LN Char6021 05 R0
LN Char6021 05 R0
Week 5
HATI NURANI
LO4 : Menjelaskan hati nurani dan sikap kritis menghadapi formalisme agama
A. PENDAHULUAN
Hati Nurani adalah salah satu bagian penting dari setiap diri manusia. Setiap manusia
memiliki hati nurani. Hati nurani untuk setiap orang beriman memiliki tempat tersendiri
sebagai pedoman hidup. Prilaku orang beriman tidak hanya dituntun oleh oleh nilai, norma
atau berbagai ajaran-ajaran yang berada di luar dirinya. Perilaku orang beriman juga dituntun
oleh hati nuraninya sendiri.
Ada sebuah pandangan umum bahwa hati nurani merupakan salah satu media Tuhan
mewahyukan dirinya sendiri (Gea, Rachmat dan Wulandari, 2006:290). Oleh karena hati
nurani diakui sebagai media melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya, semua orang beriman
dianjurkan untuk selalu memperhatikan suara yang ada dalam hatinya sendiri. Bila dalam
satu situasi tertentu yang tidak pasti, situasi yang membingungkan, dan tidak ada panduan
bagi manusia bagaimana ia haru keluar dari kebingungan tersebut, biasanya disarankan untuk
mendengar suara hati.
Tetapi, meskipun orang beriman yang mengakui bahwa suara hati merupakan media
bagi pewahyuan Tuhan, tidak semua orang beriman selalu mau mendengarkan suara hatinya
sendiri, atau kalaupun ia berusaha mendengarkan suara hatinya, pilihan-pilihan untuk
mengambil keputusan lebih dideterminasi oleh pikiran, atau pengalaman. Padahal tidak
pernah diungkapkan bahwa pikiran dan pengalaman merupakan tempat instimewa Tuhan
mewahyukan diri-Nya secara hidup. Yang nyata dari pikiran dan pengalaman manusia adalah
pikiran dan pengalaman manusia itu sendiri, dan bukan suara Allah.
Orang beriman seharusnya, selalu mengandalkan suara hatinya sendiri. Sebab suara
hati merupakan tempat melalui mana Tuhan mewahyukan dirinya dengan cara yang paling
hidup. Hati nurani tidak pernah berbohong, seperti Tuhan yang tidak pernah berbohong.
Sebagai contoh, bila anda terlambat dalang kuliah karena terlambat bangun, dosen anda
bertanya mengapa anda terlambat? Pikiran anda mengkalkulasi jawabannya sebagai berikut;
(1) kalau saya menjawab “saya terlambat bangun, dosen saya akan memberi saya hukuman”,
(2) kalau saya menjawab, “saya terlambat karena dalam perjalanan ke kampus saya menolong
Biasanya jauh dari Tuhan dialami oleh orang beriman dapat membuatnya menjadi
gelisah. Gelisah dalam konteks ini menandakan terputusnya hubungan dengan Tuhan.
Orang yang suka berbohong biasanya mengalami kegelisahan dalam hatinya. Kegelisahan
dalam konteks ini merupakan tanda bahwa kita jauh dari Tuhan karena berbohong
bertentangan dengan perintah Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh hampir semua agama.
Berbohong adalah dosa. Dosa menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Untuk memulihkan hubungan itu, maka manusia harus berlaku jujur, mengatakan
apa yang sungguh terjadi. Mungkin ia dihukum oleh manusia karena kejujuran itu, tetapi
sebagai orang beriman, ia membesarkan jiwanya dihadapan Tuhan.
Suara hati perlu dikembangkan secara terus menerus sebagaimana juga manusia terus
mengembangkan dirinya dalam menguasai ilmu pengetahuan dengan menggunakan akal
pikirannya. Bagaimana kita dapat mengembangkan suara hati kita?
Sebagai orang beriman, suara hati dapat dikembangkan dengan membangun relasi
yang terus menerus dengan Tuhan, sesama dan alam. Relasi dengan Tuhan bersifat vertical
dan relasi dengan sesame dan alam berifat horizontal. Relasi vertical dengan Tuhan dapat
dilakukan dengan doa yang secara umum setiap orang beragama menunjukkannya dalam
bentuk permohonan dan puji-pujian. Namun, di sini juga dalam kaitannya dengan suara hati,
Doa mendengarkan ini dapat kita lakukan seperti dalam contoh ini. Bila seorang ibu
misalnya memiliki seorang anak. Anak tersebut dalam penilaiannya sangat nakal. Suatu
ketika anak tersebut secara tidak sengaja memecahkan gelas. Reaksi kimiawi manusia pada
umumnya atau ibu tersebut khususnya mungkin saja marah pada anak tersebut. Tetapi sikap
orang beriman yang mau secara terus menerus membina relasi dengan Tuhan, pasti akan
menahan diri. Ia bertanya dulu dalam hatinya pada Tuhannya. “Tuhan apa respon saya
terhadap anak ku ini”. Semua orang beriman pada khususnya atau orang beragama pada
umumnya tahu bahwa Tuhan itu adalah kasih, penyanyang, sabar dan memaafkan. Sifat-sifat
Tuhan seperti ini mungkin saja dibagikan kepada ibu yang sedang menghadapi anak yang
dalam kategorinya nakal. Oleh karena itu, ibu tersebut mungkin saja mendapat suara dalam
hatinya yang mengatakan bahwa anda jangan marah, peristiwa ini hendak mengajarkan anda
untuk sabar. Sabar dapat membesarkan jiwa anda, atau suara lain dalam hati anda mungkin
saja mengatakan bahwa anda harus memaafkannya, karena ia sedang belajar memaafkan”.
Jawaban-jawaban seperti ini tidak saja positif bagi ibu tersebut, tetapi juga positif bagi sang
anak. Sang anak kemudian menjadi tahu dan mendapat model dari sang ibu mengenai dalam
situasi apa sabar sangat dibutuhkan dan bahwa kesalahan orang lain perlu dimaafkan. Kelak
dikemudian hari sang anak tersebut memiliki perbendaharaan positif yang banyak dalam
hidupnya. Ia tidak memiliki perbendaharaan negatif bila mengahadapi masa-masa sulit dalam
berhubungan dengan ibunya. Sebab dari kecil ia mendapat nutrisi jiwa dari sang ibu seperti
memaafkan dan sabar.
Setiap hari setiap orang beriman berhadapan dengan begitu banyak peristiwa hidup
yang menuntut untuk memberi respon. Orang beriman seharusnya selalu berdialog dengan
Tuhan untuk mengetahui bagaiman ia harus memberi respon. Tuhan yang baik akan memberi
respon yang perlu dan dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi situasi yang konkret
tersebut. Oleh karena itu berusahalah untuk terus belajar mendengarkan suara Tuhan dalam
hati sebelum merespon suatu peristiwa. Melalui cara itu, anda terus membina hari nurani
anda sebagai tempat Tuhan mewahyukan dirinya.
Sayangnya tidak semua orang beriman dapat memberi respon yang positif untuk
menghadapi setiap peristiwa yang berada di luar dirinya. Banyak orang beriman memberi
respon negatif terhadap setiap peristiwa yang berada di luar dirinya, apa lagi kalau peristiwa
tersebut tidak masuk dalam ukurannya mengenai apa yang baik menurut dirinya. Karena itu
tidak mengherankan, orang beriman hanya kelihatan spiritual pada hari-hari tertentu, waktu-
waktu tertentu atau saat-saat tertentu. Sedangkan di luar waktu-waktu, saat-saat, hari-hari
tertentu itu, orang beriman cenderung memberikan respon negatif terhadap berbagai peristiwa
buruk yang berada di luar dirinya.
Respon negatif terhadap berbagai perisitiwa yang berada di luar dirinya tentu saja
tidak akan pernah membantunya untuk menemukan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan yang dihadapinya sebagai suatu peristiwa yang menuntut respon tertentu. Malas,
marah, putus asa, cemas, takut merupakan sebagian sedikit dari begitu banyak pilihan respon
1. Ilmu Pengetahuan
Kita tidak bermaksud mengguggat peran penting ilmu pengetahuan bagi
perkembangan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan telah banyak berjasa membantu
membawa manusia pada puncak-puncak peradabannya. Sekarang ini kita menjadi lebih bebas
untuk memobilisasi diri. Kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya
dengan begitu mudah, cepat, efisien dan efektif. Semua ini tentu berkat jasa ilmu
pengetahuan di bidang teknologi. Selain itu, dewsa ini kita juga dapat menyaksikan berbagai
peristiwa dari berbagai belahan dunia dalam hitungan menit dan bahkan detik melalui
teknologi informasi. Demikian juga dengan peran ilmu pengetahuan di bidang-bidang lainnya
seperti bidang kesehatan, infrastruktur, pangan, sandang dan papan. Singkatnya, peran
teknologi untuk memajukan peradaban manusia tidak dapat disangkal signifikansinya.
Bagi orang beriman, kemajuan ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat dalam konteks
peran Allah yang terlibat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
manusia. Namun, sayangnya banyak orang beriman yang berusaha mengakui dan mengalami
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk peran Allah bagi
pembebasan manusia. Orang beriman justru memusatkan perhatiannya pada ilmu
pengetahuan tersebut dan bukan pada Tuhan yang memungkinkan ilmu pengetahuan itu
Sikap yang benar seharusnya bagi orang beriman adalah terus menerus membangun
dialog dengan Tuhan untuk memecahkan masalah hidupnya, bukannya menggantikan peran
Allah dengan ilmu pengetahuan. Bila manusia terus menerus membangun relasinya dengan
Allah untuk memecahkan masalahnya, maka manusia dapat menggunakan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya dalam tuntunan Allah. Di bidang kesehatan misalnya, bila seseorang
mengalami sakit jantung, dari sisi ilmu pengetahuan akan ada metode untuk mengobatinya.
Namun bila anda bertanya pada Tuhan terlebih dahulu tentang apa yang harus anda lakukan
dengan penderitaan anda, mungkan jawabannya adalah anda jangan dendam dan marah sebab
sikap-sikap seperti itu tidak baik baik kesehatan jantungmu. Jadi jawabannya sangat berbeda
dan tidak harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Anda cukup belajar untuk bersukacita
dalam setiap situasi terutama situasi yang sulit, maka jantung anda sehat. Demikian juga
untuk kasus-kasus yang lainnya.
2. Materialisme
Materialisme merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang beriman
dewasa ini untuk mengembangkan hati nuraninya. Materialisme merupakan sebuah sikap
yang menempatkan materi sebagai yang utama bagi hidup manusia. Materialisme nampak
dalam berbagai sikap hidup manusia seperti membeda-bedakan orang berdasarkan harta
kekayaan yang dimilikinya. Bila ada orang yang memiliki kekayaan yang lebi besar atau
menggunakan barang-barang atau fasilitas yang mewah dan eksklusif, kepadanya semua
Namun persoalannya, adalah bahwa banyak orang beriman telah menggantikan peran
Tuhan dengan materi. Materi menjadi ukuran untuk semua prilaku. Rakus makan sebagai
contoh lain misalnya merupakan wajah materialisme. Orang yang rakus tidak berusaha
mengurangi kebutuhannya supaya dia menjadi berkelebihan untuk dibagikan kepada orang
lain. Kerakusan seperti ini akan memandag rendah praktek-praktek aksetisme, puasa dan lain
sebagainya.
Dengan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, dengan secara terus menerus
melatih diri dengan berusaha mendengarkan suara hati kita yang kita akui sebagai ruang di
mana Tuhan berbicara kepada kita, kita menjadi tahu, bagaimana kita memperlakukan barang
materi yang kita miliki, atau bagaimana kita harus memenuhi kebutuhan hidup kita.,
3. Kebudayaan
Secara struktural dapat dijelaskan bahwa setiap orang lahir dalam konteks budaya
tertentu. Jadi setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah ada budaya yang menuntun
hidupnya, budaya yang mengatur bagaimana ia berperilaku, bagaimana itu bertutur kata,
bagaimana ia merespon segala perisitiwa yang berada di luar dirinya. Hal ini tentu saja baik
bagi setiap manusia, karena dengan itu, keteraturan sosial dapat terjadi.
Tetapi bagi orang beriman, mengikuti tuntutan budaya saja tidak cukup. Budaya tidak
dapat menggantikan peran Tuhan yang terus membimbing hidupnya. Oleh karena itu, setiap
orang beriman tidak cukup menjalani hari-hari hidupnya berdasarkan tuntunan budaya.
Orang beriman juga harus selalu berjuang mendengarkan suara Tuhan melalui hati
nuraninya. Kebudayaan biasanya merupakan produk yang diwariskan, jadi kebudayaan
diciptakan dalam konteks tertentu di masa lalu. Masa sekarang tentu saja sudah berubah.
Oleh karena itu, mengandalkan budaya yang merupakan produk masa lalu sebagai satu-
satunya tuntunan hidup tidak tepat bagi setiap orang beriman. Setiap orang beriman
seharusnya tidak menggantikan peran Tuhan yang berbicara padanya melalu hati nuraninya
untuk merespon situasi konkrit yang dialaminya saat sekarang.
Hati nurani merupakan sesuatu yang penting bagi setiap orang beriman. Setiap orang
beriman tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, materi, dan kebudayaan sebagai dasar
untuk merespon berbagai peristiwa konkrit yang berada di luar dirinya. Kalau orang beriman
berperilaku demikian apa bedanya orang beriman dengan orang yang tidak berman?
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa hati nurani merupakan ruang melalui
mana Tuhan mewahyukan diri-Nya. Dalam ruang itulah, Tuhan berbicara kepada setiap
orang beriman mengenai bagaiman ia harus merespon setiap situasi atau peristiwa konkrit
yang dihadapinya setiap hari. Oleh karena itu maka sikap dasar orang beriman adalah
mendengarkan tuntutan Tuhan melalui suara hatinya untuk merespon setiap situasi atau
peristiwa yang berada di luar dirinya.
Porat Antonius & Max Biae Dae (2015). Eksegese Orang Jalanan. Tahun Liturgi A Jilid 1;
Tahun Liturgi C Jilid 1 dan 2, Kupang: Lembaga Jasa Psikologi Terapan