Anda di halaman 1dari 10

Fiqih Sosial: Pembaruan Fiqih KH.

Ali Yafie

Oleh: Dzila Sabilani Mustaqima/MSI 7G/183221293

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Fiqih memberikan pengaruh mendominasi untuk kehidupan
masyarakat Islam. 1 Di dalam Islam, fiqih sebagai kunci dari pemikiran
para ulama yang mencoba melakukan penjelasan atas normativitas teks
yang dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan sesuai perkembangan zaman.
Pada batas-batas tertentu, pemahaman mengenai fiqih masih cenderung
memiliki kekuatan ketika dihadapkan dengan budaya manusia yang
cosmopolitan dimana manusia merupakan kesatuan tunggal dan memiliki
moral yang sama. Fiqih sendiri sebagai formula dalam pemahaman
terhadap syariah memiliki dua tujuan yaitu, perilaku umat muslim
dibangun berdasarkan aqidah, syari’ah, dan akhlak dan dapat
merealisasikan tatanan sosial yang adil, satu, dan berbasis kemitraan. 2
Berbagai macam aliran fiqih klasik lebih merefleksikan bagaimana solusi
yang dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi. Sehubungan dengan maksud yang dikemukakan oleh
Hasan Hanafi, nilai praksis pemikiran keagamaan merupakan bagian yang
sering diabaikan oleh para pemikir dimana lebih senang menggeluti
wacana yang terkadang tidak mempunyai kualitas penerapan di
kenyataan.3
Fiqih, dalam pembagian bidangnya harus disesuaikan dengan
kebutuhan manusia untuk mewujudkan tatanan sosial yang ideal. Pada era
modern ini mengantarkan fiqih pada posisi ambigu dan bermasalah jika
dikaitkan dengan berbagai hal. Dalam merumuskan metode hukum yang
dapat hidup selalu (viable) yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai
masalah, fiqih masih kesulitan dalam mencarikan solusi dan persoalan
sosial yang dihadapi tapi juga masih lamban dalam mendeskripsikan
berdirinya. Kajian fiqih harus bisa menyesuaikan permasalahan-
permasalahan masyarakat sebab perubahan secara dinamis akan selalu
terjadi dan menuntut fiqih untuk tidak stagnan. Upaya yang perlu
dilakukan dalam perumusan kajian fiqih yang nyaman dan mudah
beradaptasi dengan perubahan sosial adalah memposisikan makna sosial
dan prinsip sosial yang terdapat dalam syari’ah, sebagai pokok dari kajian
fiqih.

1
Zubaedi. (2006). Membangun Fikih yang Berorientasi Sosial. Al-Ja>mi‘ah, 429-452.
2
Fathorrahman. (2020). KONTRUKSI PEMIKIRAN FIKIH SOSIAL KH. ALI YAFIE
DALAM MERESPONS PROGRAM PEMERINTAH DI ERA ORDE BARU. Kodifikasia: Jurnal
Penelitian Islam, 127-128.
3
Ilmu, K. (2013, January). Pemikiran Ali Yafie. Retrieved Desember 18, 2020, from
http://aam-ezaam.blogspot.com/2013/01/pemikiran-fikih-ali-yafie.html
Di Indonesia, tokoh yang menggagas adanya studi fiqih dalam
permasalahan sosial, salah satunya adalah KH Ali Yafie. Pendapat yang
hendak dibangun KH Ali Yafie adalah fiqih selama ini masih bersifat
melangit atau terlalu tinggi untuk digapai dan kurang menyentuh realitas
dan kebutuhan empiris umat Islam sehingga kurang relevan dengan
permasalahn di masa kini.
2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi fiqih sosial dan relevansi fiqih dengan realitasnya?
b. Bagaimana geneologi dan konsep dasar fiqih sosial menurut KH. Ali
Yafie?
c. Bagaimana pemikiran KH. Ali Yafie dalam pembaruan fiqih sosial?

B. PEMBAHASAN
1. Definisi Fiqih Sosial dan Relevansinya
Fiqih sosial dalam definisinya terbagi menjadi fiqih dan sosial,
sedangkan secara asal-usulnya (etimologi) pengertian fiqih adalah
pemahaman secara umum, yang detail ataupun rinci, dan berhubungan
dengan konteks dari maksud sebuah perbincangan. Fiqih dilihat dari
terminologi merupakan ilmu hukum syara’ yang bersifat memiliki daya
guna yang diusut lebih mendalam dari dalil yang detail. 4 Menurut al-
Dhimyati, fiqih merupakan pemahamat mengenai hukum syar’i dalam
metode ijtihad, ijtihad merupakan pemikiran para ulama, karena bisa
dipastikan semua kajian fiqih merupakan pemikiran para ulama. 5
Pengertian sosial dalam KBBI secara leksikal dapat berarti senang
memperhatikan kepentingan umum. Dari definisi yang sudah dipaparkan
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian fiqis sosial adalah proses dan
produk hukum syariat yang digali secara terperinci untuk kemaslahatan
umat atau kepentingan umum. Bisa disebut juga pemahaman secara
menyeluruh atau terperinci (secara mendetail) dari pemikiran para ulama
mengenai suatu ilmu syar’i untuk kepentingan umat. Menurut Kiai Sahal,
yang disetujui dalam Menggagas Fiqh Sosial (1994) oleh KH. Ali Yafie,
tujuan pokok fiqih sosial adalah fiqih yang dibentuk dalam konsep yang
berdimensi sosial atau peranan individu ataupun kelompok yang bersama-
sama dalam membangun fiqih. 6
Hukum fiqih dan realitas sosial sangat berhubungan erat kemudian
muncul dinamika atau suatu perubahan yang selalu terjadi dan tidak ada

4
Yulianto. (2017). Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. SHAHIH, 26.
5
Harisudin, M. N. (2019). Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya: Pena Salsabila.
6
Ainiyyah, Q. (2015, December 29). IMPLEMENTASI MAQASHID AL-SYARI’AH
MELALUI FIQH SOSIAL(Mengkaji Gagasan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh). Retrieved
December 18, 2020, from Urwatul Wutsqo:
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/article/view/979
stagnansi aatu kemandegan dalam dinamika ini. 7 Dalam kenyataan sosial
sekarang ini, umat Islam dihadapkan dengan berbagai tantangan dan
persoalan-persoalan yang baru, yang membutuhkan metode ijtihad atau
pemikiran dan kesepakatan para ulama untuk menghadapinya, sebagai
contoh menurut adalah pada masa pandemi ini ketika akan berjamaah
sholat Jumat di masjid dalam kesepakatan para ulama MUI adalah
merenggangkan shaf shalat untuk mematuhi peraturan mengenai protokol
kesehatan juga untuk mengatisipasi adanya penyebaran virus. 8 Demikian
arah pengembangan hukum dalam Islam berjalan mengikuti hukum yang
bergerak dan akan terus terjadi berdasaran pergerakan masyarakat yang
berubah, sehingga tampaklah bahwa Islam selalu berubah (dinamis)
mengikuti perkembangan zaman.
Ijtihad sebagai manhaj (kaidah atau ketentuan yang benar) akan
memberikan solusi bagi ragam permasalahan sosial yang terjadi sehingga
tidak ada persoalan yang ketentuan hukumnya tidak dibahas dalam hukum
Islam. Namun, fiqih yang tersedia saat ini memiliki sejumlah
problematika, antara lain mapannya paradigma fiqih klasik yang teosentris
(aliran yang berpegang kepada teks syari’at secara kaku) terkesan pasif,
konservatif, kuno, dan tidak bisa menjawab permasalahan hukum yang ada
di masyarakat dan lambannya upaya pembaruan sehingga masih
ditemukan adanya pengulangan-pengulangan yang sam sekali tidak perlu,
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan antara fiqih
dengan realitas sosial. Perlunya akomodasi realitas sosial dalam hukum
fiqih dimana lebih memperhatikan masalah riil yang berhubungan erat
dengan umat Islam sehari-hari daripada masalah skolastik yang berrsifat
formal sesuai dengan saran Ibn Taimiyah. Jadi, fiqih sangat berkaitan erat
dengan realitas sosial dalam upaya untuk memberikan solusi atas
permasalahan-permasalahan fiqih yang terjadi di masyarakat. Kajian fiqih
sendiri melakukan pembaruan seiring dengan berkembangnya zaman,
menuju permasalahan yang lebih kompleks dan penyelesaiannya.

2. Geneologi dan Konsep Dasar Fiqih Sosial Menurut KH. Ali Yafie
Tradisi fiqih klasik yang sudah mendalam membersamai masyarakat
muslim memunculkan akar pemikiran fiqih sosial secara geneologi, yaitu
konsep maqashid al-syari’ah dan konsep fardlu ‘ain-fardlu kifayah.
a. Maqashid al-Syari’ah
Maqashid al-Syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid yang berarti maksud dan
tujuan dan syari'ah hukum-hukum Allah yang ditetapkan dan dijadikan tujuan
oleh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari
pengertian tersebut, Maqashid al-Syari'ah dapat diartikan sebagai tujuan yang

7
Djawas, M. (2017). JEJAK MAQASHID AL-SYARI‘AH DI NUSANTARA: Melacak
fuqahā‘ berbasis maqashid al-syari’ah dan hasil ijtihadnya. Conference Proceding-ARICIS I, 162.
8
CNN. (2020, June 5). Fatwa dan Panduan Salat Jumat saat Pandemi Covid-19.
Retrieved December 18, 2020, from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200605065034-
284-510070/fatwa-dan-panduan-salat-jumat-saat-pandemi-covid-19
akan dicapai pada hukum yang akan ditetapkan. T ujuan dari syariat Islam
sebagai upaya dalam kehidupan beragama untuk melestarikan, menjaga,
dan mengembangkan agama, jiwa, harta, akal, keturunan, dan kehormatan,
menurut Ali Yafie dan Sahal Mahfudz. Maqashid al-syari'ah memiliki pokok
teori untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan
9
(kemudharatan). Adapun istilah yang ssama maknanya dengan Maqashid al-
Syari'ah adalah maslahat, yang mana penetapan hukum dalam Islam harus
berakhir kepadanya. Menurut pandangan Ali Yafie, konsep maslahah dalam
ajaran fiqih dapat diperluas menjadi kepentingan umum yang ruang lingkupnya
tidak hanya terbatas kepada kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan
kelompok.
Maslahah dibagi menjadi 3 oleh para pakar ushul fiqih, yakni al-
Munsib al-mu’tabar, al-Munasib al-Mulgho, dan al-Munasib al-Mursal.
Al-Munsib al-Mu'tabar merupakan segala sesuatu yang keberadaannya
diakui dalam ketentuan yang sudah ditetapkan (syara’) untuk
mempertahankan kemaslahatan atau aktivitas yang mendatangkan
kemaslahatan dan menghindarkan kemungkaran sekaligus sebagai bentuk
perwujudan kelumrahan dan kebijakan Allah. Contoh dari al munsib al
mu'tabar adalah disyariatkannya berbagai rukhsoh (keringanan bagi orang
sakit) dan takhlif (kewajiban yang wajib dilaksanakan pada saat sudah
mencapai baligh) dalam agama. Yang kedua, al-Munasib al-Mulgho
merupakan sesuatu yang dianggap lebih mampu dalam merealisasikan
aktivitas yang berdampak positif (maslahat) namun keberadaannya tidak
diakui secara syara’ atau tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum
karena tidak sesuai dengan nash, contoh kasusnya, syara’ menetukan
bahwa orang yang melakukan hubungan badan di siang hari pada bulan
ramadan. 10 Yang ketiga, al-Munasib al-Mursal, yaitu syara’ tidak
memberikan keterangan yang mengesahkan keabsahannya kepada sutau
kemaslahatan atau dengan kata lain merupakan karakter yang selaras
dengan perilaku penetapan syariat dan tujuannya. Tetapi tidak terdapat
dalil yang spesifik untuk menolak maupun menetapkannya sebagai
realisasi dari kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, contohnya,
pembangunan penjara, pembuatan mata uang, dan lain sebagainya.

b. Kontekstualisasi konsep fardhu kifayah


Dalam pembagian hukum takhlifi para ulama menyepakati lima
kategori hukum salah satunya adalah hukum wajib yang masih dibagi
menjadi wajib ‘ain (fardhu ‘ain) dan wajib kifayah (fardhu kifayah).
Menurut Ali Yafie, makna dari fardhu ‘ain adalah kewajiban setiap
individu untuk mengembangkan potensi dan membina kondisi atau
keadaan dalam mencapai kemaslahatan. Sementara itu, fardhu kifayah
merupakan kewajiban secara kolektif dalam mengembangkan potensi dan
9
Yulianto. (2017). Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. SHAHIH, 26.
10
Djawas, M. (2017). JEJAK MAQASHID AL-SYARI‘AH DI NUSANTARA: Melacak
fuqahā‘ berbasis maqashid al-syari’ah dan hasil ijtihadnya. Conference Proceding-ARICIS I, 162.
keadaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan. Fardhu kifayah dalam
penjelasannya di berbagai ketentuan hukum Islam sedikit sekali
jumlahnya, Ali Yafie mengungkapkan bahwa konsep fardhu kifayah
sangat pasif dan cenderung negatif sebab penjelasan yang paling sering
hanya mengenai kewajiban shalat jenazah. 11
Dari sini, Ali Yafie mengenalkan makna aktif dari Imam Rafi’I yakni
kewajiban yang menyangkung kemaslahatan secara umum yang berkaitan
dengan keagamaan maupun urusan dunia untuk kehidupan bersama-sama.
Misalnya adalah pengatasan kemiskinan dan penyediaan lapangan
pekerjaan dan lain-lain dalam upaya untuk memajukan masyarakat. Fardhu
kifayah yang lebih aktif adalah kewajiban secara kolektif dalam
menyejahterakan umat. Sebab sejatinya sasaran fardhu kifayah adalah
menegakkan semangat masyarakat yang secara bersama-sama membentuk
kelompok yang sejahtera. Jadi tidak hanya mengupayakan kesejahteraan
pribadi namun kewajiban dalam rangka menyejahterakan kehidupan umat.
Dan dari keduanya, kemaslahatan dan konsep farhu kifayah, merupakan
akar pemikiran dari pembaruan fiqih sosial KH. Ali Yafie.

3. Pemikiran KH. Ali Yafie


KH. Ali Yafie, merupakah salah seorang yang menggagas pembaruan fiqih
sosial. Sedikit mengenai beliau yang lahir di Sulawesi Tengah pada 1926 dan
besar dilingkungan keagamaan yang bagus. Berangkat dari k emaslahatan umum
dan tuntutan zaman, Ali Yafie mengembangkan gagasan fiqih yang berimplementasi
kepada pemberdayaan hak-hak manusia. Berikut adalah contoh pemikiran dari KH.
Ali Yafie mengenai fiqih sosial.
a. Persoalan HAM
Permasalan hak asasi manusia seolah tak berhenti disuarakan termasuk
oleh KH. Ali Yafie. Hak-hak itu sendiri tidak boleh diganggu gugat dan
harus dilindungi, misalnya hak hidup, mendapat pekerjaan, kebebasan
beragama, yang sudah diatur dalam undang-undang. Ali Yafie sendiri
menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang muhtaram dimana
eksistensinya harus dimuliakan. Wujud perlindungan bagi hak-hak
tersebut ditetapkan dalam bentuk sanksi bagi yang melanggar HAM yang
ditampung dalam kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat.12 Dharuriyat atau
kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan di kehidupan yang
dijalaninya yang berkisar lima hal, jiwa raga, akal pikiran, nasab
keturunan, harta milik, dan agama. 13Kelimanya sekaligus menjadi
standar dalam hak-hak manusia yang bersifat asasi. Sedangkan hajjiyat

11
Sadat, A. (2011). FARDHU KIFAYAH (Sebuah Analisa Pemikiran Hukum Prof. K.H.
Ali Yafie). Jurnal Hukum Diktum, 134.
12
Huda, M. H. (2017). Relevansi Essensial Hak Manusia dan al Maqâshid al Syarî‘ah.
Maqashid, 38-53.
13
Ahmad, A. R. (2018). PEMIKIRAN K.H ALI YAFIE DALAM HUKUM
KELUARGA. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah:
Jakarta.
merupakan penjabaran wujud konkrit dari dharuriyat (kemaslahatan dasar)
dari kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan dirinya.
b. Pengelolaan zakat
Persoalan lain yang disoroti oleh KH. Ali Yafie adalah pengelolaan
zakat. Berdasarkan bukunya, Menggagas Fiqih Sosial, KH. Ali Yafie
mengungkapkan terkait pelaksanaan zakat ada tiga pihak yang terlibat
yakni, muzakki atau orang yang membayar zakat, amil atau orang yang
mengumpulkan, mengelola, dan menyalurkan zakat sebagai pihak kedua,
dan mustahiq atau orang yang menerima zakat sebagai pihak ketiga.
Menurutnya permasalahan zakat merupakan ajaran Islam yang secara jelas
mengarah pada nilai-nilai sosial yang mana perintahNya dalam Al-Qur’an
disebut sebanyak 32 kali. Ali Yafie menyebutkan dua aspek penting dari
zakat yakni pembayaran zakat dan penerimaan zakat dan keduanya
merupakan hal mutlak. Dapat disimpulkan bahwa orang Islam dianjurkan
untuk membayar zakat dan mempunyai harta dan ttidak menghendaki
umat Islam sebagai mustaqhiq, sebab kasus tersebut menunjukkan tidak
berdayanya sosial-ekonomi umat Islam.
Al-Qur’an sudah menyebutkan secara jelas bahwa orang-orang yang
berhak menerima zakat ada 8 golongan, yakni fisabilillah, (gharim) orang
yang memiliki hutang, fakir, miskin, mualaf, (riqab) budak yang
dibebaskan, sang amil zakat, dan ibnu sabil atau orang yang sedang dalam
perjalanan. 14 Namun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda
mengenai orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), yakni
menurut Ibnu Salaf yang membagi empat golongan yang berhak menerima
zakat: ibnu sabil atau orang yang sedang dalam perjalanan, gharim atau
orang yang berutang, fakir, serta miskin. Sementara itu, menurut Al-Qadhi
hanya dua golongan yang berhak menerima zakat yakni fakir dan miskin.
Ketentuan mustahiq tidak berhenti sampai di situ saja, kriteria peneima
zakat pun dispesifikkan misalnya pada ibnu sabil, tidak semua orang yang
sedang dalam perjalanan diberikan zakat, menurut Imam Syafi’i musafir
yang berhak adalah orang yang kehabisan bekal pada saat perjalanan atau
orang yang bermaksud melakukan perjalanan namun tidak memiliki bekal.
Adanya perbedaan penerima zakat tadi menurut Ali Yafie disesuaikan
dengan keadaan atau kondisi di setiap tempat.
Ali Yafie fokus menyoroti dana zakat dalam pemanfaatannya yang
dilaksanakan sesuai dengan arahan fiqih. Menurutnya sistem pemerataan
yang sudah dilakukan perlu dilakukan peninjauan kembali, misalnya pada
pemerataan mustahiq yang mana menerima zakat 10 kg atau lebih setiap
satu tahun. Yafie berpendapat bahwa sistem ini perlu diubah dengan
memberikan modal bagi para mustahiq sehingga diharapkan tahun-tahun
yang akan datang bukan menjadi penerima zakat namun sudah menjadi

14
Sodiman, M. P. (2016). POTENSI DAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ZAKAT
POTENSI DAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ZAKAT. Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis
Islam, 55.
orang yang berkewajiban membayar zakat. Dengan demikian dalam sistem
yang seperti ini, orang-orang yang membayarkan zakat akan naik
persentase setiap tahunnya dibanding presentase orang-orang yang
menerima zakat. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa zakat merupakan
persoalan sosial-ekonomi dimana umat Islam sangat dianjurkan untuk
membayarkannya sekaligus menjadi orang yang mempunyai harta
sehingga dapat membantu masyarakat Islam lain yang ekonominya sedang
dilanda kesusahan dan dapat menaikkan kesejahteraan sehingg tercipta
persaudaraan yang kuat antarsesama.
c. Lingkungan Hidup
Problematika lingkungan hidup juga menjadi perhatian KH. Ali Yafie.
Beliau mengarah pada Al-Qur’an pada surat Al-A’raf/7 ayat 156 dimana
menerangkan rahmat Allah yang terdiri atas segala sesuatu dan pada surat
Al-Anbiya’/21 ayat 107 yang menegaskan pengutusan Nabi Muhammad
SAW yang bertujuan sebagai rahmat bagi seluruh alam. 15Ali Yafie juga
mengacu pada ajaran fiqih yang terdiri dari rub’ul ibadat atau penataan
hubungan antara hamba dengan penciptanya, rub’ul muamalat atau
penataan hubungan manusia dengan sesamanya untuk melengkapi
kebutuhan sehari-hari, rub’ul munakahat atau penataan hubungan manusia
dengan keluarganya, dan yang terakhir rub’ul jinayat atau penataan pada
ketertiban dalam pergaulan yang aman dan tentram. Empat garis besar
tersebut merupakan bidang pokok kehidupan manusia. Masalah
lingkungan hidup tidak hanya soal pencemaran, pelestarian alam, dan lain-
lain namun problematika lingkungan hidup adalah pandangan hidup.
Masalah lingkungan sebagai kritik terfhadap ketimpangan dari energi
yang terkuras dan keterbelakangan dari pertumbuhan ekonomi yang
meledak dan tidak memiliki visi konservatif. Seperti yang diacu Ali Yafie
dalam Surat Al-Anbiya’/21 ayat 107 bahwa Nabi Muhammad adalah
rahmat bagi seluruh alam, seharusnya kita sebagai umatnya
mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelumnya bahkan sudah diisyaratkan bahwa manusia adalah perusak
sebagimana dapat dipahami dari pembicaraan Tuhan kepada malaikat pada
saat diciptakannya manusia olehNya. Allah sudah memperingatkan kita
dalam firmanNya untuk tidak melakukan perusakan di muka bumi, secara
tersirat menggambarkan manusia memiliki peranan dalam kerusakan di
darat maupun di laut. Dan fokus Ali Yafie lebih mengarah ke dalam
persoalan yang melibatkan sosial daripada permasalahan individu. Dari
pemikiran Ali Yafie mengenai masalah lingkungan tersebut dapat
disimpulkan bahwa permasalahan lingkungan tidak terbatas pada alam saja
namun lebih mengarah kepada hubungan manusia terhadap Tuhannya,
terhadap sesamanya (masyarakat), di dalam lingkungan keluarga, dan
bagaimana lingkungan itu menjamin pergaulan aman dan tentram.
d. Persoalan Pakaian

15
Yulianto. (2017). Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. SHAHIH, 26.
Salah satu aspek yang membedakan manusia dengan binatang selain
akal adalah pakaian. 16 Manusia mengenakan pakaian yang menutup aurat
dan digunakan sebagai pelindung sedangkan binatang tidak, jadi orang
yang tidak mengenakan pakaian, atau berpakaian namun telanjang
diumpamakan seperti binatang. Al-Qur’an menyebutkan beberapa tema
dalam pakaian, yaitu libas, siyab, zinah, dan riyas. Libas dan siyap
merupakan jenis pakaian yang mengacu kepada penutup aurat dimana
aurat disebut juga sebagai rus’an atau kehormatan, sedangkan zinah dan
riyas merupakan jenis pakaian yang mengacu kepada perhiasan atau
estetika. Di problematika pakaian, Ali Yafie membahas aurat sebagai
bagian tubuh yang harus ditutupi, dan dibagi menjadi dua macam, yakni
aurat mughallazah dan aurat biasa. Aurat mughallazah merupakan
kemaluan bagian depan dan belakang, yang mana lebih diutamakan untuk
tertutup dan tidak boleh dibuka kecuali dalam keadaan darurat. Yang
kedua, aurat biasa, yaitu bagian tubuh antara tubuh bagian pusar sampai
lutut untuk laki-laki kepada laki-laki lainnya dan perempuan-perempuan
yang bukan mahram dan yang termasuk mahramnya, kecuali istrinya.
e. Paradigam mengenai Al-Qur’an
Ali Yafie berpendapat bahwa prinsip diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk
memperkenalkan Tuhan yakni Allah SWT juga menyampaikan amanat serta
memberikan petunjuk yang diberikan kepada hambanya sebagai perwujudan
rahmatNya yang nyata.17 Pertama kali Al-Qu’an diturunkan menimbulkan
banyak reaksi, bahkan masyarakat jahiliyah memberikan reaksi yang cukup tajam
sehubungan dengan sifat dan karakter mereka yang keras dan sangat-sangat bebas
namun juga menguasai bahasa dan seni yang tinggi. Pada beberapa perjalaan
hingga sekarang pun, memunculkan faktor-faktor baru dimana masyarakat Islam
yang semakin meluas dan taraf hidup yang semakin tinggi yang harus mereka
tanggung. Keadaan ini menyebabkan pergeseran nilai dimana menimbulkan
generas-generasi sekarang akan sulit memahami Al-Qur’an daripaada generasi
sebelum-sebelumnya.
Memahami Al-Qur’an memang dibutuhkan pengertian yang lurus dan
menyeluruh. Ali Yafie mennyatakan bahwa memahami Al-Qur’an harus
dilakukan penafsiran secara menyeluruh atau mengelompokkan ayat al-Qur’an
menjadi satu dengan tema-tema yang dimaksud. Metode ini dikenal dengan tafsir
maudhu’i. Langkah-langkah dalam tafsir maudhu’i dibagi menjadi empat
langkah, yang pertama menentukan tema atau masalah yang akan dibahas,
hendaknya mendahulukan persoalan yang riil atau disentuh masyarakat secara
langsung yang membutuhkan jawaban dari Al-Qur’an. Yang kedua,
mengumpulkan ayat-ayat yang sesuai dengan tema yang akan dibahas tadi dan
disesuaikan dengan masa turunnya serta sebab ayat tersebut turun. Yang ketiga,
mengidentifikasi hubungan antara ayat-ayat berikut dan disusun dalam kerangkan
pembahasan yang sempurna. Yang keempat, melengkapi susunan yang sudah
dibahas dengan penambahan hadits yang relevan dengan tema yang dibahas.

16
Yulianto. (2017). Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. SHAHIH, 26.
17
Sadat, A. (2011). FARDHU KIFAYAH (Sebuah Analisa Pemikiran Hukum Prof. K.H.
Ali Yafie). Jurnal Hukum Diktum, 134.
Dengan mempelajari ayat-ayat yang memiliki pengertian sama maupun yang
bertentangan dan bertemu pada muara yang sama tanpa adanya perbedaan.
Dari pemikiran tersebut, Ali Yafie mencoba mencari dan mengumpulkan
tema pokok yang dapat menyelamai Al-Qur’an secara utuh, tema yang dimaksud
adalah eksistensi wahyu yang ditegaskan dan dikuatkan, masalah teologis atau
ketuahanan, pandangan terhadapa alam sekitar, hubungan antara manusia dengan
manusia, dan pandangan kepada problematika kehidupan.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Fiqih dibagai menjadi dua pengertian secara definitif yaitu fiqih dan sosial. Fiqih
dapat berarti pemahaman dan sosial menurut KBBI berarti senang memperhatikan
masalah umum. Fiqih sosial sendiri berarti pemahaman suatu produk hukum yang
dibahas secara mendalam untuk menghadapi persoalan kemasyarakatan. Fiqih
sangat berhubungan erat dengan sosial kemasyrakatan karena harus bergerak
secara dinamis agar tidak menimbulkan stagnansi sehingga persoalan masyarakat
dapat diselesaikan secara syari’at. Geneologi dan konsep fiqih sosial dari KH. Ali
Yafie, muncul dari pemikiran maqashid al syari’ah dan konsep fardhu ‘ain fardhu
kifayah. Fardhu kifayah dimana salah satu hukum islam dimana kewajiban yang
dilakukan secara kolektif untuk mencapai kesejahteraan bersama tidak banyak
ditemukan penjelasannya kecuali shalat jenazah. Berangkat dari kepentingan
untuk maqashid al syari’ah atau kemaslahatan umat dan fardhu kifayah yang
merupakan persoalan yang berhubungan dengan banyak orang merupakan cikal
bakal gagasan Ali Yafie dalam fiqih sosial. Contoh pemikiran Ali Yafie dalam
pembaruan fiqih sosial adalah permasalahan HAM yang melibatkan hak-hak
manusia sebagai manusia (diperlakukan selayaknya manusia), persoalan zakat
dimana Ali Yafie mengharapkan perubahan sistem bagi para penerima zakat
supaya kedepannya tidak lagi menjadi penerima namun orang yang membayarkan
zakat. Kemudian persoalan lingkungn hidup yang mana tidak hanya terbatas pada
permasalahan alam dan lingkungan namun turut serta membahas manusia yang
dihubungkan dengan permasalahan tersebut. Kemudian persoalan pakaian, dan
yang terakhir yng dibahas dalam makalah ini adalah paradigm beliau mengenai
sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. R. (2018). PEMIKIRAN K.H ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN Syarif
Hidayatullah: Jakarta.

Ainiyyah, Q. (2015, December 29). IMPLEMENTASI MAQASHID AL-SYARI’AH


MELALUI FIQH SOSIAL(Mengkaji Gagasan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal
Mahfudh). Retrieved December 18, 2020, from Urwatul Wutsqo:
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/article/view/979

CNN. (2020, June 5). Fatwa dan Panduan Salat Jumat saat Pandemi Covid-19.
Retrieved December 18, 2020, from https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20200605065034-284-510070/fatwa-dan-panduan-salat-jumat-saat-
pandemi-covid-19

Dahlan, M. (2017). Paradigma Fiqih Sosial KH Ali Yafie. Nuansa, 15.

Djawas, M. (2017). JEJAK MAQASHID AL-SYARI‘AH DI NUSANTARA: Melacak


fuqahā‘ berbasis maqashid al-syari’ah dan hasil ijtihadnya. Conference
Proceding-ARICIS I, 162.

Fathorrahman. (2020). KONTRUKSI PEMIKIRAN FIKIH SOSIAL KH. ALI YAFIE


DALAM MERESPONS PROGRAM PEMERINTAH DI ERA ORDE BARU.
Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam, 127-128.

Firdaningsih, M. S. (2019). Delapan Golongan Penerima Zakat Analisis Teks dan


Konteks. EQUILIBRIUM: Jurnal Ekonomi Syariah, 316-342.

Harisudin, M. N. (2019). Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya: Pena Salsabila.

Hilal, S. (2012). Fiqih dan Permasalahan Kontemporer. Jurnal ASAS.

Huda, M. H. (2017). Relevansi Essensial Hak Manusia dan al Maqâshid al Syarî‘ah.


Maqashid, 38-53.

Ilmu, K. (2013, January). Pemikiran Ali Yafie. Retrieved Desember 18, 2020, from
http://aam-ezaam.blogspot.com/2013/01/pemikiran-fikih-ali-yafie.html

Sadat, A. (2011). FARDHU KIFAYAH (Sebuah Analisa Pemikiran Hukum Prof. K.H.
Ali Yafie). Jurnal Hukum Diktum, 134.

Sodiman, M. P. (2016). POTENSI DAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ZAKAT


POTENSI DAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN ZAKAT. Jurnal Studi
Ekonomi dan Bisnis Islam, 55.

Yulianto. (2017). Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. SHAHIH, 26.

Zubaedi. (2006). Membangun Fikih yang Berorientasi Sosial. Al-Ja>mi‘ah, 429-452.

Anda mungkin juga menyukai