan bahkan kemudian untuk mengakhirinya sama sekali.
Sementara itu, Ki Ajar pun menyadari keadaannya. Tiba-tiba saja ia berteriak
lantang, “Kau licik Pangeran. Kau mempergunakan ilmu iblis itu. Kau telah
menghisap kekuatanku di setiap sentuhan. Ilmu yang tidak pantas dipergunakan oleh
para kesatria, apalagi kesatria dalam jabatan tertinggi sebagaimana Pangeran Singa
Narpada.”
Wajah Pangeran Singa Narpada menegang. Tuduhan itu membuatnya agak
kebingungan. Ilmu itu memang ilmu yang jarang sekali terdapat pada saat itu.
Tetapi ia masih selalu bertanya, “Kenapa licik?”
Untuk beberapa saat Pengeran Singa Narpada termangu-mangu. Bahkan ia
melangkah surut ketika Ki Ajar mendekatinya. Udara panas masih terasa. Tetapi
sudah jauh susut dari semula.

18
“Kenapa kau sampai hati mempergunakan ilmu iblis itu Pangeran?” bertanya Ki
Ajar. Wajahnya mulai menjadi pucat dan darahnya pun seakan-akan telah terhisap
dalam setiap sentuhan dengan tubuh Pangeran Singa Narpada.
Jantung Pangeran Singa Narpada berdenyut semakin cepat. Namun kemudian
katanya, “Ki Ajar, kenapa kau sebut ilmu itu licik?”
“Kau curi kekuatanku dengan langkah yang tidak tangguh tanggon? Perbuatanmu
tidak ubahnya dengan perbuatan seorang pencuri yang dengan bersembunyi
mengambil milik orang lain,” berkata Ki Ajar.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menjawab, “Ki Ajar. Dalam pertempuran kita mempergunakan senjata apa saja yang
kita punya. Aku tidak menyerangmu dari belakang. Aku juga tidak menyerangmu
pada saat kau tidur. Tetapi kita berhadapan dan saling melepaskan ilmu. Aku
bersedia akan menekan ilmu yang kau anggap licik ini jika kau juga tidak
mempergunakan ilmu pemanasmu. Bukankah ilmu juga ilmu yang licik karena kau
tidak memberi kesempatan kepada lawanmu dalam suasana yang sama?”
“Persetan,“ geram Ki Ajar yang dengan tiba-tiba saja telah menyerang Pangeran
Singa Narpada.
Pangeran Singa Narpada tidak sempat menghindar. Tetapi ia telah mempersiapkan
diri sepenuhnya. Dengan mengerahkan daya tahannya ia melindungi dirinya dari
panasnya api yang terpencar dari sisa ilmu Ki Ajar Bomantara. Sementara itu, iapun
telah menangkis serangan itu, sehingga telah terjadi benturan diantara keduanya.
Ki Ajar memang sudah menjadi terlalu lemah. Dalam benturan itu Ki Ajar telah
terlempar dan jatuh berguling di tanah. Sementara itu sentuhan itu sendiri telah
menghisap sebagian dari kekuatan Ki Ajar pula.
Apalagi Pangeran Singa Narpada tiba-tiba saja telah menemukan kekuatan dan
ketabahan di hatinya, sehingga ia tidak lagi terpengaruh oleh pendapat, bahwa
ilmunya adalah ilmu yang licik.
Karena itu, ketika ia melihat Ki Ajar berusaha untuk bangkit maka dengan segenap
kekuatan yang ada padanya, maka iapun telah menyerang,. Dengan sepenuh kekuatan
yang ada didalam dirinya dialasi dengan tenaga cadangan dan kekuatan ilmunya,
maka Pangeran Singa Narpada telah meloncat menyimpang dengan kaki lurus
mendatar. Satu serangan yang langsung mengarah ke dada lawannya yang baru saja
sempat berdiri tegak.
Sekali lagi terjadi benturan. Kaki Pangeran Singa Narpada telah mengenai
sasarannya. Dengan derasnya bagaikan prahara, serangan Pangeran Singa Narpada
serasa telah meremukkan dada Ki Ajar yang telah kehilangan sebagian besar dari
kekuatannya. Udara panasnya tidak lagi dapat menahan serangan Pangeran Singa
Narpada yang meluncur dengan kekuatan yang tidak terkirakan besarnya itu.
Terdengar Ki Ajar mengaduh tertahan. Rasa-rasanya ujung gunung karang telah
menghantam dadanya. Iga-iganya telah berpatahan dan isi dadanya bagaikan telah
rontok dari tangkainya.
Terasa nafas Ki Ajar menjadi sesak. Matanya menjadi kabur dan ia benar-benar telah
kehilangan keseimbangan.

19
Ki Ajar seakan-akan telah terlempar jatuh dan terbanting di tanah. Sejenak ia masih
menggeliat, bahkan berusaha untuk bangkit. Namun sejenak kemudian pernafasannya
pun bagaikan telah tersumbat.
Untuk beberapa saat Ki Ajar justru terdiam. Ia masih berusaha untuk mengerahkan
sisa kemampuannya dengan memperbaiki pernafasannya. Dipejamkannya matanya
dan dikerahkannya daya tahannya.
Untuk beberapa saat, ia terbaring diam, sementara Pangeran Singa Narpada
termangu-mangu mengamatinya. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak melepaskan
kewaspadaan sama sekali. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan.
Sejenak kemudian ternyata bahwa Ki Ajar masih sempat memperbaiki keadaannya.
Pernafasannya dapat berjalan lebih baik dan darahnya pun mengalir dengan wajar.
Karena itu, maka iapun telah membuka matanya dan dengan sisa tenaganya telah
bangkit berdiri.
“Luar biasa,“ geram Pangeran Singa Narpada. Ia tidak dapat berlaku licik dengan
menyerang lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya tanpa
mampu untuk melawannya.
Baru ketika Ki Ajar berdiri tegak, Pangeran Singa Narpada berkata, “Kau masih akan
bertempur Ki Ajar.”
Ki Ajar itu memandang wajah Pangeran Singa Narpada dengan sorot mata penuh
dengan dendam dan kebencian. Dengan suara bergetar ia berkata, “Bagi kita
Pangeran, akhir dari perkelahian adalah kematian. Sebelum salah seorang diantara
kita mati, maka pertempuran ini masih belum berakhir.”
“Kau tidak mau menyerah?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Yang terdengar adalah suara tertawa iblis dari mulut Ki Ajar. Tetapi usahanya untuk
mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya dengan getaran suara tertawanya
tidak berlaku bagi Pangeran Singa Narpada. Meskipun rasa-rasanya kulit Pangeran
Singa Narpada telah terkelupas di beberapa bagian dan perasaan nyeri
mencengkamnya, namun ia masih mampu melawan ilmu Gelap Ngampar yang sudah
menjadi semakin lemah.
Namun ternyata bahwa pelepasan ilmu itu telah mempengaruhi keadaan tubuh Ki
Ajar itu sendiri. Tubuhnya yang benar-benar telah menjadi sangat lemah, ternyata
tidak mampu lagi menjadi alas lontaran ilmunya yang dipaksakannya. Karena itu,
maka darahnya yang sudah mengalir wajar itupun tiba-tiba bagaikan terhenti,
sementara pernafasannya pun menjadi bagaikan tersumbat.
Tetapi rasa-rasanya Ki Ajar itu sendiri tidak mau mengakui kenyataan tentang
dirinya. Ketika ia melihat Pangeran Singa Narpada masih berdiri tegak, maka iapun
menghentakkan ilmunya dengan segenap daya lontar yang seharusnya diberikan.
Tetapi keadaan wadag serta alas kemampuan ilmunya telah tidak ada sama sekali,
sehingga karena itu, maka lontaran ilmunya tidak ada lagi yang mendukungnya.
Dalam keadaan yang demikian, ternyata ilmu itu sendiri telah menghisap semua sisa
tenaga dan kekuatan wadag yang ada didalam diri Ki Ajar, sehingga tiba-tiba saja
terasa darahnya bagaikan mengering dan pernafasannya pun terputus.
Terdengar teriakan mengerikan. Satu pemberontakan terhadap kenyataan yang terjadi
atas dirinya.
20
Namun hentakan itu justru mempercepat penyelesaian. Darah Ki Ajar pun telah
berhenti mengalir ketika jantungnya berhenti berdetak. Nafasnya seolah-olah telah
membeku dan sebenarnyalah Ki Ajar telah kehilangan semua kesempatan.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Ki Ajar itu seakan-
akan telah membunuh dirinya sendiri tanpa disadarinya. Satu peristiwa yang sulit
untuk dimengerti. Karena Ki Ajar adalah seorang pertapa yang berilmu sangat tinggi
yang seharusnya mempunyai nalar yang mapan dan pengamatan yang tajam tentang
keadaannya.
Tetapi ternyata Ki Ajar benar-benar telah kehilangan nalar budinya. Ia tidak mampu
mengendalikan diri dan telah terjerumus ke dalam jebakan perasaannya sendiri.
Kematian Ki Ajar telah menggemparkan hati para cantrik di padepokan itu. Bagi
mereka Ki Ajar adalah puncak dari segala-galanya. Karena kematiannya bagi mereka
bagaikan kiamat rasanya. Apalagi Putut yang terpercaya yang setiap kali Ki Ajar
tidak ada di padepokan seolah-olah telah menggantikan kedudukannya telah tidak
ada pula beberapa saat sebelumnya.
Terasa padepokan itu benar-benar bagaikan dicengkam oleh suasana yang
menakutkan bagi para cantrik. Yang masih bertempur kemudian adalah Panembahan
Bajang melawan Mahisa Bungalan. Dan Pangeran Lembu Sabdata masih harus
bertempur melawan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata
sebenarnya sudah tidak memiliki kemungkinan apapun juga. Hanya karena Mahisa
Pukat ingin menangkapnya hidup-hidup, maka ia masih bertempur dengan hati-hati.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada sendiri tubuhnya dirasakan bagaikan remuk
didalam dan kulitnya rasa-rasanya terkelupas oleh udara panas. Namun ia tidak
tinggal diam. Ketika ia melihat lawannya benar-benar telah mati, maka ia merasa
berkewajiban untuk menolong dirinya sendiri dan Mahisa Murti yang terkapar
berbareng dengan Putut padepokan itu.
Dengan sisa tenaganya Pangeran Singa Narpada pun berjalan tertatih-tatih mendekati
tubuh yang terbaring diam. Namun ketika ia berjongkok di samping Mahisa Murti,
iapun menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Murti ternyata masih tetap hidup. Yang
terjadi padanya adalah sebagaimana terjadi pada Pangeran Singa Narpada sendiri.
Kekuatan ilmu Putut yang memiliki ilmu sebagaimana Ki Ajar itu sendiri telah
membakar kulit daging Mahisa Murti sehingga membuatnya beberapa saat menjadi
pingsan.
Tetapi lambat laun oleh udara yang segar dan angin yang mengalir, maka Mahisa
Murti pun telah mendekati kesadarannya kembali.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Putut, kepercayaan Ki Ajar itu telah
terbunuh. Ia tidak dapat bertahan ketika Mahisa Murti mempergunakan kekuatan
ilmu puncaknya yang diterimanya dari gurunya yang adalah ayahnya sendiri.
Dalam pada itu, yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada adalah
menunggu Mahisa Bungalan menyelesaikan pertempuran itu. Ternyata Panembahan
Bajang adalah seorang yang luar biasa. Dengan lontaran petirnya yang menyambar-
nyambar. Namun Mahisa Bungalan mampu berloncatan bagaikan burung sikatan.
Bahkan sekali-sekali, Mahisa Bungalan masih mampu menyusup diantara lontaran-
lontaran petir dari tangan Panembahan Bajang dan mengenainya dengan serangan-
21
serangan yang garang dan dilandasi dengan kekuatan ilmu yang mendebarkan.
Mahisa Bungalan memiliki dasar ilmu ayahnya dan pamannya Mahisa Agni.
Kemudian menyelesaikan sampai pada ilmu puncaknya pada Mahisa Agni yang
memberinya kemampuan untuk melontarkan ilmu Gundala Sasra.
Sebenarnya bahwa dalam keadaan yang terdesak oleh lontaran-lontaran petir dari
tangan lawannya, maka Mahisa Bungalan tidak mempunyai pilihan lain daripada
mempergunakan ilmu puncaknya. Ia harus berusaha untuk mendapat kesempatan
barang sekejap. Kemudian melepaskan ilmu Gundala Sasra itu.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun telah memperhitungkan keadaan dengan
sangat cermat. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menunggu bantuan dari siapapun
juga karena harga dirinya. Mereka sudah menyatakan diri untuk berhadapan dan
bertempur seorang melawan seorang. Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak
akan saling membantu, apapun yang akan terjadi, sebagaimana para cantrik juga
tidak berbuat sesuatu. Namun sebenarnyalah bahwa para cantrik itu memang tidak
akan banyak mempengaruhi pertempuran jika mereka terpaut terlalu banyak dengan
mereka yang terlibat ke dalam pertempuran itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata memang terpengaruh oleh keadaan yang
berkembang dalam pertempuran itu. Ia melihat Ki Ajar yang terbanting dan
kemudian terbaring diam. Sedangkan Putut yang terpercaya di padepokan itu, tidak
mampu mengalahkan lawannya. Bahkan keduanya telah terbaring pula di arena.
Sementara itu, Panembahan Bajang pun tidak dapat dengan segera menghancurkan
lawannya.
Bahkan ternyata Panembahan Bajang itu tidak lagi dapat ingkar dari kenyataan.
Lawannya yang masih muda itu masih belum sampai ke puncak ilmu tertingginya.
Lawannya yang masih muda itu masih akan dapat melakukan sesuatu yang dapat
mengejutkannya.
Sementara itu Panembahan Bajang pun menyadari, bahwa ia tidak lagi mempunyai
kawan yang akan dapat saling membantu, sementara ia sadar, bahwa lawan Ki Ajar
yang sudah bebas itu sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Jika
kekuatannya sebagian menjadi pulih kembali dan ia tidak bertahan pada harga
dirinya dan bertempur berpasangan dengan lawannya yang muda itu, maka
keadaannya akan menjadi sangat sulit.
Karena itu, ketika ia tidak lagi berpengharapan, maka Panembahan Bajang itupun
telah mengambil sikap.
Ketika Mahisa Bungalan sedang mencari kesempatan untuk melepaskan ilmu
puncaknya, maka Panembahan Bajang pun telah menentukan langkahnya sendiri. Ia
tidak menghiraukan lagi Pangeran Lembu Sabdata yang menjadi murid dan harapan
bagi Ki Ajar untuk dapat memperalatnya.
Dengan demikian, ketika kesempatan itu terbuka, maka dengan serta merta dan tidak
terduga, maka Panembahan Bajang itu telah meloncat justru menjauh.
Mahisa Bungalan terkejut. Ia memang berusaha mengejar. Tetapi yang sekejap telah
memberi kesempatan kepada Panembahan kerdil itu untuk mendahului meninggalkan
padepokan itu.

22
Seperti belalang Panembahan itu meloncat keatas dinding halaman, namun sejenak
kemudian ia telah hilang di pategalan diluar dinding halaman. Sementara Mahisa
Bungalan bertengger diatas dinding sambil mengamati pategalan itu, maka
Panembahan Bajang telah menyusup di antara pepohonan. Yang nampak oleh
Mahisa Bungalan hanya daun-daun yang terguncang, sementara Panembahan kerdil
itu sendiri ternyata telah terlindung oleh dedaunan dan gerumbul-gerumbul.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia tidak dapat
menyusul Panembahan kerdil itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak berusaha untuk mengejar dan
menangkapnya.
Bahkan meskipun Panembahan Bajang telah berada pada satu titik yang jauh, masih
terdengar suaranya menggelepar, “Tunggu. Aku akan membunuhmu dari
padepokanku. Kau tidak akan dapat bersembunyi dimanapun juga. Nyawamu ada di
tanganku.”
Mahisa Bungalan menggeram. Ia sama sekali tidak gentar mendengar ancaman itu.
Namun ia sangat kecewa bahwa ia telah kehilangan seorang lawannya yang mungkin
akan dapat menjadi semacam bara didalam sekam yang pada suatu saat akan dapat
membakar lingkungannya.
Tetapi hal itu sudah terjadi. Panembahan Bajang telah terlepas.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan teringat kepada Mahisa Murti yang dalam
keadaan gawat, serta Mahisa Pukat yang masih bertempur melawan Pangeran Lembu
Sabdata.
Karena itu, betapapun beratnya, maka ia harus melepaskan Panembahan Bajang dan
kembali ke halaman padepokan.
Yang pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Murti. Sementara itu Pangeran Singa
Narpada berkata, “Ia masih dapat bertahan. Meskipun keadaannya lemah sekali,
tetapi ia mempunyai kemampuan dengan daya tahannya.”
“Aku akan mengobatinya,” berkata Mahisa Bungalan.
“Hati-hatilah. Bukankah kau memerlukan air?” bertanya Pangeran Singa Narpada,
”Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata masih bertempur.”
“Aku berharap Mahisa Pukat dapat menguasainya,” berkata Mahisa Bungalan.
“Tetapi mungkin ia juga akan berusaha melarikan diri,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun dalam pada itu, keadaan Pangeran Singa
Narpada sendiri sudah menjadi semakin baik. Karena itu, maka katanya, “Pangeran
dapat menjaganya agar tidak melarikan diri, sementara aku akan mengambil air.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengangguk.
Jawabnya, “Baiklah. Aku akan mengawasi adimas Lembu Sabdata sekaligus adikmu
ini. Cepatlah mencari air untuk mencairkan obat yang kau tentu membawanya.”
“Apakah Pangeran tidak membawa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku juga membawanya,“ jawab Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi aku tidak dapat
meninggalkannya selagi kau masih bertempur. Mungkin seseorang akan berbuat
curang, sementara itu aku yakin, bahwa keadaannya tidak membahayakan jiwanya.

23
Keadaannya disebabkan hanya karena sengatan udara panas yang terasa sangat nyeri
seperti yang terjadi atas kulitku.”
Mahisa Bungalan pun kemudian telah meninggalkannya, sementara Pangeran Singa
Narpada telah bangkit mendekati arena untuk mengawasi keadaan agar Pangeran
Lembu Sabdata tidak sempat melarikan diri. Namun iapun harus mengawasi Mahisa
Murti yang terbaring diam, agar tidak diciderai oleh orang-orang padepokan itu yang
putus asa karena kematian Ki Ajar.
Sebenarnyalah para cantrik telah menjadi berputus asa. Mereka sudah tidak mampu
berpikir, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Yang mereka lihat kemudian adalah
Pangeran Lembu Sabdata yang masih bertempur melawan seorang anak muda yang
memiliki ilmu yang tinggi. Sedangkan menurut penglihatan para cantrik, sekali-
sekali Pangeran Lembu Sabdata ternyata telah terdesak surut.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata telah terjebak ke dalam satu keadaan yang jauh dari
impiannya. Ia berharap untuk dapat mengenakan sebuah mahkota yang menjadi
tempat bersemayam wahyu keraton, sehingga dengan demikian, maka ia akan
memerintah Kediri. Bahkan kemudian Kediri akan tegak kembali dan memaksa
Singasari untuk tunduk kepadanya dan menjadi tidak lebih dari sebuah pakuwon lagi.
Tumapel.
Namun, impian itu telah larut dengan terbunuhnya Ki Ajar Bomantara.
Bahkan terbunuhnya Ki Ajar Bomantara tidak lagi sekedar membuatnya kehilangan
semua harapan. Tetapi pengaruh kejiwaan yang mencengkamnya pun perlahan-lahan
telah menjadi kabur.
Kematian Ki Ajar, Putut kepercayaan Ki Ajar dan kemudian bahwa Panembahan
Bajang telah meninggalkan arena, merupakan goncangan-goncangan yang sulit untuk
diatasinya.
Sementara itu, Mahisa Pukat masih berusaha untuk menekannya. Dan Pangeran
Lembu Sabdata pun masih bertempur melawannya. Meskipun Mahisa Pukat menjadi
heran, bahwa telah terjadi sesuatu pada lawannya itu. Cara bertempur Pangeran
Lembu Sabdata pun tidak lagi teratur dan mencerminkan kemampuan seorang
berilmu tinggi. Tetapi gerak Pangeran Lembu Sabdata menjadi kasar dan kadang-
kadang telah kehilangan pegangan.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat menjadi bingung. Justru karena itulah maka ia
harus menyesuaikan diri dengan keadaan lawannya yang terasa menjadi asing.
Mahisa Pukat semakin bingung ketika kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu
tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras dan berkepanjangan. Bahkan
kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu seakan-akan tidak lagi menghiraukannya.
Mahisa Pukat menghentikan perlawannya. Dalam kebingungan ia melihat Pangeran
Lembu Sabdata itu menurut penglihatan telah kehilangan kesadarannya.
Dengan wajah yang tegang Mahisa Pukat memandang Pangeran Singa Narpada yang
gelisah. Pangeran Singa Narpada pun tidak segera menangkap persoalan yang
dihadapinya.
Namun sikap Pangeran Lembu Sabdata itu benar-benar membuat jantungnya
berdebar-debar.

24
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah kembali berjongkok di samping Mahisa
Murti. Sesaat perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Mahisa Murti yang dalam
keadaan parah meskipun menurut pengamatan Pangeran Singa Narpada tidak
membahayakan jiwanya.
Dengan mencairkan obat yang dibawanya, maka Mahisa Bungalan berusaha untuk
meningkatkan daya tahan Mahisa Murti, yang berhasil minum beberapa teguk,
sehingga untuk sementara keadaannya akan berangsur menjadi baik, sebelum ia akan
mendapat pengobatan yang sesungguhnya serta kemampuannya untuk melakukan
samadi serta memperbaiki pernafasannya.
Namun ketika ia melihat Mahisa Murti menjadi berangsur baik serta berusaha
memperbaiki pernafasannya sambil berbaring, Mahisa Bungalan mendengar suara
tertawa Pangeran Lembu Sabdata. Suara tertawa yang aneh dan sangat menarik
perhatiannya.
Mahisa Bungalan yang mulai memperhatikan sikap Pangeran Lembu Sabdata pun
menjadi heran. Sikap Pangeran Lembu Sabdata yang terlepas dari pengaruh kejiwaan
Ki Ajar Bomantara yang terbunuh itu menjadi sangat asing baginya.
“Mahisa Murti,” berkata Mahisa Bungalan, “usahakan mengatur pernafasan sebaik-
baiknya. Obat itu akan membantu meningkatkan daya tahanmu. Aku akan melihat
keadaan Pangeran Lembu Sabdata sejenak.”
Mahisa Murti menyeringai menahan pedih di tubuhnya. Namun kemudian katanya,
“Silahkan kakang.”
Mahisa Bungalan kemudian meninggalkan Mahisa Murti yang terbaring diam.
Selangkah demi selangkah ia mendekati Pangeran Singa Narpada yang termangu-
mangu. Sementara Mahisa Pukat pun menjadi bingung melihat keadaannya.
“Pangeran,” desis Mahisa Bungalan, “Apa yang telah terjadi dengan Pangeran
Lembu Sabdata?”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Agaknya ia
telah terlempar kembali ke dalam keadaannya yang menyedihkan. Syarafnya telah
tercengang lagi. Dan agaknya ingatannya mulai kabur.”
“Lalu, apakah sebaiknya yang kita lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku akan berusaha untuk menekan salah satu pusat syarafnya. Dalam keadaan yang
demikian ia tidak akan dapat melawan. Aku mengharap ia akan kehilangan
kesadarannya dan tertidur beberapa lama,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun telah
melangkah mendekatinya sambil berkata kepada Mahisa Pukat, “Lepaskan. Biarlah
aku yang menghadapinya.”
Mahisa Pukat pun kemudian melangkah menjauh, sementara Pangeran Singa
Narpada dengan hati-hati mendekatinya.
Pangeran Lembu Sabdata memandanginya dengan tegang. Namun kembali terdengar
suara tertawanya. Tidak terlalu keras. Bahkan justru seperti seekor kuda yang
meringkik.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin
membiarkan keadaan Pangeran Lembu Sabdata itu berkepanjangan. Karena itu, maka

25
Pangeran Singa Narpada itupun dengan tiba-tiba telah meloncat sambil menangkap
tengkuk Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam keadaannya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak mengelak. Ketika
tangan Pangeran Singa Narpada menekan salah satu pusat syarafnya, maka tiba-tiba
saja terasa matanya menjadi kabur. Bahkan akhirnya Pangeran Lembu Sabdata
itupun bagaikan telah tertidur di tangan Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian, maka halaman padepokan itu telah menjadi sepi. Para cantrik
benar-benar tidak tahu lagi, apa yang akan terjadi atas diri mereka. Sementara itu,
mereka melihat tiga orang yang berdiri dengan tegang di hadapan mereka.
Namun dua orang diantara mereka, telah mendekati seorang yang terbaring diam
karena keadaan tubuhnya yang lemah setelah mengerahkan tenaga melawan Putut
yang terpercaya di padepokan Ki Ajar itu, serta telah terkena ilmunya yang
membakar udara sekelilingnya.
Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk mengangkat Mahisa Murti
dan menempatkannya di tempat yang lebih baik di serambi sebuah pondok yang ada
di padepokan itu.
“Bagaimana keadaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku sudah merasa semakin baik,” jawab Mahisa Murti, “Meskipun aku masih
merasa sangat lemah.”
“Obat itu akan dapat membantumu,” berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu Mahisa Pukat berdesis, “Ternyata
kemampuan orang itu melampaui kemampuan Pangeran Lembu Sabdata. Sebenarnya
aku akan dapat lebih cepat mengalahkannya. Tetapi aku masih berusaha untuk dapat
membiarkannya hidup.”
“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Pangeran Lembu Sabdata nampaknya diselimuti
oleh pengaruh kejiwaan Ki Ajar. Setelah Ki Ajar terbunuh, goncangan-goncangan
jiwanya tidak dapat ditahankannya lagi. Apalagi ketika Panembahan Bajang pun
meninggalkannya sendiri.”
“Bagaimana keadaannya sekarang?” bertanya Mahisa Murti.
“Ia tertidur karena sentuhan tangan Pangeran Singa Narpada,” jawab Mahisa
Bungalan, “Tetapi jika nanti ia sadar kembali, maka ingatannya tidak akan lengkap.”
“Dan bagaimana keadaan lawanku itu?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Ia sudah benar-benar mati,” jawab Mahisa Bungalan, “Kau telah membunuhnya,
meskipun keadaanmu sendiri cukup parah. Tetapi justru di bagian luar tubuhnya,
sehingga keadaanmu tidak berbahaya bagi keselamatanmu, meskipun nampaknya
sangat parah.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah ia merasa tubuhnya
semakin segar. Ia sudah berhasil memulihkan pernafasannya dan aliran darahnya pun
sudah menjadi wajar kembali.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat,
“Kawani Mahisa Murti. Aku masih mempunyai pekerjaan bersama Pangeran Singa
Narpada. Aku akan meletakkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur itu di sini
pula.”

26
Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, “Baiklah kakang. Agaknya kakang masih akan
berusaha untuk menemukan sesuatu di padepokan ini.”
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat,
“Kawani Mahisa Murti. Aku masih mempunyai pekerjaan bersama Pangeran Singa
Narpada.”
Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Mudah-mudahan. Jika kita
berhasil, maka kita telah menyelesaikan tugas ini dengan tuntas.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Silahkan kakang. Biarlah aku
menjaga Mahisa Murti dan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur itu. Mudah-
mudahan para cantrik yang kebingungan itu tidak menjadi gila untuk merebut
Pangeran Lembu Sabdata.”
Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan Mahisa Pukat yang duduk di bibir
amben di serambi, sementara Mahisa Murti masih berbaring karena tubuhnya yang
lemah.
Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan telah membawa tubuh Pangeran Lembu
Sabdata yang tertidur dan meletakkannya di sebelah Mahisa Murti.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada masih mempunyai
satu tugas yang tidak kalah pentingnya. Mereka harus menemukan mahkota yang
telah hilang dari gedung perbendaharaan.
Berdua Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah memasuki halaman
padepokan itu lebih dalam lagi. Mereka memang telah melihat dengan ketajaman
penglihatan batin mereka, bahwa mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat
bersemayam wahyu keraton itu berada di padepokan itu.
Tetapi keduanya harus mencari, di barak yang manakah mahkota itu disimpan.
Keduanya yakin, bahwa mereka tidak akan dapat menanyakan kepada para cantrik.
Mereka menganggap bahwa para cantrik tidak akan dapat memberikan petunjuk juga
tentang mahkota itu, karena Ki Ajar tentu merahasiakannya. Mungkin Pangeran
Lembu Sabdata mengetahuinya, tetapi pada saatnya ia sadar, ia tidak akan dapat
berbicara tentang mahkota itu dengan wajar, karena goncangan-goncangan jiwani
yang tidak teratasi.
Sementara itu, keduanya masih harus bersikap hati-hati. Meskipun para cantrik
nampaknya kebingungan dan tidak berbuat apa-apa, namun mungkin sekali mereka
akan melakukan sesuatu diluar dugaan.
Dengan memperhatikan keadaan di padepokan itu, Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan telah memasuki barak demi barak yang dianggapnya mungkin
sekali untuk menyimpan benda-benda berharga. Namun mereka tidak segera dapat
menemukan yang mereka cari.
“Apakah kita akan menunggu Pangeran Lembu Sabdata?” bertanya Mahisa
Bungalan.
“Tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat memberikan keterangan apapun juga,”
jawab Pangeran Singa Narpada.
“Jadi kita harus mencarinya? Mengulangi memasuki barak demi barak sekali lagi?”
bertanya Mahisa Bungalan.
“Apa boleh buat,” jawab Pangeran Singa Narpada.
27
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun bersama Pangeran Singa
Narpada ia memasuki sekali lagi barak demi barak.
Mereka harus memperhatikan setiap sudut dengan seksama. Memperhatikan setiap
benda yang ada didalam setiap bilik. Mungkin benda yang sangat berharga itu telah
dikaburkan dengan benda-benda lain yang ada di padepokan itu.
Satu-satu mereka memasuki bilik yang ada di barak-barak di padepokan itu.
Memeriksa dengan seksama, bahkan kadang-kadang mereka harus membongkar
geledeg-geledeg bambu dan peti-peti yang tertutup rapat.
Tetapi mereka tidak menemukannya.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ingin
mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
“Baiklah kita beristirahat Pangeran,” berkata Mahisa Bungalan yang melihat wajah
Pangeran Singa Narpada penuh ketegangan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Jika perlu, kita harus melihat sekali
lagi dengan penglihatan batin kita. Mungkin dengan demikian kita akan mendapat
petunjuk letak benda keramat itu.”
“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku sependapat. Tetapi kita harus beristirahat
dahulu. Kita akan berbicara dengan para cantrik untuk membuka hati mereka yang
seakan-akan telah membeku.”
“Baiklah,“ Pangeran Singa Narpada mengangguk.
Sejenak kemudian keduanya telah kembali ke serambi tempat Mahisa Pukat
menunggui Mahisa Murti dan Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur. Namun
sementara itu, Mahisa Murti telah bangkit duduk di bibir pembaringan bersama
Mahisa Pukat.
“Bagaimana keadaanmu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Keadaanku menjadi berangsur baik, kakang,” jawab Mahisa Murti, “Mudah-
mudahan tidak terlalu lama lagi akan segera pulih kembali.”
“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Kita masih belum
menemukan yang kita cari.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian aku mendapat
kesempatan untuk beristirahat.”
“Ya, beristirahatlah. Kami akan berbicara dengan para cantrik yang tidak tahu apa
yang harus diperbuat,” berkata mahisa Bungalan kemudian.
“Pangeran Singa Narpada yang gelisah, nampaknya tidak berminat sama sekali untuk
berbicara dengan para cantrik. Karena itu maka dibiarkannya saja Mahisa Bungalan
pergi sendiri menemui para cantrik yang berkumpul di sudut halaman tanpa
mengetahui apa yang harus dilakukan.”
Ketika Mahisa Bungalan mendekati mereka, maka rasa-rasanya darah mereka jadi
membeku. Mereka menjadi ketakutan jika Mahisa Bungalan, yang telah mampu
mengalahkan Panembahan Bajang, itu akan berbuat sesuatu atas mereka.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya ingin berbicara serba sedikit
dengan para cantrik itu.
Mula-mula cantrik-cantrik itu menjadi ragu-ragu untuk menanggapi sikap Mahisa
Bungalan. Namun Mahisa Bungalan bagi mereka nampaknya sama sekali tidak
28
menakutkan. Bahkan dengan nada ramah ia bertanya, “Apakah kalian para cantrik
dari padepokan ini?”
Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun Mahisa Bungalan mempertegas
pertanyaannya, sehingga kemudian salah seorang diantaranya para cantrik itu
memberanikan diri untuk menjawab, “Ya Ki Sanak. Kami adalah para cantrik dari
padepokan ini.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya sekali lagi, “Apakah
kalian sudah melihat apa yang terjadi?”
“Ya Ki Sanak,” jawab cantrik itu lagi.
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sekarang pemimpin
padepokan ini dan seorang pembantunya telah terbunuh. Sementara itu Pangeran
Lembu Sabdata menjadi tawanan kami.”
Para cantrik itu hanya dapat saling berpandangan. Mereka memang tidak dapat
berbuat apa-apa. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata seterusnya, “Nah, siapakah
diantara kalian yang tidak mau menerima keadaan seperti ini? Siapakah diantara
kalian yang merasa wajib untuk berbuat sesuatu bagi padepokan?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka Mahisa Bungalan berkata.
“Para cantrik. Ketahuilah, bahwa yang kami lakukan adalah atas nama kekuasaan
negara Kediri. Ki Ajar Bomantara telah melakukan kesalahan yang sangat besar
terhadap Kediri, sehingga ia harus ditangkap. Tetapi sayang, bahwa ia sama sekali
menolak untuk ditangkap, sehingga akhirnya kami berusaha untuk memaksanya.
Tetapi kami gagal dan Ki Ajar itu terbunuh.”
Para cantrik hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
“Ki Ajar telah dibunuh oleh Pangeran Singa Narpada karena ia menentang perintah
penangkapan atas dirinya dan bahkan ia telah melawan,” berkata Mahisa Bungalan
selanjutnya.
Jantung para cantrik menjadi semakin berdebaran.
“Nah,” berkata Mahisa Bungalan seterusnya, “Sekarang, apa yang akan kalian
lakukan?”
Para cantrik itu saling berpandangan. Seorang diantara mereka memberanikan diri
untuk menjawab, “Kami tidak mengerti, apa yang baik kami lakukan dalam keadaan
seperti ini.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kami tidak akan
menganggap kalian ikut bersalah sebagaimana pemimpin padepokan kalian. Karena
itu, kalian akan tetap dapat melakukan pekerjaan kalian, memelihara padepokan ini
apabila kalian masih ingin melakukannya. Atau jika kalian ingin kembali ke rumah
kalian masing-masing, maka kalian bebas melakukannya. Karena kalian bukan
tawanan kami.”
Para cantrik itu tidak segera menjawab. Mereka benar-benar tidak tahu lagi, apa yang
sebaiknya mereka lakukan.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian justru memberikan pendapatnya, “Para cantrik.
Jika kalian memang mencintai padepokan ini, maka kalian dapat tinggal disini,
meneruskan pekerjaan kalian sehari-hari. Tanah pertanian kalian akan tetap
menghasilkan, dan padepokan ini akan tetap terpelihara. Tetapi padepokan ini tidak
29
lagi dihuni oleh seorang pertapa yang memiliki kelebihan dari orang lain karena Ki
Ajar telah terbunuh. Namun demikian, mungkin salah seorang yang tertua diantara
kalian akan dapat menjadi pemimpin disini bukan untuk mengembangkan kanuragan,
tetapi untuk mengembangkan tanah pertanian yang sampai saat ini terpelihara dengan
baik.”
Para cantrik tidak menjawab. Tetapi beberapa orang diantara mereka mengangguk-
angguk.
“Nah, para cantrik,” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “Sekarang kalian
mempunyai tugas untuk menyelenggarakan sebaik-baiknya mayat pemimpin kalian
yang dengan terpaksa sekali terbunuh di pertempuran ini.”
Para cantrik itu masih saja termangu-mangu, sehingga Mahisa Bungalan pun berkata
lebih tegas, “Nah, bangunlah dari mimpimu yang buruk itu. Lakukan. Mayat itu
sudah terlalu lama membeku di tempatnya.”
Para cantrik itu seakan-akan memang terbangun dari sebuah angan-angan yang
sangat buruk. Merekapun kemudian melangkah dengan hati yang kosong ke tempat
pemimpin mereka terbaring diam.
Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata masih saja tertidur. Sedangkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat duduk termenung di bibir amben di serambi.
Mahisa Bungalan pun kemudian mendekati Pangeran Singa Narpada yang gelisah
sambil berkata, “Mereka sudah melakukannya.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Tetapi aku tidak dapat melepaskan
sekejap pun kegelisahan tentang benda yang masih belum kita ketemukan itu.”
“Tetapi kita tidak harus memaksa diri,” jawab Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka pun sempat
melihat keadaan Pangeran Lembu Sabdata.
“Ia masih akan tertidur untuk waktu yang cukup lama,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bertanggung jawab atas
Pangeran yang dengan susah payah dicari di seluruh Kediri itu.
Beberapa saat, Pangeran Singa Narpada duduk pula di amben itu, sementara Mahisa
Bungalan berjalan hilir mudik di halaman samping sambil mengamati kerja para
cantrik yang menjadi sibuk.
Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat menyingkirkan kegelisahannya barang
sekejap. Karena itu, bagaimanapun juga, Pangeran Singa Narpada berniat untuk
mencari benda keramat itu sampai ketemu, baru mereka akan memikirkan yang lain-
lain.
“Baiklah Pangeran,” berkata Mahisa Bungalan, “Kita akan mencari benda itu dengan
cara yang lain. Kita tidak hanya akan sekedar memasuki bilik demi bilik di setiap
barak, tetapi kita akan memperhatikan suasana didalam bilik-bilik itu. Kita akan
mempergunakan penglihatan batin kita untuk mencari pusaka yang hilang itu. Tetapi
seperti Pangeran, aku pun yakin bahwa pusaka itu ada didalam padepokan ini.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan
mencarinya tidak sekedar dengan penglihatan mata wadag kita.”

30
Demikianlah, keduanya telah mengulangi sekali lagi mencari pusaka yang dianggap
mampu menjadi wadah wahyu keraton Kediri itu.
Mahisa Pukat lah yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan di halaman
padepokan, serta mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang masih tertidur.
“Jika sewaktu-waktu ia terbangun, maka segalanya terserah kepadamu,” berkata
Mahisa Bungalan, “Tetapi satu hal yang harus kau perhatikan, bahwa Pangeran
Lembu Sabdata tidak lagi menguasai kesadaran dan ingatannya sepenuhnya.”
Sementara itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah
mengerahkan kemampuan mereka untuk mengamati keadaan satu tempat dengan
mempergunakan penglihatan batin. Mereka memang mendapat kesulitan untuk
melakukannya. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, maka
betapapun sulitnya, namun mereka pun akhirnya berhasil melakukannya.
Sekali lagi mereka memasuki bilik demi bilik. Tetapi mereka tidak sekedar
mengamati benda-benda yang ada didalam bilik itu. Tidak sekedar membuka peti-
peti kayu atau geledeg-geledeg bambu.
Namun mereka memang tidak segera menemukannya.
Tetapi ternyata bahwa kemampuan mereka menangkap dari mahkota yang mereka
cari dengan pengamatan batin mereka, maka akhirnya keduanya merasakan, bahwa
mereka telah berada tidak terlalu jauh dari benda yang mereka cari.
“Jantungku berdebar-debar,” berkata Mahisa Bungalan, “Agaknya ini merupakan
satu pertanda.”
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Aku pun merasakan sesuatu yang asing.
Tetapi agaknya getaran yang asing itu adalah satu bukti bahwa pusaka yang keramat
itu berada disini.”
“Didalam bilik ini,” berkata Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian desisnya, “Ya.
Didalam bilik ini atau di bilik sebelah.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun mereka terlalu yakin akan sentuhan
halus dari pengamatan jiwani Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada dengan
getar benda pusaka yang mereka cari itu.
Dengan demikian maka keduanya telah memeriksa isi bilik itu dengan teliti. Tidak
ada sudut yang terlampaui. Amben yang ada didalam bilik itupun telah diangkat dan
diletakkan miring. Geledeg bambu didalam bilik itupun telah digeser. Namun mereka
tidak menemukan yang mereka cari.
“Kita lihat bilik sebelah,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Keduanya pun kemudian telah pergi ke bilik sebelah. Tetapi seperti di bilik yang
terdahulu, mereka tidak menemukan apapun juga.
Dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata, “Ada sesuatu yang aneh. Benda itu tentu
ada disini.”
Pangeran Singa Narpada pun menjadi jengkel. Namun mereka tidak berhenti
mencari. Mereka memasuki bilik demi bilik yang menurut pendapat mereka menjadi
tempat penyimpanan benda keramat itu. Namun benda itu tidak mereka ketemukan.
Ketika gejolak perasaan memuncak, maka Mahisa Bungalan berusaha mempertajam
penglihatan batinnya. Getaran yang menyentuh tali perasaannya yang paling halus,
31
terasa semakin tajam. Dan yakinlah Mahisa Bungalan, bahwa ia berada dekat dengan
benda yang dicarinya.
Dalam pada itu, ketika sekali lagi ia mengamati bilik itu, terasa sesuatu menarik
perhatiannya. Tiba-tiba saja ia berkata kepada Pangeran Singa Narpada, ”Tunggu
disini sebentar Pangeran.”
“Ada apa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia telah pergi ke bilik
sebelah.
Tetapi tidak lama kemudian iapun telah kembali. Kemudian katanya, “Dinding ini
telah menarik perhatiannya. Ketika aku melihat sisi sebelah, aku semakin yakin,
bahwa dinding ini bukan dinding kebanyakan. Tetapi didalam dinding ini terdapat
rongga.”
“Maksudmu dinding ini rangkap?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya. Dan ada ruang diantara kedua helai dinding yang rangkap itu,” jawab Mahisa
Bungalan.
Pangeran Singa Narpada tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian telah
mendekati dinding kayu dari bilik itu. Merabanya, namun kemudian siap untuk
memecahkannya.
“Tunggu Pangeran,” desis Mahisa Bungalan, “Jangan dengan cara itu. Jika ada
sesuatu yang berharga dibalik dinding itu, mungkin akan menjadi rusak karenanya
jika kayu yang pecah itu akan runtuh ke dalam rongga itu.”
Pangeran Singa Narpada mengurungkan niatnya. Namun iapun kemudian telah
mengambil cara lain. Ia tidak memukul dinding kayu itu sehingga pecah. Tetapi
Pangeran Singa Narpada telah mengerahkan kekuatannya untuk melepaskan
kepingan papan dari dinding itu dengan hati-hati.
Terdengar papan itu berderak. Sehelai papan telah patah.
Ketika kemudian Pangeran Singa Narpada melepaskan papan kedua, maka kedua
orang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata diantara dua helai dinding yang berongga
itu terdapat sebuah benda yang bercahaya bagaikan matahari.
Pangeran Singa Narpada justru bagaikan membeku. Dipandanginya benda itu tanpa
berkedip untuk beberapa saat. Namun kemudian, Pangeran Singa Narpada itupun
telah jatuh pada lututnya.
Mahisa Bungalan pun kemudian berlutut pula ketika Pangeran Singa Narpada telah
menyembah benda itu. Benda yang ternyata adalah Mahkota Kediri yang hilang,
yang menurut kepercayaan beberapa orang di Kediri, Mahkota itu akan dapat
menjadi tempat bersemayam wahyu keraton.
Betapa gejolak perasaan Pangeran Singa Narpada melihat benda yang harus
diketemukannya itu. Rasa-rasanya dadanya justru menjadi sesak oleh kebanggaan
yang meledak karena tugas yang dibebankan kepadanya ternyata telah berhasil.
Dengan sangat berhati-hati, Pangeran Singa Narpada telah melangkah memasuki
rongga itu. Ketika ia mengamati tempat itu dengan saksama, maka ternyata bahwa
ada beberapa helai papan yang memang lepas dan yang merupakan pintu untuk
masuk keluar ruang sempit itu.

32
“Bukan main,” desis Pangeran Singa Narpada, ”Ki Ajar mempunyai cara sangat
cermat untuk menyembunyikan mahkota ini.”
“Ya.“ Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. ”Meskipun tempat ini tersembunyi,
namun tempat ini terlalu bersih. Agaknya setiap hari tempat ini telah dibersihkan
dengan cermat.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk. Katanya, “Tugas kita telah selesai.”
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya, “Belum Pangeran. Tugas ini baru
selesai, jika Mahkota itu dan Pangeran Lembu Sabdata telah berada di Kediri.
Bukankah masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan kembali ke
Kediri. Mungkin Panembahan Bajang akan menghubungi mPu Lengkon yang dapat
saja berubah pikiran. Atau mungkin langkah-langkah lain yang dapat diambil. Atau
bahaya yang lain lagi, yang tidak kita perhitungkan sebelumnya.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Mahisa
Bungalan. Aku tergesa-gesa menjadi gembira. Sudah terlalu lama jantungku merasa
tertekan karena hilangnya benda itu dan hilangnya pula Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika aku mendapatkan keduanya disini, seolah-olah aku merasa, bahwa tugas yang
sangat menekan perasaan itu sudah selesai.“ Pangeran Singa Narpada berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi ternyata kau telah memperingatkan aku, agar aku tetap bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Mereka seharusnya berusaha secepatnya
mengamankan benda yang sangat berharga itu. Namun mereka terbentur pada
kenyataan tentang Mahisa Murti yang keadaannya cukup parah meskipun tidak
berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Pangeran. Bagaimana
menurut Pangeran, apakah kita akan segera meninggalkan padepokan ini?”
“Sebenarnya hal itu akan lebih baik,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi
bagaimana dengan adikmu?”
“Itulah yang menjadi pikiranku,” jawab Mahisa Bungalan.
“Biarlah kita menunggu sampai keadaannya berangsur baik,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
“Bukankah itu akan sangat berbahaya?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tetapi kita tentu tidak akan dapat meninggalkan adikmu itu,” jawab Pangeran Singa
Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan
menanyakannya kepada anak itu. Apakah ia sudah mampu berjalan.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Lalu, “Tetapi jangan kau paksa ia
berjalan jika keadaannya memang belum mengijinkan.”
Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan bilik itu untuk melihat keadaan
Mahisa Murti. Namun ternyata bahwa dalam waktu pendek, anak muda itu masih
belum akan dapat meninggalkan padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada diri sendiri. “Apa
boleh buat. Kami masih harus tinggal setidak-tidaknya semalam lagi. Besok Mahisa
Murti baru mungkin dapat berjalan meninggalkan tempat ini. Jika malam nanti

33
ternyata sesuatu akan terjadi atas kami maka itu merupakan akibat yang harus
diterimanya.”
Hari itu juga para cantrik dari padepokan itu telah menyelenggarakan penguburan
mayat para pemimpin mereka, sementara di padepokan itu ada beberapa orang yang
justru telah membunuh pemimpin mereka itu, tinggal. Tetapi para cantrik itu tidak
dapat berbuat sesuatu selalu menerima keadaan itu.
Namun sudah tidak ada niat sama sekali para cantrik itu untuk berbuat sesuatu.
Orang-orang yang berada di padepokan mereka adalah orang-orang yang pilih
tanding. Bahkan para cantrik itu tidak tahu, bahwa orang-orang yang berada di
padepokan mereka itu telah membongkar dinding salah sebuah bilik dan menemukan
yang mereka cari di rongga antara kedua helai dinding itu.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya
memutuskan untuk tinggal semalam lagi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak
mengatakan sesuatu tentang rencana mereka kepada para cantrik, sehingga para
cantrik tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.
Yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan kepada para cantrik itu adalah, “Lakukan apa
yang harus kalian lakukan. Jika kalian harus menanak nasi, maka lakukanlah, agar
kalian tidak menjadi kelaparan. Jangan hiraukan kami. Kami akan mengurus diri
kami sendiri dan Pangeran Lembu Sabdata.”
Para cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka mencoba untuk dapat melakukan
pekerjaan mereka sehari-hari meskipun dengan penuh kebimbangan dan keragu-
raguan.
Ketika malam tiba, maka menjadi tugas Mahisa Bungalan dan Mahisa Murti untuk
bergantian mengamati keadaan, sementara Mahisa Murti diminta untuk tidak
memikirkan apapun juga dan berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya agar besok
mereka benar-benar dapat meninggalkan tempat itu. Sementara itu Pangeran Singa
Narpada bertanggung jawab atas benda pusaka yang telah mereka ketemukan
kembali, sehingga karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah berada bersama
benda yang bernilai tidak terkirakan itu di rongga diantara kedua helai dinding bilik
itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang dibuatnya tetap tertidur nyenyak.
Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat memejamkan mata sepanjang
malam, karena mereka merasa bertanggung jawab terhadap keadaan. Namun ternyata
bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi.
Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti pun telah terbangun. Keadaan
tubuhnya telah menjadi jauh lebih baik. Dibantu oleh obat yang diminumnya,
sehingga ketika Mahisa Bungalan melihatnya, sambil tersenyum Mahisa Murti
berkata, “Aku sudah menjadi baik.”
“Justru setiap saat keadaanku akan bertambah baik,” berkata Mahisa Murti.
“Apakah kau sudah dapat berjalan jauh?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tentu,” jawab Mahisa Murti, “Sudah tidak terasa apa-apa lagi. Memang mungkin
masih ada perasaan nyeri yang kadang-kadang menyerang tulang-tulangku. Tetapi
hanya kadang-kadang dan mudah sekali untuk mengatasinya.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Kita harus mengambil
langkah-langkah yang cepat, karena benda itu adalah benda yang sangat berharga.”
34
“Aku akan dapat berjalan sampai berapa hari sekalipun. Justru setiap saat akan
bertambah baik,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian berbicara dengan Pangeran
Singa Narpada, bahwa mereka sudah dapat melakukan perjalanan kembali ke Kediri.
Namun Pangeran Singa Narpada justru berkata, “Kita harus sangat berhati-hati.”
“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku menyadari. Tetapi untuk berada terlalu lama
disini, keadaannya akan sangat berbahaya pula.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Namun agaknya Pangeran Singa Narpada terbentur pada perhitungan bahwa
menempuh perjalanan di siang hari akan mengundang persoalan pula karena mereka
membawa mahkota yang sangat berharga, meskipun mahkota itu akan dibungkus
sekalipun.
Karena itu maka Singa Narpada itupun kemudian berkata, “Manakah yang lebih baik
bagi kita. Apakah kita akan tinggal disini hari ini dan berangkat menjelang senja,
atau kita akan berada di perjalanan siang ini?”
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan. Merekapun
tidak mengerti, manakah yang lebih baik dilakukan.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan pun berkata, “Kita akan meninggalkan padepokan
ini, tetapi kita tidak melakukan perjalanan. Kita akan berhenti di hutan perburuan
yang tidak terlalu jauh dari tempat ini.”
Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku
sependapat. Kita akan berada di hutan itu. Baru menjelang senja kita berjalan. Esok
pagi, jika matahari terbit, kita mencari tempat untuk bersembunyi.”
“Kita berjalan di malam hari,” berkata Mahisa Bungalan, “Bukankah begitu maksud
Pangeran?”
“Ya. Bukankah untuk sementara cara itulah yang kita anggap paling aman.
Sementara itu, kita masih harus membawa Pangeran Lembu Sabdata yang pada saat-
saat tertentu akan dapat membuat kesulitan.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencoba
melakukannya. Tetapi sampai saat ini Pangeran Lembu Sabdata masih belum
bangun.”
“Aku akan membangunkannya. Biarlah ia makan dan minum. Baru kita akan
berangkat,” berkata pangeran Singa Narpada.
Sebenarnyalah kemudian Pangeran Singa Narpada telah menyentuh tengkuk
Pangeran Lembu Sabdata yang perlahan-lahan terbangun dari tidurnya. Namun
demikian ia membuka matanya dan bangkit untuk duduk, rasa-rasanya ia sama sekali
tidak melihat orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan
siapapun juga. Dengan pandangan kosong ia menatap celah-celah pintu yang terbuka.
Tetapi seakan-akan tidak nampak apapun di hadapannya.
”Berilah ia makan,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat pun kemudian mengambil nasi di belakang. Seorang cantrik dengan
tergesa-gesa telah menyediakannya meskipun lauknya tidak lebih dari ikan air yang
ditangkap di belumbang.
35
Dengan pandangan yang tidak mengandung makna apapun, Pangeran Lembu Sabdata
memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Namun kemudian nalurinya telah
mendorongnya untuk menyuapi mulutnya karena perutnya terasa lapar.
Setelah Pangeran Lembu Sabdata makan dan demikian pula yang lain-lain, maka
mereka pun telah minta diri kepada para cantrik untuk meninggalkan padepokan itu.
Para cantrik itu melihat, bahwa keempat orang itu telah membawa Pangeran Lembu
Sabdata dan sesuatu yang dimaksudkan ke dalam sebuah selongsong sehingga tidak
terlihat oleh mereka.
Tetapi tidak seorang pun diantara para cantrik yang berani menanyakannya. Mereka
menganggap bahwa keempat orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi,
sehingga pemimpin padepokan itu, yang mereka anggap orang yang tidak
terkalahkan, ternyata telah terbunuh oleh seorang diantara mereka. Pangeran Lembu
Sabdata pun tidak mampu melawan kehendak mereka, dan saudara mereka yang
tertua, Putut yang terpercaya itupun telah terbunuh pula.
Karena itu, maka para cantrik itu hanya dapat memandangi saja keempat orang yang
meninggalkan padepokan itu bersama Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan
sudah tidak lagi memiliki kehendak. Ia tidak lebih dari sesosok tubuh yang terdiri
dari tulang dan dagingnya. Namun yang sama sekali tidak, lagi memiliki kesadaran
tentang adanya.
Demikianlah maka keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan padepokan
itu sambil membawa Pangeran Lembu Sabdata. Mereka berjalan menyusuri jalan
sempit di tengah-tengah tegalan. Namun yang kemudian telah meninggalkan jalan itu
setelah mereka terlepas dari tatapan mata para cantrik.
Seperti yang mereka rencanakan maka mereka telah mengambil jalan setapak menuju
ke hutan perburuan. Mereka akan berada di hutan itu sampai senja turun. Baru
mereka akan melanjutkan perjalanan.
Demikian berhati-hatinya Pangeran Singa Narpada, karena ia telah membawa dua
macam benda yang sangat berharga. Satu diantaranya adalah sesosok tubuh yang
seakan-akan telah kehilangan jiwa, dan satu lagu sebuah pusaka yang sangat
dikeramatkan di Kediri.
Melewati jalan sempit mereka menuju ke hutan perburuan untuk tinggal di hari itu.
Mereka harus berusaha beristirahat sebaik-baiknya karena malam nanti mereka akan
menempuh perjalanan.
Karena Pangeran Lembu Sabdata tidak mengerti keterangan tentang kepentingan
mereka di hutan itu, maka Pangeran Singa Narpada telah memaksanya untuk tidur
dengan menyentuh tengkuknya sebagaimana telah dilakukannya di padepokan.
“Aku tidak dapat tidur meskipun malam nanti harus berjalan semalam suntuk,”
berkata Mahisa Pukat.
“Kau harus menjaga tubuhmu. Mungkin kau memang sudah terlatih untuk
melakukan kerja yang keras. Tetapi selagi ada kesempatan jangan kau hamburkan
tenagamu tanpa arti.”
Mahisa Pukat tidak membantah. Ia mengerti maksud kakaknya. Namun rasa-rasanya
memang menjemukan sekali untuk menunggu tanpa berbuat apa-apa. Apalagi untuk
tidur dalam keadaan seperti itu.
36
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat melihat seekor burung terbang rendah
menyambar sesuatu pada dahan sebatang pohon. Burung alap-alap.
“Apa yang disambar burung alap-alap itu?” bertanya Mahisa Pukat didalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Aku akan berburu.”
Mahisa Bungalan memandanginya dengan kerut di kening. Dengan nada datar ia
bertanya, “Kau akan berburu tanpa busur dan anak panah?”
Mahisa Pukat menarik nafas. Memang sulit untuk berburu tanpa busur dan anak
panah. Ia tidak dapat menerkam binatang buruannya, karena biasanya seekor
binatang mempunyai alat penciuman dan pendengaran yang tajam. Sebelum ia
mencapai seekor rusa yang sedang minum di sebuah mata air, maka binatang itu
tentu sudah terkejut dan lari.
Tetapi Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Aku akan membuat lembing.”
Mahisa Bungalan memandanginya dengan tajamnya. Lalu katanya, “Kau akan
membuang tenaga tanpa arti apa-apa. Aku tahu, kau hanya sekedar ingin mengusir
kejemuan. Tetapi kita tidak sedang duduk kesepian tanpa berbuat apa-apa. Kita harus
menyimpan tenaga kita untuk menghadapi satu kemungkinan yang mendebarkan.
Satu kemungkinan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia menurut pesan
kakaknya. Ia tidak berbuat apa-apa dan duduk saja dalam kejemuan.
Hari itu orang-orang yang berada didalam hutan itu berusaha untuk dapat beristirahat
dengan sebaik-baiknya, karena malam harinya mereka akan menempuh perjalanan
panjang.
Ketika senja turun, maka orang-orang didalam hutan itupun telah mempersiapkan
diri. Mereka makan bekal yang masih ada pada mereka, sebelumnya mereka mulai
dengan perjalanan. Sementara itu Pangeran Singa Narpada telah membangunkan
Pangeran Lembu Sabdata dan dengan cara khusus memaksa Pangeran Lembu
Sabdata untuk makan.
Menjelang gelap, maka sekelompok kecil orang-orang itupun telah meninggalkan
hutan perburuan. Mahisa Murti telah nampak semakin baik. Bahkan tidak lagi
nampak tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami kesulitan pada tubuhnya
menghadapi ilmu yang ganas.
Meskipun kemudian jalan setapak yang mereka lalui benar-benar menjadi gelap,
tetapi orang-orang yang sudah terbiasa dengan pengembaraan itu sama sekali tidak
mengalami kesulitan.
Bahkan Pengeran Lembu Sabdata yang tidak sepenuhnya menyadari dirinya sendiri,
secara naluriah dapat juga menempuh jalan yang terbentang di hadapan mereka,
meskipun kadang-kadang memang menimbulkan kesulitan juga bagi Pangeran Singa
Narpada yang harus selalu mengamati keadaannya.
Namun demikian, perjalanan mereka tidak mengalami hambatan yang berarti.
Mereka dapat maju sesuai dengan kemungkinan yang dapat mereka capai. Sementara
itu, jalan-jalan yang sepi memberikan mereka keleluasaan untuk bergerak tanpa
menarik perhatian orang lain.

37
Tetapi mereka masih harus menghindari kemungkinan melintasi gardu-gardu
perondaan, agar tidak menimbulkan persoalan dengan anak-anak muda yang
bertugas.
Namun mendekati tengah malam, ternyata sesuatu telah terjadi atas sekelompok kecil
orang-orang yang menempuh perjalanan itu. Rasa-rasanya di langit tidak ada
mendung. Udara bersih dan bintang nampak bergayutan di langit. Namun tiba-tiba
beberapa langkah dari mereka telah meledak suara petir yang memekakkan telinga.
Lidah api menjilat di langit dan menghantam sebatang pohon gayam yang tumbuh di
pinggir jalan.
Orang-orang yang sedang berjalan itu terkejut bukan kepalang. Bahkan Pangeran
Lembu Sabdata pun terkejut pula dan hampir saja ia melarikan diri, jika Mahisa
Bungalan tidak cepat menangkapnya.
“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis,
“Panembahan Kerdil itu. Ia telah mengancam untuk menyerang aku dari jarak jauh.
Agaknya ia telah melakukan rencana itu. Dengan kemampuan ilmu yang lembut
didalam dirinya ia telah berusaha untuk menyerangku.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun sebelum mereka beranjak dari
tempatnya, maka sekali lagi terdengar suara petir mengguncang tanah tempat mereka
berpijak, dan menyambar sisa pohon gayam yang sedang terbakar.
“Gila,“ geram Mahisa Bungalan, “Dikiranya ilmu setannya itu dapat menakut-nakuti
aku.”
“Lalu apa yang dapat kau lakukan. Panembahan Kerdil itu tidak ada disini sekarang,”
berkata Pangeran Singa Narpada.
“Hanya orang yang lemah hati dan ketakutan sajalah yang akan dapat dikenai iblis
yang licik itu, karena ia tidak berani beradu dada. Aku harus bertahan, agar aku tidak
menjadi cemas dan pribadiku tidak terpengaruh oleh kekuatan pribadinya,” sahut
Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Bungalan berkata,
“Kita berjalan terus. Jangan hiraukan permainan iblis itu.”
Tetapi Pangeran Singa Narpada bertanya, “Mahisa Bungalan. Apakah kita akan dapat
melawannya?”
“Tanpa melawan, kita tidak akan dicelakainya,“ jawab Mahisa Bungalan.
Tetapi Pangeran Singa Narpada nampak ragu-ragu.
Sekilas di pandanginya pohon gayam yang terbakar itu.
“Kita tidak boleh ragu-ragu,” berkata Mahisa Bungalan, “Marilah. Akulah yang akan
dikenainya. Bukan orang lain. Karena itu biarlah ia mengenaiku jika ia mampu.”
Pangeran Singa Narpada masih termangu-mangu. Karena itu sekali lagi Mahisa
Bungalan berkata tegas, “Jangan ragu-ragu. Jika kita ragu-ragu, maka kita telah
memberi kesempatan kepada Panembahan Kerdil itu untuk mengenaiku.”
“Aku tidak ragu-ragu tentang kemampuanmu untuk melepaskan diri dari arah
serangan licik Panembahan Bajang itu. Yang aku pikirkan, apakah kita akan
melawan atau tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada.

38
Mahisa Bungalan belum sempat menjawab, ketika beberapa langkah dari Pangeran
Singa Narpada, tanah bagaikan meledak oleh sambaran lidah api dari udara. Debu
dan kerikil berhamburan sementara tanah pun menjadi bagaikan digali setinggi paha
dengan lingkaran yang lebih luas dari sebuah sumur.
“Gila,“ geram Mahisa Bungalan, “Panembahan licik yang dungu itu hanya akan
menghambur-hamburkan tenaga saja.”
“Kita akan melawannya,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Bagaimana caranya?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Marilah. Kita mencapai tempat yang sunyi,” berkata Pengeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia mulai mengerti, cara apakah yang akan
ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun
mengangguk-angguk sambil mengamati Pangeran Lembu Sabdata yang seolah-olah
tidak tahu tentang apa yang terjadi.
Ketika sekali lagi petir meledak di sisi lain dari Mahisa Bungalan, maka mereka pun
mulai melanjutkan perjalanan. Tetapi seperti yang dikehendaki Pangeran Singa
Narpada, mereka telah berusaha untuk mendapatkan tempat yang sepi, dibalik gumuk
padas yang tidak terlalu besar, namun cukup terlindung.
Ketika sekali lagi terdengar ledakan, maka bebatuan diatas bukit kecil itupun telah
pecah berserakan. Namun orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak
menghiraukan.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Jagalah
Pangeran Lembu Sabdata baik-baik. Jangan kau sakiti meskipun barangkali ia akan
sangat menjengkelkan. Aku dan Mahisa Bungalan akan melawan serangan-serangan
gila dari Panembahan Bajang.”
Pangeran Singa Narpada tidak perlu menjelaskan. Namun kedua orang adik Mahisa
Bungalan itupun telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
“Kita dapat melihat cahaya Teja sebagaimana dilihat oleh Panembahan Bajang. Kita
pun tentu akan dapat melawan serangan-serangannya yang curang ini,” berkata
Pangeran Singa Narpada kemudian.
Mahisa Bungalan segera tahu apa yang harus dilakukan. Karena itu, maka kedua
orang itupun segera mencari tempat untuk duduk sambil menyilangkan tangannya.
Kepalanya menunduk dan sambil memejamkan matanya, keduanya telah
memusatkan nalar budi. Meskipun mereka tidak pernah melakukannya sebelumnya.
Tetapi mereka yakin bahwa mereka akan dapat melawan kekuatan batin Panembahan
Bajang.
Sesaat kemudian, sekali lagi terdengar ledakan yang dahsyat. Sebongkah batu padas
yang terletak hanya tiga langkah di belakang Mahisa Bungalan telah pecah.
Gumpalan-gumpalan kecil batu padas itu telah terlempar berhamburan. Punggung
Mahisa Bungalan pun telah tertimpa pula oleh pecahan-pecahan batu padas itu.
Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menunggui Pangeran Lembu Sabdata yang
ternyata duduk juga di sebuah batu padas. Kedua adik Mahisa Bungalan itu memang
telah berusaha untuk menghadapi serangan-serangan itu dengan tabah. Mereka tidak
terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat dan kekuatannya membelah bebatuan dan
39
bahkan membakar sebatang pohon yang besar. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa
Bungalan, mereka tidak boleh jatuh ke dalam pengaruh kepribadian Panembahan
Bajang yang kuat, agar mereka tidak akan dapat dicelakainya dengan serangan-
serangannya yang licik itu.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak terpengaruh karenanya.
Sekali-sekali ia memang terkejut. Namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
“Mudah-mudahan orang itu tidak membuat aku pening,” berkata Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah dengan segenap
kemampuannya berusaha untuk melawan serangan-serangan Panembahan Bajang
yang licik. Keduanya telah dengan tulus dan segenap nalar budinya, memanjatkan
permohonan kepada Yang Maha A-gung untuk melindunginya dan mencegah
serangan-serangan yang bakal datang.
Demikian dalam dan kuatnya kedua orang itu memohon, maka ternyata pengaruhnya
mulai terasa. Ketika sekali lagi terjadi ledakan, maka ledakan itu menjadi semakin
jauh. Bahkan ledakan itu menjadi semakin kecil dan seakan-akan tidak lagi mampu
berteriak menghentak dengan kekuatan raksasa.
Sementara itu di padepokannya sendiri, Panembahan Bajang duduk menghadapi
lampu yang tengah menyala. Di dalam sebuah nampan di hadapannya terletak
beberapa macam reramuan yang dipergunakannya untuk melakukannya serangan-
serangannya. Sebuah perapian dengan bara yang memerah memancarkan kemerahan
yang menghentak hentak di dada Panembahan Kerdil itu.
“Setan,“ Panembahan itu menggeram, “liat juga nyawa orang ini.”
Untuk beberapa saat Panembahan Bajang itu berjuang dengan alas ilmu yang
dimilikinya untuk menghancurkan lawannya. Beberapa butir telur masih ada di
sisinya. Dengan wajah yang tegang, maka diambilnya lagi sebutir telur dan
dimasukkannya ke dalam bara api yang merah menyala.
Terdengar telur itu meledak. Sanggar Panembahan Bajang itupun bagaikan meledak
pula. Cahaya petir memancar didalam sanggar itu. Namun hanya sekilas. Kemudian
bilik itu menjadi sepi kembali.
Namun ketika Panembahan Bajang melihat lampu minyaknya masih menyala, maka
iapun mengumpat tidak habis-habisnya.
“Apalagi yang kurang,” desis Panembahan Bajang.
Sekali lagi ia menghentakkan ilmunya. Diucapkannya berbagai mantera. Diperciknya
nampan di hadapannya dengan air bunga. Kemudian, sekali lagi ia mengambil sebutir
telur dan dimasukkannya ke dalam bara yang kemerahan.
Seperti yang telah berulang kali terjadi, maka telur itu-pun telah meledak. Cahaya
lidah api memancar menyilaukan. Hanya untuk sesaat. Namun bilik itupun kemudian
menjadi sepi. Namun lampunya tetap menyala.
“Gila,“ geram Panembahan Bajang. ”Apakah ada iblis yang melindunginya. Telah
beberapa butir telur aku ledakkan, tetapi nampaknya serangan-seranganku tidak
mengenainya.”
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak jantung, maka Panembahan Bajang itu
menjadi semakin dalam mengungkap ilmunya. Ia berharap bahwa ia akan mampu
mengatasi keliatan nyawa orang yang telah mengalahkannya dalam olah kanuragan.
40
“Aku harus membunuhnya,“ geram Panembahan Bajang. ”Meskipun seandainya ia
berperisai ilmu yang betapapun kuatnya.”
Karena itulah, maka Panembahan Bajang tidak mau berhenti sebelum lampunya
padam yang memberikan isyarat bahwa orang yang dikehendakinya sudah terbunuh.
Dua tiga kali lagi ia mencoba, namun lampu itu masih tetap menyala. Bahkan
Panembahan Bajang pun merasa bahwa serangannya menjadi semakin lama semakin
lemah.
Kemarahan yang tidak tertahankan, akhirnya memaksa Panembahan Bajang untuk
sampai ke puncak kedalamnya. Sejenak ia memandang lampu yang masih menyala
itu.
Kemudian iapun telah menaburkan reramuan ke dalam bara yang menyala. Baunya
semerbak memenuhi sanggarnya, sementara itu, maka Panembahan Bajang itu telah
memusatkan segenap nalar budinya, segenap kemampuan ilmunya dan segenap
kemungkinan yang dapat dilakukannya.
Dengan tangan gemetar Panembahan Bajang telah mengambil sebutir telur. Tetapi
telur itu tidak segera di masukkan ke dalam bara api sebagaimana telah
dilakukannya. Tetapi telur itu telah diusapnya dengan semacam serbuk yang
berwarna kekuning-kuningan. Kemudian dengan sepucuk duri dari sebatang daun
pandan sungsang, maka ia telah menusuk kulit telur itu sehingga membuat sebuah
lubang yang kecil tanpa meretakkan kulit telur itu memanjang.
Panembahan Bajang memandang telur itu dengan tatapan mata yang bagaikan
menyala sebagaimana bara api di hadapannya. Lubang yang sangat kecil yang
dibuatnya dengan duri pandan itupun kemudian diletakkannya di mulutnya. Dengan
kekuatan yang khusus maka ia telah menghembus telur itu.
Memang tidak ada perubahan pada telur itu menurut ujud lahiriahnya. Tetapi ia
sudah menghembuskan kemungkinan yang terakhir yang dapat dilakukannya. Telur
itu akan memiliki kekuatan yang berlipat ganda dari yang pernah diledakkannya
sebelumnya. Dengan landasan ilmu puncaknya, maka ia akan menggempur
sasarannya dengan kekuatan terakhirnya. Satu lingkungan yang luas akan dikenainya
dengan ilmu puncaknya. Bukan sekedar selingkar sumur atau lebih sedikit. Tetapi ia
akan menghancurkan daerah seluas ara-ara.
“Dengan kekuatanku terakhir ini, maka gunungan-pun akan runtuh,“ geram
Panembahan Bajang.
Sejenak kemudian, maka iapun telah duduk dengan penuh kesungguhan menghadapi
perapiannya. Lampunya masih tetap menyala sementara telur yang khusus itupun
telah dipersiapkannya sebaik-baiknya.
Sementara itu, jauh dari padepokan Panembahan Bajang, Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Bungalan masih tetap duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.
Mereka merasakan hentakan-hentakan kekuatan di dada mereka jika terdengar
ledakan yang dahsyat di sekitar tempat mereka. Sementara itu, Pangeran Lembu
Sabdata yang seolah-olah tidak tahu menahu tentang kemungkinan yang paling buruk
yang dapat terjadi atasnya itupun tidak menghiraukannya. Jika terjadi ledakkan maka
iapun terkejut. Namun setelah itu, seakan-akan ia tidak pernah mendengar apapun
juga.
41
Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan yang sedang memusatkan daya kemampuan mereka. Demikian
bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu yang ada
didalam diri mereka sehingga keduanya telah menjadi terengah-engah. Bahkan
dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu tinggi seperti Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka mereka telah melihat seakan-akan asap mengepul dari ubun-
ubun kedua orang itu.
“Mereka benar-benar sampai ke puncak,” desis Mahisa Murti.
“Ya. Segala sesuatu mungkin dapat terjadi. Tetapi kemampuan mereka meraba
dengan ujung indera peraba di hati mereka, maka mereka mengetahui bahwa mereka
akan mengalami serangan yang luar biasa.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah di hatinya, sebagaimana
juga di hati Mahisa Pukat, telah terjadi satu gejolak yang seakan-akan memberikan
petunjuk kepada mereka bahwa sesuatu akan terjadi.
Karena itu, maka Mahisa Murti itupun kemudian berkata, “Marilah, kita ikut bersama
mereka.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apa saja. Tetapi kita tentu akan dapat membantu memperkuat pertahanan kakang
Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada,” jawab Mahisa Murti.
“Lalu bagaimana dengan Pangeran Lembu Sabdata? Jika kita membiarkannya, maka
mungkin ia akan sampai kemana-mana. Atau bahkan mungkin Pangeran Lembu
Sabdata dapat mencelakai kita,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Singa
Narpada telah menidurkannya dalam saat-saat tertentu. Apakah kita juga dapat
melakukannya?.”
“Kita tentu dapat melakukannya karena hal itu sudah kita pelajari. Tetapi apakah
nanti kita tidak dianggap bersalah oleh Pangeran Singa Narpada?” bertanya Mahisa
Pukat.
Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun kemudian katanya. “Asal pada saatnya kita
dapat membangunkannya maka aku kira, Pangeran Singa Narpada tidak akan
menyalahkan kita.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah, Kita akan mencoba,
Semuanya kita lakukan dengan niat yang baik-baik.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah membuat Pangeran Lembu
Sabdata tertidur sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada, sementara
kedua anak muda itu telah menempatkan diri mereka untuk bersama dengan
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan, mengatasi segala macam
kemungkinan yang akan dapat menyerang mereka lewat laku yang tidak wajar.
Setelah mengamati tempat mereka yang menurut perhitungan mereka tidak akan
didatangi oleh seorang pun, maka keduanya pun telah duduk pula di tempat yang
terpisah serta memusatkan nalar budi, mengembangkan kemampuan dan tenaga yang
dapat mereka lepaskan dari himpunan kekuatan menurut laku ilmu yang telah mereka
sadap dari ayah mereka. Keduanya memang tidak begitu mengerti tentang kekuatan
kelam yang dapat melontarkan serangan dari jarak jauh. Namun keduanya yakin,
42
bahwa dengan pemusatan nalar budi, memanjatkan doa dan permohonan
perlindungan kepada Yang Maha Agung dalam ujud perisai kekuatan yang
menyelubungi keduanya dan lingkungannya.
Untuk beberapa saat keduanya duduk dalam samadi. Namun terasa di hati mereka,
getaran-getaran yang berulang kali seakan-akan telah mengguncang ketahanan
samadi mereka. Namun justru karena itu, maka keduanya menjadi semakin dalam
menukik ke alam samadi dalam hubungan tegak antara keduanya dengan
penciptanya.
Sebenarnyalah bagi mereka yang tidak terlibat ke dalam samadi itu akan melihat,
bahwa kedua orang anak muda itupun benar-benar telah tenggelam ke dalam satu
keadaan yang sangat bersungguh-sungguh.
Untuk beberapa saat, kesenyapan telah mencengkam tempat itu. Namun sementara
itu di tempat lain. Panembahan Bajang pun telah sampai ke dalam puncak laku bagi
puncak kekuatannya.
Beberapa saat Panembahan Bajang masih menimang telurnya didalam genggaman
sementara iapun telah memusatkan segenap kemampuannya. Perapian di hadapannya
telah memancarkan cahaya merah dari dunia kekelaman hati Panembahan Bajang.
Sementara beberapa jenis serbuk telah diusapkan pada telurnya yang telah
dihembusnya dengan kekuatan ilmu sebagai pertanda akan dilepaskannya
kemampuannya yang sulit dicari bandingnya.
Telur itu akan dimasukkannya ke dalam perapian dan akan terjadi satu ledakan yang
maha dahsyat. Sanggar itu akan terguncang. Namun tidak akan terjadi apapun juga
didalam sanggar itu. Setelah ledakkan itu berhenti, maka udara didalam sanggar itu
akan menjadi segar kembali. Panembahan Bajang akan dapat menghirup
kemenangannya, karena lampu itu tentu sudah padam.
Sejenak Panembahan Bajang masih mengucapkan beberapa kalimat mantra.
Kemudian tangannya mulai bergerak mengembang Telur itupun digerakkan
melingkar beberapa kali, kemudian perlahan-lahan telur itupun dimasukkan ke dalam
api perapian yang nyalanya kemerah-merahan bagaikan warna darah yang memancar
dari luka.
Ketika telur itu dilepaskannya, maka seperti yang sudah dilakukannya, maka telur
itupun jatuh ke dalam api dan meledak. Demikian pula telurnya yang terakhir itu.
Ketika telur itu jatuh ke perapian, maka telah terjadi ledakan yang sangat dahsyat.
Ledakkan bagaikan tujuh petir yang menyambar bersama-sama. Sanggar
Panembahan Bajang itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Asap mengepul
memenuhi ruang sanggar itu.
Sementara itu, di sebuah gumuk batu padas, telah terjadi sesuatu yang mendebarkan.
Sesuatu seakan-akan telah terjatuh dari langit. Tetapi benda itu tidak meledak,
melainkan seakan-akan telah menyemburkan api tegak lurus ke langit. Cahayanya
menyilaukan mata, namun tidak terlalu lama. Cahaya itupun kemudian seakan-akan
telah pudar, sementara benda yang terjatuh dari langit itupun telah terhisap kembali
ke arah semula ketika benda itu jatuh.

43
Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar Panembahan Bajang bukan saja telah
terguncang. Tetapi sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak. Segala isinya
telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan.
Para cantrik dari padepokan itu terkejut. Ledakkan itu terlalu keras dan terlalu besar
dari yang selalu mereka dengar jika Panembahan Bajang melontarkan ilmunya.
Karena itu, maka para cantrik pun telah berlari-larian ke sanggar yang telah
berserakan itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya para cantrik itu diantara sesamanya.
Tetapi tidak ada seorang pun yang mampu memberikan jawabannya. Mereka hanya
mendengar ledakkan yang terlalu dahsyat. Kemudian mereka melihat sanggar itu
telah berserakan.
“Panembahan ada dimana?” bertanya seorang cantrik.
Yang lain pun termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka melihat asap yang
mengepul diantara reruntuhan sanggar itu.
“Api?” Seorang cantrik berteriak.
Sebenarnyalah, perapian dan lampu minyak yang ada didalam sanggar itu telah
menjilat reruntuhan yang menimpanya.
Seorang cantrik yang cekatan telah meloncat ke arah itu untuk memadamkannya.
Namun tiba-tiba saja cantrik itu memekik tinggi.
“Panembahan,” suaranya melengking.
Beberapa orang cantrik yang lain pun berlarian mendekat. Mereka tidak
menghiraukan ketika kaki mereka tersandung batang-batang kayu yang berserakan.
Dengan menyingkirkan pecahan-pecahan kayu dan bambu maka mereka telah
mengangkat tubuh yang terbaring diam. Betapapun besar kuasa ilmu Panembahan
Bajang, namun dalam keadaan yang demikian, maka Panembahan tidak lebih sesosok
tubuh yang terbaring diam.
Dengan kecemasan yang mencengkam jantung, para cantrik itu telah membawa
tubuh yang membeku itu di serambi barak yang berada di dekat sanggar. Sedang
yang lain memadamkan sisa api yang masih mengepul. Namun ketika tubuh itu
terbaring menelentang, maka para cantrik itu melihat bahwa Panembahan Bajang
telah meninggal.
Pada saat yang demikian itulah, maka sanggar Panembahan Bajang bukan saja telah
terguncang. Tetapi sanggar itu benar-benar seakan-akan telah meledak, segala isinya
telah terlempar dan dindingnya pecah berserakan.
Betapa kesedihan telah mencengkam jantung para cantrik. Panembahan Bajang bagi
mereka adalah orang yang baik. Mereka berharap untuk dapat meneguk sejemput
ilmu dari Panembahan yang baik menurut penilaian mereka.
Namun tanpa mereka ketahui sebabnya, maka Panembahan Bajang itu telah
terbunuh.
Sebenarnyalah bahwa ternyata Panembahan Bajang yang telah melontarkan
kemampuan ilmu puncaknya untuk menghancurkan orang yang telah
mengalahkannya dalam olah kanuragan, telah membentur kekuatan jiwani yang tidak
tertembus. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan yang
kemudian juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil membangun perisai
44
yang sangat kuat. Mereka ternyata telah menghubungkan diri me reka dengan
lindungan Yang Maha Agung, sehingga betapapun kuatnya ilmu Penembahan Bajang
yang mampu menghancurkan bukit batu, ternyata ilmu itu tidak dapat menghembus
perlindungan Yang Maha Agung itu.
Bahkan kekuatan ilmu itu telah memental kembali dan meledak justru di tempat ilmu
itu dilontarkan.
Hanya karena Panembahan Bajang termasuk seorang yang luar biasa sajalah maka
Panembahan Bajang tidak menjadi lumat, sehingga tubuhnya justru masih utuh.
Namun Panembahan Bajang telah mati.
Sementara itu jauh dari padepokan Panembahan Bajang, empat orang masih dalam
pemusatan kemampuan mereka. Namun didalam tahap terakhir, terasa oleh mereka,
bahwa getaran-getaran yang rasa-rasanya telah mengguncangkan samadi mereka
telah susut dan akhirnya pudar sama sekali.
Isyarat jiwani itu telah membuat keempat orang itu perlahan-lahan melepaskan
pemusatan ilmu mereka. Mereka mulai mengendorkan ketegangan yang mencekam
jiwa mereka. Apalagi untuk beberapa saat lamanya mereka tidak lagi mendengar
ledakan-ledakan yang dapat memecahkan selaput telinga mereka.
Hampir bersamaan mereka telah melepaskan samadi mereka. Namun baru kemudian
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan mengetahui bahwa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah melakukannya pula.
“Kita bersama-sama telah mampu melawan kekuatan Panembahan Bajang,” berkata
Mahisa Bungalan.
“Serangan-serangan itu telah berhenti,” berkata Mahisa Murti.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun perhatiannya tertuju
kepada Pangeran Lembu Sabdata yang terbaring diam.
“Aku terpaksa membuatnya tidur,” berkata Mahisa Murti, “Aku tidak tahu apa yang
sebaiknya kau lakukan atas Pangeran Lembu Sabdata pada saat aku dan Mahisa
Pukat ingin ikut membantu melawan kekuatan Panembahan Bajang yang nggegirisi
itu.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak-anak muda itu
benar-benar telah dibekali dengan ilmu yang mapan. Mahisa Murti telah mampu
dengan tidak membahayakan seseorang membuatnya tidur nyenyak sebagaimana
dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Pangeran. Aku akan
membangunkannya. Jika perlakuanku atas Pangeran Lembu Sabdata tidak berkenan
di hati Pangeran, aku mohon maaf.”
“Tidak. Aku tidak sedang menyesali perbuatanmu, tetapi aku justru mengagumimu.
Kau dan Mahisa Pukat yang masih terlalu muda itu ternyata telah mampu
menunjukkan satu tingkat kemampuan yang sangat tinggi.”
“Jangan memuji Pangeran,” jawab Mahisa Murti, “Apa yang aku lakukan tidak
berarti apa-apa.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Bangunkan Pangeran Lembu Sabdata. Kita masih mempunyai tugas yang berat.”

45
Mahisa Murti pun kemudian membangunkan Pangeran Lembu Sabdata yang tertidur
nyenyak. Yang tidak mengetahui apa yang telah terjadi di sekitarnya. Bahkan
seandainya Pangeran Lembu Sabdata itu tidak tertidur, iapun tidak menyadari apa
yang telah terjadi.
Sejenak kemudian, kita mereka telah yakin bahwa sudah tidak terjadi ledakan-
ledakan yang agaknya memang ditujukan kepada mereka, maka Pangeran Singa
Narpada.
Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melanjutkan perjalanan
bersama Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin larut. Namun mereka yang
menempuh perjalanan itu sama sekali tidak berniat untuk berhenti, karena justru
mereka lebih baik berjalan malam hari.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan itupun berkata, “Aku ingin singgah di
padepokan Panembahan Bajang.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita
membawa sesuatu yang sangat berharga.”
“Aku ingin meyakinkan, apa yang telah terjadi. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja
serangan-serangannya terhenti. Apakah Panembahan Bajang mengira bahwa aku
sudah mati? Selebihnya aku ingin mendengar janjinya, bahwa ia tida akan melakukan
serangan licik seperti itu,“ jawab Mahisa Bungalan.
“Tetapi baiklah kita mengembalikan benda ini dan menitipkan Pangeran Lembu
Sabdata di Kediri,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Agaknya akan makan waktu terlalu lama. Dalam kesempatan itu Panembahan
Bajang mungkin telah melakukan serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi,
sementara kita kurang mengerti apa yang sebaiknya kita lakukan untuk melawan,”
berkata Mahisa Bungalan, “Meskipun baru saja kita dapat menghindarkan diri,
namun dalam hal seperti ini, kita harus mengakui bahwa Panembahan Bajang
memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kita semua. Karena itu, aku harus
berhadapan langsung dengan orang itu dan memaksanya mengucapkan janji bahwa ia
tidak akan melakukannya lagi atas taruhan kemampuannya. Ia harus mengatakan
bahwa jika ia sekali lagi menyerangku, maka serangan itu akan mengenai dirinya
sendiri.”
“Apakah kau yakin bahwa ia akan benar-benar berjanji dan janji itu akan berarti?”
bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Kita akan memaksanya untuk mengucapkan janji didalam sanggarnya, di hadapan
para cantriknya dan atas nama sumber ilmu yang disadapnya,” jawab Mahisa
Bungalan.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan itupun berkata,
“Pangeran. Aku merasa tidak tenang sebelum aku bertemu dengan Panembahan
Bajang. Aku akan bertemu dan menyelesaikan persoalanku sampai tuntas. Jika perlu,
maka aku akan membunuhnya, sehingga bagiku persoalan dengan orang itu sudah
selesai.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Tetapi ia melihat kesungguhan memancar
di wajah Mahisa Bungalan. Karena itu mengingat bahwa Mahisa Bungalan dan kedua
46
adiknya sudah bekerja keras untuk membantunya menemukan benda yang paling
berharga bagi Kediri, serta menemukan Pengeran Lembu Sabdata, maka Pangeran
Singa Narpada pun merasa wajib untuk membantu dan memenuhi keinginan itu.
Karena itu, maka katanya, “Baiklah Mahisa Bungalan. Kita akan singgah sebentar.
Mudah-mudahan kita tidak terhambat karenanya.”
Dengan demikian, maka mereka pun telah berusaha untuk mencari arah. Sekali
mereka pernah mengunjungi satu tempat, mereka akan dapat mencarinya dengan
ancar-ancar alam yang dapat dilihat dim alam hari. Jangankan tempat yang pernah
mereka lihat, sedangkan tempat yang baru mereka kenal dengan ancar-ancar pun
akan dapat mereka ketemukan.
Meskipun dengan demikian, maka perjalanan mereka akan menjadi bertambah jauh,
tetapi Mahisa Bungalan telah membulatkan tekadnya untuk datang ke padepokan
Panembahan Kerdil itu.
Tetapi padepokan itu tidak dapat mereka capai malam itu juga. Karena itu, maka
ketika matahari mulai menerangi langit di dini hari, mereka harus menyesuaikan diri.
“Jalan terlalu sepi,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Biarlah kita meneruskan
perjalanan.”
Mahisa Bungalan mengangguk. Namun diluar sadarnya ia berpaling ke arah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, agaknya kakaknya ingin bertanya
kepada mereka, apakah mereka telah lelah. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun
bergumam, “Kami masih dapat berjalan sampai tiga hari tiga malam lagi.”
“Sombongmu,” desis kakaknya.
Mahisa Murti pun berpaling kepadanya. Namun Mahisa Pukat justru tersenyum
karenanya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat juga mengamati Pangeran Lembu
Sabdata. Namun agaknya Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak menghiraukan,
apa yang sedang dilakukannya. Ia berjalan saja seakan-akan tanpa jiwa. Namun sama
sekali tidak terbayang keletihan pada langkahnya atau pada bayangan di wajahnya. Ia
berjalan saja seperti tidak melakukan apa-apa.
Dengan demikian, maka meskipun matahari kemudian terbit, mereka masih tetap
berjalan. Mereka telah menyempatkan diri untuk membersihkan wajah mereka dan
membenahi pakaian mereka, sementara Mahkota yang dibawa oleh Pangeran Lembu
Sabdata telah dibungkus sedemikian rupa sehingga tidak menarik perhatian, seolah-
olah yang dibawa bungkusan barang yang tidak berharga sebagaimana sering dibawa
oleh para perantau.
Ternyata bahwa ketahanan tubuh mereka sangat tinggi. Meskipun mereka semalaman
telah melakukan kerja dan perjalanan yang berat, namun mereka masih mampu
berjalan dengan langkah yang segar, seakan-akan baru saja mereka mulai dengan
perjalanan mereka. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan tidak
menyadari apa yang sedang dilakukan itupun berjalan dengan langkah tetap sambil
menundukkan wajahnya.
Di siang hari mereka berhenti sejenak untuk melepaskan haus dan membeli makanan
serta bakal di perjalanan. Ka-dang-kadang mereka memang jemu untuk saling
47
berbicara, tetapi tidak ingin membiarkan mulut mereka berhenti bergerak, karena itu,
maka Mahisa Pukat telah membeli makanan yang dapat dipergunakan untuk
mengusir kejemuan di perjalanan jika mereka letih berbicara.
Ternyata bahwa mereka benar-benar tidak mengenal letih. Mereka berjalan terus
sampai akhirnya menjelang senja mereka telah mendekati padepokan Panembahan
Bajang.
“Apakah kita akan terus memasuki padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia berhasil mengendalikan
perasaannya dan berkata, “Kita akan beristirahat sejenak sebelum kita memasuki
padepokan itu. Aku ingin memasuki padepokan dengan langkah yang segar.”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti bahwa Mahisa
Bungalan ingin mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi
Panembahan Bajang. Jika perlu tentu dengan perang tanding.
Demikianlah maka orang-orang yang mendekati padepokan itu telah memasuki
sebuah hutan kecil untuk beristirahat.
Beberapa saat mereka berada didalam hutan kecil itu. Setelah Mahisa Bungalan
benar-benar merasa tubuhnya segar, maka iapun berkata, “Marilah. Kita akan
memasuki Padepokan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mempersiapkan diri, sementara
Pangeran Singa Narpada tidak mempunyai rencana lain dari memberikan kesempatan
kepada Mahisa Bungalan untuk menyelesaikan persoalannya yang tersisa dengan
Panembahan Bajang.
Karena itu, maka mereka pun telah meneruskan perjalanan mereka langsung menuju
ke padepokan yang sudah ada di depan hidung mereka meskipun malam telah turun.
Dengan langkah tetap Mahisa Bungalan berjalan di paling depan ketika mereka
memasuki regol.
Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka melihat kesibukan di padepokan itu.
Dengan ragu-ragu mereka perlahan-lahan melangkah setapak demi setapak di
halaman padepokan.
Seorang cantrik yang melihat kehadiran mereka dibawah cahaya obor regol
padepokan itupun dengan tergesa-gesa menyongsong mereka. Sambil mengangguk
hormat ia berkata, “Marilah, silahkan Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai satu
keperluan atau hanya sekedar ingin singgah karena kalian kemalaman. Atau kalian
memang sudah mendengar tentang Panembahan Bajang dan datang untuk
memberikan penghormatan?”
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kami ingin
bertemu dan berbicara dengan Panembahan Bajang.”
“O.“ cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. ”Siapakah kalian?”
“Kami adalah sahabat-sahabatnya,“ jawab Mahisa Bungalan.
Cantrik itu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Namun kemudian
dengan nada rendah ia berkata, “Panembahan Bajang telah meninggal.”
“O.“ Mahisa Bungalan benar-benar terkejut, bukan sekedar dibuat-buat. ”Kenapa?”
Cantrik itupun kemudian berceritera tentang sanggar yang meledak tanpa diketahui
sebabnya.
48
Mahisa Bungalan lah yang kemudian termangu-mangu. Kemudian iapun berpaling
ke arah Pangeran Singa Narpada ketika Pangeran Singa Narpada kebetulan berpaling
pula kepadanya. Seolah-olah mereka telah bersepakat untuk mengatakan, bahwa
ledakan itu tentu merupakan kegagalan Panembahan Bajang dalam bermain-main
dengan ilmunya.
Namun dalam pada itu, baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran Singa Narpada
telah berkata didalam hatinya, “Untunglah Panembahan Bajang mempergunakan
ilmu kasarnya. Jika ia mempergunakan ilmunya yang lebih halus, mungkin ilmu itu
akan berhasil menyusup ke dalam otaknya dan membuatnya gila.”
Tetapi ternyata bahwa ilmunya yang kasar itu tidak dapat menembus perisai yang
telah dibuat bersama-sama dalam empat kekuatan yang pasrah kepada Yang Maha
Agung, sehingga justru kekuatan itu telah melenting kembali mengenai dirinya
sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan masih termangu-mangu. Namun kemudian
katanya kepada Pangeran Singa Narpada, ”Kita ikut berbela sungkawa. Tetapi maaf
Ki Sanak, kami tidak dapat singgah. Ada sesuatu yang ingin lakukan, yang
seharusnya diketahui oleh Panembahan Bajang. Tetapi karena Panembahan Bajang
sudah tidak ada lagi, maka biarlah kami melakukannya sendiri.”
“Jadi kalian tidak singgah dan menunggu sampai mayat Panembahan
diselenggarakan?” bertanya cantrik itu.
“Maaf Ki Sanak. Kami agak tergesa-gesa. Mungkin kelak jika tugas kami sudah
selesai, maka kami akan singgah di padepokan ini,” jawab Mahisa Bungalan.
“Baiklah Ki Sanak,” berkata cantrik itu, “Kami sangat mengharapkan kedatangan
kalian. Tetapi apakah kalian tidak singgah barang sejenak. Hari sudah malam. Jika Ki
Sanak memerlukan bermalam disini, kami tidak berkeberatan.”
“Terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan, “Kami terpaksa meneruskan perjalanan
kami.”
“Jika demikian silahkan Ki Sanak,” berkata cantrik itu.
Dengan demikian, maka kelima orang itupun telah melanjutkan perjalanan mereka,
meninggalkan padepokan itu.
Dengan saling berdiam diri, kelima orang itu berjalan dalam gelapnya malam. Yang
tidak terduga ternyata telah terjadi. Panembahan Bajang telah meninggal. Tidak ada
penjelasan dari cantrik di padepokan itu. Namun yang diketahui oleh cantrik itu
bahwa sanggar Panembahan Bajang telah meledak.
Keempat orang yang telah berusaha melawan kekuatan Panembahan Bajang itu
menghubungkan perjuangan mereka dengan kemungkinan terjadinya ledakkan itu.
Tatapi tidak seorang pun diantara mereka yang dapat mengatakan, bahwa
meledaknya sanggar Panembahan Bajang itu adalah karena kekuatan berempat telah
berhasil mencorong kembali kekuatan ilmu Panembahan Bajang.
Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah berkata, “Kita sudah
terlalu lama berjalan. Menurut pendapatku, apakah tidak sebaiknya kita beristirahat
barang sejenak.”
Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Karena itu. maka ketika mereka sampai pada
sebuah ara-ara perdu, maka mereka pun telah mencari tempat untuk dapat
49
beristirahat. Beruntunglah mereka karena ternyata tidak jauh dari tempat itu mengalir
sebatang sungai kecil, namun yang airnya cukup jernih.
Sementara itu. di padepokan Panembahan Bajang para cantrik dengan wajah yang
murung telah menjadi sibuk. Tidak ada diantara mereka yang tahu pasti, apa yang
telah terjadi. Namun pemimpin padepokan mereka, yang mereka anggap sebagai
seorang yang baik telah pergi meninggalkan mereka.
Namun dalam pada itu. selagi para cantrik merasa kehilangan pegangan, seseorang
telah memasuki halaman padepokan itu. Dengan langkah yang sangat cepat, orang itu
bagaikan tidak menyentuh tanah.
Seorang cantrik dengan tergesa-gesa telah mendekati orang yang datang itu. Dengan
hormat cantrik itupun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
“Selamat datang mPu,” berkata cantrik itu.
“Apa yang terjadi,” bertanya orang yang baru datang itu, “hatiku merasa sangat
cemas. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku didera oleh suatu keinginan untuk
mengunjungi padepokan ini. Dimana Panembahan mu yang kerdil itu.”
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan suara yang bergetar
menyahut, “MPu, Panembahan sudah meninggal.”
“Meninggal?” MPu Lengkon terkejut. ”Kenapa?”
Cantrik itupun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Panembahan
Bajang, sehingga akhirnya ia-pun meninggal.
mPu Lengkon menjadi tegang. Kemudian katanya, “Aku ingin melihat tubuh
Panembahan.”
Cantrik itupun kemudian mengantar mPu Lengkon melihat tubuh Panembahan
Bajang yang pada beberapa bagian terdapat semacam luka dan memar karena
tertimpa bagian-bagian dari atap sanggarnya yang runtuh oleh satu ledakan yang
sangat dahsyat dan mengejutkan.
Sejenak mPu Lengkon memperhatikan keadaan tubuh Panembahan Bajang.
Berdasarkan atas kenyataan yang diamatinya serta beberapa keterangan yang
didengarnya dari beberapa orang cantrik padepokan itu, maka mPu Lengkon dapat
mengambil satu kesimpulan, meskipun ia tidak dapat mengatakan kesimpulan itu
kepada para murid Panembahan Kerdil itu.
“Ternyata Panembahan Bajang telah dihancurkan oleh ilmunya sendiri yang
membantu kekuatan yang tidak dapat ditembusnya,” berkata mPu Lengkon didalam
hatinya sendiri.
Karena itu, maka mPu Lengkon pun telah berusaha untuk mencari, siapakah kira-kira
orang yang mampu mengembalikan kekuatan ilmu Panembahan Bajang yang dahsyat
itu. Meskipun mPu Lengkon sendiri tidak pernah merasa takut kepada kekuatan ilmu
Panemhahan Bajang, namun menurut penilaiannya, kemampuan ilmu Panembahan
Bajang adalah sangat nggegirisi. Karena itu, jika ada orang yang mampu
melawannya dan bahkan melontarkan kembali sehingga membunuhnya, tentu orang
itu memiliki kemampuan yang tidak dapat dijajagi.
Namun mPu Lengkon tidak membayangkan sama sekali, bahwa satu kekuatan yang
dibangun atas empat kemampuan yang tinggi telah mendorong kembali serangan
Panembahan Bajang. Empat orang yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan
50
untuk mengatasi kekuatan sebagaimana dilontarkan oleh Panembahan Bajang, namun
karena kebulatan hati mereka tertuju kepada Yang Maha Agung untuk mendapatkan
perisai perlindungan, maka ternyata bahwa kekuatan mereka berempat dapat
melontarkan kembali serangan Panembahan Bajang kepada dirinya sendiri.
mPu Langkon pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
memberikan petunjuk apapun kepada para cantrik, karena peristiwa yang terjadi itu
merupakan peristiwa yang gelap.
“Mungkin Panembahan Bajang telah membentur kekuatan para kesatria di Kediri,”
berkata mPu Lengkon kepada diri sendiri. Lalu, “Karena di Kediri tentu terdapat
banyak kekuatan yang dapat mengimbangi kekuatan Panembahan Bajang. Dan tentu
akan terjadi hal yang mungkin sama jika aku melakukan serangan-serangan
tersembunyi sebagaimana dilakukan oleh Panembahan Bajang.”
Namun dalam pada itu, mPu Lengkon tidak segera meninggalkan tempat itu.
Ternyata kehadirannya telah memberikan sedikit ketenangan kepada para cantrik.
karena ternyata mPu Lengkon telah ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan
yang dihadapi para cantrik untuk menyelenggarakan mayat Panembahan Bajang.
“Aku akan berada disini sampai semuanya selesai,” berkata mPu Lengkon yang
menjadi iba melihat keadaan para cantrik yang kebingungan.
Sementara itu, maka mereka yang berjalan menuju Kediri tengah beristirahat di
sebuah ara-ara perdu. Ternyata bahwa ketika mereka sempat duduk, justru terasa
bahwa mereka memang sudah mulai letih.
Demikianlah maka Mahisa Bungalan pun telah berkata kepada kedua adiknya,
“beristirahatlah. Mungkin kalian ingin tidur barang sekejap. Kita akan bergantian
berjaga-jaga.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mencari tempat. Sekilas mereka melihat
Pangeran Lembu Sabdata duduk bersandar sebongkah batu padas. Tatapan matanya
yang kosong terlempar jauh kekeramangan malam.
Namun keduanya sama sekali tidak berbuat sesuatu, karena di tempat itu pula ada
Pangeran Singa Narpada. Segala sesuatunya tentu akan dilakukan oleh Pangeran
Singa Narpada itu bagi kepentingan adiknya yang kurang menyadari apa yang telah
terjadi atas dirinya itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak membuat adiknya tertidur.
Dibiarkannya Pangeran Lembu Sabdata duduk merenungi gelapnya malam
sebagaimana hatinya yang gelap. Tetapi dengan demikian maka Pangeran Singa
Narpada harus mengawasinya terus-menerus agar adiknya itu tidak hilang tanpa
diketahui kemana perginya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendapatkan
tempat untuk berbaring. Ternyata sisa malam tinggal beberapa saat saja. Namun
keduanya memang sempat memejamkan matanya dan tidur sejenak.
Tetapi mereka pun segera terbangun ketika langit menjadi terang. Berdua mereka
pergi ke sungai yang airnya meskipun sedikit tetapi jernih. Keduanya sempat mandi
dan membersihkan dirinya, sehingga dengan demikian maka tubuh mereka pun terasa
menjadi segar setelah mereka sempat tidur beberapa kejap.

51
Setelah keduanya, barulah Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan yang turun
ke sungai. Pangeran Singa Narpada telah mengajak Pangeran Lembu Sabdata dengan
cara yang khusus untuk ikut pergi ke sungai dan membersihkan dirinya pula.
“Meskipun kemudian mereka telah selesai mandi dan membersihkan diri,” namun
mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tergesa-gesa
melanjutkan perjalanan justru di siang hari. Mereka berusaha untuk menghindarkan
diri sejauh-jauhnya dari perhatian orang banyak, bahwa mereka telah membawa
sesuatu yang sangat berharga. Apalagi sikap Pangeran Lembu Sabdata yang tentu
menumbuhkan beberapa pertanyaan dan kemudian menarik perhatian orang yang
melihatnya.
Karena itu, maka sebagaimana mereka rencanakan sebelumnya, bahwa mereka akan
lebih banyak berada di jalan-jalan justru di malam hari.
“Jadi kita akan berada di tempat ini sampai senja?” bertanya Mahisa Pukat.
“Seharusnya memang demikian,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi kita akan melihat
suasana. Mungkin kita akan berangkat lebih cepat.”
“Lalu apa yang akan kita kerjakan selama kita menunggu matahari turun? Berbaring,
tidur lagi atau apa?” desak Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan menyadari bahwa kedua adiknya akan menjadi jemu menunggu
tanpa berbuat apa-apa. Karena itu, maka katanya, “Nah, jika demikian apa yang
sebaiknya kalian lakukan? Mungkin mencari ikan di sungai kecil itu dengan
membendungnya atau apa?”
Mahisa Murti lah yang menjawab, “Aku barangkali Mahisa Pukat akan melihat-lihat
lingkungan diluar hutan perdu ini.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kami berada di
tempat ini untuk menghindarkan diri dari persoalan-persoalan yang dapat timbul.
Karena itu, maka sebaiknya kalian pun tidak keluar dari ara-ara perdu ini.”
“Kami tidak akan berbuat apa-apa,” jawab Mahisa Murti, “hanya sekedar melupakan
kejemuan. Seandainya ada pasar atau kedai atau orang-orang yang berjualan, maka
kami memang ingin membeli makanan.”
Mahisa Bungalan memang tidak akan membiarkan keduanya menjadi sangat gelisah
karena mereka harus menunggu tanpa berbuat apa-apa. Karena itu, maka Mahisa
Bungalan itupun kemudian bertanya kepada Pangeran Singa Narpada. “Bagaimana
menurut pertimbangan Pangeran?”
“Biarlah mereka pergi. Agaknya mereka benar-benar telah dewasa dalam sikap dan
tingkah laku, bukan saja ilmunya. Karena itu, kami percaya bahwa mereka akan
dapat menempatkan diri sebaik-baiknya, dan tidak akan berbuat sesuatu yang dapat
merugikan perjalanan kita,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Pangeran Singa
Narpada pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah.”
Mahisa Murti mengangguk kecil. Sementara itu, bersama Mahisa Pukat keduanya
telah meninggalkan hutan perdu itu turun ke sebuah jalan kecil yang menuju ke
sebuah padukuhan.
“Mudah-mudahan kita menemukan pasar,” berkata Mahisa Pukat.
“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.
52
“Rasa-rasanya aku ingin makan sesuatu yang lain dari yang selalu kita makan selama
ini,” berkata Mahisa Pukat.
“Ah, kau,” desis Mahisa Murti, “Apakah yang kita makan selama ini kurang baik?”
“Jangan berpura-pura. Jika kita menemukan jenis makanan yang sudah lama tidak
kita jumpai, maka kau menyadarinya,“ jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak membantah. Agaknya benar juga bahwa
mereka menjadi jenuh dengan makanan yang seadanya dan minum dengan meneguk
air dari belik.
Sebenarnyalah, akhirnya keduanya telah menemukan sebuah pasar yang meskipun
tidak begitu besar, tetapi didalamnya terdapat beberapa buah kedai makanan.
“Nah,” berkata Mahisa Pukat. ”Kita dapat-memilih. Jika kita sudah kenyang, maka
kita akan dapat membeli untuk kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada.”
Mahisa Murti tidak menjawab, namun iapun telah menuju ke sebuah pintu kedai
yang terbesar diantara kedai yang ada di warung itu.
Ketika mereka kemudian duduk, maka didalam kedai itu telah lebih dahulu duduk
beberapa orang yang sedang menikmati minuman panas dan makanan.
Tidak ada orang yang memperhatikan kedatangan kedua anak muda itu. Ketika
mereka mendengar langkah mereka memasuki pintu kedai, mereka hanya sekedar
berpaling. Kemudian perhatian mereka kembali kepada minuman dan makanan yang
sudah tersedia.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah telah memesan minuman dan makanan pula.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah sibuk menikmatinya, sehingga karena itu,
maka keduanya seperti orang-orang lain tidak menghiraukan ketika ada seorang lagi
memasuki warung itu.
Seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan telah duduk tidak terlalu jauh dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tongkatnya yang panjang pun kemudian
disandarkannya pada dinding warung itu.
Orang bertubuh kecil itupun kemudian sebagaimana orang-orang lain juga memesan
minuman dan makanan. Seolah-olah tanpa menghiraukan orang lain, maka orang
itupun kemudian minum dan makan dengan asyiknya.
Tetapi sekali-sekali orang itu berusaha untuk dapat memandang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang sama sekali tidak memperhatikannya. Bahkan agaknya orang itu
kemudian menjadi sangat tertarik kepada kedua orang anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sibuk dengan minuman dan
makanan mereka. Karena itu, mereka sama sekali tidak tahu, bahwa orang yang
bertubuh kecil itu, perlahan-lahan tanpa dilihat oleh orang lain telah menyentuh
tongkat panjangnya yang tersandar di dinding.
Tiba-tiba saja tongkat panjangnya itu mulai bergeser dan roboh menimpa pundak
Mahisa Pukat. Adalah diluar dugaan bahwa tongkat yang kecil itu terasa di pundak
Mahisa Pukat bagaikan robohnya sebatang pohon kelapa.
Diluar sadarnya, karena yang terjadi itu sama sekali tidak disangkanya, Mahisa Pukat
telah mengaduh sambil meloncat berdiri.

53
Mahisa Murti pun terkejut pula. Tongkat yang dikibaskan dari pundak Mahisa Pukat
itu hampir saja menimpanya. Namun tongkat itu telah terjatuh dan menimpa tempat
duduk yang terbuat dari bambu.
Seisi kedai itu terkejut bukan buatan. Bahkan orang-orang yang duduk di ujung
tempat duduk bambu itupun telah jatuh terlentang menimpa dinding kedai itu, karena
tempat duduk dari bambu yang tertimpa oleh tongkat panjang itu menjadi roboh.
Orang-orang itupun kemudian tertatih-tatih berdiri. Beberapa orang menjadi marah.
Tanpa memikirkan sebab dan terjadinya mereka memaki orang yang membawa
tongkat itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menilai peristiwa yang terjadi itu
bukannya sekedar satu kebetulan sebagaimana orang-orang lain menganggap.
Beberapa orang marah karena orang, bertubuh kecil itu dianggap tidak berhati-hati
dengan tongkatnya. Namun mereka tidak berpikir sama sekali, bahwa tongkat itu
pada keadaan wajar tentu tidak akan dapat merobohkan tempat duduk yang meskipun
terbuat dari bambu tetapi cukup kuat sebagai tempat duduk bagi beberapa orang.
Orang bertubuh kecil itu ternyata, tidak menjawab sama sekali yang diperhatikannya
adalah justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, dengan mengerahkan
daya tahannya, Mahisa Pukat berusaha mengatasi rasa sakitnya.
Tulangnya terasa bagaikan retak. Tetapi karena kemampuannya serta ketahanan
tubuhnya yang tinggi, maka lambat laun ia berhasil menguasai perasaan sakitnya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menunjukkan bahwa rasa sakitnya itu telah dapat
diatasinya. Ia masih saja menyeringai dengan memegang pundaknya dan bahkan
kemudian iapun telah mengaduh pula beberapa kali.
Orang bertubuh kecil itupun kemudian mengambil tongkatnya yang telah
merusakkan salah satu tempat duduk dikedai itu. Dilemparkannya beberapa keping
uang kepada pemilik warung itu, kemudian tanpa mengucapkan kata apapun juga, ia
telah melangkah keluar.
Beberapa orang yang masih ada didalam kedai itu masih saja mengumpat-umpat.
Apalagi yang telah terjatuh karena tempat duduknya rusak tertimpa tongkat panjang
itu.
Sementara itu, Mahisa Murti telah berbisik, di telinga Mahisa Pukat, “Bagaimana?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat.
“Kau nampak kesakitan,” berkata Mahisa Murti.
“Aku sengaja berbuat begitu. Mungkin masih akan ada kelanjutannya. Mudah-
mudahan tidak akan mengganggu perjalanan kita, apalagi dengan mahkota dan
Pangeran Lembu Sabdata,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis. “Apalagi
sebabnya orang itu berbuat demikian atas kita?”
“Entahlah,” sahut Mahisa Pukat, “Tetapi kita memang harus berhati-hati. Mudah-
mudahan, sekali lagi mudah-mudahan, tidak akan mengganggu perjalanan kita.
Kakang Mahisa Bungalan tentu akan menyalahkan kita.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian mengambil uangnya
dan memberikannya kepada pemilik kedai itu sesuai dengan makanan dan minuman
yang telah mereka habiskan.
54
Keduanya pun kemudian keluar dari kedai itu dengan penuh kewaspadaan. Mereka
yakin bahwa orang bertubuh kecil itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
“Kemana orang itu,” desis Mahisa Pukat.
“Entahlah,” sahut Mahisa Murti, “Tetapi kita tentu akan bertemu lagi. Kita tidak usah
susah-susah mencarinya.”
“Orang itu tentu akan datang menemui kita. Mungkin dengan sikap yang ramah,
tetapi mungkin dengan wajah yang garang dan menantang kita untuk berkelahi tanpa
sebab.”
“Tetapi ia baik terhadap pemilik kedai itu. Ia memberikan ganti pada ambennya yang
rusak dan barangkali makanan yang tumpah dengan beberapa keping uang yang tentu
lebih banyak dari nilai barang-barang itu yang sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah, tetapi kita tidak dapat
langsung kembali ke tempat kakang Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka berdua pun kemudian meninggalkan
tempat itu. Tetapi mereka tidak langsung menuju tempat kakaknya menunggu.
Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti, mereka memang tidak
usah mencari orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu. Ketika keduanya
keluar dari padukuhan, maka mereka telah melihat orang bertubuh kecil dan
bertongkat panjang itu duduk dibawah sebatang pohon gayam yang besar sambil
memeluk tongkatnya.
“Itulah,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang itu memang sedang
mencari persoalan. Tetapi tentu bukannya satu kebetulan. Orang itu tentu mempunyai
kepentingan dengan kita dan mungkin dengan kakang Mahisa Bungalan atau
Pangeran Singa Narpada.”
Mahisa Murti tidak menjawab, sementara Mahisa Pukat mulai Iagi meraba-raba
pundaknya sambil menyeringai, seolah-olah pundaknya itu menjadi sangat sakit, atau
tulangnya menjadi retak karenanya.
Beberapa saat kemudian, keduanya menjadi semakin dekat dengan orang yang duduk
dibawah pohon gayam itu.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Hati-hatilah. Mungkin ia seorang laki-laki.
Tetapi mungkin ia seorang yang licik dan menyerang dengan tiba-tiba saja tanpa
memberi isyarat lebih dahulu.”
Meskipun Mahisa Pukat masih saja menyeringai menahan sakit, namun ia telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah ketika mereka melewati orang yang duduk itu, ternyata orang itu telah
menyilangkan tongkatnya melintang jalan. Meskipun panjang tongkat itu tidak
selebar jalan yang dilalui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keduanya
telah berhenti.
Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Apa maksudmu menghalangi langkahku
Ki Sanak.”
Orang itupun kemudian bangkit berdiri. Diamatinya Mahisa Pukat yang masih
memegangi pundaknya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Apakah
pundakmu terasa sakit?”
55
“Apakah maksudmu dengan menyakiti aku Ki Sanak?” bertanya Mahisa Pukat,
“Tulangku serasa patah dan tanganku seakan-akan tidak mampu bergerak sama
sekali.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau telah membuat aku menjadi
heran. Meskipun kau mengatakan bahwa tulang-tulangmu terasa sakit, tetapi kau
masih mampu berdiri tegak dan berjalan meninggalkan kedai itu.”
“Jadi, bagaimana seharusnya menurut nalarmu?” bertanya Mahisa Pukat, “Apakah
aku harus mati?“
“Seandainya kau tidak mati, maka kau harus menjadi lumpuh atau sama sekali tidak
dapat keluar dari kedai itu,“ jawab orang itu.
“Kenapa? Bukankah tongkatmu tidak lebih dari sebatang tongkat kecil dan panjang?
Apakah dengan tongkat itu kau memang terbiasa membunuh orang atau membuatnya
lumpuh dan tidak berdaya seperti aku?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kau masih dapat berjalan sampai ke tempat ini. Karena itu aku menunggumu. Kau
harus ditimpa tongkat ini sekali lagi agar kau benar-benar menjadi lumpuh atau
mati.” berkata orang bertubuh kecil itu.
“Ah.” desah Mahisa Pukat, “Apakah kau sampai hati berbuat demikian terhadapku?
Apakah sebenarnya salahku dan apakah sebenarnya persoalan yang ada diantara
kita?”
“Kenapa kau tanyakan persoalan yang ada diantara kita?“ orang itu justru bertanya,
“Jika aku ingin membunuh seseorang maka aku tidak pernah berpikir apakah aku
mempunyai persoalan dengan orang itu atau tidak.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Sanak. Marilah kita
berterus terang. Apakah maumu sebenarnya, agar semuanya menjadi jelas. Kau
sudah menyakiti pundak saudaraku. Sekarang kau berniat untuk membunuh kami.
Aku yakin bahwa yang kau katakan itu bukannya yang sebenarnya. Mungkin kau
memang ingin membunuh kami, tetapi tentu ada persoalan yang mendorong
melakukannya. Tidak seperti yang kau katakan, bahwa hal itu kau lakukan karena
kau ingin melakukannya.”
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kalian memang
bukan orang kebanyakan. Kecuali itu tidak hancur, kau pun menangkap persoalan
diantara kita dengan sikap dewasa.”
“Apapun menurut penilaianmu,” desis Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya kedua anak muda itu berganti-
ganti.
Untuk beberapa saat kedua belah pihak saling berdiam diri. Seakan-akan kedua belah
pihak sedang menjajagi kemungkinan yang ada didalam diri mereka. Terutama orang
bertubuh kecil itu. Dengan cermat ia melihat pundak Mahisa Pukat yang masih saja
dipeganginya seakan-akan pundak itu masih terasa sakit.
Namun tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu berkata, “Anak muda. Jangan berpura-
pura. Aku tahu, kau sudah berhasil mengatasi perasaan sakitmu. Dengan demikian
maka kau tentu seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi justru karena itu maka
keinginan untuk membunuh dan saudaramu menjadi semakin mendesak.”

56
“Itu bukan soal,” jawab Mahisa Pukat sambil melepaskan pundaknya, “Tetapi bahwa
kau tahu aku berhasil mengatasi perasaan sakitku merupakan satu kemampuan
penglihatan yang luar biasa. Sekali-sekali aku juga ingin memujimu, meskipun
pujian yang keluar dari mulutku tidak akan lebih berarti dari pujian yang keluar dari
mulutmu.”
Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menarik
nafas dalam-dalam.
“Tepat,” jawab Mahisa Murti, “Apalagi membunuh seseorang yang sombong dan
terlalu yakin akan kemampuannya. Seseorang yang akan dibunuh, tetapi kemudian
justru berhasil membunuh lawannya itu akan dapat memberikan kepuasan lebih besar
daripada membunuh seseorang yang sekedar memberikan perlawanan pada saat ia
akan dibunuh.”
“Hem,“ orang itu menggeram. Tetapi ia menahan gejolak didalam hatinya. Bahkan
dengan nada datar ia berkata, “Kalian benar-benar lepas dari dugaanku. Yang aku
hadapi sekarang bukan anak-anak muda sebagaimana aku lihat. Tetapi marilah,
mumpung masih ada waktu. Aku masih mempunyai tugas yang lain. Aku masih
harus membunuh tujuh orang lagi, karena diantara sepuluh orang yang harus aku
bunuh, aku baru berhasil membunuh satu orang. Sekarang aku akan membunuh dua
orang lagi.”
“Kenapa baru seorang?” bertanya Mahisa Pukat.
“Yang aku jumpai memang baru seorang,” jawab orang bertubuh kecil itu.
“Beruntunglah bahwa sekarang aku menjumpai dua orang sekaligus. Jika aku dapat
menjumpai lima atau tujuh orang yang lain sekaligus, pekerjaanku akan semakin
cepat, karena aku akan dapat membunuh mereka bersama-sama dalam satu saat
seperti yang akan aku lakukan atas kalian.”
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa karenanya. Lalu katanya, “Kau memang aneh.
Kau sendiri mengatakan, bahwa sebaiknya kita tidak usah berpura-pura, meskipun
kau tidak akan mengatakan sebab yang sebenarnya. Tetapi kau masih mengigau saja
seperti seorang yang sakit panas.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba iapun tersenyum juga. Katanya,
“Aku lupa bahwa aku berhadapan dengan anak-anak muda yang telah dewasa. Tetapi
baiklah. Aku sekarang bersungguh-sungguh. Jika kalian memang jantan, marilah kita
benar-benar pergi ke pategalan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian
melangkah ke pategalan bersama orang yang bertubuh kecil itu.

(Bersambung ke Jilid 26).

57

Anda mungkin juga menyukai