Anda di halaman 1dari 57

PANGERAN Singa Narpada bergeser surut.

Tetapi kedua
orang itupun bergeser pula.
Bagaimanapun juga terasa sesuatu bergetar di dada
Pangeran Singa Narpada.
“Jika berbuat sesuatu yang akan dapat menyulitkanmu.
Serahkan saja kampilmu itu apapun isinya,” berkata
Sadkala itu kemudian.
“Lalu kenapa? Kenapa aku harus berteriak?” bertanya
Pangeran Singa Narpada.
“Baiklah. Aku akan mengatakan niatku. Aku minta
kampilmu,” berkata orang yang disebut Sadkala itu
dengan tegas.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Tampil ini
berisi bekalku selama aku mengembara. Jika kampil ini kau minta, aku akan
kehabisan bekal.”
“Jangan menentang keinginanku. He, kau tahu, siapa aku?” bertanya Sadkala.
Pangeran Singa Narpada menggeleng. Jawabnya, “Aku belum mengenal Ki Sanak.”
“Aku adalah Sadkala. Setiap orang tentu pernah mendengar namaku,” berkata orang
itu.
Tetapi Pangeran Singa Narpada menggeleng. Katanya, “Aku belum pernah
mendengarnya.”
“Persetan,” bentak Sadkala itu pula, “Semua orang sudah mendengar. Kau tentu juga
sudah mendengarnya. Aku adalah orang yang paling ditakuti. Karena itu, jangan
mencoba mempertahankan milikmu itu jika kau tidak ingin kehilangan nyawamu.”
“Kedua-duanya tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Nyawaku tidak. Kampilku
pun tidak.”
“Setan alas,” orang itu mengumpat, ”Kau memang belum pernah mendengar
namaku? He, kau berasal dari nama?”
“Gunung Lawu,” jawab Pangeran Singa Narpada asal saja menjawab.
Kedua orang itu memandang Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya, sementara
Sadkala pun berkata, “Pantas kau orang Gunung Lawu, bahwa kau berani menolak
keinginanku. Tetapi aku peringatkan bahwa jika kau tidak mau menyerahkan
kampilmu, maka yang akan aku ambil adalah jiwamu. Bagiku justru akhirnya sama
saja. Kampilmu akan jatuh juga ke tanganku.”
“Jangan suka membunuh,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”yang pantas dibunuh
adalah penjahat-penjahat seperti kalian. Seharusnya Kediri dan Singasari bersih dari
penjahat-penjahat seperti kalian itu.”
Wajah kedua orang itu menjadi merah. Dengan suara gemetar Sadkala menggeram
menahan marah, “Kau memang sudah gila. Kau memang harus dibunuh.”
Pangeran Singa Narpada pun telah menjadi muak. Karena itu, iapun menjawab,
“Ketahuilah, aku adalah prajurit Kediri yang mendapat tugas untuk menemukan
orang yang bernama Sadkala dimanapun ia berada. Aku harus memenggal kepalanya
dan melemparkannya kepada anak-anak muda di gerbang padukuhan itu.”
“Setan,“ geram Sadkala. Tetapi ia justru melangkah surut untuk mengambil jarak.
1
Pengakuan Pangeran Singa Narpada bahwa ia adalah seorang prajurit Kediri telah
menimbulkan tanggapan tersendiri bagi Sadkala. Dengan demikian ia menduga
bahwa petugas sandi itu dengan sengaja telah menunjukkan uang di dalam kampilnya
untuk memancingnya.
Karena itu, maka iapun justru menjadi berhati-hati. Sementara kawannya pun telah
bergeser pula sambil berkata, “Kau kira, jika kau menggertak kami dengan menyebut
dirimu sebagai prajurit dalam tugas sandi, kami akan menjadi ketakutan?”
“Tidak. Aku justru mengharap kalian melawan. Barulah kalian dapat disebut
perampok yang jantan. Jika kalian menyerah, maka kalian tidak lebih dari seekor
kelinci pengecut,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Kedua orang itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi. Merekapun segera bersiap
untuk memaksa Pangeran Singa Narpada menyerahkan kampilnya yang berisi uang.
“Siapapun kau, tetapi kampilmu berisi uang,” geram Sadkala.
Pangeran Singa Narpada pun segera bersiap. Ia sadar, bahwa orang yang ingin
merampok uangnya adalah perampok yang agaknya ditakuti orang. Sehingga mereka
tentu mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakannya.
Sejenak kemudian, maka Sadkala pun mulai menyerangnya sambil menggeram,
“Aku akan berbangga bahwa aku telah membunuh seorang petugas sandi dari
Kediri.”
Pangeran Singa Narpada yang memang sudah bersiap itupun dengan tangkasnya
mengelak, Tetapi ia belum sempat membalas dengan serangan ketika perampok yang
lain telah menyerangnya pula.
Demikianlah, maka pertempuran pun segera berkobar diantara kedua orang
perampok itu melawan Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada memang tida dapat melepaskan diri
dari sifat dan wataknya. Baginya kedua penjahat itu memang harus dimusnahkan
agar mereka tidak dapat lagi mengganggu orang-orang lain. Bahkan kedua orang itu
telah sampai hati merampok seorang pengembara sebagaimana Pangeran Singa
Narpada pada waktu itu.
Namun ternyata kedua perampok itu memang memiliki bekal yang cukup untuk
dapat menakut-nakuti orang.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru.
Kedua orang perampok itu mulai merasa, bahwa mereka ternyata telah membentur
satu kekuatan yang tidak mereka duga. Bahkan kedua perampok itu. mulai meyakini,
bahwa lawannya memang seorang prajurit yang tangguh.
Dalam pada itu, sambil membawa kampilnya yang talinya diikatkannya di
pinggangnya, Pangeran Singa Narpada bertempur dengan tangkasnya. Untuk
beberapa saat Pangeran itu masih berusaha untuk manjajagi kemampuan lawannya.
Namun akhirnya Pangeran Singa Narpada, seorang Panglima yang ditakuti di Kediri
bukan saja oleh prajurit-prajuritnya, tetapi juga oleh orang-orang yang dianggap
berilmu tinggi itu, mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.
Dengan tata gerak yang mengejutkan, Pangeran Singa Narpada mulai mendesak
kedua lawannya yang bertempur semakin lama menjadi semakin kasar.

2
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada pun menyadari, bahwa kedua
perampok itu tentu murid dari salah satu perguruan yang memang menyebarkan ilmu
yang sesat dan kasar. Sehingga dengan kemampuan yang mereka dapatkan, maka
mereka telah melakukan kejahatan tanpa belas kasihan.
“Tidak ada tempat bagi kalian untuk tetap hidup, baik di Kediri maupun di
Singasari,“ geram Pangeran Singa Narpada setelah ia mulai melihat kekasaran tata
gerak lawannya.
“Persetan,“ Sadkala itu tiba-tiba saja berteriak, “Jangan menyesali kematianmu.”
Justru dengan demikian, maka Sadkala itupun telah menghentakkan ilmunya. Ilmu
yang semakin keras dan kasar. Kedua orang perampok itu bertempur sambil berteriak
dan mengumpat-umpat. Apalagi ketika mereka tidak lagi menahan diri untuk
mempergunakan senjata mereka.
Ternyata Sadkala telah mempergunakan senjatanya yang dibanggakan, sebaliknya
keris yang sangat besar, sementara kawannya telah mempergunakan sebilah golok
yang berwarna kehitam-hitaman.
Pangeran Singa Narpada bergeser surut. Sebagai seorang pengembara, Pangeran
Singa Narpada tidak nampak membawa senjata apapun.
Namun menghadapi kedua orang kasar yang bersenjata itu, maka Pangeran Singa
Narpada telah melepas ikat pinggang kulitnya yang tebal dan besar.
Ternyata ikat pinggang Pangeran Singa Narpada itu merupakan senjata yang
menggetarkan bagi lawan-lawannya. Ketika Sadkala mengayunkan kerisnya ke
kening Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada telah merentangkan
ikat pinggangnya. Demikian sentuhan terjadi, Pangeran Singa Narpada telah
mengendorkan ikat pinggangnya itu, namun dengan tiba-tiba saja ia telah
menghentakkannya.
Hampir saja keris Sadkala itu terlempar. Hentakan ikat pinggang Pangeran Singa
Narpada mempunyai kekuatan yang tidak terduga.
Dengan demikian, maka kedua orang perampok itupun semakin yakin, bahwa yang
dihadapi memang seseorang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru.
Kedua perampok dengan senjata mereka masing-masing bergerak semakin cepat.
Menyerang dari arah yang berbeda dengan mengayunkan senjata-senjata mereka
yang mengerikan.
Tetapi ikat pinggang Pangeran Singa Narpada yang nampaknya dibuat dari kulit itu,
ternyata merupakan senjata yang aneh. Ikat pinggang itu mampu melawan pedang
dan keris. Dalam benturan-benturan yang terjadi, kedua perampok itu merasa seolah-
olah senjata mereka telah membentur senjata yang terbuat dari baja yang terpilih.
Namun kadang-kadang ikat pinggang itu mampu menggapainya sebagai senjata yang
lentur.
“Anak setan,“ Sadkala menggeram. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan
bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi.
Sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada menguasai senjatanya dengan sebaik-
baiknya. Meskipun ujud dari senjata itu adalah sebuah ikat pinggang kulit, tetapi
3
penggunaannya ternyata melampaui kemampuan keris yang dipergunakan oleh
Sadkala maupun golok kawannya. Bahkan kemudian ikat pinggang itulah yang
bergerak menyambar-nyambar, sehingga kedua perampok itu sulit untuk dapat
berbuat lain kecuali sekedar menangkis dan menghindar.
Tetapi Pangeran Singa Narpada telah mengambil keputusan sebagaimana yang sering
diambil pada saat-saat ia berada di Kediri. Ia adalah seorang Pangeran yang sangat
membenci kejahatan sebagaimana dilakukan oleh kedua orang itu. Dan orang-orang
Kediri pun selalu dapat menebak, apa yang akan dilakukan oleh Pangeran yang keras
hati itu.
Apalagi menghadapi kedua orang perampok itu Pangeran Singa Narpada telah
dengan langsung membenturkan senjatanya. Sehingga dengan demikian, maka upaya
untuk mengatasi gejolak perasaannya agak sulit dilakukannya.
Karena itulah, maka kedua orang perampok itu kemudian harus menghadapi
kenyataan yang sangat pahit.
Setelah mereka bertempur beberapa saat, maka sampailah Pangeran Singa Narpada
pada batas kesempatan yang diberikannya kepada kedua orang itu untuk berusaha
membela diri.
Ketika kedua orang itu bertempur semakin keras dan kasar, maka Pangeran Singa
Narpada pun telah menjadi jemu karenanya. Dengan demikian, maka iapun berusaha
untuk segera mengakhiri permainan itu.
Menghadapi Pangeran Singa Narpada yang menjadi bersungguh-sungguh, maka
kedua orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Keris yang besar, yang
merupakan kebanggaan Sadkala dan golok yang berat, senjata andalan kawannya,
sama sekali tidak berarti menghadapi senjata Pangeran Singa Narpada yang asing itu.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada yang sudah muak dengan tingkah laku yang
keras dan kasar itupun, telah mengambil sikap terakhir terhadap keduanya.
Karena itulah maka ikat pinggangnya pun telah berputaran. Namun ketika sekali
menebas, menyusup pertahanan salah seorang dari kedua perampok itu, maka
akibatnya benar-benar telah mengejutkan. Sentuhan sisi ikat pinggang kulit yang
mengenai lengan perampok itu telah mengoyak kulit dagingnya, sebagaimana sebilah
mata pedang yang sangat tajam.
Kawan Sadkala yang ditakuti itu melompat surut. Terasa tangannya yang disentuh
oleh ikat pinggang itu dicengkam oleh perasaan sakit dan pedih.
Namun orang itu masih sempai mengumpat dan meneriakkan kata-kata kotor. Darah
yang mengalir dari lukanya menandai tingkat ilmu pengembara yang disangkanya
tidak lebih dari orang-orang lemah yang akan mati dengan sekali hentak di
tengkuknya.
Meskipun lengannya sudah terluka, tetapi ternyata perampok itu masih beringsut
maju dengan golok yang teracung, sementara Sadkala sendiri telah mengambil
kesempatan dan meloncat menyerang dengan garangnya. Kerisnya yang besar
terayun dengan derasnya menyambar dada Pangeran Singa Narpada.
Namun ternyata Pangeran Singa Narpada sempat merentangkan ikat pinggangnya.
Demikian keris itu mengenai ikat pinggangnya, maka Pangeran Singa Narpada telah
menghentakkannya. Tetapi Sadkala sudah mendapatkan satu pengalaman, sehingga
4
karena itu, maka iapun dengan kuatnya telah mempertahankan kerisnya dan justru
masih sempat memutar dan dengan langkah panjang ia meloncat maju dengan ujung
keris mematuk lurus ke depan mengarah ke lambung.
Tetapi segalanya sudah saatnya berakhir. Pangeran Singa Narpada sebagaimana
dilakukan di Kediri, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman yang
paling keras terhadap kejahatan.
Demikian keris itu mematuknya, maka dengan tangkas ia bergeser menghindar.
Namun demikian ia meloncat selangkah, tangannya telah mengayunkan ikat
pinggangnya.
Ternyata ikat pinggang itu mampu menebas seperti pedang langsung mengoyak dada
Sadkala yang masih berusaha untuk memutar kerisnya dan menyerang lawannya.
Terdengar Sadkala mengumpat dengan kasarnya. Namun iapun telah terhuyung-
huyung beberapa langkah surut, sementara kawannya yang terluka di lengannya
berusaha untuk melindunginya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada bergerak terlalu cepat. Sambil merendah ia
menyerang lawannya tepat pada lambungnya, sehingga sebuah luka yang dalam dan
panjang telah menganga.
Kedua orang perampok itu ternyata tidak mampu berbuat sesuatu lagi. Luka-luka itu
terlalu berat untuk diatasi. Darah menyembur tanpa dapat terbendung.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terjatuh di tanah. Sadkala masih menggeliat.
Tetapi kemudian, iapun telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, sementara
kawannya sama sekali tidak berdaya untuk berbuat apapun juga. Untuk beberapa saat
orang itu masih sempat memandangi pengembara itu dengan penuh kebencian.
Namun sejenak kemudian, mata itu menjadi redup dan tertutup sama sekali.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kematian kedua orang
perampok itu akan dapat mengurangi ketegangan-ketegangan yang terjadi di Kediri
dan Singasari, yang masih saja dilanda pertentangan yang nampaknya tidak
berkeputusan. Hilangnya Pangeran Lembu Sabdata, kemudian disusul hilangnya
mahkota yang menjadi tempat semayam wahyu keraton.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua sosok
tubuh yang kemudian tidak bergerak sama sekali itu.
Namun Pangeran Singa Narpada tidak membiarkan tubuh itu silang melintang di
jalan. Tetapi iapun kemudian menempatkan tubuh yang membeku itu dibawah
sebatang pohon perindang di pinggir jalan.
“Anak-anak muda di padukuhan itu akan segera menemukannya dan
menyelenggarakannya,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya. Bahkan
kemudian seakan-akan ia bergumam diluar sadarnya, “Jangan menambah beban para
prajurit Kediri yang sedang disibukkan oleh pemberontakan yang belum dapat
teratasi sampai tuntas.”
Demikianlah, setelah membenahi pakaiannya, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah melanjutkan perjalanannya. Ia masih saja selalu dibayangi oleh kemungkinan-
kemungkinan yang dapat meledak di Kediri. Tetapi jika mahkota yang hilang itu
dapat diketemukan, maka kemungkinan itu akan dapat dikuranginya.

5
Tetapi hambatan itu tidak terlalu banyak menyita waktu Pangeran Singa Narpada.
Iapun segera melanjutkan perjalanannya. Namun ia tidak sekedar berjalan saja.
Tetapi ia juga berusaha mendengar dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang
dapat menuntunnya untuk mendapat petunjuk jejak sasaran yang dicarinya.
Namun tidak ada yang dapat memberikan sedikit petunjuk pun tentang Pangeran
Lembu Sabdata maupun mahkota yang hilang. Semakin jauh ia meninggalkan Kota
Raja, maka semakin jauh pula ia dari kemungkinan untuk mendapatkan petunjuk itu.
Karena itu, maka yang kemudian menjadi tujuan Pangeran Singa Narpada satu-
satunya adalah Singasari.
Tidak ada hambatan yang berarti yang mengganggu perjalanan Pangeran Singa
Narpada selanjutnya. Sehingga kemudian iapun dengan selamat telah memasuki Kota
Raja Singasari. Sebagaimana yang direncanakan, maka Pangeran Singa Narpada
tidak akan menghubungi Singasari sebagai satu kekuasaan yang membawahi
kekuasaan di Kediri, tetapi ia lebih condong untuk menghubungi orang-orang yang
akan dapat diajak untuk bekerja bersama dengan tidak banyak diketahui oleh pihak
lain.
Tujuan utamanya adalah untuk menemui Mahisa Bungalan lewat Mahisa Agni.
Orang-orang yang telah banyak berbuat sesuatu untuk kepentingan Singasari dan
Kediri.
Karena itu, maka sebagai seorang pengembara, maka Pangeran Singa Narpada yang
tidak ingin banyak terganggu karena kedudukannya di Kediri jika ia dikenalinya
sebagaimana ia sebenarnya, iapun telah berusaha untuk datang langsung ke tempat
tinggal Mahisa Agni.
Tidak terlalu sulit untuk menemukannya. Sehingga karena itu, maka pada satu pagi,
kedatangannya telah mengejutkan Mahisa Agni yang berada di lingkungan istana
Singasari.
Seorang prajurit yang mengantarkannya menjadi curiga, ketika ternyata Mahisa Agni
nampak belum mengenalnya. Sementara itu, kepada prajurit itu Pangeran Singa
Narpada mengakunya bahwa ia adalah masih mempunyai hubungan darah dengan
Mahisa Agni.
“Apakah orang ini berbohong?” bertanya prajurit itu.
Tetapi bukan kebiasaan Mahisa Agni untuk dengan begitu saja mengambil sikap
yang dapat menyulitkan orang lain. Karena itu maka katanya, “Biarlah aku
berbicara.”
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.
Mahisa Agni adalah orang yang memiliki kematangan sikap dan ilmu, sehingga
seandainya orang itu ingin berbuat jahat, maka ia akan terlalu mudah untuk dapat
berhasil.
Apalagi Mahisa Agni sendiri kemudian mempersilahkan prajurit itu untuk
meninggalkannya, “Jika aku memerlukanmu aku akan memanggilmu.”
Prajurit itupun kemudian minta diri. Meskipun demikian sekali-sekali ia masih juga
berpaling ke arah pengembara yang berdiri termangu-mangu.

6
Sepeninggal prajurit itu, maka Mahisa Agni pun segera mempersilahkan pengembara
itu memasuki ruang dalam. Dengan nada datar ia bergumam, “Jika tidak penting
sekali, kau tentu tidak akan menemui aku. Siapakah kau sebenarnya?”
Pangeran Singa Narpada pun kemudian bertanya, “Apakah kau benar-benar lupa
kepadaku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia berdesis,
“Apakah kau seorang Pangeran dari Kediri?”
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Kau tentu masih dapat mengingat,
siapakah aku?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengira, bahwa
Pangeran mengenakan pakaian seperti itu. Aku benar-benar tidak dapat langsung
mengenal karena aku sama sekali tidak menyangka. Tetapi akhirnya aku dapat juga
mengenalimu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Singa Narpada?”
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Tetapi kenapa kau datang dengan mengenakan pakaian dan melakukan penyamaran
seperti itu? Kenapa kau tidak datang dalam kedudukanmu, Pangeran?” bertanya
Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian menceriterakan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Dan iapun mengatakan dengan terus terang, keinginannya untuk minta
bantuan Mahisa Bungalan atau siapapun yang menurut Mahisa Agni dapat
dihubunginya.
“Kediri memang tidak melakukannya dengan resmi karena kehilangan itu masih
dirahasiakan. Jika kehilangan mahkota itu diketahui oleh orang banyak, maka akan
terjadi keresahan di Kediri, karena banyak orang yang mengungkap bahwa mahkota
itu adalah tempat bersemayam wahyu keraton Kediri,” berkata Pangeran Singa
Narpada kemudian, “Karena itu, aku datang dalam penyamaran ini. Aku tidak dapat
berbuat banyak bersama orang-orang Kediri sendiri, karena aku mengira masih ada
orang-orang yang tidak dapat dipercaya di lingkungan kami. Tetapi aku pun tidak
dapat minta bantuan Singasari dengan terus terang, karena kami orang-orang Kediri
tidak ingin menggantungkan diri kepada Singasari. Karena itu, maka aku telah
menempuh jalan tersendiri.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti rencana Pangeran Singa
Narpada. Pangeran Singa Narpada ingin satu atau dua orang kawan untuk bersama-
sama menemukan mahkota yang hilang. Adalah lebih baik apabila mereka sekaligus
dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata.
“Keduanya hilang dengan cara yang sama. Karena itu, maka di belakang hilangnya
keduanya, tentu ada kekuatan yang sangat besar yang menggerakkan peristiwa itu.“
berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Seseorang yang berilmu sangat tinggi
telah mencampuri persoalan pertentangan antara keluarga Kediri itu.”
“Ya,” sahut Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi persoalannya lebih luas dari
pertentangan antara keluarga di Kediri. Tetapi jika aku boleh berterus-terang,
persoalannya menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari.”

7
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Agaknya Pangeran
sudah bertindak dengan bijaksana, bahwa Pangeran tidak langsung melaporkan dan
minta bantuan Singasari. Karena itu, maka biarlah kami akan membantu sejauh dapat
kami lakukan. Jika Pangeran menghendaki, seorang yang masih termasuk tataran
yang masih muda, maka aku sependapat bahwa Pangeran berhubungan dengan
Mahisa Bungalan. Aku akan mempertemukan Pangeran dengan orang muda itu. Aku
akan berusaha agar ia mendapat ijin untuk melakukan tugas khusus seperti ini.”
“Terima kasih,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Mudah-mudahan ia bersedia.”
“Jika demikian silahkan Pangeran tinggal disini barang satu dua hari sambil
menunggu ijin khusus itu,” berkata Mahisa Agni, “Karena ia baru saja minta ijin
untuk satu kepentingan pribadi.”
“Terima kasih,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Aku akan tinggal disini dengan
senang hati. Bahkan rasa-rasanya aku lebih senang untuk tinggal disini saja, jika aku
tidak mengingat tanggung jawabku atas Kediri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ungkapan itu menunjukkan betapa
kelelahan jiwani telah mencengkam Pangeran Singa Narpada. Tetapi ia tidak dapat
mengingkari kewajiban dan tanggung jawabnya. Karena itu, maka Mahisa Agni
merasa wajib untuk memberikan bantuan kepada Pangeran yang letih itu.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada itu telah berada di Singasari untuk
beberapa hari. Sementara itu, Mahisa Bungalan pun telah dipertemukannya pula
dengan Pangeran Singa Narpada.
“Aku sama sekali tidak berkeberatan,” berkata Mahisa Bungalan, “Tugas itu adalah
tugas kita semuanya. Tetapi aku mohon paman mempergunakan pengaruh paman,
agar aku mendapat ijin untuk meninggalkan tugasku di Singasari.”
“Aku akan berusaha,” berkata Mahisa Agni, “Dalam satu dua hari ini, aku akan dapat
mengatakan, apakah kau diijinkan atau tidak.”
“Jika paman yang memberikan penjelasan, maka aku justru akan mendapat tugas
untuk membantu Pangeran Singa Narpada. Satu tugas yang berat, tetapi akan dapat
memberikan arti kepadaku, bahwa aku telah melakukan sesuatu yang bermanfaat
bagi Tanah yang aku huni ini,” sahut Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sependapat dengan Mahisa
Bungalan, sehingga iapun kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat
menjelaskan bahwa Mahisa Bungalan akan melakukan satu tugas yang penting tanpa
menyebutkan rencana yang sebenarnya ingin dilakukannya.
“Tugas yang sebenarnya itu masih perlu dirahasiakan,” berkata Mahisa Agni kepada
Mahisa Bungalan, “Sebagaimana orang-orang di Kediri, mungkin orang-orang di
Singasari pun mempunyai sikap yang lain dengan sikap kita. Jika hal ini diketahui
oleh orang-orang yang berwatak keras, maka mungkin sekali mereka akan
melakukan langkah-langkah yang tidak sesuai dengan rencana kita. Mungkin
Singasari akan menggerakkan satu kesatuan petugas sandi dalam jumlah yang besar,
yang justru akan dapat mengacaukan suasana.”
“Segalanya aku serahkan kepada kebijaksanaan paman. Aku akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya,“ jawab Mahisa Bungalan.

8
Sementara itu, apalagi Mahisa Agni berusaha mempergunakan pengaruhnya, untuk
memberikan kesempatan kepada Mahisa Bungalan membantu Pangeran Singa
Narpada, maka tidak seorang pun yang mengetahui bahwa seorang Pangeran dari
Kediri telah berada di dalam lingkungan istana Singasari. Dengan sangat hati-hati
Pangeran Singa Narpada menjaga dirinya, karena jika ia salah langkah, maka ia tentu
akan segera dikenal oleh beberapa orang Pangeran di Singasari yang memang pernah
mengenalnya sebelumnya.
Ternyata Mahisa Agni berhasil mempergunakan pengaruhnya sehingga Mahisa
Bungalan justru mendapat tugas dalam tugas sandi untuk mencari keterangan yang
lebih mendalam tentang sikap orang-orang Kediri terhadap Singasari setelah
pemberontakan Pangeran Kuda Permati dapat diatasi setelah kematian Pangeran
Kuda Permati itu sendiri.
“Satu tugas yang berat. Kau harus melakukan keduanya. Tugas yang memang
dibebankan kepadamu, dan tugas yang harus kau lakukan bagi kepentingan Pangeran
Singa Narpada.“ pesan Mahisa Agni.
“Aku akan mencoba melakukannya dengan sebaik-baiknya,” berkata Mahisa
Bungalan.
“Kau harus melakukannya segera. Pangeran Singa Narpada sudah terlalu lama berada
di Singasari,” berkata Mahisa Agni yang mengerti bahwa Pangeran Singa Narpada
sangat diperlukan kehadirannya di Kediri pada saat-saat yang penting.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, menjelang fajar menyingsing, Mahisa
Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah meninggalkan lingkungan istana di
Singasari. Tetapi mereka tidak langsung pergi ke Kediri. Mereka masih akan singgah
di rumah Mahendra. Mahisa Bungalan ingin minta diri kepada ayahnya sekaligus
melihat perkembangan kedua adiknya dalam olah kanuragan, karena Mahisa
Bungalan pun mengetahui, bahwa kedua adiknya sedang dalam puncak usahanya
untuk mewarisi ilmu ayahnya dan pamannya Witantra yang seperguruan, meskipun
ada perbedaan tekanan dalam pengembangan ilmunya.
Ketika mereka sampai di rumah ayahnya Mahisa Bungalan, ternyata bahwa kedua
adiknya tengah berada dalam puncak laku yang sangat berat. Karena itu, maka
Mahisa Bungalan tidak ingin mengganggunya agar kedua adiknya dapat
menyelesaikan usahanya dalam waktu yang direncanakan. Namun demikian Mahisa
Bungalan memerlukan untuk minta diri kepada ayahnya Mahendra dan Pamannya
Witantra.
“Hati-hatilah,” berkata Mahendra dengan sungguh-sungguh, “Kau akan melakukan
satu kewajiban yang sangat berat. Kau akan memasuki daerah kegelapan yang belum
kau ketahui apa yang ada didalamnya. Mudah-mudahan Pangeran Singa Narpada
akan dapat menuntunmu.”
“Aku akan berhati-hati ayah,” jawab Mahendra. Namun sementara itu Pangeran
Singa Narpada berkata, “Bukan aku yang akan dapat menuntunnya. Justru aku akan
tergantung kepadanya.”
“Pangeran selalu merendahkan diri,” sahut Witantra, ”Semua orang tahu tentang
Pangeran Singa Narpada. Mudah-mudahan Mahisa Bungalan akan dapat membantu
Pangeran dan tidak justru mengecewakan.”
9
“Aku yakin akan kemampuannya,” berkata Pangeran Singa Narpada. Bahkan
kemudian, “Apalagi bahwa dalam waktu singkat kedua adiknya pun akan dapat
menyelesaikan laku yang berat untuk mencapai ilmu puncaknya.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih memerlukan beberapa waktu lagi. Mudah-mudahan mereka
dapat menyelesaikannya dengan tuntas.”
“Mungkin pada saatnya kami memerlukan bantuan mereka,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika mereka dapat melakukannya,
maka mereka tentu akan dengan senang hati memenuhinya.”
“Suatu waktu aku akan datang lagi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada pun telah minta diri bersama Mahisa
Bungalan untuk melakukan tugas mereka yang tidak mereka ketahui, kapan akan
dapat mereka selesaikan atau justru sebaliknya, mereka akan hilang dalam arus tugas
mereka itu.
Setelah minta diri kepada adik-adiknya pula, maka Mahisa Bungalan pun
meninggalkan rumah ayahnya untuk satu tugas yang berat.
“Kalian harus bekerja dengan sungguh-sungguh,“ pesan Mahisa Bungalan kepada
adik-adiknya, “Kalian akan dapat membantu kami, karena kalian telah mempunyai
hubungan dengan jalur yang mungkin kita perlukan dalam tugas ini di Kediri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Mereka memang menyadari
sepenuhnya bahwa mereka harus bekerja keras apalagi justru pada saat-saat terakhir.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan pun segera
menuju ke Kediri. Pada saat sebagaimana Pangeran Singa Narpada meninggalkan
istananya, maka iapun kembali pada saat tidak ada orang yang dapat melihatnya.
Dengan diam-diam Pangeran Singa Narpada telah mengetuk pintu bilik
kepercayaannya yang merupakan satu-satunya orang yang mengetahui bahwa
Pangeran Singa Narpada meninggalkan istananya. Para petugas yang berada di istana
itupun tidak mengetahui sama sekali, bahwa yang keluar pintu gerbang di malam hari
beberapa hari yang lalu adalah Pangeran Singa Narpada karena pakaian yang
dikenakannya. Mereka menganggap bahwa yang keluar saat itu adalah seorang abdi
yang akan pulang di malam hari.
Ketika pintu itu terbuka, maka kepercayaannya itupun terkejut. Hampir saja ia
menyapanya, namun Pangeran Singa Narpada segera berdesis, “Tidak ada orang
yang melihat aku memasuki halaman.”
“Apakah para petugas di regol tidak menyapa sebagaimana saat Pangeran keluar?
Tetapi agaknya bagi mereka yang akan memasuki regol, akan lebih cepat
mengundang kecurigaan daripada mereka yang keluar. Apalagi saatnya sudah terlalu
malam.”
“Aku tidak memasuki halaman lewat regol,” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Jadi, Pangeran memasuki halaman lewat mana?” bertanya kepercayaannya.
“Aku telah meloncati dinding.“ jawab Pangeran Singa Narpada.

10
Kepercayaannya itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-
angguk. Tetapi sekilas dipandanginya Mahisa Bungalan yang datang bersama
Pangeran Singa Narpada.
“Ini adalah saudaraku,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Kami bersama-sama telah
menempuh laku prihatin dalam sepinya samadi.”
“O.” Kepercayaannya itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah silahkan
Pangeran. Dan apakah yang Pangeran kehendaki sekarang? Mungkin ada sesuatu
yang harus aku kerjakan?“
“Sekarang tidak ada. Besok pagi-pagi saja sediakan aku air abu merang. Aku akan
mandi keramas, karena aku sudah keluar dari samadiku di dalam sanggar.“ Pangeran
Singa Narpada berhenti sejenak lalu, “Apakah ada seseorang yang menanyakan aku
pada saat pergi?”
“Sri Baginda memanggil Pangeran,” jawab kepercayaannya itu, “Tetapi aku
memberikan jawaban sebagaimana Pangeran kehendaki. Namun agaknya Sri
Baginda tidak sabar. Jika dalam dua hari ini Pangeran masih belum melepaskan
samadi, maka Sri Baginda akan memerintahkan membuka pintu sanggar dengan
paksa.”
“O, apakah ada berita dari istana?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak ada selain panggilan Sri Baginda,” jawab kepercayaannya.
Demikianlah, maka dengan diam-diam Pangeran Singa Narpada memasuki istananya
lewat pintu butulan. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Besok pagi, orang-
orang seisi istana itu, bahkan para pengawal akan menduga, bahwa Pangeran Singa
Narpada telah keluar dari sanggarnya dan menyucikan diri dengan air abu merang
untuk mandi keramas.
Mahisa Bungalan pun dipersilahkannya masuk pula ke dalam istana itu. Ia akan
menjadi tamu Pangeran Singa Narpada. Tetapi dengan satu penyamaran, seolah-olah
Mahisa Bungalan akan mengabdikan diri pula di istana itu.
Kepada kepercayaannya ia berkata, “Saudaraku yang mengalami masa prihatin
bersama ini, telah aku bawa kemari dan agaknya iapun ingin mengabdikan diri di
istana ini, setelah ia mengenali aku bahwa aku adalah seorang Pangeran. Dan aku
akan menempatkannya sebagai seorang pelayan dalam.”
Kepercayaannya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti, bahwa setiap langkah
Pangeran Singa Narpada telah dipikirkannya masak-masak. Karena itu, maka ia tidak
mempersoalkannya lagi. Bahkan kepercayaannya itu menduga, bahwa dalam
samadinya, agaknya Pangeran Singa Narpada telah mendapat petunjuk tentang orang
itu yang mungkin akan dapat membantu menjernihkan kekalutan pikiran Pangeran
Singa Narpada.
Demikianlah, sejak hari itu, Mahisa Bungalan berada di istana Pangeran Singa
Narpada sebagai seorang pelayan dalam. Dengan demikian ia akan lebih banyak
berada dekat dengan Pangeran Singa Narpada. Namun dengan bijaksana Pangeran
Singa Narpada tidak membuat kepercayaannya menjadi kecewa, karena hadirnya
seorang yang lain di dalam istana itu. Demikian pula para pelayan dalam yang lain
serta para pemimpin pengawalnya. Namun pada saat-saat tertentu keduanya sempat
berbicara tanpa diketahui oleh orang lain.
11
“Maaf, bahwa aku harus bermain dengan agak kasar, sehingga kau terpaksa
menjalani peran yang barangkali tidak menyenangkan,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
“Ah, tidak,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku senang dengan perananku. Tetapi dalam
keadaan seperti ini, maka langkah kita akan terhenti.”
“Aku akan menghadap Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Jika aku
datang, maka mungkin Sri Baginda benar-benar akan marah. Baru kemudian kita
akan menentukan langkah-langkah.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya Sri Baginda mempunyai
kepentingan yang mendesak Pangeran Singa Narpada.
Ketika Pangeran Singa Narpada menghadap, maka wajah Sri Baginda nampak terlalu
marah. Dengan nada datar Sri Baginda itu bertanya, “Apa yang kau lakukan selama
ini.”
“Ampun Sri Baginda. Hamba mencoba untuk mencari jalan dengan cara yang lain
dari yang hamba tempuh selama ini. Hamba berada di dalam sanggar,” jawab
Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Selama ini hamba merasa kehilangan jalan. Hamba
telah dicekam oleh perasaan yang belum pernah hamba rasakan sebelumnya. Hamba
hampir berputus asa. Sementara itu perhitungan hamba melihat akan timbulnya satu
kemungkinan yang sangat gawat bagi Kediri. Karena itu, hamba tidak ingin terjebak
dalam keputus asaan. Hamba telah mencoba untuk mencari ketenangan di dalam
sanggar, agar hamba tetap dapat berdiri teguh dalam kewajiban hamba.“ Pangeran
Singa Narpada berhenti sejenak, lalu iapun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang
sangat mendesak Sri Baginda?”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat Sri Baginda berkata,
“Aku tidak dapat menyingkir dari belitan kegelisahan. Ternyata aku memerlukan
tempat untuk menampung kegelisahan ini. Selama ini kau dapat menyelamatkan
Kediri yang sudah goyah dan lemah ini. Karena itu, ketika kau untuk beberapa hari
tidak nampak di paseban, aku menjadi gelisah. Jika di saat-saat yang demikian datang
bencana, maka Kediri benar-benar akan tumbang.”
“Hamba mohon maaf,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi sebenarnyalah
bahwa hamba pun sedang berusaha untuk memecahkan kegelisahan di hati hamba.
Namun sementara itu, jika terjadi sesuatu yang gawat, maka para Panglima di
perbatasan telah mampu untuk bertindak cepat. Terutama Panji Sempana Murti.
Pengalaman telah menempa mereka menjadi prajurit yang lebih baik.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi,
apakah kau sama sekali belum menemukan jejak tentang benda pusaka yang hilang
itu?”
“Belum Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Justru karena itu hamba
berusaha untuk menemukan keheningan budi, agar hamba dapat menelusuri jejak
mahkota yang hilang itu.”
“Sampai kapan kau memerlukan waktu untuk itu?” bertanya Sri Baginda.
“Hamba tidak dapat menyebut Sri Baginda. Satu perjuangan yang harus hamba
lakukan tanpa dapat memperhitungkan waktu. Namun hamba menyadari, bahwa

12
hamba harus melakukannya dengan sekuat tenaga. Sebesar kemampuan hamba dan
dengan taruhan yang paling berharga yang hamba miliki, nyawa hamba.”
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah pada saat-saat Pangeran
Singa Narpada tidak kelihatan di paseban, hati Sri Baginda menjadi sangat cemas.
Seakan-akan ia telah kehilangan perisai yang akan dapat menjaga tegaknya tahta
Kediri, meskipun Sri Baginda menyadari, bahwa para Panglima di perbatasan justru
telah ditempa oleh pengalaman. Para prajurit pun menjadi semakin dewasa
menanggapi keadaan.
Namun Sri Baginda pun justru percaya, bahwa mahkota yang hilang itu adalah
tempat semayam wahyu keraton Kediri.
Tetapi demikian Pangeran Singa Narpada menghadap, maka rasa-rasanya hati Sri
Baginda menjadi tenang. Seakan-akan perlindungan yang selama beberapa saat
bagaikan lenyap, telah kembali sebagaimana sebelumnya.
Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Singa Narpada justru menjadi bimbang.
Seharusnya ia berterus terang kepada Sri Baginda, bahwa untuk menemukan jejak
mahkota yang hilang itu ia memerlukan waktu dan bahkan harus meninggalkan Kota
Raja.
Jika ia tidak berbuat apa-apa dan hanya menunggui istana dan Sri Baginda, maka
seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, semua usaha akan terhenti sampai
sekian. Dan mahkota yang hilang itu apalagi Pangeran Lembu Sabdata tidak akan
mungkin dapat diketemukan.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak sampai hati untuk dengan serta merta
menyampaikan maksudnya meninggalkan Kota Raja. Sri Baginda yang baru saja
menemukan ketenangannya akan menjadi gelisah kembali.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah menunda kepergiannya. Kepada
Mahisa Bungalan Pangeran Singa Narpada setibanya di istananya menjelaskan, “Aku
tidak sampai hati untuk meninggalkan Kota Raja dalam satu dua hari ini. Bahkan
mungkin dalam dua tiga pekan. Sri Baginda benar-benar berada dalam kecemasan.”
“Kita akan dapat menunggu,” berkata Mahisa Bungalan, “Tetapi sudah barang tentu,
bahwa tanpa berbuat sesuatu, kita tidak akan dapat menemukan apapun juga.”
“Aku menyadari,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Namun demikian, aku akan
dapat melakukannya di Kota Raja satu usaha yang setidak-tidaknya akan dapat
membantu merintis jalan.”
“Apa yang dapat Pangeran lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku akan melanjutkan usahaku untuk mengetahui, siapakah yang telah berhubungan
dengan Pangeran Kuda Permati pada masa pemberontakannya dan sebelumnya.
Aku akan dapat menghubungi orang-orangnya yang terdekat yang berhasil ditangkap
dan dipenjarakan oleh para prajurit Kediri. Dengan demikian kita akan mendapatkan
nama-nama dari orang-orang yang pernah berdiri di belakangnya dan mungkin,
hanya satu kemungkinan, bahwa orang yang telah mengambil Pangeran Lembu
Sabdata dan kemudian mahkota itu adalah salah seorang diantara mereka meskipun
kita harus mengamatinya dengan sangat cermat,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Memang hal itu dapat dilakukan oleh
Pangeran Singa Narpada sebagai penunjuk arah, langkah yang manakah yang
13
pertama-tama dapat dilakukan meskipun mungkin langkah itu tidak akan sampai ke
sasaran, tetapi mungkin juga akan dapat membuka tirai yang menyelubungi rahasia
hilangnya Pangeran Lembu Sabdata dan mahkota yang dipercaya menjadi tempat
semacam Wahyu Keraton itu.
“Pangeran dapat mencobanya,” berkata Mahisa Bungalan.
“Ya. Namun aku harus melakukannya sendiri. Seandainya aku sempat menemukan
nama yang aku perlukan, hanya aku sajalah yang mengetahuinya. Aku memang
mencurigai orang-orang Kediri.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi tidak ada salahnya bahwa Pangeran
Singa Narpada bekerja dengan cermat dan berhati-hati dalam kemelut yang ternyata
masih belum padam. Sepercik api yang tersisa dari pemberontakan Pangeran Kuda
Permati itu masih akan dapat menjadi besar dan kembali membakar Kediri dengan
api pemberontakan yang semakin besar dan berbahaya.
Dengan demikian, sambil menunggu kesempatan untuk dapat meninggalkan Kota
Raja, maka Pangeran Singa Narpada yang sudah menghentikan pemeriksaan terhadap
para pengikut Pangeran Kuda Permati, telah mulai lagi dengan caranya.
Pangeran Singa Narpada telah memanggil orang-orang yang dianggapnya dekat
dengan Pangeran Kuda Permati dan bertanya kepada mereka. Siapa sajalah yang
pernah berhubungan dan dekat dengan Pangeran Kuda Permati yang mempunyai
kemampuan yang tinggi dan tidak tertangkap sampai saat terakhir dari
pemberontakan Pangeran Kuda Permati itu.
Orang-orang itu sudah mengenal dengan baik, siapakah Pangeran Singa Narpada.
sehingga demikian seorang diantara mereka memasuki ruangan seorang diri
berhadapan dengan Pangeran Singa Narpada, maka rasa-rasanya orang itu tidak lagi
mempunyai kesempatan untuk keluar dengan kaki tegak.
Karena itu sebagian dari mereka tidak lagi berusaha untuk menyembunyikan sesuatu.
Meskipun Pangeran Singa Narpada tidak berbuat apa-apa, namun setiap orang
diantara mereka merasa, setiap cercah bagian dari tubuh mereka seolah-olah telah
mulai meremang.
Tetapi yang disebut oleh sebagian besar dari mereka adalah para Senapati yang
hampir seluruhnya telah tertangkap atau terbunuh di peperangan. Jika ada juga satu
dua orang Senapati yang disebut namanya dan tidak diketahui apakah mereka masih
hidup sudah mati, maka Pangeran Singa Narpada yakin bahwa Senapati itu tidak
akan mampu melakukan sebagaimana pernah terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata
dan mengambil mahkota di Gedung Perbendaharaan itu.
Ketika Pangeran Singa Narpada berhadapan dengan seorang perwira yang terdekat
dengan Pangeran Kuda Permati yang justru pada saat-saat setelah kematian Pangeran
Kuda Permati dan isterinya yang membunuh diri telah menghentikan perlawanannya
meskipun sebagian besar dari para pengikut Pangeran Kuda Permati masih bertempur
terus, maka ia berusaha untuk mendapat keterangan yang lain dari yang selalu
didengarnya dari orang-orang yang pernah dihadapkan kepadanya sebelumnya.
“Aku tidak memerlukan lagi nama-nama orang-orang yang berada di dalam
lingkungan keprajuritan Kediri yang telah memberontak itu,” berkata Pangeran Singa
Narpada, “Nama itu sudah cukup lengkap aku ketahui. Aku menginginkan nama-
14
nama orang yang pernah berhubungan dengan Pangeran Kuda Permati diluar
lingkungan keprajuritan. Mungkin ia pernah berhubungan dengan satu padepokan
atau siapapun juga.”
“Siapakah nama pertapa itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Tidak seorang pun yang tahu. Tetapi kami hanya mendengar Pangeran Permati
memanggilnya Guru,” jawab Senapati itu. Lalu, “Tetapi meskipun ia seorang pertapa,
namun ia bukan orang yang terasing. Ia mengetahui banyak hal tentang hubungan
antara Kediri dan Singasari, serta tata pemerintahan yang ada di Singasari.”
“Aku akan berhubungan dengan Arya Rumpit,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah ia juga tahu orang ketiga?”
“Entahlah,” jawab Senapati itu, “Mudah-mudahan ia mengetahuinya.”
“Sulit lagi orang ketiga itu,“ minta Pangeran Singa Narpada.
“Empu Lengkon,” jawab Senapati itu, “Aku tidak tahu apakah itu memang namanya
atau sekedar sebutan. Orang itu telah memberikan sipat kandel kepada Pangeran
Kuda Permati berupa sebilah keris. Agaknya keris itu adalah keris bertuah yang
mampu menopang kemampuan Pangeran Kuda Permati yang memang sudah berada
diatas kemampuan orang kebanyakan.”
“Apakah kau dapat membuka sedikit kemungkinan untuk dapat menemuinya
dimanapun?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Aku sama sekali tidak tahu. Entahlah dengan Arya Rumpit yang banyak mendapat
tugas sebagai penghubung daripada aku sendiri. Justru karena ia seorang perwira dari
pasukan berkuda,” jawab Senapati itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Ia percaya sepenuhnya apa yang
dikatakan oleh Senapati itu. Justru karena itu maka Pangeran Singa Narpada sama
sekali tidak berusaha mendesak tentang orang yang disebut terakhir, mPu Lengkon.
Namun demikian ia berkata di dalam hatinya, “Mudah-mudahan Arya Rumpit pun
mengetahui pula.”
Dengan demikian, maka Senapati itupun segera dikembalikan ke bilik tahanannya.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk dapat menemukan
seorang tahanan yang bernama Arya Rumpit.
Usaha Pangeran Singa Narpada tidak terlalu sulit. Ternyata bahwa Arya Rumpit itu
tidak menjadi bebanten di medan perang. Sehingga dengan demikian, maka ia akan
dapat menjadi sumber keterangan bagi Pangeran Singa Narpada.
“Pada pemeriksaan yang terdahulu, orang ini justru terlampaui, atau ia dapat ingkar
di hadapan orang yang memeriksanya,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam
hatinya. Namun seingat Pangeran Singa Narpada, bukan ialah yang telah memeriksa
Arya Rumpit itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Ia percaya kepada keterangan
Senapati itu, bahwa Pangeran Kuda Permati memang tidak pernah mempergunakan
ilmu seperti itu. Bahkan seandainya Pangeran Kuda Permati memilikinya, maka ia
akan lebih senang datang dengan dada tengadah, kemudian bertempur untuk
mencapai sasaran dengan membunuh lawan-lawannya.
Namun demikian, Pangeran Singa Narpada akhirnya bertanya juga tentang ketiga
orang yang dimaksud itu.
15
Senapati itupun kemudian berkata, “Aku hanya dapat menyebut beberapa hal tentang
mereka. Tetapi belum satu-pun padepokan mereka yang aku ketahui.”
Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebut apa
yang kau ketahui.”
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia mulai mengingat-ingat, orang-
orang yang pernah berhubungan dengan Pengeran Kuda Permati. Namun diantara
sekian banyak orang yang dikenalnya, tiga orang yang telah menarik perhatian.
“Ulangi, siapakah tiga orang yang kau sebut terakhir,” berkata Pangeran Singa
Narpada, ”Nampaknya mereka perlu mendapat perhatian.”
“Itulah sebabnya, mereka aku sebut terakhir, karena menurut pendapatku mereka
jugalah yang paling berpengaruh atas Pangeran Singa Narpada,” jawab Senapati itu.
Yang kemudian mengulangi menyebut tiga orang yang dikatakannya dalam urutan
terakhir. “Seorang yang disebut Panembahan Bajang. Seorang Panembahan yang
bertubuh kecil. Namun memiliki ilmu yang sulit dicari duanya. Menurut
pendengaranku. Panembahan ini datang dari Timur. Aku belum tahu, dimanakah
Padepokannya. Namun seorang pengawal Pangeran Kuda Permati pernah datang ke
padepokan itu.”
“Kau tahu, siapakah pengawal itu?” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Seorang Senapati dari pasukan berkuda. Menurut pengertianku, ia tidak terbunuh
dalam peperangan, karena aku pernah melihatnya juga tertawan,” jawab Senapati itu,
“Namanya Arya Rumpit.”
“O.“ Pangeran Singa Narpada mengangguk angguk. ”Aku mengenalnya, Arya
Rumpit. seorang Senapati dari pasukan berkuda.”
“Ya. Arya Rumpit pernah datang ke padepokan Panembahan Bajang,” berkata
Senapati itu pula. Lalu, “Arya Rumpit pulalah yang pernah datang kepada orang
Kedua. Seorang pertapa yang jarang nampak bersama Pangeran Kuda Permati. Tetapi
Pertapa itu pulalah yang telah banyak memberikan ilmu kepada Pangeran Kuda
Permati. Ialah penganjur yang paling gigih agar Pangeran Kuda Permati melepaskan
diri dari ikatan hubungan dengan Singasari yang dianggapnya telah menghina
Kediri.”
Perwira Pangeran Kuda Permati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud
Pangeran Singa Narpada. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengatakannya.
“Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Aku minta kau menyadari keadaan
yang dihadapi oleh Kediri. Aku memang dapat memaksamu untuk berbicara. Tetapi
aku kira, aku tidak bermaksud demikian. Aku berharap bahwa kau yang telah
mengalami perang yang berakhir dengan kehancuran dimana-mana itu dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih menghadapi keadaan sekarang
ini.”
Perwira itu mengangguk-angguk. Sebenarnya iapun tidak ingin melihat lagi mereka
sebagaimana yang pernah dibuat oleh Pangeran Kuda Permati semasa hidupnya.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada, ”Aku minta kesadaranmu Ki Sanak.
Bagaimanapun juga ternyata kau adalah putra Kediri. Bahkan dalam jenjang
keprajuritan, kau adalah seorang perwira yang pernah menjadi Senapati terdekat

16
dengan Pangeran Kuda Permati. Apakah kau tidak menjadi iba melihat Kediri
dibakar api pertempuran dan mengorbankan putra-putra terbaiknya.”
Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya keadaan yang parah itu tidak
terulang lagi.”
“Kau dapat membantu menciptakan satu suasana yang lebih baik, jika kau dapat
menyebut nama orang-orang yang pernah berhubungan dengan Pangeran Kuda
Permati,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Sebab hilangnya Pangeran Lembu
Sabdata akan dapat menumbuhkan satu keadaan sebagaimana pernah terjadi. Dan
kau melihat, akibat dari peristiwa itu bagi Kediri.”
Perwira itu mengangguk-angguk. Ada satu beban yang terasa memberati hatinya. Ia
memang dapat mengelak sebagaimana seharusnya dilakukan. Perwira itu tahu pasti,
dengan siapa ia berhadapan. Tetapi sebenarnyalah, sebagai seorang Senapati yang
tangguh, ia tidak gentar seandainya ia harus menghadapi tekanan kekerasan. Dan
iapun akan sanggup untuk tetap membungkam bahkan sampai nyawanya terlepas dari
tubuhnya.
Namun yang membebaninya bukan perasaan gentar menghadapi tekanan kekerasan.
Sebagaimana pernah dilakukan oleh isteri Pangeran Kuda Permati sendiri dengan
mengorbankan orang yang paling dicintainya bahkan menuntut kematiannya sendiri,
maka seharusnya iapun melakukannya. Ia harus membantu memadamkan sumber api
itu sendiri.
Tetapi sebenarnyalah Senapati itu tidak tahu pasti, orang-orang yang manakah yang
pantas untuk dicurigai mengambil Pangeran Lembu Permati. Namun demikian,
agaknya jika ia memang menghendaki membantu mencegah timbulnya lagi bantuan
kekerasan dan pembunuhan, maka ia dapat menyebut beberapa nama. Meskipun ada
kemungkinan bahwa nama-nama yang disebutnya itu ternyata tidak ada hubungannya
dengan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata.
“Nah, kemudian terserah kepadamu,” berkata Pangeran Singa Narpada selanjutnya,
“Tetapi satu hal yang ingin aku katakan, aku tidak akan memaksa lagi seseorang
untuk berbicara, kecuali atas kesadarannya sendiri.“
“Tidak seorang pun yang akan dapat memaksa aku berbicara Pangeran,” berkata
Senapati itu, “Tetapi sebagaimana telah aku alami sendiri, betapa parahnya Kediri
jika terjadi lagi permusuhan seperti pada masa hidupnya Pangeran Kuda Permati.
Lepas dari salah dan benar, namun Kediri benar-benar telah menjadi neraka. Karena
itu, alangkah terpujinya langkah yang diambil oleh isteri Pangeran Kuda Permati
dipandang dari satu segi, meskipun akan berlawanan jika dinilai dari segi lain.”
“Kau bebas untuk memilih,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”yang manakah yang
baik dan dipandang dari segi mana menurut kehendakmu sendiri.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku akan menyebut
beberapa nama Pangeran.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnyalah bahwa Senapati itu telah menyebut beberapa nama orang-orang
berilmu yang pernah dihubungi oleh Pangeran Kuda Permati menurut
pengetahuannya.

17
“Apakah mereka tidak terlibat dalam pertempuran?” bertanya Pangeran Singa
Narpada.
“Ada diantara mereka yang langsung memasuki medan dengan para pengikutnya,
tetapi ada diantara mereka yang tidak, yang sekedar membantu dengan cara yang
lain. Bahkan ada dua tiga orang yang memberikan bantuan dengan cara yang sangat
khusus. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang seakan-akan telah
menggabungkan kemampuan mereka dan melimpahkannya kepada Pangeran Kuda
Permati,” berkata Senapati itu.
“Maksudmu dua tiga orang itu bersama-sama memberikan ilmu mereka masing-
masing kepada Pangeran Kuda Permati?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya,” jawab Senapati itu.
“Tetapi apakah kau tahu, siapakah diantara mereka yang memiliki ilmu sirep yang
sangat tajam?” bertanya Pangeran Singa Narpada mendesak.
Senapati itu menggeleng. Katanya, “Sayang, aku tidak mengetahuinya. Namun
ternyata Pangeran Kuda Permati sendiri sampai akhir hidupnya tidak pernah
mempergunakan ilmu seperti itu.”
Sebenarnyalah bahwa Arya Rumpit baru untuk pertama kali berhadapan langsung
dengan Pangeran Singa Narpada. Namun demikian bukan berarti bahwa Arya
Rumpit tidak mengenal Pangeran Singa Narpada. Sebagai seorang Senapati maka ia
telah mengenal Pangeran Singa Narpada dengan baik, bahkan Pangeran Singa
Narpada pun telah mengenalnya.
“Marilah,“ Pangeran Singa Narpada mempersilahkan, ”Kita bertemu lagi.”
“Sayang, dalam keadaan yang kurang memadai Pangeran,“ jawab Arya Rumpit.
Seorang Senapati dari pasukan berkuda.
“Keadaan telah menentukan, cara yang paling baik bagi pertemuan kita kali ini
adalah cara ini,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Arya Rumpit mengerutkan keningnya. Namun ia masih juga menjawab, “Pangeran
lah yang menentukan.”
“Ya, karena kau adalah seorang tawanan,” berkata Pangeran Singa Narpada dengan
tegas.
Arya Rumpit mengangguk. Jawabnya, “Pangeran benar. Aku sekarang seorang
tawanan dan Pangeran adalah orang yang menawan aku.”
“Karena itu, maka kau harus menyadari apa yang mungkin terjadi,” berkata Pangeran
Singa Narpada.
Arya Rumpit memandang Pangeran Singa Narpada dengan wajah yang
membayangkan ketabahan hati seorang Senapati. Namun dengan penuh kesadaran
akan kedudukannya pada pertemuan itu. Bahwa ia memang berhadapan dengan
seorang Pangeran yang berhati singa.
“Arya Rumpit,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Ada sesuatu yang ingin aku
tanyakan. Aku yakin bahwa kau mengetahuinya. Karena itu, maka aku minta kau
dapat menjawab sebagaimana kau ketahui.”
“Silahkan Pangeran,” berkata Arya Rumpit, ”Aku tidak akan dapat berbuat lain
kecuali menjawab semua pertanyaan dengan sebaik-baiknya.”

18
“Terima kasih,” desis Pangeran Singa Narpada, ”Dengan demikian kau akan
membantu menghindarkan Kediri dari malapetaka yang lebih besar.”
Arya Rumpit mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, “Aku mengerti. Kematian-kematian yang telah terjadi di
Kediri sekarang menjadi tanpa arti. Selama masih ada orang-orang yang menentang
penempatan kembali tataran derajat Kediri, maka selama itu usaha untuk hal itu tidak
akan berhasil.”
“Tepat,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”langkah yang diambil oleh Pangeran
Kuda Permati tidak lebih dari penyebaran kematian yang sia-sia. Tidak ada apapun
yang akan dicapai meskipun seandainya Pangeran Kuda Permati berhasil merebut
Kediri dengan caranya, karena Singasari akan dapat melakukan satu langkah yang
akan menyebabkan keadaan Kediri semakin parah. Mungkin Kediri akan
dimusnahkan sampai ke akar-akarnya dan tidak akan mungkin bangkit kembali.”
Arya Rumpit mengerutkan keningnya. Ia kurang sependapat dengan Pangeran Singa
Narpada. Sebagai senapati yang berjuang atas dasar satu sikap yang diyakini, maka
Arya Rumpit pun berkata, “Jika Kediri utuh dan bulat, maka Singasari tidak akan
dapat menindas kekuatan Kediri.”
“Satu mimpi yang buruk,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Seolah-olah kita tidak
mengetahui kekuatan Singasari yang sebenarnya. Tetapi jika memang demikian,
maka adalah satu kebodohan yang tidak dapat dimanfaatkan, karena kebodohan itu
ternyata akan dapat memusnahkan Kediri.“
Arya Rumpit termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun menyadari bahwa perbedaan
sikap itu memang sulit untuk dipertemukan. Dalam kedudukannya maka agaknya
tidak ada gunanya baginya untuk membantah. Pangeran Singa Narpada tentu juga
mempunyai landasan sikap yang kuat.
Karena Arya Rumpit tidak menjawab, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata
selanjutnya, “Arya Rumpit. Sebenarnya aku mengharap bantuanmu dalam
kedudukannya. Dalam pertempuran yang telah berlangsung sekian lama dengan
menelan korban sekian banyaknya, ternyata kita masih belum mencapai satu
penyelesaian yang tuntas. Kami ingin berhubungan dengan orang-orang yang pernah
menjadi landasan kekuatan Pangeran Kuda Permati. Aku ingin berbicara dengan
mereka sehubungan dengan hilangnya Pangeran Lembu Sabdata. Jika hilangnya
Pangeran Lembu Sabdata itu merupakan atau persiapan bagi satu kekuatan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati, maka kau akan dapat
membayangkan, bahwa yang pernah terjadi akan terulang kembali. Mungkin akan
menjadi lebih dahsyat lagi dari neraka yang pernah diciptakan oleh Pangeran Kuda
Permati.”
Arya Rumpit menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia berbeda sikap, tetapi iapun
mengakui bahwa jika Pangeran Lembu Sabdata kemudian mengambil langkah seperti
Pangeran Kuda Permati, maka yang terjadi tidak akan lebih berarti dari langkah yang
pernah diambil oleh Pangeran Kuda Permati itu.
Seperti Senapati yang mendampingi Pangeran Kuda Permati pada saat terakhirnya
dan menghentikan perlawanannya terhadap kekuatan Pangeran Singa Narpada, maka
Arya Rumpit pun tidak melihat bahwa langkah-langkah yang sama akan dapat
19
memberikan arti. Bahkan ia telah menduga, bahwa langkah yang diambil oleh
Pangeran Singa Narpada dengan mencari keterangan tentang orang-orang yang
pernah melandasi kekuatan Pangeran Kuda Permati itu adalah karena telah tercium
adanya usaha ke arah itu.
Untuk beberapa saat lamanya Arya Rumpit itu termangu-mangu. Ada beberapa
macam pertimbangan yang bergejolak di dalam hatinya. Bagaimanapun juga rasa-
rasanya sangat berat baginya untuk mengkhianati setiap pengikut Pangeran Kuda
Permati. Apalagi orang-orang yang pernah melandasi perjuangan Pangeran Kuda
Permati dengan ilmu dan sipat kandel.
Namun keterangan Pangeran Singa Narpada memang masuk di akalnya. Orang-orang
yang telah memberikan bekal ilmu dan pusaka kepada Pangeran Kuda Permati itu,
seakan-akan tidak ikut mengalami betapa pahitnya perjuangan. Seperti seorang
penyabung ayam yang memasang taji di kaki ayam jantannya Namun yang kemudian
masuk ke arena dan bertarung sampai mati adalah ayam itu sendiri.
Sementara itu penyabung ayam itu akan mencari ayam yang lain yang akan
dilemparkan pula ke arena untuk mati atau menang dan memberikan keuntungan
yang besar baginya.
“Apakah kau melihat kemungkinan bahwa pusaka Pangeran Lembu Sabdata atau
orang-orang yang berdiri di belakangnya sebagaimana pada masa Pangeran Kuda
Permati itu akan mencapai satu hasil sebagaimana diharapkan, atau sekedar
menambah angka kematian yang sia-sia?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Arya Rumpit menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Cara Pangeran
memeras keterangan kali ini ternyata tidak sebagaimana aku duga. Tetapi justru
karena itu agaknya Pangeran telah berhasil. Aku justru merasa ingin menyebut orang-
orang yang Pangeran anggap landasan perjuangan Pangeran Kuda Permati itu, karena
mereka seakan-akan membiarkan Pangeran Kuda Permati tenggelam dalam gejolak
perjuangannya tanpa berbuat apa-apa selain menonton sebagaimana menonton ayam
sabungannya yang mati di arena. Dan kini mereka telah mengambil Pangeran Lembu
Sabdata untuk dijadikan ayam sabungan mereka yang baru dan kemudian
membiarkannya mati sebagaimana Pangeran Kuda Permati.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Agaknya Arya Rumpit pun
mempunyai penilaian yang hampir sama meskipun tanpa mengorbankan
keyakinannya, karena sebenarnyalah bahwa Arya Rumpit seakan-akan telah
menuntut kepada orang-orang yang melepaskan Pangeran Kuda Permati berjuang
sampai batas kematiannya.
Karena itu, Pangeran Singa Narpada tidak mendesaknya. Ia menunggu saja sampai
saat Arya Rumpit mengucapkan karena dorongan kehendaknya sendiri. Karena
Pangeran Singa Narpada menyadari, bahwa apabila orang itu tersinggung, mungkin
ia akan membatalkan niatnya. Jika demikian maka tidak akan ada cara untuk dapat
memeras keterangannya bahkan sampai kematiannya sekalipun.
Justru karena Pangeran Singa Narpada tidak menyahut atau bahkan mendesaknya,
maka Arya Rumpit telah bercerita tentang orang-orang yang telah mendorong dan
kemudian memberikan bekal ilmu kepada Pangeran Kuda Permati.
Katanya kemudian, “Nah, jika Pangeran ingin bertindak atas mereka, lakukan.”
20
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Keterangan yang diberikan oleh Arya
Rumpit itu sesuai dengan keterangan Senapati yang pada saat pergolakan terjadi
dekat dengan Pangeran Kuda Permati, yang telah menghentikan perlawanan setelah
Pangeran Kuda Permati terbunuh justru oleh isterinya sendiri.
Arya Rumpit pun telah menyebut pula tiga orang sebagaimana pernah dikatakan oleh
Senapati itu. Dan Arya Rumpit pun telah menunjukkan padepokan mereka masing-
masing.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku
percaya sepenuhnya kepadamu Arya Rumpit. Aku berterima kasih karena kau telah
bersedia membantu aku, meskipun dengan tujuan yang lain. Tetapi keteranganmu itu
telah memberikan batasan, kemana sebaiknya aku bergerak, meskipun kemungkinan
justru bukan ketiga orang itu yang telah melakukannya.”
“Memang mungkin Pangeran. Tetapi jika yang melakukannya orang lain, maka aku
tidak akan dapat memberikan petunjuk apapun juga,” berkata Arya Rumpit.
“Baiklah. Aku akan mulai dengan ketiga orang itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.
“Tetapi Pangeran harus berhati-hati. Aku tahu bahwa Pangeran Singa Narpada
memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Tetapi ketahuilah Pangeran, bahwa
ketiga orang itu, atau seorang-seorang diantara mereka, adalah orang-orang yang
melampaui tataran orang kebanyakan. Mereka seakan-akan memiliki ilmu iblis yang
nggegirisi.” berkata Arya Rumpit.
“Aku akan mencobanya,” sahut Pangeran Singa Narpada, “mudah-mudahan aku
dapat menemukannya.”
“Iblis-iblis itu tidak sendiri di dalam padepokan mereka. Mungkin ada putut atau
cantrik terpercaya yang juga memiliki ilmu. Karena itu, Pangeran jangan membawa
pengawal biasa, atau jika Pangeran membawa pengawal prajurit, bawalah pasukan
segelar sepapan. Kepung padepokan itu satu demi satu dan hancurkan mereka sampai
ke akarnya,” berkata Arya Rumpit.
“Nampaknya kau mendendam,” desis Pangeran Singa Narpada yang baru dapat
diucapkannya setelah Arya Rumpit menyebut ketiga orang yang dimaksud.
Wajah Arya Rumpit menegang. Namun ia menjawab dengan jujur. “Ya. Justru
mereka tidak melibatkan diri langsung setelah Pangeran Kuda Permati terseret oleh
arus pemberontakannya, sehingga kematiannya,“ jawab Arya Rumpit.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tugas yang terbentang di
hadapannya ternyata akan merupakan beban yang memang berat dan sulit untuk
diselesaikan. Tetapi tidak ada tugas yang diingkari oleh Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian maka katanya kemudian, “Aku berterima kasih kepadamu, Arya
Rumpit. Barangkali kau dapat memperalat aku untuk melepaskan dendammu. Tetapi
sebenarnya aku sendiri sangat berkepentingan. Mungkin salah seorang diantara
merekalah yang telah mengambil Pangeran Lembu Sabdata.“
“Silahkan Pangeran,” berkata Arya Rumpit kemudian, ”Mudah-mudahan Pangeran
berhasil, sehingga Pangeran Lembu Sabdata tidak akan menjadi ayam sabungan yang
kedua yang akan dilemparkan sampai mati ke arena.”

21
Dengan demikian, maka Arya Rumpit pun telah dikembalikan ke dalam bilik
tahanannya, sementara Pangeran Singa Narpada sempat berbincang dengan Mahisa
Bungalan ketika ia berada di istananya kembali.
“Apakah kita akan pergi ke padepokan-padepokan itu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ya. Kita akan pergi. Tidak banyak padepokan yang harus kita datangi. Hanya tiga.
Mudah-mudahan kita akan berhasil,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Mudah-mudahan Pangeran Lembu Sabdata ada di salah satu diantara ketiga
padepokan yang disebut itu,” jawab Mahisa Bungalan.
“Tetapi aku harus berbicara dengan Sri Baginda. Mudah-mudahan Sri Baginda tidak
berkeberatan jika aku meninggalkan Kediri. Mungkin tidak terlalu lama, tetapi
mungkin kita tidak akan kembali,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Arya Rumpit telah mengatakan, bahwa padepokan-padepokan itu merupakan
tempat-tempat yang sangat berbahaya bagi orang-orang yang tidak dikehendaki.
Orang-orang yang disebut oleh Arya Rumpit dan Senapati yang terdekat dengan
Pangeran Kuda Permati itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya.” Jawab
Pangeran Singa Narpada, ”Tetapi itu adalah tanggung jawab seorang prajurit.”
Mahisa Bungalan pun menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menyadari bahwa salah
satu kemungkinan yang dapat terjadi dengan tugasnya adalah kematian.
Demikianlah keduanya telah bersepakat untuk mencari orang-orang yang sudah
disebut oleh Arya Rumpit. Meskipun mungkin yang akan mereka dapatkan sekedar
keterangan, namun jika keterangan itu dapat memberikan kejelasan mengenai
masalah yang dihadapi oleh Kediri, maka keterangan itu akan menjadi sangat berarti.
Namun yang harus dilakukan lebih dahulu oleh Pangeran Singa Narpada adalah
mohon diri kepada Sri Baginda, sementara itu ia harus menghubungi para Panglima
di perbatasan Kota Raja untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika Pangeran Singa Narpada menghadap Sri Baginda, maka seperti yang
diduganya, Sri Baginda merasa agak berkeberatan untuk memberikan ijin kepada
Pangeran Singa Narpada untuk meninggalkan Kota Raja.
“Jika terjadi sesuatu, maka tidak ada orang yang dapat aku ajak berbincang sekarang
ini,” berkata Sri Baginda.
“Sebenarnya Sri Baginda tidak perlu mencemaskan keadaan sekarang ini.
Suasananya menjadi semakin baik. Sementara itu kesiagaan prajurit di daerah
perbatasan menjadi semakin mantap.“ Pangeran Singa Narpada berusaha
meyakinkan. “Panji Sempana Murti adalah seorang Senapati yang dapat dipercaya,
sementara itu Senapati yang lain di perbatasan juga telah menjadi semakin baik
dalam tugasnya.”
Sri Baginda masih juga ragu-ragu. Namun Pangeran Singa Narpada menjelaskan,
“Sri Baginda. Sementara ini hamba telah mengamati perkembangan keadaan. Sudah
tentu jika terjadi satu gerakan, maka hal itu tidak akan dapat dilakukan dengan tiba-
tiba. Satu kekuatan tentu harus disusun, sehingga baru kemudian gerakan itu dapat
dilakukan. Sementara kekuatan itu disusun, maka para petugas sandi Kediri yang
semakin tajam mengamati keadaan setelah pengalaman pahit yang terjadi baru-baru
ini, tentu akan dapat menciumnya.”
22
Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti. Tetapi
aku pun mencemaskan dalam tugasmu yang berat itu. Apakah tidak ada orang lain
yang dapat kau percaya untuk pergi. Sementara kau bersiap-siap menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi sepeninggal Pangeran Lembu
Sabdata?”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sri
Baginda. Dalam tugas yang berat ini, hamba tidak akan dapat sekedar
mempercayakan kepada orang lain. Memang mungkin hamba tidak akan dapat
kembali karena hamba gagal keluar dari tugas ini dengan selamat. Tetapi masih ada
beberapa orang Senapati yang dapat dipercaya. Pangeran-pangeran yang lain, jika Sri
Baginda menunjuknya dengan dukungan para Senapati akan dapat menyelesaikan
persoalan. Sedangkan jika Sri Baginda tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang
timbul dengan dukungan para Senapati, maka Sri Baginda dapat berhubungan dengan
Singasari.”
Sri Baginda termangu-mangu. Tetapi ia menyadari, bahwa yang akan dilakukan oleh
Pangeran Singa Narpada itu adalah sebagian dari satu usaha untuk ketenangan
Kediri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Sri Baginda selain
mengijinkannya.
Karena itu, setelah dipertimbangkan masak-masak, maka Sri Baginda pun kemudian
berkata, “Pangeran Singa Narpada. Aku memang tidak dapat mencegahmu.
Kepergianmu juga merupakan salah satu usaha untuk ketenangan Kediri. Namun
pesanku, kau harus sangat berhati-hati. Jika kau merasa bahwa usahamu tidak akan
berhasil, maka lebih baik usahamu itu kau lepaskan. Kau kembali ke Kota Raja dan
membuat persiapan-persiapan seperlunya.”
“Hamba Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”hamba akan selalu membuat
perhitungan-perhitungan, yang manakah yang paling menguntungkan untuk
dilakukan.”
Demikianlah, maka Sri Baginda pun akhirnya telah mengijinkan Pangeran Singa
Narpada untuk pergi. Namun dengan berbagai macam pesan dan permintaan-
permintaan.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun berpesan, agar kepergiannya
dirahasiakan. Tidak ada orang lain yang perlu diberitahukan tentang kepergiannya
itu.
“Jika perlu, justru Sri Baginda hamba mohon untuk memberikan kesan bahwa hamba
kembali memasuki sanggar sebagaimana hamba lakukan beberapa waktu yang
lewat.” Mohon Pangeran Singa Narpada.
Dengan penuh pengertian Sri Baginda mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku
akan melakukannya.”
Karena itulah, maka ketika Pangeran Singa Narpada meninggalkan Kota Raja, tidak
ada seorang pun yang mengetahui kecuali kepercayaannya. Seperti pada waktu ia
memasuki halaman istananya, maka Pangeran Singa Narpada pun meninggalkan
istananya dengan meloncati dinding.
Tetapi Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan yang menyertainya menjadi
terkejut. Demikian mereka turun ke dalam kegelapan, diluar dinding halaman mereka
23
mendengar desir di belakang mereka. Ketika mereka dengan cepat memperhatikan
arah suara itu, maka mereka telah melihat dua sosok bayangan yang meloncat turun.
Jantung Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan pun menjadi berdegupan.
Dengan serta merta keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kedua
sosok tubuh itu harus ditangkapnya agar tidak membuka rahasia kepergian Pangeran
Singa Narpada.
Namun tiba-tiba saja terdengar seorang diantara keduanya berdesis, “Aku kakang.”
“Siapa?“ Mahisa Bungalan menegaskan.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ jawab suara itu.
“O, anak itu,“ geram Mahisa Bungalan. ”Kenapa kau membuat kami terkejut. Dan
apa kerjamu disini?”
“Aku ingin menyusul kakangmas,” jawab Mahisa Murti, “Mungkin kakang
memerlukan bantuan kami.”
“Tetapi caramu bukan cara yang baik,” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Baru kemudian Mahisa Murti
menjawab, “Kami ingin melihat-lihat suasananya. Kami tidak yakin, bahwa kami
akan dapat memasuki lingkungan istana Pangeran Singa Narpada melalui jalan yang
lain.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku
memohonkan maaf bagi keduanya Pangeran.“
“Baiklah,” jawab Pangeran Singa Narpada yang sebenarnya kurang senang juga atas
tingkah kedua anak muda itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan pun bertanya, “Kenapa kau tinggalkan rumah?
Apakah kau sudah selesai dengan langkah terakhir daripada laku yang harus kau
jalankan dengan ilmumu!”
“Sudah kakang. Pada saat kakang meninggalkan rumah, maka aku sudah mendekati
laku terakhir itu. Demikian kami berdua menyelesaikan laku terakhir dalam tuntunan
ayah dan paman Witantra maka kami mohon diri untuk menyusul kakang.“ jawab
Mahisa Murti.
“Bagaimana jika kalian tidak dapat bertemu dengan aku?” bertanya Mahisa
Bungalan.
“Kami dapat menempuh dua jalan. Kembali pulang atau kembali ke tugas-tugasku
dengan pertanda cincin sandi ini,” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Kemudian ia-pun bertanya pula, “Kapan
kau memasuki halaman ini?”
“Sejak senja. Kami merasa bingung, bagaimana caranya untuk dapat menemui
kakang. Kami telah menunggu beberapa lama. Tetapi kami tidak melihat kakang
sama sekali. Baru kemudian kami melihat kakang keluar dari pintu samping dan
justru keluar dari halaman istana ini.”
“Sudahlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Sekarang kita bicarakan, bagaimana
dengan kedua adikmu. Bahwa keduanya bukan anak-anak lagi, telah ternyata bahwa
keduanya mampu menyelesaikan laku terakhir dari puncak ilmunya. Karena itu
menurut perhitunganku, maka keduanya telah memiliki bekal yang cukup untuk
memasuki dunia olah kanuragan dengan segala macam semak dan durinya.”
24
“Ya. Jika tidak, maka ayah tentu tidak akan melepaskannya,” sahut Mahisa
Bungalan. Namun kemudian ia masih bertanya kepada kedua adiknya, “He, apakah
kalian berhasil dengan baik melampaui hambatan terakhir dalam laku yang kalian
jalani.”
“Ya. Kakang,” jawab Mahisa Murti, “Kami berhasil dengan baik menurut keterangan
ayah dan paman Witantra.”
“Baiklah. Marilah, kita keluar dari Kota Raja. Baru kemudian kita menentukan
langkah-langkah,” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa
Bungalan dan Pangeran Singa Narpada pun segera beringsut dari tempatnya dan
meninggalkan istana kepangeranan untuk waktu yang tidak ditentukan.
Dalam perjalanan keluar kota itu Mahisa Bungalan masih bertanya, “Laku yang
kalian jalani nampaknya begitu tergesa-gesa. Hanya berselisih sedikit saja dari
keberangkatanku. Apakah ayah dan paman Witantra memang mempercepat laku
yang harus kau jalani?”
“Tidak,” sahut Mahisa Murti, “Kami menjalani laku sebagaimana direncanakan.
Tidak ada yang dipercepat.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya karena ia sendiri sibuk dengan
usaha untuk mencapai puncak ilmu yang diwarisinya dari Mahisa Agni, maka
Mahisa Bungalan kurang dapat mengikut tahap-tahap laku yang ditempuh adiknya,
sehingga terasa begitu cepat selesai.
Namun Mahisa Bungalan pun menyadari, bahwa dalam waktu pengembaraannya,
kedua adiknya itu dengan tekun di dalam sanggar untuk mempersiapkan diri.
Demikianlah, maka dengan sangat hati-hati mereka telah keluar dari dinding kota.
Untuk menghindari bermacam-macam masalah, maka mereka tidak keluar melalui
pintu gerbang yang dijaga oleh para pengawal. Tetapi mereka telah meloncati
dinding.
Malam itu juga maka keempat orang itu telah menjadi semakin jauh dari dinding
Kota Raja, melintasi daerah kuasa para Panglima di perbatasan dan ketika fajar
menyingsing, mereka tengah menyusuri jalan yang semakin jauh.
“Kita langsung menuju ke sasaran. Kita memerlukan waktu dua hari perjalanan,”
berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk. Namun kemudian ia berdesis di telinga Pangeran
Singa Narpada, ”Bagaimana dengan kedua adikku?”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya,
“Bukankah kau percaya kepada kedua adikmu?”
“Ya. Aku percaya kepada mereka. Apalagi mereka sebenarnya memiliki pertanda
cincin petugas sandi dari Singasari,” jawab Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian kita tidak
mempunyai keberatan. Tetapi mereka harus mengerti, bahwa kita menempuh satu
perjalanan yang berbahaya. Yang harus aku pertanyakan adalah justru kau dan kedua
adikmu. Kalian adalah tiga orang bersaudara.”
“Kenapa jika kami bersaudara?” bertanya Mahisa Bungalan.

25
“Aku kadang-kadang menasehatkan kepada prajurit-prajuritku yang akan pergi ke
medan perang. Jika ada diantara mereka kakak beradik, aku memberi kesempatan
kepada mereka untuk tinggal salah seorang diantaranya.”
Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Pangeran Singa Narpada. Katanya, “Aku mengerti Pangeran. Jika terjadi bencana,
biarlah kami tidak digulung bersama-sama.”
“Ya.“ Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
“Mudah-mudahan kami tidak mengalami nasib buruk, sehingga ayah kami akan
kehilangan ketiga anaknya sekaligus,” berkata Mahisa Bungalan. ”Tetapi ayah pun
adalah seorang pengembara pada masa mudanya, bahkan pekerjaan ayah pun
menuntut agar ayah sebagai pedagang wesi aji dan batu-batuan masih juga harus
mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu ayah tentu menyadari,
bahaya yang mengancam kami, sementara ayah justru telah mengirimkan kedua
adikku itu kepadaku. Maksudnya tentu berlawanan dengan kecemasan Pangeran.
Ayah bermaksud agar kami dapat saling menolong.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah jika demikian.
Tetapi kalian bertiga harus dapat membagi tugas dan kewajiban kalian sehingga
kemungkinan yang paling buruk akan dapat dihindari.”
“Baiklah Pangeran. Kita akan melihat suasana pada saat-saat kita sudah mendekati
sasaran. Pangeran lah yang akan memilih, yang manakah yang akan kita datangi
lebih dahulu.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan berjalan
beberapa ratus patok lagi. Kita akan dapat beristirahat karena semalam-malaman kita
berjalan terus.”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun berpaling juga kepada kedua
adiknya. Kedua orang itu tentu merasa letih juga karena mereka menempuh
perjalanan sejak hari sebelumnya, sehingga ketika senja turun keduanya telah
memasuki halaman istana Pangeran Singa Narpada.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak menanyakannya. Meskipun letih, tetapi kedua adiknya
tentu telah mampu mengatur kemampuan tubuh mereka karena latihan-latihan yang
mereka jalani sebelumnya.
Namun bagaimanapun juga, Mahisa Bungalan memang menganggap perlu bahwa
mereka harus beristirahat. Apalagi perjalanan mereka sudah cukup jauh, serta dengan
pakaian yang mereka kenakan, maka tidak seorang pun akan mengenali mereka lagi
sebagai orang-orang dari lingkungan istana dan keprajuritan.
Keempat orang itu masih berjalan sampai matahari naik sepenggalah. Ketika mereka
melintasi sebuah pasar yang ramai, maka Pangeran Singa Narpada mengajak mereka
untuk berhenti barang sebentar.
“Kita singgah di salah sebuah warung. Tiba-tiba saja aku ingin minuman-minuman
panas sebagaimana kebiasaanku tiap pagi,” berkata pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, maka keempat orang itupun telah singgah di sebuah warung diluar
pasar yang ramai itu. Keempat orang itu sudah tidak perlu lagi mencemaskan tentang
kehadirannya, bahwa akan ada orang yang mengenalnya.

26
Dengan gaya sebagaimana para petani, maka keempat orang itupun telah memesan
makanan dan minuman.
Pada kesempatan itu pula Mahisa Bungalan telah memberitahukan kepada kedua
adiknya, apa yang harus mereka lakukan? Dengan perlahan-lahan dan hati-hati
Mahisa Bungalan menyebut arah kepergian mereka.
“Kami belum pernah melihat padepokan-padepokan itu,” berkata Mahisa Bungalan,
“Kami mendapat petunjuk arah dan ciri-ciri orang yang akan kita temui.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa
tugas mereka adalah tugas yang cukup berat. Mencari Pangeran Lembu Sabdata dan
mahkota yang hilang itu.
“Bukankah kalian pernah mengenal Pangeran Lembu Sabdata?” bertanya Mahisa
Bungalan, “Mungkin ada perubahan-perubahan pada dirinya. Umurnya pun semakin
tua seperti umur kalian yang memanjat pula. Tetapi mungkin juga Pangeran Lembu
Sabdata dengan sengaja telah berusaha untuk berubah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa
Murti menyahut, “Kami akan berusaha untuk dapat mengenalinya jika kami
menemuinya. Mudah-mudahan kami tidak dikelabui oleh usaha yang memang
mungkin dilakukannya.”
“Kita bersama-sama akan berusaha,” sahut Pangeran Singa Narpada, ”ia adalah
saudaraku. Aku mengenalnya sebagaimana aku mengenal diriku sendiri. Tetapi
memang ada satu kemungkinan bahwa dengan sengaja ia berusaha untuk berubah.
Karena itu, maka diperlukan daya ingat yang kuat jika kita bertemu dengan Lembu
Sabdata.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Sementara itu, makanan
dan minuman yang mereka pesan-pun telah tersedia. Pangeran Singa Narpada pun
telah meneguk minuman panasnya. Badannya yang terasa dingin telah menjadi segar.
Setelah meneguk beberapa teguk dan makan beberapa kerat makanan, maka
Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata hampir berbisik, ”Mungkin kita
dapat datang ke padepokan Panembahan Bajang. Menurut keterangan Pangeran, jalan
ke Panembahan Bajang adalah jalan yang paling mudah ditelusuri.”
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, ”Demikianlah menurut Arya Rumpit.”
“Tetapi bukankah Pangeran percaya kepada Arya Rumpit?” bertanya Mahisa
Bungalan.
“Ya. aku percaya kepada Arya Rumpit. Senopati itu agaknya telah dibakar dendam
pula di hatinya,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Dengan demikian maka keterangannya dapat kita jadikan pedoman,” berkata
Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, kita memang akan
berpegangan kepada keterangannya.”
Dengan demikian, maka setelah mereka selesai dan membayar minuman dan
makanan, mereka pun telah meninggalkan warung itu.
Untuk beberapa saat mereka masih beristirahat di sebelah pasar itu sambil
memperhatikan orang-orang yang hilir mudik untuk mendapatkan kebutuhan masing-
masing.
27
Ternyata keadaan di pedesaan sudah berangsur tenang. Tidak nampak sama sekali
bekas-bekas pertempuran yang membakar Kediri, yang ajangnya memang sebagian
terbesar adalah daerah-daerah perbatasan.
Setelah beristirahat beberapa lamanya, dan setelah mereka membeli bekal yang dapat
mereka makan sambil berjalan untuk sekedar mengisi waktu dan kejenuhan di
perjalanan pada saat-saat mereka letih berbicara, maka mereka pun telah melanjutkan
perjalanan mereka yang masih panjang.
Demikianlah, maka sebagai pengembara yang berpengalaman, maka keempat orang
itu menempuh perjalanan mereka dengan rancak. Tidak ada hambatan yang terasa
mengganggu. Panas matahari, debu yang mengepul, haus dan kelelahan sama sekali
tidak dapat menahan perjalanan mereka. Latihan-latihan yang berat serta laku yang
pernah mereka jalani pada saat-saat mereka menuntut ilmu sampai ke puncak, telah
membentuk mereka menjadi orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
Namun demikian, bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang memiliki
keterbatasan.
Sebagaimana telah mereka ketahui, mereka memerlukan waktu perjalanan dua hari,
jika mereka memang ingin menu-juke padepokan Panembahan Bajang.
Perjalanan itu dapat mereka tempuh tanpa kesulitan yang berarti. Seperti petunjuk
yang diberikan oleh Arya Rumpit, maka padepokan yang dihuni oleh Panembahan
Bajang terletak tidak terlalu jauh dari padukuhan-padukuhan yang terbesar di
sekelilingnya.
“Kita harus mengetahui medan yang akan kita hadapi,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
“Maksud Pangeran, kita tidak akan langsung memasuki padepokan itu?” bertanya
Mahisa Bungalan.
“Ya. Kita akan melihat suasana padepokan itu,“ jawab Pangeran Singa Narpada,
”Meskipun barangkali kehadiran kita akhirnya diketahui juga oleh Panembahan
Bajang yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun dengan demikian, kita sudah dapat
mengetahui serta sedikit tentang padepokan itu. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata
ada pula di padepokan itu.”
Namun mereka harus berhati-hati, karena padepokan itu merupakan padepokan yang
berada diantara padukuhan-padukuhan yang barangkali telah terjalin satu kehidupan
yang akrab.
Mungkin Panembahan Bajang justru merupakan orang yang sangat dihormati dan
disukai oleh orang-orang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Tetapi segala sesuatunya masih harus diamati dengan cermat.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan ketiga orang yang datang
bersamanya telah berusaha untuk mendapatkan tempat bersembunyi yang baik yang
dapat mereka pergunakan untuk segala keperluan. Tidur, beristirahat sambil makan
dan minum, berbincang dan merayap mendekati padepokan itu.
“Kita tidak mungkin membuat api disini,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Asap
yang mengepul akan menarik perhatian.”
“Jadi?” bertanya Mahisa Bungalan.

28
“Kita membeli makanan dan kita minum air belik yang mungkin terdapat di sekitar
tempat ini,” jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengerti bahwa Pangeran
Singa Narpada sebagai seorang Pangeran, telah membawa bekal uang yang cukup
banyak, sementara Mahisa Bungalan sendiri juga membawa bekal uang. Bahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah membawa pula.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada berkata, “Aku yakin, bahwa pada
salah satu padukuhan yang banyak terdapat di sekitar padepokan itu, tentu terdapat
satu atau bahkan lebih pasar.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi pasar itu masih harus dicari.
Dengan demikian, maka ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, Mahisa
Bungalan lah yang mendapat tugas untuk menemukan sebuah pasar, karena orang
yang paling sedikit pernah bersentuhan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Jika benar
Pangeran Lembu Sabdata ada di daerah itu, maka mungkin sekali mereka bertemu.
Baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran Lembu Sabdata tentu tidak akan saling
mengenal.
Dengan ujud seorang pengembara Mahisa Bungalan telah menyelusuri jalan-jalan
yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Dengan
pengalaman seorang pengembara maka Mahisa Bungalan tidak terlalu sulit untuk
menemukan yang dicarinya. Diikutinya orang-orang yang agaknya membawa
dagangan untuk dijual. Mereka pada umumnya akan pergi ke pasar atau tempat yang
kegunaannya seperti pasar.
Sebenarnyalah dengan mudah akhirnya Mahisa Bungalan memang menemukan
sebuah pasar. Memang pasar yang kecil saja, tetapi di dalamnya terdapat kebutuhan
yang diperlukan.
Kecuali mendapat apa yang diperlukan, maka Mahisa Bungalan pun telah mendapat
satu keyakinan bahwa ia tidak datang ke tempat yang salah. Bangunan yang berada
diantara padukuhan-padukuhan itu memang benar sebuah padepokan yang dihuni
oleh Panembahan Bajang. Padepokan itu benar bernama Padepokan Tegal Karang.
Ketika ia kembali ke tempat persembunyiannya, maka iapun telah memberitahukan
hal itu kepada Pangeran Singa Narpada, bahwa mereka telah datang di tempat yang
benar.
“Bangunan itu memang padepokan Tegal Karang,” berkata Mahisa Bungalan.
“Arya Rumpit tidak berbohong,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Kita akan menyelidiki padepokan itu,” berkata Mahisa Bungalan, “Mungkin
padepokan itu merupakan padepokan tempat persembunyian Pangeran Lembu
Sabdata.”
“Ya. Kita harus mengamatinya,“ jawab Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian, maka mereka pun telah menyusun satu rencana yang akan mereka
lakukan bergantian. Setiap hari mereka akan mengamati pintu gerbang padepokan
itu. Pangeran Singa Narpada yang mengenal dengan baik Pangeran Lembu Sabdata
akan mengamati bersama Mahisa Bungalan, sementara di hari berikutnya akan
mengamati padepokan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mengenal Pangeran
Lembu Sabdata pula.
29
Dengan telaten mereka melakukan tugas itu. Tetapi mereka-tidak pernah melihat
orang yang mereka cari lewat pintu gerbang itu keluar maupun masuk. Bahkan
mereka pun tidak pernah melihat seorang yang bertubuh kerdil keluar masuk pintu
gerbang itu.
“Kita harus melihat lebih dekat lagi,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan hati-hati mereka mencoba
mendekati padepokan itu dan bahkan mereka telan berada di depan pintu gerbang.
Ketika seorang cantrik kebetulan keluar dari pintu gerbang maka Mahisa Bungalan
dalam pakaian seorang pengembara telah menemuinya. Dengan suara memelas iapun
berkata, “Ki Sanak, apakah aku dapat minta seteguk air?”
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Kemudian ditunjuknya sebuah genthong yang
berisi air yang memang diletakkan di sisi gerbang.
“Kami memang sudah selalu menyediakan air bersih. Silahkan minum Ki Sanak.”
“O, terima kasih,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi siapakah yang menghuni tempat
ini? Agaknya sebuah padepokan.”
“Ya. Sebuah padepokan. Aku adalah salah seorang cantriknya. Padepokan ini
dipimpin oleh Panembahan Bajang,” jawab cantrik itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu iapun bertanya, “Apakah setiap
orang boleh menghadap?”
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Dipandangi Mahisa Bungalan dengan tajamnya.
Kemudian iapun bertanya, “Kau siapa Ki Sanak?”
“Aku seorang pengembara,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku sudah lama
mengembara. Sebenarnya aku ingin berhenti. Semisal burung yang terbang di udara,
aku menjadi kelelahan. Aku ingin mendapat tempat untuk hinggap.”
“Kau dapat beristirahat di padepokan ini Ki Sanak,” jawab cantrik itu.
“Apakah pemimpin padepokan ini tidak akan marah?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Tidak. Tentu tidak. Panembahan Bajang adalah seorang Panembahan yang sangat
baik. Ia suka menolong orang-orang yang mengalami kesulitan,” jawab cantrik itu.
“Jadi aku juga diperkenankan menghadap?” bertanya Mahisa Bungalan itu pula.
“Tentu Ki Sanak jika Panembahan kebetulan ada,” jawab cantrik itu, “Tetapi sayang,
Panembahan sedang tidak ada di tempat.”
“O.“ Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. “jadi Panembahan Bajang itu sedang
pergi?”
“Ya,” jawab cantrik itu.
“Kemana?” bertanya Mahisa Bungalan, “Dan kapan Panembahan Bajang itu akan
pulang?”
“Panembahan Bajang sedang mengunjungi kawan-kawannya. Ia mungkin berada di
padepokan Lemah Teles, tetapi mungkin berada di padepokan Ara-ara Lawang,”
jawab cantrik itu.
“O.“ Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula. “Siapakah yang tinggal di kedua
padepokan itu.“
Di Lemah Teles tinggal Ki Ajar Bomantara, sedangkan di padepokan Ara-ara
Lawang tinggal mPu Lengkon,” jawab cantrik itu.
“Keduanya sahabat Panembahan Bajang?” bertanya Mahisa Bungalan pula.
30
“Ya. Mereka adalah orang-orang yang paling akrab dengan Panembahan Bajang,”
jawab cantrik itu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi Ki Sanak, selain
Panembahan Bajang, apakah ada orang lain yang berpengaruh di padepokan ini dan
dapat memberikan perlindungan kepadaku jika aku berada di padepokan ini?”
“Kenapa kau bertanya begitu? Tidak akan ada apa-apa. Aku bertanggung jawab. Jika
terjadi sesuatu atasmu pada saat Panembahan Bajang pulang, biarlah leherku
dipenggal. Kau tidak perlu perlindungan apapun juga,” jawab cantrik itu. “Apalagi di
padepokan ini memang tidak ada orang lain. Panembahan Bajang memimpin
padepokan ini seorang diri,” jawab cantrik itu.
“Dan ia juga pergi seorang diri?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ya. Panembahan Bajang pergi seorang diri. Sudah menjadi kebiasaannya pergi
seorang diri kemanapun,” jawab cantrik itu. Namun tiba-tiba cantrik itulah yang
bertanya, “Kau terlalu banyak ingin mengerti Ki Sanak.”
“O, tidak.” Dengan serta merta Mahisa Bungalan menjawab, “Aku hanya ingin
berbicara. Apa saja.”
“Baiklah. Silahkan, bukankah kau ingin minum dan kemudian ingin berteduh di
padepokan kami?” bertanya cantrik itu.
“Aku memang ingin minum Ki Sanak. Tetapi apakah aku akan berteduh di
padepokan ini atau tidak, akan aku bicarakan dengan kawanku. Tetapi karena
Panembahan Bajang tidak ada, mungkin aku akan singgah kemudian,“ jawab Mahisa
Bungalan.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun terbersit kesan pada wajahnya, bahwa
cantrik itu justru ingin lebih banyak tahu tentang Mahisa Bungalan itu.
Namun dalam pada itu, dengan sikap seorang yang sangat letih, iapun melangkah
mendekati genthong yang berisi air. Dengan sebuah siwur dari batok kelapa ia
mengambil air dari genthong itu dan meneguknya. Alangkah segarnya.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian mendekat pula ketika Mahisa Bungalan
memanggilnya dan minum pula sepuas-puasnya.
Melihat betapa kedua orang itu minum, maka seakan-akan kecurigaan cantrik itu
menjadi hilang. Karena itu, maka iapun bertanya, “Jadi, apakah kalian akan singgah
atau tidak?”
“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Mahisa Bungalan, “Aku akan datang lagi pada saat
Panembahan Bajang ada di padepokan.”
Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah. Sebenarnya tidak akan
terjadi sesuatu meskipun Panembahan tidak ada. Tetapi jika kalian ragu-ragu, apa
boleh buat.”
“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah kami ingin singgah di kesempatan
lain,” jawab Mahisa Bungalan.
Cantrik itupun kemudian melangkah pergi. Agaknya ia akan pergi ke sawah atau ke
pasar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari di padepokan itu.
Dengan demikian, maka baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran Singa Narpada
mengambil kesimpulan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak ada di tempat itu.
Seandainya ia ada di padepokan itu, maka ia tidak lebih dari cantrik kebanyakan.
31
Karena itu, maka keduanya menganggap bahwa untuk sementara padepokan itu dapat
ditinggalkan.
“Jika kita singgah di padepokan itu, dan Lembu Sabdata ada diantara mereka yang
disebut para cantrik, maka ia akan segera mengenal aku,” berkata Pangeran Singa
Narpada.
“Jika ia mengenal aku lebih dahulu daripadanya, maka ia tentu akan dengan diam-
diam meninggalkan padepokan ini dan bersembunyi di tempat yang lebih rumit lagi.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan demikian maka tugasnya bersama
Pangeran Singa Narpada akan menjadi semakin sulit.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada melanjutkan. “Sedangkan jika Lembu
Sabdata tidak ada di padepokan itu, maka waktu kita pun akan terampas jika kita
singgah.”
“Ya Pangeran,” jawab Mahisa Bungalan yang memang tidak ingin singgah di tempat
itu, “Karena itu, maka kita akan berjalan terus, ke padepokan berikutnya.”
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita kembali ke
tempat kita bersembunyi untuk menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kita akan
segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dari Arya Rumpit aku sudah
mendapat ancar-ancar kedua padepokan itu. Mudah-mudahan kita akan dapat
menemukannya.”
Dengan demikian maka keduanya pun telah meninggalkan padepokan yang sedang
ditinggalkan oleh pemimpinnya itu. Mereka yakin bahwa Pangeran Lembu Sabdata
tidak ada di padepokan itu. Selain keterangan cantrik itu, memang tidak ada seorang-
pun yang pantas dicurigai sebagai Pangeran Lembu Sabdata yang hilir mudik dan
keluar masuk padepokan itu.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada masih ingin meyakinkan lagi untuk
barang sehari. Dari tempat yang tersembunyi menjelang matahari terbit, Pangeran
Singa Narpada dan Mahisa Bungalan mengamati isi padepokan itu dari sebatang
pohon di luar dinding, sementara di sore harinya, menjelang senja, pengamatan
itupun diulanginya. Namun hasilnya, mereka memang tidak melihat orang yang
mirip atau dapat disangka sebagai Pangeran Lembu Sabdata.
Karena itulah, maka di hari berikutnya, ketika sisa malam masih gelap, maka
Pangeran Singa Narpada bersama-sama dengan kelompoknya telah meninggalkan
tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke padepokan yang lain.
“Kita mau kemana?” bertanya Pangeran Singa Narpada, ”Kepada Ki Ajar yang
dipanggil guru oleh Pangeran Kuda Permati atau ke padepokan mPu Lengkon?”
“Terserahlah kepada Pangeran,” jawab Mahisa Bungalan, “bagi kita agaknya sama
saja. Seandainya kita tahu kemana Panembahan Bajang itu pergi, maka kita akan
memilih mengunjungi padepokan yang dikunjungi oleh Panembahan Bajang itu.
Tetapi karena kita tidak tahu, maka yang manapun akan sama saja bagi kita.”
“Ya. Beruntunglah jika kita sampai ke padepokan yang kebetulan dikunjungi pula
oleh Panembahan Bajang,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian maka mereka akan menuju ke padepokan yang paling dekat
diantara padepokan Ki Ajar dan padepokan mPu Lengkon.

32
“Kita hanya memerlukan waktu kira-kira dua hari untuk sampai ke padepokan mPu
Lengkon. Sedangkan jika kita pergi ke padepokan Ki Ajar, kita memerlukan waktu
tiga hari. Meskipun demikian masih juga tergantung apakah kita selalu berada di
jalan yang benar. Jika kita salah memilih jalan, mungkin waktunya akan dapat
menjadi lebih panjang,” berkata Pangeran Singa Narpada.
“Sebagaimana orang yang pernah mengembara maka mudah-mudahan kita tidak
terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mengenali jalan yang sudah diancar-
ancarkan. Tetapi memang tidak mustahil bahwa kita salah memilih jalan sehingga
kita akan memakan waktu yang lebih panjang,” jawab Mahisa Bungalan.
Namun baik Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan, maupun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan pengembaraan
sehingga bagi mereka perjalanan yang mereka tempuh saat itu bukanlah perjalanan
yang akan sampai kepada batas jalan buntu, karena mereka akan mungkin
memecahkan kesulitan-kesulitan untuk sampai ke tujuan.
Dengan tidak banyak kesulitan di perjalanan mereka mencari pertanda-tanda yang
pernah disebut oleh Arya Rumpit yang akan membawa mereka sampai ke padepokan
mPu Lengkon. Ternyata bahwa pertanda-pertanda itu cukup meyakinkan sehingga
keempat orang itu merasa bahwa mereka akan dapat sampai ketujuan sesuai dengan
waktu yang diperkirakan atau seandainya menjadi bertambah panjang, tentu tidak
akan sampai menjadi dua kali lipat.
Seperti perjalanan yang pernah ditempuh, baik oleh keempat orang itu ketika mereka
pergi ke padepokan Panembahan Bajang, maupun perjalanan-perjalanan yang lain
dari Pangeran Singa Narpada sendiri, maka mereka tidak perlu cemas mengalami
kesulitan tentang makan dan minum di perjalanan, karena Pangeran Singa Narpada
memang membawa bekal uang yang cukup. Sehingga kadang-kadang justru telah
menimbulkan berbagai tanggapan dari orang-orang yang bersamaan berada di dalam
sebuah warung. Bahkan ada juga pemilik warung yang ragu-ragu, apakah ia akan
memenuhi semua pesanan keempat orang itu. Ada pemilik warung yang
berprasangka bahwa keempat orang itu akan tidak membayar pesanan mereka dan
begitu saja pergi sebagaimana memang pernah terjadi bahwa sekelompok orang-
orang yang tidak bertanggung jawab memesan makanan dan minuman serta
menghabiskannya, namun tidak mau membayar harganya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak pernah merugikan orang lain dengan cara yang
demikian. Namun justru karena itu, maka orang-orang yang melihatnya menjadi
heran, bahwa sekelompok pengembara nampaknya membawa bekal yang cukup
banyak.
Namun agaknya bekal yang cukup itu memang selalu menarik perhatian. Ternyata
keempat orang pengembara itu telah terjebak ke dalam sebuah padukuhan yang
dihuni oleh sekelompok perampok yang garang.
Ketika keempat orang itu mohon untuk diijinkan bermalam di banjar, maka dengan
ramah orang yang menjaga banjar itu mempersilahkan. Bahkan keempat orang itu
telah mendapatkan pelayanan yang sangat baik.

33
Tetapi dalam pada itu, penjaga banjar itu telah menghubungi Ki Bekel dari
padukuhan itu dan menceriterakan bahwa empat orang pengembara bermalam di
banjar.
“Apakah mereka membawa sesuatu yang berharga?” bertanya Ki Bekel.
“Aku tidak tahu Ki Bekel. Tetapi Ki Subra siang tadi berceritera tentang empat orang
pengembara yang dijumpainya di sebuah warung dan ternyata menurut
pengamatannya, membawa uang yang cukup banyak,” jawab penjaga banjar itu.
“Hubungi Subra dan tanyakan kepadanya, apakah benar orang-orang itu yang
dimaksud. Jika benar, maka malam nanti, kalian dapat bertindak,” jawab Ki Bekel.
“Jika bukan?” bertanya penjaga itu.
“Biarkan mereka bermalam dengan tenang dan tidur dengan nyenyak di Banjar ini.
Biarlah mereka menceriterakan kepada orang-orang yang mereka jumpai bahwa
padukuhan kita adalah padukuhan yang sanggup memberikan tempat bagi orang yang
kemalaman, memberikan minum bagi orang yang kehausan dan memberi makan
kepada orang yang kelaparan,” berkata Ki Bekel. ”Tetapi jika benar keempat orang
itu memiliki bekal yang berarti bagi kita, maka keempatnya nanti malam harus
dikubur di tempat yang sudah disediakan bagi mereka yang mengalami nasib buruk
di padukuhan ini.”
Penjaga banjar itu mengangguk-angguk. Dengan tergesa-gesa iapun kemudian pergi
ke rumah Ki Subra untuk meyakinkan apakah keempat orang itu benar orang-orang
yang dimaksud.
Ketika orang yang disebut Ki Subra dihubungi oleh penjaga banjar itu, maka iapun
segera pergi ke banjar untuk melihat apakah benar keempat orang itu adalah orang
yang dilihatnya di warung dengan bekal uang yang cukup banyak.
“Ya. Mereka,” berkata Ki Subra.
“Menurut Ki Bekel, kita dapat bertindak malam nanti,” berkata penjaga banjar itu.
Ki Subra mengangguk-angguk. Katanya, “berikan isyarat kepada orang-orang
padukuhan ini, bahwa malam ini kita menjebak empat orang yang harus kita
selesaikan.”
Penjaga banjar itu mengangguk-angguk. Karena itulah, maka sejenak kemudian,
maka penjaga banjar itu telah memukul kentongan dengan irama dara muluk, tetapi
dengan beberapa isian yang tidak terbiasa terdengar pada irama dara muluk. Isian
dengan pukulan ganda empat, dua kali berturut-turut.
Orang-orang lain dari penghuni padukuhan itu tidak tahu apakah arti dari bunyi
kentongan itu. Nadanya memang tidak jauh berbeda dengan nada dara muluk biasa,
sehingga dalam sekilas, orang-orang yang mendengarkannya menganggap bahwa
bunyi kentongan itu memang bernada dara muluk. Bahkan ada yang menganggap
bahwa pemukul kentongan itu telah membuat beberapa kesalahan yang tidak
disengaja.
Tetapi bagi penghuni padukuhan itu, maka suara kentongan itu merupakan satu
perintah, agar penghuni padukuhan itu bersiap-siap. Ada empat orang di banjar yang
akan mereka jadikan mangsa, sehingga sebidang tanah yang memang mereka
sediakan di pinggir padukuhan itu akan bertambah dengan empat orang penghuni
baru di dalam selimut tanah yang merah. Tanah yang di dalamnya telah disimpan
34
berpuluh bahkan beratus mayat orang-orang yang terjebak dan bermalam di
padukuhan itu. Bahkan mereka yang lewat di siang hari pun, jika mereka dianggap
membawa bekal yang cukup, akan dapat diseret masuk ke dalam lubang yang digali
di tempat itu.
Namun karena seisi padukuhan itu telah menceburkan diri dalam kerja yang kotor
itu, maka justru rahasia mereka menjadi sangat rapat. Jika terjadi seseorang yang
hilang di perjalanan maka orang tidak akan mengira bahwa orang itu telah hilang di
padukuhan itu. Siang maupun malam.
Tetapi ternyata keempat orang yang berada di banjar saat itu, telah tertarik dengan
bunyi kentongan itu. Bahkan Mahisa Pukat telah berdesis di telinga Mahisa Murti,
“Kau dengar irama yang aneh itu?”
“Ya, irama dara muluk. Tetapi ada perbedaan dari irama yang biasa kita dengar.
Mungkin padukuhan ini memang mempunyai kebiasaan yang berbeda,” sahut
Mahisa Murti.
Namun agaknya Pangeran Singa Narpada pun telah merasa tergelitik oleh bunyi
kentongan itu. Pengalamannya ketika ia pergi ke Singasari telah memperingatkannya,
bahwa ia harus berhati-hati.
“Mungkin seseorang telah melihat bekal yang aku bawa sebagaimana pernah terjadi,”
berkata Pangeran Singa Narpada yang kemudian menceriterakan apa yang pernah
dialami di perjalanan ke Singasari. “Mungkin kita akan berhadapan dengan
sekelompok orang, bahkan mungkin lebih luas lagi. Irama suara kentongan itu
memang sangat menarik perhatian.”
Mahisa Bungalan pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita agaknya harus berhati-
hati. Keramahan penjaga banjar itu memang agak berlebihan terhadap kita, empat
orang pengembara. Mungkin dibalik sikapnya itu memang terdapat maksud yang
kurang baik.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangkap kesan dari ceritera Pangeran Singa
Narpada tentang orang yang menginginkan uang yang dibawanya. Memang tidak
mustahil bahwa orang-orang padukuhan itupun menghendaki uang yang dibawa oleh
Pangeran itu pula. Ditambah dengan bekal Mahisa Bungalan dan kedua adiknya.
Bagaimanapun juga keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena
mereka menjadi ketakutan. Tetapi jika terjadi benturan kekuatan, maka mungkin
akan jatuh korban karenanya. Orang-orang padukuhan itu mungkin telah salah
menilai keempat pengembara yang berada di banjar itu. Jika keempat orang itu
tersudut ke dalam keadaan yang sulit, maka sengaja atau tidak sengaja mereka akan
dapat melepaskan kemampuan ilmu mereka yang nggegirisi.
Namun demikian mereka juga tidak menganggap bahwa isi padukuhan itu adalah
orang-orang yang lemah. Memang mungkin saja ada diantara mereka yang memiliki
kemampuan yang tinggi, yang memimpin kawan-kawannya melakukan pekerjaan
yang kelam itu.
Tetapi mereka harus menunggu. Mungkin semua yang buram itu tidak lebih dari
sekedar prasangka. Sehingga dengan demikian maka mungkin tidak akan terjadi
sesuatu atas mereka.

35
Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, maka beberapa orang anak muda
telah berada di gardu di depan banjar.
Agaknya memang sesuatu yang wajar. Anak-anak muda itu sebagaimana padukuhan
yang lain, sedang mendapat giliran meronda. Bahkan semakin malam, seperti juga di
padukuhan-padukuhan lain, gardu itu menjadi semakin penuh. Yang ada di gardu
ternyata bukan hanya mereka yang meronda saja, tetapi anak-anak muda yang tidak
segera dapat tidur, juga keluar rumah dan berada di gardu untuk mencari kawan
bergurau dan kadang-kadang bertengkar.
Namun semuanya itu tidak terlepas dari pengamatan keempat orang yang mendapat
kesempatan bermalam di banjar. Mereka dengan seksama memperhatikan setiap
perkembangan keadaan diluar banjar. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sempat menjadi semakin berdebar-debar ketika kemudian mereka melihat beberapa
orang yang duduk-duduk di serambi banjar itu.
“Orang diluar menjadi semakin banyak,” desis Mahisa Pukat.
“Kita memang harus berhati-hati,” sahut Mahisa Murti sambil berbaring di
tempatnya.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan nampaknya sudah
tertidur nyenyak, karena mereka sama sekali tidak bergerak dan nafas mereka beredar
dengan sangat teratur.
Namun sebenarnyalah mereka tidak tertidur. Mereka masih tetap memperhatikan
suasana dengan cara mereka. Meskipun demikian setiap peristiwa diluar banjar itu
tidak luput dari perhatian mereka. Juga kehadiran orang-orang yang semakin lama
menjadi semakin banyak. Baik di gardu maupun di serambi banjar.
Mendekati tengah malam, maka Ki Bekel pun telah datang pula di banjar. Yang
terdengar dari dalam banjar hanyalah percakapan yang tidak jelas maknanya. Namun
keempat orang pengembara itu menduga, bahwa yang diucapkan oleh seseorang yang
memiliki pengaruh diantara orang-orang yang lain adalah perintah-perintah. Keempat
orang yang berada di dalam banjar itu tidak mengetahui, siapakah sebenarnya yang
baru datang itu.
Untuk beberapa saat keadaan justru menjadi sepi. Namun kemudian keempat orang
yang berada di dalam banjar itu mendengar desir-desir langkah kaki tidak hanya di
bagian depan dari banjar itu. Tetapi menurut tangkapan mereka, beberapa orang
justru telah berada di sisi dan di belakang banjar.
Karena itu maka keempat orang yang berada di dalam banjar itu semakin menyadari
keadaan mereka.
Keempat orang itu terkejut, ketika mereka mendengar kentongan yang tiba-tiba saja
berbunyi. Juga dalam irama dara muluk dengan isian bunyi pukulan ganda empat,
dua kali berturut-turut.
Pangeran Singa Narpada telah menggamit Mahisa Bungalan yang berbaring di
sebelahnya, sementara Mahisa Bungalan telah menggamit Mahisa Murti dan
selanjutnya Mahisa Pukat. Mereka menganggap bahwa bunyi kentongan itu tentu
satu isyarat yang harus mereka perhatikan dengan saksama.

36
Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun telah bergeser menjauh dari
Mahisa Bungalan. Rasa-rasanya detak jantung mereka pun menjadi semakin cepat
berdetak.
“Kita telah dijebak,” desis Mahisa Murti di telinga Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “Jika kita dipaksa mempergunakan kekerasan apa boleh
buat. Meskipun sebenarnya kita tidak ingin.”
Mahisa Murti tidak menyahut lagi. Namun mereka menyadari, bahwa orang-orang
yang berada di luar banjar itu menjadi semakin banyak.
Sebenarnyalah, diluar Ki Bekel telah mengatur orang-orangnya. Banjar yang
dibangun di tengah-tengah halaman dan kebun itu memang sudah diatur, bahwa
orang-orang padukuhan itu akan dapat mengepung dengan rapat.
Dengan ketajaman pendengarannya, keempat orang yang berada di dalam banjar
itupun menyadari, bahwa banjar itu memang sudah dikepung rapat. Sentuhan senjata
tanpa sengaja telah menimbulkan kesan bahwa orang-orang yang berada di halaman
di sekeliling banjar itu bersenjata.
Dengan demikian maka keempat orang yang berada di banjar itu telah dicengkam
oleh ketegangan. Tanpa melihat dengan mata kewadagan, mereka sudah dapat
mengetahui betapa rapatnya banjar itu telah dikepung.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian justru telah bangkit dan
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah berdiri pula sambil berjalan hilir mudik,
sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk pula di bibir pembaringan
mereka yang besar.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun mendengar langkah orang mendekati
pintu bilik mereka. Perlahan-lahan mereka pun kemudian mendengar bahwa pintu
bilik itu telah diketuk.
“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Aku. Ki Bekel,” jawab suara diluar pintu.
Pangeran Singa Narpada tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian membuka pintu
bilik itu.
Diluar pintu seorang yang rambutnya telah mulai memutih berdiri termangu-mangu.
Di belakangnya berdiri empat orang anak muda yang bersenjata tombak pendek
justru telah teracu.
“Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ya Ki Sanak,” jawab Ki Bekel, ”Aku adalah Bekel yang memerintah di padukuhan
ini.”
“O, marilah Ki Bekel,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Aku mengucapkan terima
kasih atas segala kebaikan Ki Bekel yang telah memberikan tempat kepada kami
untuk bermalam di sini.”
“Banjar ini memang aku peruntukkan bagi mereka yang membutuhkan di samping
bagi kepentingan rakyat padukuhan ini sendiri. Orang yang kemalaman akan dapat
tidur disini dengan nyenyak seperti yang kami harapkan dapat terjadi pula atas
kalian.”
“Ya Ki Bekel. Kami telah tertidur nyenyak disini,” jawab Pangeran Singa Narpada.
37
“Tetapi tentu saja banjar ini jangan di salah gunakan,” berkata Ki Bekel.
“Disalah-gunakan bagaimana maksud Ki Bekel?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Ternyata kalian adalah orang-orang yang menjadi buruan prajurit Singasari maupun
Kediri karena kalian terlibat dalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati yang
telah terbunuh,” berkata Ki Bekel.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Lalu ia-pun bertanya, “Bagaimana
mungkin Ki Bekel dapat menuduh kami termasuk para pengikut Pangeran Kuda
Permati?”
“Kami sudah mendapat keterangan tentang kalian berempat. Karena itu, kalian tidak
usah ingkar. Sekarang berikan semua yang kalian bawa untuk kami periksa apakah
isinya. Mungkin kalian membawa sesuatu yang menjadi larangan atau kalian
memang sengaja menyembunyikan sesuatu milik para pengikut Pangeran Kuda
Permati.”
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Sekali ia berpaling ke arah
Mahisa Bungalan. Sementara Mahisa Bungalan telah berdiri pula di sisinya sambil
berkata, “Barang-barang apakah yang dimaksud dengan barang larangan Ki Bekel.”
“Sudahlah,“ potong Ki Bekel. “Kami sudah berbuat baik kepada Ki Sanak berempat
dengan memberikan tempat untuk bermalam. Tetapi ternyata bahwa kalian bukannya
orang yang pantas mendapat tempat yang baik. Sekarang berikan kampil yang kalian
bawa untuk kami lihat apa isinya.”
Pangeran Singa Narpada berpaling ke arah kampilnya yang diletakkannya di
pembaringan. Kampil itu berisi beberapa lembar pakaian dan uang.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun menjawab, “Ki Bekel. Kampil itu
berisi bekal kami di perjalanan. Beberapa lembar pakaian dan sedikit uang. Kami
tidak membawa apa-apa lagi.”
”Berikan kampil itu. Bukan hanya sebuah, tetapi semua yang kalian bawa. Kami pun
ingin melihat kantong-kantong ikat pinggang kalian dan semua yang ada pada kalian
sekarang ini,” suara Ki Bekel menjadi semakin keras.
Maka sadarlah Pangeran Singa Narpada, bahwa ia berhadapan dengan seluruh isi
padukuhan. Padukuhan yang aneh, yang jarang ditemuinya. Ternyata bahwa seisi
padukuhan itu telah terlibat ke dalam satu perbuatan yang tidak terpuji. Bahkan telah
dipimpin oleh Ki Bekel dari padukuhan itu sendiri.
Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
akhirnya menyadari bahwa mereka tidak akan dapat berbuat lain kecuali dengan
kekerasan.
Karena itu, maka mereka pun telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang
dapat terjadi.
Dalam pada itu, karena keempat orang pengembara itu tidak segera menyerahkan
barang-barang mereka, maka Ki Bekel itu-pun menjadi semakin keras berkata,
“Cepat. Kami ingin melihat apa yang kalian bawa. Jika kalian tidak merasa bersalah
dan memang bukan pengikut Pangeran Kuda Permati, maka kalian tentu tidak akan
berkeberatan untuk menyerahkan barang-barang kalian sekedar kami lihat.”

38
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa Mahisa Pukat telah bertanya, “Ki Bekel. Apakah
Ki Bekel juga mengetahui serba sedikit tentang pemberontakan Pangeran Kuda
Permati? Apakah daerah ini juga tersentuh oleh gejolak pemberontakan itu?”
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Lalu katanya, “Kami adalah kawula yang setia dari
Singasari yang harus ikut menumpas semua pemberontakan yang menentang
Singasari. Karena Pangeran Kuda Permati memberontak kepada Kediri untuk
melepaskan Kediri dari ujud kesatuannya dengan Singasari, maka pemberontakan itu
harus ditumpas.”
Jawaban itu memang menarik perhatian. Seolah-olah Ki Bekel memang telah berbuat
sesuatu bagi kesatuan Singasari. Namun ternyata yang diajak berbicara oleh Ki Bekel
itu adalah Pangeran Singa Narpada. Orang yang telah dengan susah payah
memadamkan pemberontakan itu sendiri.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat mengatakan tentang dirinya yang
sebenarnya, untuk kepentingan tugasnya yang lebih besar. Demikian pula Mahisa
Bungalan.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Ki Bekel. Kami adalah
pengembara yang tidak mempunyai sangkut paut dengan persoalan yang bergejolak
antara Kediri dan Singasari. Meskipun gelombang pemberontakan itu terasa juga
oleh kami dalam pengembaraan kami, tetapi bukankah pemberontakan itu sendiri
sudah ditumpas sekarang ini? Karena itu, maka adalah janggal jika Ki Bekel masih
juga menuduh kami, atau setidak-tidaknya menduga kami mempunyai hubungan
dengan pemberontakan itu.”
“Jangan banyak bicara,” bentak Ki Bekel, ”berikan kampil itu kepadaku. Keputusan
tentang kalian, tergantung dari hasil pemeriksaan kami atas barang-barang yang
kalian bawa. Jika barang-barang yang kalian bawa tidak mencurigakan, maka kalian
tidak perlu gelisah. Kalian akan kami bebaskan. Tetapi jika yang ada di dalam kampil
kalian itu barang-barang terlarang, maka kalian harus mempertanggung
jawabkannya. Hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman gantung di
halaman banjar, disaksikan oleh orang-orang padukuhan ini.”
“Apakah Ki Bekel berhak menjatuhkan hukuman itu kepada seseorang dengan alasan
bahwa orang itu telah terlibat ke dalam satu pemberontakan?” bertanya Mahisa
Bungalan.
“Kenapa tidak,” jawab Ki Bekel.
“Apakah Ki Bekel dalam hal ini tidak melampaui kuasa Akuwu yang membawahi
padukuhan ini? Setidak-tidaknya Ki Buyut dari Kabuyutan ini?”
“Dalam keadaan seperti ini aku berhak mengatasi segala kemelut yang terjadi di
padukuhanku,” jawab Ki Bekel.
“Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa? Bukankah dengan demikian Ki Bekel
tidak mempunyai alasan untuk bertindak atas kami berempat?” bertanya Mahisa
Bungalan pula.
Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dari pembicaraan itu, ki Bekel Justru telah
mendapat kesan lain tentang keempat orang itu. Keempatnya bukan sekedar
pengembara sebagaimana para pengembara yang lain. Tetapi keempat orang itu

39
adalah orang-orang yang memiliki bekal pengertian tentang peristiwa yang telah
terjadi di atas tanah yang mereka huni itu.
Namun ternyata bahwa telah tumbuh pula dugaan yang justru berlawanan dengan
keadaan keempat orang itu yang sebenarnya. Ki Bekel yang mengetahui dari laporan
salah seorang penghuni padukuhannya bahwa keempat orang pengembara itu
membawa banyak uang di dalam kampilnya, telah dihinggapi dugaan bahwa
bukannya pengembara, tetapi mereka adalah orang-orang yang berkelakuan jahat.
Mereka adalah perampok dan penyamun.
Karena itulah, maka Ki Bekel menganggap perlu untuk lebih berhati-hati
menghadapi mereka. Karena biasanya para perampok dan penyamun memiliki bekal
kemampuan olah kanuragan.
Tetapi seisi padukuhan itupun adalah perampok dan penyamun. Mereka sudah
terbiasa membantai korban-korban mereka. Baik mereka yang bermalam di banjar
itu, ataupun mereka yang sekedar lewat di padukuhan itu. Orang-orang yang terjebak
ke dalam tangan-tangan penghuni padukuhan itu, biasanya telah hilang tanpa
memberikan bekas. Tetapi kuburan yang tersembunyi di pinggir padukuhan itu telah
bertambah lagi dengan penghuni yang baru.
Menghadapi keempat pengembara itu, Ki Bekel ternyata bersikap lebih berhati-hati.
Dengan tajam ia kemudian berkata. ”Ki Sanak. Sebaiknya kalian tidak usah
mempersoalkan sikap kami. Kami menghendaki kalian menyerahkan barang-barang
yang kalian bawa. Jangan banyak bicara lagi, karena kesabaran kami akan sampai
kepada batasnya.”
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia bukan termasuk orang yang
dapat bersabar menghadapi persoalan-persoalan yang demikian. Namun demikian, ia
masih berusaha untuk mengekang diri. Dengan menahan perasaannya ia berkata, “Ki
Bekel. Baiklah, jika Ki Bekel berkeberatan kami tinggal di banjar ini, biarlah kami
meneruskan perjalanan meskipun hari belum pagi.”
“Tidak. Kami tidak berkeberatan siapapun bermalam di banjar ini. Tetapi serahkan
barang-barang kalian untuk kami lihat, apakah ada barang-barang yang menjadi
barang larangan,” jawab Ki Bekel.
Pangeran Singa Narpada mengatupkan giginya untuk menahan gejolak perasaannya.
Namun yang kemudian menjawab ternyata adalah Mahisa Pukat. Katanya, “Ki
Bekel. Barang-barang kami adalah milik kami. Meskipun demikian, jika Ki Bekel
ingin melihat, marilah, masuklah ke dalam bilik ini tanpa ada orang lain. Silahkan
melihat isinya. Tetapi jangan bawa kampil kami keluar dari bilik ini.”
Ki Bekel memandang Mahisa Pukat dengan sorot mata yang memancarkan gejolak
perasaannya. Dengan nada keras ia berkata, “Serahkan. Aku akan membawa barang-
barang kalian ke gardu untuk melihat isinya disaksikan oleh para peronda.”
“Tidak. Ki Bekel hanya dapat melihat isinya disini, di hadapan kami para
pemiliknya. Jika ada barang-barang terlarang, silahkan menunjukkan dan mungkin
Ki Bekel dapat berbuat sesuatu atas penemuan barang-barang terlarang itu,” jawab
Mahisa Pukat.
Wajah Ki Bekel menjadi semakin tegang. Agaknya keempat orang itu bukan
pengembara yang dengan mudah dapat diancamnya dan menjadi ketakutan. Tetapi
40
keempat orang itu tentu memiliki bekal yang cukup sehingga mereka berani
menentang perintahnya.
Karena itu, maka dalam kemarahannya Ki Bekel itu memberi isyarat kepada orang-
orangnya untuk bersiap dan berhati-hati.
“Ki Sanak,“ geram Ki Bekel, ”Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa disini. Di luar
banjar ini telah berkumpul semua laki-laki dari padukuhan ini. Mereka datang untuk
menjaga nama baik padukuhannya dari sentuhan para pemberontak.”
Pangeran Singa Narpada ternyata juga sudah kehilangan kesabarannya sehingga
katanya dengan nada yang menjadi keras, “Ki Bekel. Jangan mengada-ada. Katakan
saja maksudmu yang sebenarnya. Apakah kau dan seisi padukuhan ini ingin
merampok kami?”
Wajah Ki Bekel menjadi merah membara. Ia yakin, bahwa keempat pengembara itu
bukan pengembara kebanyakan. Mungkin mereka pun memang perampok-perampok
yang menyamar sebagai pengembara. Karena itu, maka katanya, “Dengan kekasaran
sikapmu itu, aku yakin bahwa kalian memang pemberontak atau perampok-perampok
yang memanfaatkan keadaan yang kalut ini untuk mencari keuntungan bagi diri
sendiri. Jika demikian, maka menyerahlah. Kalian akan kami tangkap.”
“Ki Bekel,” berkata Pangeran Singa Narpada, ”Ternyata dibalik keramahan orang-
orangmu yang mempersilahkan kami bermalam di banjar ini tersembunyi niat yang
sangat jahat. Tetapi jangan mengharap bahwa kami akan menyerahkan barang-barang
kami. Kami akan mempertahankannya dengan kemampuan dan tenaga yang ada pada
kami.”
“Kalian akan melawan semua orang laki-laki di padukuhan ini?” bertanya Ki Bekel.
“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada tegas, ”Siapapun yang tersangkut dalam usaha
perampokan ini, akan kami hancurkan. Jangan menyesal bahwa banjar ini akan
menjadi karang abang. Bahkan mungkin seisi padukuhan ini akan ditelan oleh amuk
api yang menyalakan kemarahan hati kami.”
“Gila,“ geram Ki Bekel, ”Kau jangan mengigau seperti itu. Kau kira bahwa kau akan
dapat menakut-nakuti kami?”
“Kaulah yang menakut-nakuti kami. Tetapi kami akan menunjukkan bahwa kami
bukan kelinci-kelinci yang ketakutan melihat moncong serigala,” jawab Pangeran
Singa Narpada yang marah.
Bahkan Mahisa Pukat pun kemudian telah berteriak nyaring, “Minggirlah. Aku akan
turun ke halaman. Aku akan keluar dari tempat ini. Siapa yang berusaha mencegah
aku, maka aku akan membunuhnya.”
Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian mengambil seikat barang-
barangnya. Kemudian mengikatkannya pada lambungnya. Kepada Mahisa Bungalan
ia berkata, “Marilah kakang. Jangan menunggu lebih lama lagi.”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Pangeran
Singa Narpada pun telah mengambil kampilnya pula. Seperti Mahisa Pukat, maka
iapun mengikatkan kampil itu dengan tali pada lambungnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Bungalan pun melakukannya pula hal yang serupa.
Sehingga mereka berempat kemudian telah siap untuk keluar dari banjar itu dan turun

41
ke halaman yang dipenuhi oleh orang-orang padukuhan itu. Mereka ternyata telah
siap menunggu dengan senjata-senjata mereka.
Yang justru berada di paling depan adalah Mahisa Pukat. Ketika ia melangkah maju,
maka Ki Bekel pun telah melangkah surut.
Empat orang anak muda yang menyertai Ki Bekel telah mengacukan tombak mereka
untuk mencegah keempat orang itu melangkah terus. Bahkan Ki Bekel pun telah
menarik pula senjatanya. Sebilah keris yang besar yang diselipkannya di
punggungnya.
“Kami akan menghabisi jiwa kalian,“ geram Ki Bekel.
Namun sama sekali tidak diduga, bahwa Mahisa Bungalan tanpa menjawab telah
mulai dengan serangannya. Terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata wadag.
Namun yang terjadi sangat mengejutkan Ki Bekel dan anak-anak muda yang
mengawalnya.
Tiba-tiba saja sebuah diantara tombak pendek itu telah beralih ke tangan Mahisa
Bungalan. Bahkan kemudian dengan gerak yang tidak diketahui ujung pangkalnya,
maka ketiga tombak yang lain pun telah terlepas pula. Sementara itu terdengar
Mahisa Bungalan berkata, “Pergunakan semata untuk mengurangi Kematian.”
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun sadar, bahwa kedua
adik Mahisa Bungalan yang baru saja menyelesaikan laku untuk mencapai ilmu
puncaknya itu akan lebih berbahaya jika ia tidak memegang senjata. Jika keduanya
melepaskan ilmunya dengan tangannya yang tidak memegang senjata, maka mungkin
justru akan menelan korban lebih banyak dari antara orang-orang padukuhan itu yang
tidak memiliki ketahanan tubuh yang memadai. Namun jika mereka menggenggam
tombak, maka keadaannya akan berbeda. Keduanya akan terikat dalam permainan
senjata. Jika mereka sudah merasa aman dengan perlindungan senjata itu, maka
mereka tidak akan sampai ke puncak ilmu mereka yang nggegirisi.
Sementara itu, Ki Bekel yang melihat peristiwa yang tidak diduganya, bahkan di
dalam mimpi sekalipun, dengan serta merta telah meloncat berlari ke halaman sambil
meneriakkan aba-aba, “Mereka adalah iblis-iblis terkutuk. Bersiaplah. Kita akan
membunuh mereka beramai-ramai.”
Mahisa Murti, Mahisa Bungalan dan bahkan Pangeran Singa Narpada pun telah
mengambil senjata-senjata yang terlepas dari tangan anak-anak muda yang mengawal
Ki Bekel. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda itu telah berlari pula
mengikuti Ki Bekel turun ke halaman.
Keempat orang yang berada di banjar itupun telah maju selangkah demi selangkah
melintasi pendapa. Mahisa Bungalan lah yang kemudian berada di paling depan.
Ketika ia berdiri di tangga pendapa, maka sambil mengedarkan pandangan matanya
ke seluruh halaman dan memperhatikan orang-orang padukuhan itu yang berpencar
dengan senjata di tangan, maka Mahisa Bungalan itupun berkata, “Ki Sanak. Apakah
yang sebenarnya kalian kehendaki dari kami? Mungkin kalian menyangka bahwa
kami membawa bekal yang cukup banyak, sehingga kalian telah bersusah payah
berusaha untuk merampok kami, justru dipimpin oleh Ki Bekel sendiri. Apakah
dengan demikian berarti bahwa kalian telah kehilangan martabat kemanusiaan kalian
dan sampai hati melakukan tindak terkutuk itu bersama-sama?”
42
“Persetan,“ Ki Bekel lah yang menjawab, “Kalian adalah orang-orang yang terlibat
ke dalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka kalian harus
mati. Barang-barang yang kalian bawa akan menjadi bukti dari pengkhiatan kalian
itu.”
“Apakah yang kami bawa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ternyata kalian berkeberatan memperlihatkan barang-barang yang kalian bawa
kepada kami,” teriak Ki Bekel.
“Bohong,“ Mahisa Pukat pun berteriak pula, “Kalian akan merampas bekal kami.
Jangan banyak bicara. Kami sudah siap. Jangankan seisi padukuhan ini, seisi
Pakuwon ini pun kami tidak akan gentar.”
Wajah-wajah di halaman itu menjadi tegang. Keempat orang itu nampaknya benar-
benar tidak merasa gentar menghadapi laki-laki seisi padukuhan. Dengan tombak
pendek yang berhasil mereka rampas, keempat orang itu nampaknya benar-benar
bersiap untuk melawan.
Namun dalam pada itu Ki Bekel masih berkata, “Masih ada kesempatan bagi kalian.
Jika kalian menyerah dan menyerahkan barang-barang terlarang yang kalian bawa,
maka kalian akan mendapat pengampunan. Kalian akan mengalami nasib yang lebih
baik daripada nasib kalian jika kalian berusaha untuk melawan kami.”
Mahisa Pukat pun telah turun dari tangga pendapa diikuti oleh Mahisa Murti. Mereka
telah bersiap menghadapi orang-orang yang mulai bergerak. Dengan teriakan-
teriakan nyaring Ki Bekel memerintahkan orang-orangnya untuk mengepung dan
menyerang keempat orang pengembara yang bermalam di banjar mereka itu.
Sementara itu, dari halaman di samping pendapa itupun beberapa orang telah menjadi
semakin dekat. Bahkan dari sisi sebelah menyebelah beberapa orang telah naik pula
ke pendapa dengan senjata teracu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak mengira
bahwa ia harus terlibat dalam perkelahian melawan orang-orang padukuhan. Tetapi
ketika ia mengingat bahwa padukuhan itu adalah sarang perampok yang dapat
menjebak orang-orang yang lewat di padukuhan itu, maka timbul pula niatnya untuk
membuat seisi padukuhan itu jera, meskipun mungkin harus ada pula korban yang
jatuh.
“Cukup,“ potong Mahisa Pukat, “Marilah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.
Bukan salah kami jika separuh dan kalian akan mati, dan yang separuh lagi akan
berlari terbirit-birit.“
Wajah-wajah di halaman menjadi semakin tegang. Namun ketika Ki Bekel
meneriakkan aba-aba, maka mereka pun mulai bergerak juga mendekati tangga
pendapa banjar.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada itupun telah bersiap pula
menghadapi segala kemungkinan, sementara Mahisa Bungalan pun telah bergeser
menjauhi Pangeran Singa Narpada dan bersiap menghadapi orang-orang yang datang
dari arah yang lain, yang telah mulai menaiki pendapa itu pula.
Namun menurut penglihatan keempat orang pengembara itu, ada semacam keragu-
raguan yang mengekang orang-orang padukuhan itu. Agaknya sikap keempat orang

43
yang sama sekali tidak menunjukkan kegentarannya itu justru membuat mereka
menjadi ragu-ragu.
Tetapi teriakan-teriakan Ki Bekel telah mendorong mereka untuk maju mendekat.
Sementara itu, Ki Bekel telah mendekati dua orang kepercayaannya sambil berkata,
“Apakah kau hanya akan menonton saja seperti biasanya.”
“Kita akan melihat Ki Bekel,” jawab salah seorang dari keduanya, “Jika agaknya
mereka memang memiliki kemampuan untuk membela diri, biarlah keempatnya aku
selesaikan.”
“Tetapi kau lihat, bahwa keempat orang itu nampaknya sangat meyakinkan,” berkata
Ki Bekel.
“Menghadapi orang-orang yang sebanyak ini memang memerlukan kemampuan yang
tinggi. Jika mereka mampu, maka barulah mereka pantas untuk melawan kami
berdua. Aku kira tidak sepenginang, keempatnya akan terkapar di halaman ini,”
berkata salah seorang dari keduanya.
“Sebaiknya kau tidak usah menunggu beberapa orang terbunuh,” berkata Ki Bekel.
Keduanya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berkata, “Baiklah. Aku akan
melihat dahulu apa yang dapat mereka lakukan. Baru kemudian aku akan mengambil
sikap.”
Ki Bekel tidak menjawab. Perhatiannya mulai terikat kepada orang-orangnya yang
telah terlibat ke dalam pertempuran.
Sebenarnyalah, bahwa pertempuran telah berkobar. Sejumlah laki-laki dari satu
pedukuhan bertempur melawan empat orang yang dianggapnya empat orang
pengembara. Namun yang kemudian pendapat Ki Bekel pun telah berubah. Keempat
orang itu tentu empat orang perampok yang menyamar sebagai pengembara.
Ternyata dari kemampuan mereka bertempur.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah turun ke halaman.
Mereka bertempur sambil beradu punggung menghadapi lawan yang mengepung
mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat memang menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka
ia masih sempat berbisik kepada Mahisa Murti, “Bagaimana jika aku dengan tidak
sengaja telah membunuh.”
“Kita tidak bermaksud membunuh,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi kita pun tidak
ingin dibunuh.”
Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka geraknya pun
kemudian menjadi lebih mantap. Dengan sigapnya ia memutar tombak pendeknya
untuk melindungi serangan-serangan yang datang beruntun. Namun sekali-sekali
ujung tombaknya juga mematuk lawan.
Sebenarnyalah dengan memegang tombak di tangan, keempat orang yang dianggap
pengembara itu merasa dirinya terlindungi. Karena itu, mereka tidak mempergunakan
ilmu puncaknya yang dapat sekaligus membakar sekelompok orang yang tidak
mempunyai daya tahan yang memadai itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang kadang-kadang masih saja dicengkam oleh
keragu-raguan. Namun ketika serangan-serangan datang beruntun seperti datangnya

44
ombak di lautan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah didera oleh satu
keinginan untuk mengurangi jumlah lawannya.
“Bukan maksudku untuk membunuh orang-orang yang tidak berdaya ini,” berkata
keduanya di dalam hatinya. Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa mereka harus
mempertahankan diri dari serangan yang datang bergelombang itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menjulurkan
tombaknya. Tidak sekedar menangkis serangan. Tetapi ujung tombak itu mulai
mematuk lawannya.
Tiba-tiba saja terdengar seorang diantara lawan-lawannya yang berteriak kesakitan.
Ujung tombak Mahisa Pukat lah yang telah mengoyak lengan seorang lawannya,
sehingga orang itu telah berteriak kesakitan..
Dengan serta merta orang itu telah meloncat keluar dari arena dengan darah yang
meleleh dari lukanya.
Tetapi belum lagi gema suaranya hilang, terdengar seorang yang lain telah
mengaduh. Ujung tombak Mahisa Pukat lah yang telah mengenai lambung lawannya.
Tidak terlalu dalam, tetapi luka yang menganga itu telah memancarkan pula darah
dari tubuhnya. Sentuhan ujung tombak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memang
telah mempengaruhi pertempuran. Namun karena jumlah lawan yang banyak, maka
mereka pun telah menyerang dalam gelombang-gelombang yang tiada berkeputusan.
Namun ujung tombak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun bergerak lebih cepat.
Ketika lawan datang beruntun semakin cepat, maka kedua orang anak muda itu mulai
menjadi jengkel.
Karena itulah, maka setiap kali keduanya seakan-akan diluar kehendak sendiri, telah
menggerakkan ujung tombaknya terlalu cepat, sehingga telah menyentuh tubuh salah
seorang diantara lawan-lawan mereka. Bahkan dalam keadaan yang mendesak oleh
beberapa ujung senjata yang berbareng menyerang, kadang-kadang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat kehilangan kemampuan untuk mengekang juluran tombaknya.
Dalam serangan yang cepat dari beberapa orang, maka tiba-tiba saja seorang diantara
mereka telah meloncat keluar. Tetapi ia tidak mampu melangkah lagi lebih dari tiga
langkah. Sejenak kemudian iapun terhuyung-huyung dan jatuh di tanah. Seorang
kawannya berusaha menahannya. Tetapi terlambat, karena tubuh itu telah terjatuh
berguling di tanah.
Sejenak kawannya mengamatinya. Namun tiba-tiba ia berteriak, “Mati! Kawan kita
telah terbunuh!”
Orang-orang padukuhan itu telah dicengkam oleh dua jenis perasaan yang
berlawanan. Kemarahan yang meluap-luap karena seorang diantara kawan mereka
telah terbunuh. Namun juga karena itu mereka menjadi ketakutan bahwa nasib seperti
itu akan dapat menimpa diri mereka.
Meskipun demikian ada juga diantara orang-orang padukuhan itu yang berani
menghadapi akibat yang betapapun juga. Mereka adalah orang-orang yang memang
menjadi bebahu padukuhan itu, serta sudah beberapa kali menangani perampokan
seperti yang sedang terjadi itu, justru di paling depan. Bahkan mereka jugalah yang
dengan tanpa merasa menyesal telah membantai beberapa orang yang sebenarnya
tidak pernah melakukan perlawanan.
45
Tetapi mereka jugalah yang biasanya menghabisi nyawa orang-orang yang
menentang kehendak Ki Bekel. Bahkan perampok-perampok yang tersesat memasuki
padukuhan itu dengan hasil rampokannya, telah menjadi korban mereka pula.
Seorang diantara mereka dengan suara geram berkata, “Kalian akan mengalami nasib
yang sangat buruk. Kalian telah menimbulkan kematian di padukuhan ini. Perampok-
perampok yang namanya ditakuti orang pun terbunuh di padukuhan ini. Apalagi
pengemis-pengemis buruk seperti kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar kata-kata itu sama sekali tidak
menjawab. Tetapi mereka sadar, bahwa ke matian akan membuat orang-orang itu
menjadi semakin buas.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa orang-orang itu harus dihadapi
dengan kekerasan pula.
Karena itu, maka dengan tombak pendek yang berputar di tangan masing-masing,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat siap menghadapi segala kemungkinan. Merekapun
melihat beberapa orang yang menyibak diantara laki-laki padukuhan itu. Mereka
adalah orang-orang yang berwajah garang. Di tangan mereka terdapat berbagai jenis
senjata yang agak lain dari senjata-senjata laki-laki padukuhan itu yang lain.
Seorang laki-laki berjambang dan berkumis panjang dengan sebuah bindi di
tangannya mendorong seorang laki-laki kurus sambil berdesis, “Minggir sajalah
daripada tanganmu dipatahkan oleh pengemis-pengemis itu.”
Orang bertubuh kurus itu bergeser. Sebenarnyalah hatinya sudah menjadi kecut
ketika seorang kawannya terbanting mati karena luka-lukanya.
Mahisa Murti melihat orang bersenjata bindi itu mendekatinya. Disusul oleh seorang
yang bertubuh tinggi kekar dengan tongkat baja yang panjang, hampir sepanjang
tombak pendek. Pada ujung tongkat baja itu terdapat sebuah bulatan baja pula
sebesar kepalan tangan.
Sementara itu, beberapa orang yang lain telah mendekati Mahisa Pukat. Seorang
yang bertubuh pendek dengan wajah yang kasar berjalan disela-sela laki-laki
padukuhan itu. Di tangannya tergenggam sepasang golok yang tidak begitu panjang,
tetapi cukup besar. Sementara seorang yang berkepala botak dengan mengikatkan
ikat kepalanya di lambung telah mendekatinya pula. Senjatanya nampak agak aneh,
tetapi berbahaya. Semacam tombak yang sangat pendek, tetapi berujung di sebelah
menyebelah. Bahkan dengan kaitan semacam kail di pangkal mata senjata itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi lebih berhati-hati. Mereka sadar, bahwa
orang-orang itu tentu orang-orang yang memiliki tataran yang lebih tinggi dari pada
orang-orang yang telah bertempur sebelumnya.
Sementara itu, dua orang kepercayaan khusus Ki Bekel masih saja berdiri sambil
menyilangkan tangannya di dadanya. Seorang diantara mereka berdesis, “Agaknya
pengemis-pengemis itu memang memiliki kelebihan. Aku condong kepada pendapat
Ki Bekel. Agaknya mereka adalah perampok-perampok yang menyamar sebagai
pengembara. Dengan demikian maka mereka dapat melakukan pekerjaan mereka
dengan leluasa.”

46
“Tetapi di padukuhan ini mereka membentur batu,” sahut yang lain, “Mereka tidak
akan dapat mempertahankan dirinya betapapun tinggi ilmu mereka. Seandainya
mereka lolos dari tangan para bebahu, maka kita akan dapat menyelesaikannya.”
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi terdengar ia tertawa. Sementara itu yang
lain melanjutkan, “Sebenarnya aku lagi segan membunuh malam ini, karena hari ini
adalah hari kelahiranku. Aku sudah berjanji kepada isteriku yang ketiga untuk
makan-makan bersama sanak kadang. Sedangkan isteriku yang keempat sudah
membuat bancakan siang tadi.”
“He, kau tidak mengirimkan bancakan itu kepadaku?” bertanya kawannya.
“Hanya untuk orang sebelah menyebelah. Isteriku hanya menyembelih tujuh ekor
ayam,” jawab yang lain.
“Tujuh ekor dan kau tidak memberi aku seekor pun dari ayam yang kau sembelih
itu,“ gumam kawannya.
Yang lain tertawa. Namun katanya, “Saat makan bersama sanak kadang itu sudah
lewat.”
“Semua orang ada disini. Siapa yang akan datang ke rumahmu untuk makan-makan?
Jika isterimu yang ketiga itu memang sudah masak bagi sebuah pertemuan bujana
andra-wina, biarlah kami datang setelah keempat orang itu terbunuh,“ berkata
kawannya.
“Siapa yang berkata akan diselenggarakan bujana,” sahut yang lain, “isteriku yang
ketiga hanya menyembelih seekor kambing saja.”
“Kau memang gila. Lalu apa yang disembelih oleh isterimu yang pertama dan
kedua?” bertanya kawannya.
“Akulah yang mungkin akan menyembelih keempat pengembara yang gila itu,“
jawab yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Diamatinya pertempuran yang berlangsung semakin
seru, sementara Ki Bekel mendekati lagi mereka berdua sambil berkata, “Kau
menunggu sampai pagi?”
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser. Tetapi sama
sekali bukan karena mereka terdesak. Orang-orang yang kemudian memasuki
gelanggang itu ternyata memang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari laki-
laki kebanyakan di padukuhan itu, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang harus lebih mapan lagi menghadapi mereka.
Namun demikian memang mulai terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
orang-orang padukuhan itu benar-benar berusaha untuk menekan mereka semakin
ketat. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah anak-anak muda yang telah
menyelesaikan laku untuk mendalami ilmu mereka sampai tuntas.
Tekanan yang semakin berat, hanya menggugah gejolak perasaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat saja, sehingga justru semakin lama mereka menjadi semakin marah.
Dengan demikian maka putaran tombak mereka pun menjadi semakin cepat. Setiap
kali tombak itu telah mematuk menyerang orang-orang yang mengepung mereka.
Kadang-kadang demikian cepatnya, sehingga sasarannya sama sekali tidak mampu
bergeser sejengkal pun.

47
Ujung tombak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin lama semakin menggetarkan
jantung lawan-lawannya. Karena itu, maka orang-orang kebanyakan dari padukuhan
itu menjadi semakin bergeser menjauh. Para bebahu yang merasa memiliki kelebihan
sajalah yang kemudian mengepung mereka semakin rapat. Lebih dari enam orang
telah terluka diantara mereka yang melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Bahkan ada diantara mereka yang menjadi sangat parah dan seorang yang terbunuh.
Sementara itu ujung tombak kedua anak muda itu masih saja selalu mematuk-matuk
dengan cepatnya, sehingga lawan-lawannya menjadi ngeri karenanya.
Tetapi para bebahu merasa bahwa mereka memiliki kelebihan. Karena itu, maka
mereka pun kemudian berada di paling depan diantara laki-laki yang telah bertempur
bersama-sama melawan keempat orang pengembara itu.
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan masih berusaha untuk membatasi
gerak mereka sendiri. Namun agaknya Pangeran Singa Narpada bukan orang yang
sabar. Hanya dengan susah payah ia berhasil mengendalikan diri sehingga ia tidak
membunuh lawan-lawannya meskipun sekali-sekali ujung tombaknya telah
menyentuh lawannya, sehingga telah menggoreskan luka. Beberapa orang lawan
Pangeran Singa Narpada pun telah terluka pula. Bahkan ada diantara mereka yang
terluka berat. Memang sulit untuk mengendalikan diri diantara lawan yang semakin
banyak dan semakin rapat mengepungnya. Apalagi ketika kemudian diantara mereka
terdapat para bebahu yang memang memiliki kemampuan mempermainkan senjata.
Bahkan akhirnya Pangeran Singa Narpada tidak dapat menghindarkan diri dari
kemungkinan menimbulkan kematian. Pada saat kemarahannya sulit untuk dikekang
lagi, tiba-tiba saja tangannya seakan-akan diluar sadarnya telah memutar tombaknya
dengan sangat cepat. Tiga senjata lawannya terlempar dan ujung tombak yang
berputar itu telah mengoyak beberapa sosok tubuh di seputarnya. Dua diantara
mereka mengalami luka yang sangat parah, sehingga ketika kawan-kawannya
membawa mereka menepi, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.
Mahisa Bungalan pun sebenarnya mengalami kesulitan untuk tidak melakukan
pembunuhan dalam keadaan yang demikian. Namun dengan susah payah Mahisa
Bungalan berusaha untuk melindungi dirinya dan tidak membunuh lawannya yang
memang bukan orang yang memiliki kemampuan cukup untuk berkelahi.
Tetapi ketika kemudian para bebahu memasuki arena dan mulai menekannya, maka
Mahisa Bungalan pun mengalami kesulitan untuk tetap dalam keadaannya. Para
bebahu yang melawannya memiliki kecepatan gerak dan permainan senjata yang
cukup berbahaya, sehingga karena itu, maka Mahisa Bungalan pun harus bergerak
semakin cepat.
Dengan demikian maka pertempuran di halaman itupun menjadi semakin lama
semakin seru. Hampir semua laki-laki di padukuhan itu yang mampu memainkan
senjata telah berada di banjar. Namun ternyata bahwa tidak semua orang dapat ikut
dalam pertempuran yang terjadi di tiga lingkaran, karena Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat bertempur berpasangan dan saling membelakangi.
Namun ternyata bahwa keempat orang pengembara itu tidak dengan mudah dapat
mereka tundukkan. Bahkan satu-satu orang-orang padukuhan itu telah terjatuh dan
terluka parah.
48
Dalam pada itu Ki Bekel yang menyaksikan pertempuran itupun telah berkata di
telinga kedua orang kepercayaannya, “Sudah ada lima orang yang terbunuh.
Mungkin lebih. Apakah kau masih akan membiarkannya saja? Seorang dari bebahu
padukuhan ini pun telah terbunuh pula melawan kedua orang anak muda yang
bertempur berpasangan itu.”
Kedua orang itu saling berpandangan. Seorang diantara mereka kemudian berkata
sambil tertawa, “Baiklah Ki Bekel. Aku akan membunuh kedua anak muda yang gila
itu. Tetapi aku minta agar Ki Bekel juga membantu aku.”
“Membantu apa?” bertanya Ki Bekel, ”Bukankah aku sudah memberikan kesempatan
kepadamu untuk hidup baik di padukuhan ini dan aku pun telah memberikan tanah
yang cukup luas bagi kalian.”
“Bukan itu,“ jawab kepercayaannya itu, “Aku ingin anak si Rempit itu.”
“Setan,“ geram kawannya, “Baru saja kau katakan bahwa kau sudah beristeri empat.”
“Apa salahnya tambah seorang lagi?” bertanya orang itu.
“Anak Rempit masih terlalu kanak-kanak,” berkata Ki Bekel, ”Bukankah maksudmu
Rempit di ujung lorong?”
“Mana mungkin masih kanak-kanak,” jawab orang itu, “umurnya sudah menjelang
tiga belas.”
“Umurmu?” bertanya kawannya.
“Ah, bukankah kita sebaya?” sahut orang itu.
“Jika demikian umurmu sudah menjelang lima puluh tahun,” jawab kawannya.
“Belum. Aku baru empat puluh lima,” jawab orang itu.
“Gila,“ geram Ki Bekel, ”Jika kau mampu membunuh empat orang itu, anak Rempit
akan dapat kau ambil. Aku yang bertanggung jawab.”
Orang itu tertawa. Lalu katanya kepada kawannya, “Marilah, kita selesaikan kedua
anak iblis itu.”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bergumam, “Ternyata kali ini
korban akan terlalu banyak dibandingkan dengan apa yang akan kita dapatkan dari
orang-orang itu.”
“Tetapi mereka harus dibunuh. Jika mereka berempat tidak mati dan dicincang di
halaman ini, maka akibat dari peristiwa ini akan membuat hati seisi padukuhan ini
menjadi kecil menghadapi peristiwa yang serupa di masa depan.”
Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka pun sependapat dengan Ki Bekel. Keempat
orang itu memang harus dibunuh. Dengan demikian maka kebanggaan orang-orang
padukuhan itu atas pekerjaan yang selama ini mereka lakukan tidak akan pudar.
Sejenak kemudian maka kedua orang itupun mulai bergerak. Seorang diantara
mereka pun berkata, “Kita selesaikan kedua orang anak muda yang memiliki
kemampuan iblis itu. Agaknya mereka memang sudah membunuh beberapa orang
lagi, atau setidak-tidaknya melukai mereka.“
“Marilah,” sahut kawannya, “Sesudah kita membunuh mereka berdua maka dua
orang yang lain akan segera dapat kita selesaikan pula.”
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berkesempatan
bertempur melawan para bebahu. Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Murti dan

49
Mahisa Pukat memang sulit untuk menjaga diri, agar ujung tombaknya tidak melukai
atau bahkan membunuh lawan-lawannya.
Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dipengaruhi
oleh pertempuran dalam jumlah yang tidak seimbang itu. Meskipun ujung senjatanya
beberapa kali menggores lawan, tetapi ternyata kepungan itu masih saja tetap pepat
dengan senjata teracu.
Keadaan itu ternyata mempengaruhi gejolak perasaan ke dua orang anak muda itu.
Rasa-rasanya mereka menjadi jemu menghadapi keadaan yang demikian itu. Ada
dorongan di dalam hati mereka, bahwa pertempuran yang demikian itu harus segera
diakhiri.
Karena itu, meskipun tidak saling bersepakat, keduanya telah digelitik untuk
mempergunakan ilmu pamungkas mereka. Dengan demikian, maka perkelahian yang
menjemukan itu akan segera dapat diakhiri.
Namun sebelum mereka sampai pada langkah yang demikian, tiba-tiba saja dua
orang telah menyibak orang-orang yang mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Seorang telah menuju ke arah Mahisa Murti sedang yang lain melangkah ke arah
Mahisa Pukat.
Orang-orang padukuhan itupun segera menyibak. Kedua orang itu sudah dikenal
dengan baik oleh seisi padukuhan karena keduanya memang orang yang memiliki
ilmu tidak terlawan di padukuhan itu. keduanya adalah kepercayaan Ki Bekel dan
keduanya adalah orang-orang yang akan mampu menyelesaikan segala pekerjaan
yang sulit bagi orang-orang padukuhan yang lain.
Namun agaknya kedua orang itu memiliki kesombongan pula. Ketika keduanya
sudah berdiri di hadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka salah seorang
diantara mereka berteriak, “Hentikan pertempuran ini.”
Orang-orang padukuhan itu ternyata telah mengerti maksud keduanya. Karena itu,
maka mereka pun telah menghentikan pertempuran dan bergeser surut.
“Tetapi jangan urai kepungan ini, agar mereka tidak dapat melarikan diri,” berkata
orang yang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Pertempuran itupun telah berhenti
dengan sendirinya karena lawan-lawan kedua anak muda itu telah bergeser surut.
Agaknya mereka memang lebih senang berbuat demikian setelah beberapa orang
kawan mereka terbunuh di medan.
Kedua orang itupun kemudian masing-masing telah menghadapi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan suara lantang seorang diantara mereka berkata, “Agaknya aku
memang terlambat. Kalian telah berhasil membunuh beberapa orang kawan kami.
Karena itu, maka tidak ada hukuman lain yang pantas bagi kalian kecuali hukuman
picis di halaman banjar ini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka pun
menyadari, bahwa kedua orang ini adalah orang-orang dalam tataran puncak bagi
orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.
Mungkin keduanya memang memiliki bekal yang cukup untuk memasuki arena
tanpa seorang kawan pun bagi masing-masing.

50
Namun sementara itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah terpaksa
membunuh pula. Tidak ada cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari
pembunuhan dalam pertempuran seperti itu.
Meskipun demikian, dalam kesibukan itu keduanya juga mendengar suara seseorang
yang berdiri menghadapi Mahisa Marti atau Mahisa Pukat. Seolah-olah mereka
benar-benar seorang yang akan dapat menyelesaikan persoalan yang sudah
berkepanjangan menjadi benturan kekerasan itu.
Tetapi keduanya tidak sempat memperhatikan keadaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dengan baik, karena mereka harus melayani sekelompok orang bersenjata.
Bahkan diantara mereka terdapat beberapa orang bebahu padukuhan itu.
Namun keduanya mengerti, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
menghadapi orang-orang dalam jumlah yang terbatas. Bahkan mereka akan
berhadapan seorang melawan seorang.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah berhadapan seorang
dengan seorang. Bahkan dengan lantang orang yang berdiri di hadapan Mahisa Murti
berkata, “Aku akan menangkapmu hidup-hidup, agar kami, orang-orang padukuhan
ini dapat menjatuhkan hukuman atasmu. Bukan hanya kau sendiri, tetapi juga ketiga
orang kawanmu itu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap dengan tombak pendeknya untuk
menghadapi lawannya yang baru itu.
Sejenak kemudian orang itupun telah menarik sebilah pedang yang panjang. Namun
kemudian tangan kirinya juga menarik sebuah pedang pendek yang ternyata
dipergunakannya sebagai perisai.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Orang itu ingin menangkapnya hidup-hidup.
Tetapi ia justru menggenggam sepasang senjata.
Namun Mahisa Murti tidak bertanya apapun juga. Ujung tombaknya sajalah yang
bergetar siap untuk mematuk lawan.
Tetapi lawannya masih juga berbicara, “Jika kau meletakkan tombakmu, maka kami
akan dengan cepat membunuhmu. Tetapi jika tidak, maka sekali lagi aku
peringatkan, bahwa kau harus menjalani hukuman picis.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
Sementara itu, lawannya telah mulai menggerakkan ujung pedangnya. Sekali-kali
berputar, namun tiba-tiba dengan loncatan panjang ujung pedang itu telah mematuk
dadanya.
Namun Mahisa Murti sempat bergeser surut. Ujung pedang itu sama sekali tidak
menyentuh. Ketika lawannya memburu dengan loncatan panjang, maka Mahisa
Murti bergerak menyamping. Namun ia sempat memberikan isyarat kepada Mahisa
Pukat yang membelakanginya.
“Hati-hatilah,” desis Mahisa Murti, “Mungkin kau diserang oleh orang yang justru
berada di belakangmu.”
“Kita mengambil jarak,” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berusaha mengambil jarak
meskipun tidak terlalu jauh. Apalagi ketika mereka berada di arena seorang melawan

51
seorang. Orang-orang padukuhan itu yang semula mengepungnya, telah berdiri
melingkar, membentuk sebuah arena.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa pagar yang terdiri dari
ujung-ujung senjata orang-orang padukuhan itu, setiap saat dapat bergerak dan
menyerangnya bersama-sama. Sehingga dengan demikian maka kedua orang anak
muda itu masih saja sangat berhati-hati menghadapi perkembangan pertempuran itu.
Namun untuk sementara, mereka akan berhadapan seorang melawan seorang.
Orang yang bertempur melawan Mahisa Pukat ternyata telah terkejut ketika
senjatanya yang berupa sebuah bindi yang besar menyentuh tombak Mahisa Pukat.
Ternyata Mahisa Pukat sudah jemu dengan permainan yang kasar itu. Karena itu,
maka iapun telah berusaha untuk dengan cepat mengatasi lawannya.
Tombak pendeknya berputaran dan sekali-sekali terjulur, menyusup, di celah-celah
pertahanan lawannya.
Lawannya benar-benar tidak menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Ia menyangka bahwa ia akan dapat dengan mudah membunuhnya
dan membunuh kawan-kawannya.
Namun ternyata bahwa anak muda itu justru telah mendesaknya pada benturan-
benturan pertama.
“Anak ini agaknya mempunyai ilmu iblis,“ geram lawan Mahisa Pukat di dalam
hatinya.
Namun iapun kemudian telah mengerahkan kemampuannya. Sebagai seorang yang
merasa dirinya menjadi tumpuan harapan seisi padukuhan dalam benturan ilmu
seperti yang terjadi pada saat itu, maka ia harus mampu mengatasi lawan yang
betapapun tinggi ilmunya.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Lawannya memang memiliki bekal untuk
terjun ke dalam dunia kanuragan. Tetapi sudah barang tentu tidak untuk bertempur
melawan orang-orang yang sudah berada dalam tataran puncak.
Karena itu, berhadapan dengan Mahisa Pukat, maka orang itu tidak banyak dapat
berbuat sesuatu. Bindinya yang besar ternyata tidak mengejutkan anak muda yang
membawa tombak pendek yang dirampas dari orang-orang padukuhan itu sendiri.
Bahkan ketika orang itu mengayunkan bindinya ke arah ubun-ubun Mahisa Pukat,
Mahisa Pukat menangkisnya dengan menyilangkan landean tombaknya diatas
kepalanya.
Benturan yang terjadi benar-benar seram dan gemeretak gigi memastikan bahwa
landean tombak itu akan patah.
Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkannya. Bindinya bagaikan membentur
dinding baja. Landean tombak yang terbuat dari kayu itu sama sekali tidak patah,
bahkan retakpun tidak.
“Benar-benar kekuatan iblis,“ geram orang itu.
Mahisa Pukat memandang orang itu dengan tajamnya. Ia melihat kegelisahan yang
membayang di wajah itu. Orang itu sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa
Pukat mampu mengalirkan kekuatan ilmunya pada senjata yang tersentuh tangannya,
sehingga dengan demikian landean tombak itupun telah menjadi sekuat besi baja

52
yang tidak dapat dipatahkan oleh kekuatan lawannya yang dihentakkannya lewat
ayunan bindinya.
Dengan demikian maka kecemasan mulai merambat di hati lawannya. Ternyata
orang itu tidak dapat berbuat banyak menghadapi Mahisa Pukat.
Sementara itu, Mahisa Murti masih juga sempat bermain-main dengan lawannya.
Ujung tombaknya telah memancing lawannya untuk berjuang menangkis dan
menghindarinya meskipun ia bersenjata rangkap. Dengan demikian maka keringat
telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Di lingkaran pertempuran lain, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada masih
sibuk dengan lawan-lawannya. Tetapi semakin lama orang-orang padukuhan itu
menjadi semakin cemas tentang diri mereka sendiri. Setiap kali seorang kawannya
telah memekik kesakitan, dan terlempar keluar arena. Ada yang hanya tergores kecil,
tetapi ada pula yang terluka parah.
Yang benar-benar berhasrat dengan cepat menyelesaikan lawannya adalah Mahisa
Pukat. Dengan cepat ia melihat bin-di lawannya dengan serangan-serangan yang
membingungkan. Bindinya yang berat ternyata tidak mampu bergerak setangkas
ujung tombak yang ringan, meskipun orang itu merasa mempunyai kekuatan yang
sangat besar, sehingga orang kebanyakan menganggap bahwa bindi baginya tidak
lebih berat dari sebatang lidi.
Namun menghadapi Mahisa Pukat orang-orang itu benar-benar menjadi
kebingungan. Apalagi ketika ujung tombak itu telah beberapa kali menyentuh dan
bahkan menggores kulitnya.
Kegelisahan yang sangat telah membayang di matanya. Geraknya pun bagaikan
tertahan-tahan oleh kebimbangan menghadapi kecepatan gerak lawannya.
Dalam keadaan yang demikian Mahisa Pukat semakin mendesaknya. Bukan saja
ujung tombaknya yang mengenai lawannya, bahkan sekali-sekali pangkal landeannya
telah menghantam tubuh orang itu. Ketika lututnya terkena pangkal tangkai tombak
Mahisa Pukat, rasa-rasanya tulang lututnya telah pecah karenanya, sehingga kakinya
pun telah menjadi timpang.
Kemarahan yang membakar jantung orang itu telah diwarnai pula dengan
kegelisahan. Agaknya ia telah menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi
kemampuan lawannya yang masih muda itu. Tetapi mengingat kedudukannya yang
dianggap sebagai orang yang tidak terkalahkan, maka rasa-rasanya ia tidak
mempunyai jalan keluar dari kesulitannya.
Sementara itu, Mahisa Pukat pun tiba-tiba saja telah bertanya, “Apakah kau akan
melawan terus? Aku sudah jemu dengan permainan seperti.ini. Jika kau masih akan
terus melawan, maka aku akan berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tidak ada
sepenginang, maka kau pun akan terkapar mati di halaman banjar ini. Sementara itu,
jika orang-orang lain masih juga akan bertempur terus, maka seperti yang telah
terjadi, seorang demi seorang mereka akan terbunuh sampai orang yang terakhir.”
Orang itu meloncat mundur. Sejenak ia mendapat kesempatan untuk memandangi
wajah Mahisa Pukat. Pada kerut keningnya nampak bahwa Mahisa Pukat agaknya
memang bersungguh-sungguh.

53
Berbeda dengan Mahisa Murti, maka ia agaknya masih merasa mempunyai banyak
kesempatan. Dengan demikian maka ia tidak dengan tergesa-gesa menyelesaikan
lawannya itu. Ia justru ingin menunjukkan kepada orang-orang padukuhan itu, bahwa
orang yang mereka banggakan, yang telah mencoba melawannya seorang dengan
seorang itu, tidak banyak memberikan arti dalam keseimbangan pertempuran itu.
Karena itulah, maka seperti anak yang sedang bermain-main saja Mahisa Murti
melayani lawannya. Sekali meloncat sambil tertawa. Kemudian menangkis serangan
lawannya dan memutar pedangnya sehingga pedang itu terlepas. Namun kemudian
dengan tangkai tombaknya Mahisa Murti mendorong pedang itu ke arah lawannya
yang kebingungan.
Dengan demikian, maka dua lingkaran pertempuran telah diwarnai oleh nafas yang
berbeda. Tetapi memberikan kesan yang hampir sama.
Orang-orang padukuhan itupun melihat, bahwa lawan Mahisa Pukat yang bersenjata
bindi itu sama sekali tidak berdaya melawan anak yang masih muda itu. Luka-
lukanya menjadi semakin banyak meskipun Mahisa Pukat belum sampai pada satu
kesimpulan untuk membunuhnya. Ia masih terikat kepada satu keinginan, apabila
tidak terpaksa, ia tidak akan membunuh lawannya. Tetapi luka-luka yang kemudian
timbul, bagaikan memenuhi seluruh permukaan tubuhnya.
Sedangkan lawan Mahisa Murti, meskipun dengan tangkasnya mempermainkan
pedang rangkapnya, tetapi ia tidak lebih sebagaimana seekor kelinci di tangan seekor
harimau atau seekor cicak di tangan seekor kucing. Tidak ada kesempatan sama
sekali untuk melawan. Meskipun lawannya belum dengan sungguh-sungguh, tetapi
semua orang yang menyaksikan pertempuran itu mengerti, bahwa orang berpedang
rangkap itu memang bukan lawan anak muda yang bersenjata tombak, yang
diambilnya dari antara para pengawal itu sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin
gelisah. Diluar kehendaknya maka mereka telah melukai orang semakin banyak.
Bahkan ada yang terpaksa harus mengalami luka-luka berat, dan satu dua diantara
mereka, sulit untuk dapat ditolong lagi jiwanya.
Dalam kegelisahan itu, maka tiba-tiba saja terdengar Mahisa Bungalan berteriak,
“He, orang-orang padukuhan ini, serta Ki Bekel yang aku kira masih berada pula
dihalaman.ini. Apakah kalian memang masih ingin meneruskan pertempuran ini?
Dengar. Kami sudah menjadi jemu. Dengan demikian kalian dapat membayangkan
apa yang akan aku lakukan dalam kejemuan itu. Aku minta Ki Bekel membuat
pertimbangan sekali lagi sebelum mengambil keputusan. Kami akan tetap
mempertahankan milik kami meskipun kami harus dengan terpaksa membunuh
kalian semuanya.”
Ki Bekel memang masih berada di halaman itu. Mendengar suara salah seorang dari
keempat pengembara itu, hatinya menjadi kecut. Selama ini belum pernah terjadi
kegagalan yang sangat menyinggung perasaan seperti ini. Menurut perhitungan
nalarnya, tidak akan ada sekelompok kecil orang yang hanya terdiri dari empat orang
akan dapat melawan seisi padukuhan.

54
Karena itu, maka akibat yang timbul pada Ki Bekel justru bukan yang diharapkan.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “Jangan berkelahi seorang melawan seorang. Selesaikan
tugas kalian dengan cepat bersama semua orang padukuhan ini.”
Perintah itu memang menggerakkan setiap laki-laki yang ada di halaman banjar.
Namun mereka pun dibayangi pula oleh keragu-raguan. Ternyata mereka tidak dapat
ingkar menyaksikan kenyataan tentang kawan-kawan mereka yang terluka dan
terbunuh.
Mahisa Pukat yang mendengar perintah Ki Bekel itu menjadi semakin marah.
Dengan lantang iapun berteriak, “Marilah. Siapakah yang akan maju bersama orang
yang sudah hampir mati ini? Selama ini kami tidak bertempur dengan mata gelap.
Kami masih berusaha menghindari korban sejauh dapat kami lakukan. Tetapi kalian
sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sehingga kalian masih saja
berusaha untuk menangkap dan membunuh kami. Tetapi kesabaran kami ada
batasnya. Pada saatnya maka kami tidak akan mengekang diri lagi, seperti yang
dikatakan oleh salah seorang diantara kami, apa saja yang dapat kami lakukan jika
kami mulai menjadi jemu dengan permainan kalian. Dengan kebodohan kalian dan
dengan kesombongan kalian. Terutama karena ketamakan kalian.”
Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin ragu-ragu. Bahkan mereka yang sedang
bertempur melawan Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan pun telah
mengurangi tekanan mereka dan satu dua diantara mereka mulai dibayangi oleh
kebimbangan.
Ki Bekel pun menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak mau gagal. Meskipun iapun
menyadari, bahwa apa yang akan didapatkannya tentu tidak akan seimbang dengan
korban yang jatuh, tetapi ia tidak ingin rakyatnya menjadi kehilangan keberanian
sehingga pada saat lain rakyatnya itu tidak berani lagi bertindak sesuai dengan
pekerjaan yang telah mereka lakukan untuk waktu yang lama.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Bekel itupun berteriak pula, “Jangan takut.
Orang-orang itu hanya membual saja. Jika kalian bersungguh-sungguh, maka mereka
tentu akan segera dapat kalian selesaikan.”
Sekali lagi Mahisa Pukat kehilangan pengekangan diri sendiri. Dalam gejolak
perasaan yang gemuruh, tiba-tiba saja ia telah menyerang lawannya yang bersenjata
bindi itu. Demikian cepatnya sehingga orang itu sama sekali tidak sempat berbuat
apa-apa. Ia masih berusaha menangkis ketika Mahisa Pukat menyerang dadanya.
Tetapi Mahisa Pukat mengurungkan serangannya itu dan justru ujung tombak
pendeknya kemudian berputar melibat bindi lawannya. Dengan sekali sentak, maka
bindi itupun telah terlepas dari genggaman. Demikian mudahnya, sehingga orang-
orang yang menyaksikannya menjadi sangat heran. Namun, sementara itu,
kemarahan Mahisa Pukat yang memuncak telah mendorongnya untuk mengayunkan
ujung tombaknya ke arah leher.
Tetapi pada saat terakhir, ternyata masih ada sepercik kekangan yang menghambat
tangannya, sehingga ia justru telah menahan ujung tombaknya yang hampir saja
mengoyak leher lawannya dengan ayunan mendatar. Namun Mahisa Pukat kemudian
telah mendorong ujung tombaknya ke arah pundak lawannya.

55
Lawannya tidak sempat berbuat apa-apa. Bindinya yang terlepas dari tangannya telah
membuatnya bagaikan kehilangan kesadaran. Ujung tombak yang terayun mendatar
ke arah lehernya membuatnya justru memejamkan matanya. Tetapi ujung tombak itu
tidak mengoyak lehernya dan memotong kerongkongan dan jalan pernafasannya,
tetapi yang kemudian disengat oleh perasaan sakit adalah justru pundaknya.
Orang itu terdorong surut. Ketika ia membuka matanya, maka dilihatnya Mahisa
Pukat berdiri dekat di hadapannya. Belum sempat ia berbuat sesuatu, maka dengan
tangan kirinya Mahisa Pukat telah menghantam keningnya.
Orang itu terhuyung-huyung. Namun malang baginya, bahwa ketika ia tidak mampu
lagi mempertahankan keseimbangannya, maka iapun telah terjatuh. Kepalanya
menimpa bindinya yang terjatuh dari tangannya.
Mata orang itu menjadi berkunang-kunang. Ia tidak sempat berbuat sesuatu.
Perlahan-lahan semua yang nampak di matanya menjadi kabur.
Ternyata sejenak kemudian orang itupun menjadi pingsan. Mahisa Pukat termangu-
mangu sejenak. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi pada lawannya. Mungkin pingsan
tetapi mungkin juga mati.
Namun ia tidak dapat termenung untuk waktu yang lama. Ia, harus dapat mengambil
satu sikap. Justru ketika lawannya telah kehilangan kemampuan untuk melawannya.
Karena itu, maka sambil mengangkat tombaknya yang ujungnya berlumuran darah,
Mahisa Pukat berkata keras-keras, “Lihat. Inikah orang kebanggaanmu yang telah
dengan sombong menantang aku berkelahi seorang melawan seorang. Ia bagiku tidak
lebih dari seorang kanak-kanak yang merengek minta permainan. Namun aku tidak
akan berbelas kasihan kepadanya dan kepada siapapun juga yang telah berusaha
merampok dan membunuh kami berempat. Mungkin ketiga orang kawanku masih
sempat bersabar. Tetapi aku tidak. Aku akan membunuh sebanyak-banyaknya.”
Wajah orang-orang padukuhan itu menjadi tegang. Sementara itu lawan Mahisa
Murti telah kehilangan senjatanya lagi yang terlepas dari tangannya. Tetapi Mahisa
Murti tidak lagi mendorong pedang itu dengan tangkai tombaknya kepada lawannya
itu lagi. Bahkan daun pedang itu telah diinjaknya dengan kakinya.
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Bahkan mereka yang sedang
bertempur melawan Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada pun telah
semakin dicengkam oleh kebimbangan. Beberapa orang diantara mereka telah tidak
lagi berani menyerang. Bahkan bergeser selangkah surut.
Orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin menyadari kenyataan yang mereka
hadapi. Empat orang itu ternyata bukannya orang-orang sebagaimana pernah mereka
bantai di padukuhan itu dan mayatnya mereka kubur di pinggir padukuhan. Tetapi
mereka justru harus bersiap-siap untuk mengubur kawan: kawan mereka sendiri yang
terbunuh dalam pertempuran itu.
Apalagi ketika dua orang kebanggaan mereka sama sekali sudah tidak berdaya.
Seorang diantaranya sudah terbaring diam, yang seorang lagi kehilangan senjata
rangkapnya dengan cara yang sangat menyakitkan hati. Seolah-olah orang yang
dianggap tidak terkalahkan itu tidak lebih dari seorang yang pantas dipermainkan
dalam benturan kanugaran.

56
Ki Bekel pun melihat keadaan yang tidak diduganya sama sekali itu. Dua orang
kepercayaannya yang sanggup membunuh keempat orang itu ternyata tidak berdaya
menghadapi anak-anak yang masih sangat muda dibandingkan dengan dua orang
yang lain.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berkata lantang, “Ki Sanak dari padukuhan ini.
Masih ada kesempatan. Jika kalian meletakkan senjata kalian, maka kami akan
mengakhiri pembunuhan yang dapat kami lakukan sekehendak kami. Siapa yang
masih memegang senjata akan kami anggap sebagai musuh yang harus dibinasakan.
Tetapi siapa yang melepaskan senjatanya, akan kami anggap telah menghentikan
permusuhan sehingga kami akan memperlakukan mereka dengan baik.”
Halaman banjar itu menjadi tegang. Setiap orang berada dalam kebimbangan.
Apakah mereka akan meletakkan senjata mereka atau tidak.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi tidak sabar. Dengan suara yang bergetar ia berteriak,
“Aku akan menghitung sampai sepuluh. Siapa yang tidak meletakkan senjatanya
akan kami binasakan dengan tanpa ampun. Tidak akan ada kesempatan lagi setelah
hitungan keselupuh itu.”

(Bersambung ke Jilid 24).

57

Anda mungkin juga menyukai