Anda di halaman 1dari 42

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI O2 DAN POSISI KEPALA 30°


TERHADAP TINGKAT KESADARAN DAN SATURASI OKSIGEN
PADA PASIEN CEDERA OTAK SEDANG
DI RUMAH SAKIT dr. R. SOEDARSONO PASURUAN

Elvin Elsa Maharenny


1601470045

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
MALANG
2019
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang konsep cedera otak, konsep terapi oksigen masker

sederhana, konsep posisi kepala 30°, konsep tingkat kesadaran, konsep saturasi oksigen.

Penelitian terdahulu terkait pengaruh pemberian terapi oksigen masker sederhana dan

posisi kepala 30° terhadap tingkat kesadaran dan saturasi oksigen pada pasien cedera otak

sedang.

2.1 Konsep Cedera Otak

2.1.1 Pengertian Cedera Otak

Cedera otak adalah cedera mekanik yang secara langsung atau

tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit

kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan

jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis

(Esther & Manarisip,2014). Cedera otak atau trauma kepala adalah

gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul

maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya

substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragig, serta

edema cerebral disekitar jaringan otak (Baticaca, 2008).

Cedera otak (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak

Cranio serebri, kontusio/laserusi dan perdarahan serebral (epidural,

subdural, subarakhnoid, intraserebral batang otak). Trauma primer

terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi /

deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf yang meluas


karena hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi

sistemik (Wijaya & Putri, 2013).

2.1.2 Penyebab Cedera Otak

Menurut Swasanti (2014), penyebab cedera otak sebagai berikut:

1) Kecelakaan kerja

2) Kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor

3) Jatuh atau tertimpa benda berat (benda tumpul)

4) Serangan atau kejahatan (benda tajam)

5) Pukulan (kekerasan, akibat luka tembak)

6) Kecelakaan olahraga

2.1.3 Mekanisme Cedera Otak

Cedera otak terjadi karena adanya benturan atau daya yang mengenai

kepala secara tiba-tiba (Black & Hawks, 2009 dalam Tarwoto, 2011). Berdasarkan

besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka

mekanisme tejadi cedera otak dapat dibagi menjadi dua :

2.1.3.1 Static Loading

Langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat,

lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang teejadi

kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cedera pada kulit kepala

sampai pada tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah (Padila,2012

dalam Saputra 2017).

2.1.3.2 Dynamic Loading

Gaya yang bekerja secara tepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya

yang bekeeja pada kepala dapat secara langsung (impacy injury) ataupun
gaya tersebut tidak langsung (accelerated-deceleratet injury). Mekanisme

cedera otak dynamic loading ini paling sring terjadi (Padila, 2012 dalam

Saputra, 2017).

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera otak akut

memiliki beberapa tanda dan gejala. Dengan mengetahui manifestasi klinis

dari cedera otak, dapat di bedakan antara cedera otak ringan dan berat.

(Indonesia, Putri, Keperawatan, Ners, & Keperawatan, 2013)

Tabel 2.1 Manifestasi Cedera Otak

Cedera ringan Dapat menimbulkan hilang kesadaran

Periode konfusi (kebingungan)

transien Somnolen Gelisah Iritabilitas

Pucat Muntah (satu kali atau lebih


Tanda-tanda progestivitas Perubahan status mental (misalnya

Cedera anak sulit dibangunkan)

Agitasi memuncak Timbul tanda-

tanda neurologik lateral fokal dan

perubahan tanda-tanda vital yang

tampak jelas
Cedera berat Tanda-tanda peningkatan TIK

Perdarahan retina Paralisis

ekstraokular (terutama saraf kranial

VI) Hemiparesis Kuadriplegia

Peningkatan suhu tubuh Cara berjalan

yang goyah Papiledema (anak yang

lebih besar) dan perdarahan retina.


Tanda-tanda yang menyertai Cedera kulit (daerah cedera pada

kepala) Cedera lainnya (misalnya


pada ekstremitas).
Sumber : Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz (2009)

2.1.4 Klasifikasi Cedera Otak

Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera otak dimulai dari

klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi

cedera kepala berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat

tiga sistem klasifikasi yang umum digunakan, yaitu :

a. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya, klasifikasi ini seringkali

digunakan untuk kepentingan penelitian klinis.

b. Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini

terutama digunakan untuk menentukan penanganan pasien cedera otak

pada fase akut.

c. Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya cedera otak, klasifikasi

ini paling sering digunakan untuk kepentingan pencegahan (Saatman,

dkk, 2008).

2.1.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya

Sampai saat ini, penelitian mengenai penanganan pasien-pasien

dengan cedera otak dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat

keparahan kerusakan neurologis (neurologic injury severity criteria)

pasien tersebut. Skala pengukuran yang paling sering digunakan untuk

mengukur tingkat keparahan kerusakan neurologis pada orang dewasa

adalah GCS. Dasar dari pernyataan tersebut adalah, GCS memiliki

realibilitas inter-observer dan kapabilitas dalam menentukan prognostik

pasien yang baik (Saatman, dkk, 2008).

GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain
digunakan untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita

cedera otak, GCS juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis

secara kuantitatif serta dapat digunakan secara umum untuk

mendeskripsikan keparahan pasien-pasien cedera otak Nilai GCS dapat

diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan membuka mata, motorik,

dan verbal pasien. Masing-masing komponen pemeriksaan memiliki nilai

tertinggi sebesar 4,6, dan 5. Berdasarkan GCS, cedera otak dapat

dikategorikan menjadi cedera otak ringan (GCS 14 – 15), cedera otak

sedang (GCS 9 – 13), dan cedera otak berat (GCS 3 – 8) (Sibuea, 2009).

Tabel 2.2 Kategori Penentuan Keparahan Cedera Otak berdasarkan Nilai

Glasgow Coma Scale (GCS)

Penentuan Deskripsi

Keparahan
Minor/ Ringan GCS 13 – 15

Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan

kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit dan disorientasi.

Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia

cerebral, hematoma.
Sedang GCS 9 – 12

Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah yang

sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak.


Berat GCS 3 – 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga

meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Dengan perhitungan GCS sebagai berikut:

 Eye : nilai 2 atau 1


 Motorik: nilai 5 atau <5

 Verbal : nilai 2 atau 1

2.1.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic

Klasifikasi pathoanatomic menunjukkan lokasi atau ciri-ciri

anatomis yang mengalami abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini

adalah untuk terapi yang tepat sasaran. Kebanyakan pasien dengan

trauma yang parah akan memiliki lebih dari satu jenis perlukaan

bila pasien diklasifikasikan menggunakan metode ini. Penilaian

dilakukan dimulai dari bagian luar kepala hingga ke dalam untuk

melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari laserasi dan

kontusio kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, perdarahan

epidural, perdarahan subdural, perdarahan subaraknoid, kontusio

dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal, perdarahan

intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari akson.

Masing-masing dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih

jauh lagi meliputi seberapa luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan

distribusinya (Saatman,dkk, 2008).

2.1.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik

Cedera otak dapat diklasifikasikan berdasarkan pada

apakah kepala menabrak secara langsung suatu objek (contact or

“impact” loading) ataupun otak yang bergerak di dalam tulang

tengkorak (noncontact or “inertial” loading) dan akhirnya

menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe

perlukaan tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu


trauma. Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki

manfaat yang besar dalam mencegah terjadinya cedera otak

(Saatman, dkk, 2008).

2.1.5 Komplikasi Cedera Otak

Komplikasi utama cedera otak adalah perdarahan, infeksi, edema

dan herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang

berbahaya untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma

jaringan. Uptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan;

keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan

permukaan serebral. Kompesi otak di bawahnya akan menghasilkan efek

yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin

memburuk (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein & Schwartz, 2009)

2.1.6 Pencegahan Cedera Kepala

Menurut Lombardo (2006) upaya pencegahan cedera otak pada

dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus

kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa

terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor

yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas,

memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi

yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera

yang terjadi.

Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan

pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari

gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi

prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian

karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan

mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena

aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga

jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan

penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya

gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,

sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal

lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara

ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi

bahaya yang mengancam airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada

hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam

mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan

akan dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).


Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada

tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.

Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,

dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu

dilanjutkan dengan pemberian transfuse darah. Syok biasanya

disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Terier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi

yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera otak

akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan

memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk

meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta

memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera otak akibat

kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik,

rehabilitasi psikologis dan sosial.

1) Rehabilitasi Fisik

- Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih

aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.

- Perlengkapan splint dan kaliper

- Transplantasi tendon

2) Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima

ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan

rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri


dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta

seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

3) Rehabilitasi Sosial

 Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi

roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi

dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap

bantuan orang lain.

 Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi

dengan masyarakat)

2.1.7 Pemeriksaan Klinis Cedera Otak

Pemeriksaan klinis tetap merupakan hal yang paling komprehensif

dalam evaluasi diagnostic penderita-penderita cedera otak, di mana dengan

pemeriksaan-pemeriksaan serial yang cepat, tepat, dan noinvasif

diharapkan dapat menunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses

penyakit atau gangguan tesebut. Pemeriksaan neurologis yang harus

segera dilakukan pada penderita cedera otak meliputi :

a. Kesadaran,

b. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial,

c. Reaksi motorik terbalik,

d. Pola penafasan ,

e. Cedera bagian tubuh lainnya (Satyanegara, 2014:337)

2.1.8 Penatalaksanaan Medis Cedera Otak

Penatalaksanaan medis pada klien cedera otak saat awal trauma

pada cedera otak selain dari faktor mempertahankan fungsi ABC (Airway,
Breathing, Circulation) dan menilai status neurologis (disability,

exposure), maka faktor yang harus diperhatikan pula adalah mengurangi

iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian

oksigen dan glukosa. Mutaqin (2008:161)

2.1.8.1 Penatalaksanaan Konservatif

1. Bedrest total

2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesdaran)

3. Pemberian obat-obatan :

a. Dexsamethason/kalmethason sebagai pengobatan serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. anti edema

b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertosis, yaitu manitol

20%, atau glukosa 40% gliserol 10%.

4. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah

tidak dapat diberi apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%,

aminofusin, aminofil (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),

2-3 hari kemudian di berikan makanan lunak.

5. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien

mengalami penurunan kesadaran dan cendrung terjadi retensi

natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama, ringer dextros 8 jam

kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila

kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogatric tube

(2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai

urenitrogennya. ( Purnomo, 2017)


2.1.8.2 Adapun penatalaksanaan menurut Tarwoto (2009) pada klien

dengan cedera otak antara lain :

1. Penatalaksanaan umum :

a. Monitor respirasi: Bebas jalan nafas, monitor keadaan

ventilasi,

periksa AGD, berikan oksigen,SPO2 tidak kurang dari 92%

b. Monitor tekanan intracranial (TIK).

c. Atasi syok ada.

d. Kontrol tanda vital.

e. Keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Operasi

Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada

intraserebral,debridement luka, kranioplasti, prosedur sunting

pada hidrosepalus,kraniotomi.

3. Pengobatan

a. Diuretik: untuk mengurangi edem serebral misalnya manitol

20% furosemid (lasik).

b. Anti kunvulsan: untuk menghentikan kejang misalnya

dengan dilantin, tegretol, valium.

c. Kortokosteroid: untuk menghambat pembentukan edem

misalnya dengan dexsametason.

d. Antagonis histamine: mencegah terjadinya iritasi lambung

karena hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya

dengan cemitidin, ranitidine.

e. Antibiotik jika terjadi luka yang besar.


2.1.8.3 Penatalaksanaan menurut Tanto, dkk (2014:985-986) pada klien

dengan cedera otak adalah :

1. Tata laksana Awal (di Ruang Gawat Darurat)

a. Suvei Primer, untuk menstabilkan kondisi pasien :

1) Airway (Jalan Nafas)

o Pastikan tidak ada benda asing atau cairan yang

menghalangi jalan nafas.

o Lakukan intubasi jika diperlukan (awas cedera servikal)

2) Breathing (Pernafasan) : berikan O2 dengan target saturasi

O2>92%.

3) Circulation : Pasang jalur intravena dan infus NACL 0,9%

atau RL. Hindari cairan hipotonis. Pertahankan tekanan darah

sistolik>90mmHg.

b. Survey Sekunder

1. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi

2. Penetuan apakah pasien harus menjalani operasi, dirawat

intensif, ruangan rawat biasa, atau boleh rawat jalan.

2. Tata laksana di Ruang Rawat

a. Penurunan tekanan intrakranial

a) Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

b) Pemberian manitol 20%

- Dosis awal I gr/KgBB diberikan dalam 20-30

menit,diberikan secara drip cepat.


- Dosis lanjutan diberikan 6 jam setelah dosis awal.

Berikan 0,5 gr/KgBB drip cepat selama 20-30 menit

bila diperlukan.

b. Cairan dan nutrisi yang adekuat

3. Tata laksana Pasien cedera otak ringan (Skor skala koma Glasgow 15

tanpa defisit neurologis).

a. Pasien dirawat selama 2 x 24 jam, apabila terdapat indikasi

berikut :

1. Ada gangguan orientasi waktu atau tempat

2. Sakit kepala dan muntah

3. Letak rumah jauh dan sulit untuk kembali ke rumah

sakit

b. Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

c. Perawatan luka-luka

d. Pemberian obat-obatan simtomatik seperti analgesic, anti-emetik,

dll jika diperlukan.

e. Apabila pasien mengalami sakit kepala yang semakin berat,

muntah proyektil, atau cendeung semakin mengantuk, keluarga

dianjurkan untuk membawa pasien ke rumah sakit.

2.2 Konsep Terapi Oksigen

2.2.1 Pengertian

Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital

dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup

seluruh sel tubuh. Secara normal elemenini diperoleh dengan cara

menghirup udararuangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian


oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem

respirasi,kardiovaskuler, dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan

oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat

menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan

(Anggraini & Hafifah, 2014).

Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar

keparu-paru melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai

kebutuhan. (Departemen Kesehatan RI, 2005). Terapi oksigen adalah

memberikan tambahan oksigen kepada pasien agar kebutuhan oksigennya

terpenuhi (Targhib 2011).

Pada berbagai situasi, sewaktu pemulihan dari anastesi umum,

asma, akut berat dll. Oksigen dapat diberikan dalam keadaan darurat tanpa

resep (Brooker & Chris, 2008).

2.2.2 Tujuan Terapi Oksigen

Tujuan terapi oksigen adalah memberikan oksigen secara adekuat

ke jaringan atau organ, mencegah akumulasi asam laktat yang

mengakibatkan hipoksia, dan pada saat yang sama menghindari potensial

efek negatif barotrauma oksigen (Donna et. al., 2009). Menurut Targib

(2011) tujuan terapi oksigen agar oksigenasi seluruh tubuh pasien adekuat.

2.2.3 Proses Oksigenasi

Menurut Alimul (2006) proses oksigenasi terdiri dari:

a. Ventilasi.

Ventilasi merupakan proses keluar masuknya oksigen dari

atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses

ventilasi di pengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan


tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tempat maka

tekanan udara semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin

rendah tempat tekanan udara semakin tinggi.

b. Difusi Gas

Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen dialveoli

dengan kapiler paru-paru dan karbondioksida di kapiler dengan

alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu luasnya permukaan paru-paru, tebal membran

respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan

interstisial (keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila

terjadi proses penebalan).

Perbedaan tekanan dan konsentrasi oksigen (hal ini sebagai

mana oksigen dari alveoli masuk kedalam darah oleh karena

tekanan oksigen dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan

oksigen dalam darah vena pulmonalis, masuk dalam darah secara

difusi).

c. Transfortasi Gas Transfortasi

Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian oksigen

kapiler ke jaringan tubuh dan karbondioksida jaringan tubuh ke

kapiler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah,

latihan (exercise), perbandingan sel darah dengan darah secara

keseluruhan (hematokrit), serta eliktrosit dan kadar Hb.

2.2.4 Indikasi
Menurut Donna et. al., (2009) indikasi dari oksigenasi adalah

terdiri dari Sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung, nyeri dada

(angina pektoris), trauma thorak, tenggelam, hipoventilasi (respirasi < 10

kali/menit), distress nafas, hipertermia, syok, stroke (cerebro vasculer

attack), keracunan gas, pasien tidak sadar.

2.2.5 Peralatan

Peralatan dalam terapi oksigenisasi antara lain tabung oksigen,

Flowmeter atau regulator, humidifier, nasal kanula, fask mask, partial

rebreather mask, non rebreather mask, venture mask, bag valve mask

(ambu bag).

Tabel 2.2.5 Jenis Peralatan dan Konsentrasi Oksigen

Jenis alat Konsentrasi oksigen Aliran Oksigen


Nasal Kanula 24-32% 2-4 LPM
Simple Mask 35-60% 6-8 LPM
Partian Rebreather 35-80% 8-12 LPM
Non Rebreather 50-95% / 100% 8-12 LPM
Venturi Bag Valve 24-50% 4-10 LPM

Mask

(Ampubag)
Tanpa Oksigen 21% (udara) -
Dengan Oksigen 40-60% 8-10 LPM
Dengan Reservior 100% 8-10 LPM
Sumber: Alimul (2006)

Non rebreathing mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen

sampai 80- 100% dengan kecepatan aliran 10-12 liter/menit. Pada

prinsipnya, udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi karena

mempunyai 2 katup, 1 katup terbuka pada saat inspirasi dan tertutup saat

pada saatekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya mencegah udara kamar

masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada saat ekspirasi.
(Tarwoto&Wartonah, 2010:37). Indikasi : klien dengan kadar tekanan CO2

yang tinggi. (Asmadi, 2009:34) sedangkan Nasal kanula untuk

mengalirkan oksigen dengan aliran ringan atau rendah,biasanya hanya 2-3

L/menit. Membutuhkan pernapasan hidungTidak dapat mengalirkan

oksigen dengan konsentrasi >40 %Menurut Alimul (2006) ada hal-hal

yang perlu diperhatikkan yaitu:

1. Pemberian oksigen atas indikasi yang tepat

2. Awas pasien muntah, siapkan penghisap

3. Pantau pernafasan dan aliran oksigen (LPM)

2.2.6 SOP Pemberian Terapi Oksigen

Standart operasional prosedur memberikan oksigen dengan

menggunakan nasal kanul, masker kateter, dan masker meurut Unit

Laboratorium Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang :

a. Persiapan tempat dan alat

1. Tabung oksigen lengkap dengan flow meter, humidifier

2. Nasal kateter, nasal kanul, masker

3. Alat pencatat, atau alat tulis

4. Vaselin / jelly

b. Pelaksanaan

1. Mencuci tangan

2. Mengontrol flow meter dan humidifier

3. Mengontrol apakah peralatan berfungsi

4. Mengikuti intruksi yang tertulis pada alat tersebut

5. Mencuci tangan

6. Melakukan pencataan
- Jumlah liter oksigen yang diberikan

- Cara pemberiannya

- Reaksi pasien

7. Mengevaluasi toleransi pasien terhadap prosedur

8. Cara pemberian nasal kateter :

- Mengkukur jarak dari lubang hidung sampai telinga dan diberi

tanda

- Melumasi kateter dengan jelly / vaseline

- Memasukkan kateter ke dalam lubang hidung sampai batas

telinga

- Mengontrol posisi pasien

- Mengontrol oksigen

- Mengganti kateter tiap 48 jam/ jika perlu

9. Cara pemberian nasal kanul :

- Memasang kanul secra tepat pada hidung

- Memberi posisi yang nyaman

10. Cara pemberian masker :

-memasang selang masker pada perangkat oksigen

-mengatur aliran oksigen dengan instruksi

-memakai masker pada wajah pasien

11. Mengontrol apakah pasien sudah merasa nyaman

12. Perawat mencuci tangan

2.3 Konsep Posisi Kepala 30°

2.3.1 Pengertian
Posisi kepala 30º (elevasi) merupakan suatu posisi untuk menaikan

kepala dari tempat tidur sekitar 30º dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar

(Bahrudin, 2008). Khandelwal,dkk (2016) menjelaskan posisi head

elevation adalah memposisikan pasien dengan punggung lurus dan elevasi

kepala yang bertujuan untuk keamanan pasien dalam kelancaran

pemenuhan oksigenasi. Penelitian yang dikutip Summer,dkk (2009)

menujukkan bahwa posisi kepala yang lebih tinggi dapat memfasilitasi

peningkatan aliran darah ke serebral dan memaksimalkan oksigenasi

jaringan serebral. Hasil ini selaras dari studi oleh Fan (2004)

merekomendasikan penggunaan elevasi kepala 30o untuk mengurangi TIK

dan memonitor efek tekanan perfusi serebral pada pasien cidera kepala.

2.3.2 Indikasi Penggunaan Posisi Kepala 30º

Menurut Bahrudin & Sunardi (2008) indikasi penggunaan posisi

Kepala 30º :

1. Menurunkan tekanan intracranial pada kasus trauma kepala, lesi otak,

atau gangguan neurology

2. Memfasilitasi venous drainage dari kepala.

2.3.3 Kontra Indikasi Penggunaan Posisi Kepala 30º

Menurut Bahrudin & Sunardi (2008) kontra indikasi penggunaan

posisi Kepala 30º :

1. Hindari posisi tengkurap dan trendelenburg. Beberapa

kontrovesi yaitu posisi pasien adalah datar, jika posisi datar

di anjurkan, mungkin sebagai indikasi adalah monitoring

tekanan intracranial. Tipe monitoring tekanan intracranial

yang tersedia adalah screws, cannuls, fiberoptic probes.


2. Elevasi bed bagian kepala digunakan untuk menurunkan

tekanan intracranial. Beberapa alasan bahwa elevasi kepala

digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial, tetapi

berpengaruh juga terhadap penurunan cerebral perfusion

pressure. Alasan lain bahwa posisi horizontal akan

meningkatkan cerebral perfusion pressure. Maka posisi

yang di sarankan adalah elevasi kepala antara 15 º - 30º,

yang mana penurunan tekanan intracranial tanpa

menurunkan cerebral perfusion pressure.

3. Kepala pasien harus dalam posisi netral tanpa rotasi ke kiri

atau ke kanan , flexion atau extension dari leher.

4. Elevasi bed bagian kepala diatas 40º akan berkontribusi

terhadap postural hipotensi dan penurunan perfusi otak.

5. Meminimalisasi stimulus yang berbahaya, berikan

penjelasan sebelum menyentuh atau melakukan prosedur

6. Rencanakan aktivitas keperawatan. Jarak antara aktivitas

keperawatan paling sedikit 15 menit.

7. Elevasi kepala merupakan kontra indikasi pada pasien

hipotensi sebab akan mempengaruhi cerebral perfusion

pressure.

2.3.4 SOP Pemberian Posisi Kepala 30º

1. Pengertian

Posisi kepala 30o merupakan pemberian tempat tidur dengan

menaikkan kepala setinggi 30o


2. Tujuan

a. Membantu menjgatasi masalah kesulitan pernapasan dan

karidovaskuler.

b. Melakukan aktivitas tertentu (makan, membaca, menonton

televisi)

3. Persiapan Alat

a. Tempat tidur

b. Bantal kecil

c. Gulungan handuk

d. Handscoon (sarung tangan)

4. Prosedur

a. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan jika diperlukan.

Menurunkan transmisi mikroorganisme.

b. Minta klien untuk memfleksikan lutut sebelum kepala

dinaikkan. Mencegah klien melorot kebawah saat kepala

dinaikkan.

c. Naikkan kepala tempat tidur 30o

d. Letakkan bantal kecil dibawah kepala klien. Bantal akan

menyangg kurva servikal diri kolumna vertebra. Sebagai

alternative, kepala klien dapat diletakkan di atas kasur tanpa

bantal. Terlalu banyak bantal dibawah kepala akan

mengakibatkan fleksi kontraktur di leher.

e. Pastikan tidak terdapat tekanan pada area popliteal dan lutut

dalam keadaan fleksi. Mencegah terjadi kerusakan pada


persyarafan dinding vena. Fleksi lutut membantu klien untuk

tidak melorot kebawah.

f. Letakkan trochanter roll (gulungan handuk) disamping

masing-masing paha. Mencegah eksternal dari pinggul.

g. Topang telapak kaki klien dengan menggunakan bantalan kaki.

Mencegah fleksi plantar.

h. Letakkan bantal untuk menompang kedua lengan dan tangan,

jika klien memiliki kelemahan pada kedua tangan tersebut.

i. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.

j. Dokumentasikan tindakan (Gemilang, 2014)

2.4 Konsep Tingkat Kesadaran

2.4.1 Pengertian kesadaran

Kehilangan kesadaran atau koma terjadi ketika seseorang tetap

menutup mata, tidak bersuara dan tidak bergerak oleh rangsang nyeri

atau perintah apa pun. Koma biasanya terjadi setelah kerusakan atau

disfungsi batang otak yang disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit.

Untuk mengukur derajat kesadaran seseorang yang telah

mengalami cedera otak traumatis, para dokter dan paramedis

menggunakan apa yang disebut Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma

Scale/GCS). Skala yang ditemukan oleh Graham Teasdale dan Bryan J.

Jennett dari Universitas Glasgow ini dipublikasikan pertama kali pada

tahun 1974 (Majalahkesehatan.com, 2011).

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk

menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma


atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang

diberikan. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu

reaksi membuka mata , bicara dan motorik (Nursingbegin.com, 2009).

Skala Koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi

neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan

dapat digunakan dalam percarian yang luas pada saat mengevaluasi status

neurologik pasien yang mengalami cedera otak. Evaluasi ini tidak dapat

digunakan pengkajian neurologik yang lebih dalam, cukup hanya

mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.

Elemen-elemen ini selanjutnya dibagi menjadi tingkat-tingkat yang

berbeda. Masing- masing respon diberikan sebuah angka (tinggi untuk

normal dan rendah untuk gangguan), dan penjumlahan dari gambaran ini

memberikan indikasi beratnya keadaan koma dan sebuah prediksi

kemungkinan yang terjadi dari hasil yang ada. Nilai terendah adalah 3

(respon paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespon)

(Smeltzer & Bare, 2001).

Semakin rendah nilai GCS, semakin banyak defisit dan semakin

tinggi tingkat mortalitasnya. Nilai GCS terbukti konsisten pada regio-

regio berbeda dengan mekanisme dan pengobatan yang berbeda.

Penilaian ini juga dapat dilakukan di lapangan sebelum dibawa ke rumah

sakit (Greenberg, 2008).

2.4.2 Pemeriksaan Tingkat Kesadaran

Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan

inspeksi, konversasi dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.


1) Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap

stimulus visual, auditoar dan taktil yang ada disekitarnya.

2) Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara

konversasi, atau dapat dibangunkan oleh perintah atau pertanyaan

yang disampaikan dengan suara yang keras.

3) Nyeri. Bagaimana respon pasien terhadap rangsang nyeri.

2.4.3 Perubahan Patologi Tingkat Kesadaran

Penyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu:

meningkatkan atau menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat

kesadaran dapat pula mendahului penurunan kesadaran, jadi merupakan

suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau eksitasi serebral dapat

ditemukan tremor, euphoria, dan mania. Pada mania, penderitanya dapat

merasakan ia hebat (grandios); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif,

banyak bicara dan insomnia (tak dapat atau sulit tidur) .

a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar

sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan

sekelilingnya.

b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan

dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

c. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu)

memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.

d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon

psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat

pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,


mampu memberi jawaban verbal.

e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada

respon terhadap nyeri.

f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon

terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek

muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)

(Ruhyanudin, 2011).

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat

digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan

(respons) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon

tersebut. Tanggapan/respons penderita yang perlu diperhatikan adalah:

a. Membuka mata

b. Respons verbal (bicara)

c. Respons motorik (gerakan)

Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale (Black, 1997)

1. Membuka mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri Fleksi 5
menarik Fleksi 4
abnormal Ekstensi 3
Tak ada respon 2
1
Total

2.4.4 Cara Penulisan

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.

Penderita yang sadar = compos mentis GCSnya 15 (4-5-6), sedang

penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak

bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,

penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal,

penulisannya 4-X-6. Atau bila tetra parese sedang E dan V normal,

penulisannya 4-5-X. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :

a. Skor 14-15 : compos mentis

b. Skor 12-13 : apatis

c. Skor 11-12 : somnolent

d. Skor 8-10 : stupor

e. Skor < 5 : koma (Lenterabiru.com, 2010).

Jika dihubungkan dengan kasus cedera otak maka didapatkan hasil :

GCS : 13 – 15 = COR (cedera otak ringan)

GCS : 9 – 12 = COS (cedera otak sedang)

GCS : 3 – 8 = COB (cedera otak berat)

2.4.5 SOP Pengukuran Tingkat Kesadaran


Menurut Junaidi (2012) SOP pengukuran tingkat kesadaran :

1. Cuci tangan

2. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik

3. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan kepada keluarga/klien

4. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

5. Prosedur kerja :

a. Mengatur posisi klien : supinasi

b. Menempatkan diri di sebelah kanan pasien, bila mungkin

c. Memeriksa reflex membuka mata dengan benar

d. Memeriksa reflex verbal dengan benar

e. Memeriksa reflex motorik dengan benar

Respon membuka mata Nilai


a. Spontan 4

b. Terhadap rangsang suara 3

c. Terhadap rangsang nyeri 2

d. Tidak ada 1
Tanggapan Verbal

5
a. Orientasi baik
4
b. Orientasi terganggu
3
c. Kata-kata tidak jelas
2
d. Suara tidak jelas
1
e. Tidak ada respon
Respon Motorik

5
a. Mampu bergerak
4
b. Melokalisasi nyeri Fleksi
c. menarik Fleksi 3

d. abnormal Ekstensi 2

e. Tak ada respon 1

6. Melakukan evaluasi tindakan

GCS 15 = compos mentis (sadar)

GCS 12-14 = somnolen (mengantuk)

GCS 9-11 = spoor (kantuk berat)

GCS 3-8 = koma (tidak sadar)

7. Cuci tangan

2.5 Konsep Saturasi Oksigen

2.5.1 Pengertian Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan

dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 –

100 %. Dalam kedokteran, oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai

"SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin

di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian

besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses

pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh (Hidayat,

2007). Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan

oksimetrinadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan

terbesar dalam pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005).


Oksimetri nadi yang terdiri dari dua diode pengemisi cahaya (satu

cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi probe, kedua

diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati

pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telingan, menuju

fotodetektor pada sisi lain dari probe (Welch, 2005).

2.5.2 Tujuan

1. Menilai data dasar saturasi oksigen yang merupakan bagian pengkajian

oksigenasi.

2. .Deteksi dini terhadap perubahan saturasi yang sering berubah terutama

pada keadaan kritis.

3. .Mengevaluasi respon pasien terhadap aktivitas oksigenasi pasien seperti

cidera kepala, suction, reposisi, merunah konsentrasi O2.

2.5.3 SOP Saturasi Oksigen

1. Persiapan alat : pulse oximeter beserta sensornya

2. Cara kerja :

a. Cuci tangan

b. Lokasi tempat sensor dibersihkan dari darah/kotoran

lainnya.

c. Pilih sensor yang tepat sesuai lokasi tempat sensor

d. Sambungkan oximeter dengan menekan tombol power

on/off

e. Set alarm secara tepat dan cek fungsi lainnya

f. Untuk mematikan tekan kembali tombol power on/off

g. Sambungkan sensor lempeng/klim pada tangan/kaki/telinga


3. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Lokasi tempat penempatan sensor

a. Sensor klip ditempatkan pada jari telunjuk tangan atau

telinga

b. Sensor lempeng di tempatkan pada jari-jari, ibu jari,

hidung.
2.6 Review Jurnal Literatur

Tabel 2.8 Hasil Literatur Review Jurnal Penelitian Sejenis

No Peneliti Judul Publikasi dan Nama Jurnal Hasil Penelitian

1. Alit Suwandewi, Pengaruh Pemberian Oksigen Melalui Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian oksigen

2017 Masker Sederhana dan Posisi Kepala masker sederhana dan posisi kepala 30 º terhadap perubahan tingkat

30° Terhadap Perubahan Tingkat kesadaran pada pasien cidera kepala sedang. GCS nilai rata-rata

Kesadaran pada pasien Cidera Kepala sebelumnya adalah 17,92 dan GCS nilai rata-rata sesudah 14,09 dengan

Sedang di RSUD nilai p 0,009. Penelitian ini bersifat aplikatif sehingga perlu di reflikasi

dan dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan asuhan

keperawatan gawat darurat dan monitoring.


2. Dadang Supriyady Nilai skor glasglow coma scale, age, Hasil dan analisis : Uji Mann-Whitney pada penelitian menunjukkan

Eka Putra, M. rasjad systolic blood pressure (GAP SCORE) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara nilai GAP Score, dan

Indra, Djangga dan saturasi oksigen sebagai predictor saturasi oksigen dengan mortalitas pasien cidera kepala dalam 7 hari

Sargowo, Mukhamad mortalitas pasien cidera kepala di perawatan dengan p value dari semua variabel independen < 0,05. Hasil

fathoni Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Uji regresi logistik menunjukkan bahwa persamaan GAP Score memiliki

nilai p valueUji Hosmer and Lemeshow = 0,938 dengan AUC = 0,921


yang dapat memprediksi mortalitas 92,1% pasien cidera kepala.

Persamaan saturasi Oksigen memiliki nilai p value Uji Hosmer and

Lemeshow =0,870 dengan AUC = 0.880 dapat memprediksi mortalitas

sebesar 88%, dan persamaan GAP score dan saturasi Oksigen memiliki

nilai p value Uji Hosmer and Lemeshow =0,967 dengan AUC = 0.965

dapat memprediksi mortalitas sebesar 96,5%. Diskusi dan kesimpulan:

Secara statistik terdapat perbedaan AUC antara persamaan tersebut,

dengan kesimpulan bahwa gabungan antara akurasi skoring GAP dan

akurasi saturasi oksigen secara statistik dapat meningkatkan akurasi

dalam memprediksi kematian. Gabungan antara akurasi skoring GAP

dan akurasi saturasi oksigen secara statistik dapat meningkatkan akurasi

dalam memprediksi mortalitas pada pasien cidera kepala.


3. Hendrizal, Syaiful Pengaruh Terapi Oksigen hasil penelitian didapatkan perbedaan bermakna tekanan parsial CO2

Saanin, Hafni Menggunakan Non-Rebreathing Mask darah sebelum dan setelah terapi oksigen menggunakan NRM (p<0,05).

Bachtiar Terhadap Tekanan Parsial CO2 Darah Terjadi penurunan tekanan parsial CO2 darah setelah terapi oksigen

pada Pasien Cedera Kepala Sedang mengunakan NRM dari39,00 ± 3,7menjadi432,06 ± 6,35. Pembahasan:

Terapi oksigen menggunakan NRM dapat menurunkan tekanan parsial


CO2 darah sehingga dapat digunakan untuk menurunkan tekanan

intrakranial pada pasien cedera kepala sedang.

4. Marlisa, Ponpon S Efek Suction Melalui Catheter Mouth Hasil penelitian ini dapat dijadikan evidence based bagi perawat di

Idjradinata, Cecep terhadap Saturasi Oksigen Pasien ruang intensif untuk meningkatkan pelayanan perawatan dalam

Eli Kosasih Cedera Kepala melakukan tindakan suction untuk mengurangi resiko terjadinya

penurunan saturasi oksigen pada pasien cedera kepala berat yang

terpasang ventilator.
5. Valentina B. Pengaruh Stimulasi Sensori terhadap Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh stimulasi sensori

M.Lumbantobing1, Nilai Glaslow Coma Scale pada Pasien terhadap nilai GCS pada pasien cedera kepala primer (p=0,041).Dampak

Anastasia Anna Cedera Kepala di Ruang Neurosurgical dari penelitian ini adalah diharapkan stimulasi sensori sebagai terapi

Critical Care Unit Rsup Dr. Hasan non-farmakologibisa dipertimbangkan menjadi terapi komplementer

Sadikin Bandung dalam penanganan pasien cedera kepala.


6. Febriyanti W. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Hasil penelitianmenggunakan paired t test SaO2 sebelum dan sesudah

Takatelide Lucky T. Prong Terhadap Perubahan Saturasi 10 menit pertama, 10 menit pertama dan 10 menit kedua didapat nilai p-

Kumaat Reginus T. Oksigen Pasien Cedera Kepala Di value = 0,000 < α 0,05. Hasil uji antara 10 menit kedua dan 10 ketiga

Malara Instalasi Gawat Darurat Rsup Prof. Dr. didapat nilai p-value = 0,005 < α 0,05 serta uji repeated ANOVA.

R. D. Kandou Manado
7. Elvin Elsa Pengaruh pemberian terapi oksigen Perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu :
Maharenny masker sederhana dan posisi kepala 1. Perbedaan dengan penelitian oleh Alit Suwandewi, 2017 adalah

30° terhadap tingkat kesadaran dan instrument yang digunakan kombinasi terapi O2 dan posisi kepala

saturasi oksigen pada pasien cedera 30° dengan menggunakan desain penelitian one group with control

otak sedang group.

2. Perbedaan dengan penelitian oleh Dadang Supriyady Eka Putra, M.

rasjad Indra, Djangga Sargowo, Mukhamad fathoni adalah

instrument yang digunakan Nilai skor glasglow coma scale, age,

systolic blood pressure (GAP SCORE).

3. Perbedaan dengan penelitian oleh Hendrizal, Syaiful Saanin, Hafni

Bachtiar adalah instrument yang digunakan Terapi Oksigen

Menggunakan Non-Rebreathing Mask dan yang diukur yaitu

Tekanan Parsial CO2 Darah pada pasien cidera kepala.

4. Perbedaan dengan penelitian oleh Valentina B. M.Lumbantobing1,

Anastasia Anna adalah instrument yang digunakan Nilai Glaslow

Coma Scale pada pasien cidera kepala yang telah diberi intervensi

Stimulasi Sensori.

5. Perbedaan dengan penelitian oleh Marlisa, Ponpon S Idjradinata,


Cecep Eli Kosasih adalah instrument yang digunakan Suction yang

Melalui Catheter Mouth dan yang diukur adalah Saturasi Oksigen

pada pasien cidera kepala.

6. Perbedaan dengan penelitian oleh Febriyanti W. Takatelide Lucky T.

Kumaat Reginus T. Malara adalah instrument yang digunakan Terapi

Oksigenasi dengan Nasal Prong Terhadap Perubahan Saturasi

Oksigen pada pasien Cidera Kepala.


2.7 Kerangka Konseptual

Berdasarkan teori diatas calon peneliti membuat kerangka konsep seperti gambar dibawah ini :

Gambar 2.7 kerangka teori penelitian Factor penyebab cedera otak : kekerasan
benda tumpul(kecelakaan, jatuh dari
ketinggian dan pukulan), benda tajam
Trauma kepala (bacokan sayatan, dan tembakan).

Kulit kepala Tulang kepala Jaringan otak

Hematoma pada kulit Fraktur linear Komosio


Fraktur commited Hematoma
Cedera otak Fraktur depressed Kontusio
Fraktur basis

Cedera otak Naiknya Tekanan intrakranial Gangguan kesadaran


primer Gangguan TTV
Ringan Respon fisiologis otak Kelainan neurologis
Sedang
Cedera otak sekunder

Keterangan :
Kerusakan sel otak ↑

diteliti Gangguan autoregulasi


tidak di teliti
Aliran darah ke otak ↓

O₂↓→ gangguan
metabolisme

Penatalaksanaan Pemeriksaan Fisik

Farmakologi Non Farmakologi

- Sedasi dengan morphine IV


- Obat hiperosmotik (manitol - CT Scan
0,25-0,5 g/kg) - Foto Rontgen Kepala
- Diuretic (furosemide 5-20 - Tingkat Kesadaran - Pemasangan Endo Tracheal
mg) Tube (ETT)
- Perubahan tekanan darah
- Paralisis (pancuronium 1-4 - Perubahan nadi - Posisi elevasi
mg) kepala 30°
- Drainase LCS - Saturasi Oksigen
- Pemberian terapi
- Perubahan Respon Pupil
oksigenasi
- Mual Muntah
2.7.1 Keterangan Gambar

Kerangka konseptual diatas menjelaskan factor penyebab trauma kepala dibagi

menjadi 2 macam yaitu terkena benda tumpul (kecelakaan, jatuh dari ketinggian,

pukulan dari benda tumpul seperti balok kayu, besi, dll), dan terkena benda tajam

(bacokan,sayatan)dan tembakan. Jika kepala terkena benda tumpul ataupun tajam,

kepala akan kemungkinan mengalami trauma pada 3 bagian yaitu pada kulit kepala,

tulang kepala dan jaringan otak. Jika trauma kepala pada kulit kepala akan mengalami

hematoma pada kulit, jika trauma pada jaringan otak akan mengalami komosio,

hematoma dan kontusio yang menyebabkan adanya gangguan kesadaran, gangguan

TTV, dan kelainan neorologi pada pasien, jika terdapat trauma pada tulang kepala akan

mengakibatkan beberapa fraktur yaitu fraktur linear, commited, despressed, dan fraktur

basis yang menyebabkan adanya tekanan intracranial. Peningkatan tekanan intracranial

ini menyebabkan gangguan respon fisiologis otak yang disebut dengan cedera otak

sekunder. Cedera otak sekunder ini mengakibatkan kerusakan sel otak meningkat, jika

tidak segera memperoleh pertolongan akan menyebabkan gangguan autoregulasi dan

yang ditandai dengan aliran darah ke otak berkurang/menurun.

Untuk mengetahui keadaan pasien dilakukan pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang lainnya seperti CT scan dan MRI. Penatalaksanaan farmakologi

untuk pasien yang mengalami gangguan kesadaran dan gangguan autoregulasi dapat

dilakukan sedasi morphine IV, obat hiperosmotik (manitol0,25-0,5 g/kg), deuretik

(furosemide 5-20 mg), paralisis (paneuronium 1-4 mg) dan drainase LCS, selain

penatalaksanaan farmakologi pasien cedera otak sedang juga diberi penatalaksanaan

non farmakologi yaitu posisi elevasi kepala 15-30° dan pemberian terapi oksigenasi.
2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah suatu jawaban atas pertanyaan

penelitian yang telah dirumuskan di dalam perencanaan penelitian

atau penjelasan sementara yang memerangkan fenomena yang

diamati atau suatu pernyataan tentang hubungan yang diharapkan

terjadi antara dua variable atau lebih yang memungkinkan untuk

dibuktikan secara empiric atau perlu diuji kebenarannya akan

dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2010).

H1 : Adanya pengaruh pemberian terapi oksigen masker sederhana

dan posisi kepala 30° terhadap tingkat kesadaran dan saturasi

oksigen pada pasien cedera otak sedang.

Ho : Tidak adanya pengaruh pemberian terapi oksigen masker

sederhana dan posisi kepala 30° terhadap tingkat kesadaran dan

saturasi oksigen pada pasien cedera otak sedang.

Anda mungkin juga menyukai