Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

EFFICACY OF SUBCONJUNCTIVAL BEVACIZUMAB INJECTIONS BEFORE


AND AFTER SURGICAL EXCISION IN PREVENTING PTERYGIUM
RECURRENCE

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun Oleh :
Effitra Febrina H2A013030P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
PERIODE 26 FEBRUARI – 23 MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT MATA

Journal Reading dengan judul :

Keberhasilan Injeksi Bevacizumab Subkonjungtiva sebelum dan sesudah


Pembedahan Eksisi dalam Mencegah Kekambuhan Pterigium

Efficacy of Subconjunctival Bevacizumab Injections before and after Surgical


Excision in Preventing Pterygium Recurrence

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Effitra Febrina
H2A013030P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

dr. Retno Wahyuningsih, SpM


Keberhasilan Injeksi Bevacizumab Subkonjungtiva sebelum dan sesudah
Pembedahan Eksisi dalam Mencegah Kekambuhan Pterigium

Abstrak
Tujuan. Untuk mengevaluasi keberhasilan injeksi bevacizumab subkonjungtiva,
sebelum dan sesudah pembedahan eksisi dengan teknik bare sclera, dalam
mencegah pretigium berulang setelah operasi.
Bahan dan Metode. 83 mata dari 83 pasien yang menderita pterigium primer
mengalami pembedahan eksisi. 42 mata mendapatkan dua injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, dengan dosis 2.5mg/0.1ml, satu minggu sebelum operasi dan satu
minggu setelah intervensi. Tingkat kekambuhan dievaluasi diantara 2 kelompok.
Apalagi, modifikasi ukuran dan derajat pterigium dievaluasi satu minggu setelah
injeksi pertama.
Hasil. Enam bulan setelah operasi, tingkat kekambuhan kelompok dengan
bevacizumab sebesar 7.14% dan kelompok control sebesar 24.39%. Perubahan
signifikan dari ukuran dan derajat pterigium dilaporkan setelah injeksi pertama.
Tidak ada komplikasi yang berhubungan dengan pemberian injeksi bevacizumab
subkonjungtiva. Pemberian injeksi bevacizumab subkonjungtiva, dengan dosis 2.5
mg/0.1 ml. sebelum dan sesudah pembedahan eksisi, bermanfaat dalam mencegah
kekambuhan lesi setelah prosedur bare sclera. Terlebih, pemberian bevacizumab
subkonjungtiva dapat ditoleransi dengan baik dan dapat menjadi alternatif yang
lebih aman dibandingkan dengan teknik bedah dan obat tambahan lainnya.

1. Pendahuluan
Pterigium adalah kondisi degeneratif dari konjungtiva yang sangat umum
meskipun penyebab pasti lesi ini tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko
meliputi paparan sinar ultraviolet dan sinar matahari, angina, debu, trauma,
dan inflamasi. Peningkatan insidensi dilaporkan terjadi pada pekerjaan
tertentu, seperti pengelasan, pertamanan, pertanian, dan penangkapan ikan.
Prevalensinya juga meningkat dari individu dari iklim yang lebih hangat
dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan di luar rumah dan dua
kali lebih mungkin terjadi pada pria daripada wanita [1,2].
Meskipun biasanya dideskripsikan sebagai proses degenerasi, inflamasi
dan proliferasi fibrovaskular telah terbukti menjadi faktor yang penting dalam
patogenesisnya. Karena pterigia terdiri dari proliferasi jaringan fibrovaskular,
jelas bahwa neovaskularisasi terlibat dalam perkembangannya. Hal tersebut
telah ditunjukkan bahwa terdapat angiogenesis selama pembentukan
pterigium. Banyak faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β), dan tumor necrosis factor-
alpha (TNF-α) secara kimia merangsang angiogenesis dan telah diobservasi
pada fibloblastik dan inflamasi sel pterigium [4]. Berbagai penelitian telah
menunjukkan peningkatan VEGF dalam pathogenesis pterigium. Pada
penelitian imunohistokimia, telah ditunjukkan bahwa imunostaning VEGF
jauh lebih intensif dipelajari pada bagian pterigium dibandingkan jaringan
konjungtiva normal [5,6].
Saat ini tidak ada penanganan medis yang dapat diandalkan untuk
mengurangi atau bahkan mencegah perkembangan pterigium. Terapi definitif
yang dicapai dengan pembedahan eksisi, biasanya dilakukan jika pasien
mengalami gejala kronis, tidak responsif terhadap terapi non bedah, atau
hingga mengganggu penglihatan. Namun, operasi saja tidak dapat mencegah
terjadinya kekambuhan. Tidak ada perawatan tunggal yang lebih unggul
dibandingkan yang lain. Untuk mengurangi tingkat kekambuhan, berbagai
modalitas telah diusulkan. Keberhasilan operasi pterigium bergantung pada
tingkat penyembuhan luka pasca operasi dan jumlah pembentukan jaringan
parut. Kekambuhan terjadi saat fibroblast berproliferasi dan bermigrasi ke
arah kornea [7 – 9].
Penyebab kekambuhan pterigium yang paling umum adalah trauma bedah,
dan komponen histopatologi meliputi neovaskularisasi dan proliferasi
fibroblast. Sebagian besar tatalaksana medis melibatkan tindakan yang efektif
dalam menghambat aktivitas fibrovaskular, yang memainkan peran kunci
dalam kekambuhan pterigium. Bukti awal menunjukkan bahwa bevacizumab
lokal mungkin efektif dalam penanganan neovaskularisasi permukaan okular.
Manzano dkk menunjukkan bahwa bevacizumab topikal, 4 mg/ml, membatasi
neovaskular kornea pada model tikus [10]. Sebuah laporan kasus baru-baru ini
menunjukkan kemanjuran 2.5% bevacizumab topikal yang diberikan empat
kali sehari selama 3 minggu untuk menghambat kekambuhan pada pasien
dengan pterigium berulang [11]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi keberhasilan suatu protokol berdasarkan penggunaan dua
injeksi 2.5 mg/ml bevacizumab, sebelum dan sesudah operasi, sebagai terapi
tambahan pada pembedahan eksisi pterigium.

2. Metode
83 mata dari 83 pasien yang mengalami pterigium primer telah terdaftar
dalam penelitian klinis prospektif, komparatif dan uji buta. Informed consent
diperoleh dari semua pasien sebelum pengobatan. Semua pasien menjalani
pemeriksaan oftalmologi lengkap sebelum dan sesudah operasi. Kriteria
eksklusi meliputi kehamilan, penyakit pada permukaan ocular dan infeksi,
kelainan autoimun, dan operasi limbal sebelumnya.
Semua pasien menjalani eksisi pterigium dengan operasi bare sclera,
dilakukan oleh seorang dokter spesialis bedah. Teknik bedah yang dilakukan:
(1) Injeksi anestesi subkonjungtival (lidokain 2%) pada area sekitar
pterigium (5 mm dari limbus);
(2) Eksisi pterigium, dimulai dari bagian kepala, diikuti dengan pelepasan
bagian badan pterigium;
(3) Eksposisi dari bare sclera berbentuk segitiga dengan dimensi kecil
(dengan dasar pada tingkat limbus dan tepi masing-masing 1 mm,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1);
(4) Jahit konjungtiva dengan vicryl 7-0 di akhir prosedur. Simpul jahitan
dan ujung kawat ditutup oleh konjungtiva untuk mencegah rangsangan
inflamasi.
Gambar 1. Metode untuk mengukur dimensi pterigium. Metode ini, berdasarkan
pengukuran yang dilakukan oleh Singh dkk dalam penelitiannya (2015), dapat dianggap
sederhana karena bentuk pterigium dianggap sebagai trapezium

Pasien diacak menjadi dua kelompok. 42 mata yang mendapat dua injeksi
bevacizumab subkonjungtival (2.5 mg/0.1 ml), yang pertama 7 hari sebelum
eksisi pterigium dan yang kedua 15 hari setelah pembedahan (kelompok A).
Injeksi bevacizumab untuk penggunaan subkonjungtival diekstraksi dari 100
mg vial komersil yang tersedia. Persiapan injeksi telah dilakukan pada
workstation aliran laminar vertikal. Injeksi pertama dilakukan pada bagian
tubuh pterigium, sedangkan injeksi kedua diberikan pada bagian apeks dan
tepi dari insisi segitiga. 41 mata terdaftar pada kelompok kontrol dan tidak
mendapatkan injeksi subkonjungtival (kelompok B). Pasien diobati dengan
tetes mata tobramycin dan deksametason tiga kali sehari selama 1 minggu
setelah pembedahan.
Semua pasien diikuti selama 6 bulan oleh dua pemeriksa independen,
untuk menilai frekuensi kekambuhan pterigium di antara kelompok yang
diteliti. Setelah injeksi pertama, perubahan vaskularisasi dan dimensi
pterigium dievaluasi sesaat sebelum pembedahan eksisi pada hari ke 7.
Dimensi pterigium diukur dengan menghitung area setelah mengambil
panjang dalam mm (dari dasar, dianggap pada tingkat caruncola, sampai
puncak, yang dianggap paling menonjol pada kornea) dan lebar dalam mm
pada daerah dasar dan apikal. (Gambar 2). Untuk mengamati perubahan dari
vaskularisasi setelah injeksi pertama, kami membandingkan foto yang diambil
pada slit lamp saat kunjungan saat registrasi dengan yang diambil pada 7 hari
setelah pemberian bevacizumab subkonjunctival pertama. Tingkatan
vaskularisasi dilakukan pada semua foto sesuai dengan skema yang diajukan
oleh Tan dkk. [12]:
(1) Derajat 1 (atrofi): pembuluh episkleral dapat dibedakan jelas di bawah
tubuh pterigium
(2) Derajat II (intermediate): pembuluh episkleral yang terlihat sebagian di
bawah tubuh pterigium
(3) Derajat III (fleshy): pembuluh episkleral yang benar-benar tertutup di
bawah tubuh pterigium.

Gambar 2. Diagram skematik menunjukkan jumlah bare sclera yang tersisa setelah eksisi.
BS = bare sclera; C = konjungtiva

Kunjungan follow-up dijadwalkan pada 1 hari, 1 minggu, dan 1, 3, dan 6


bulan. Kekambuhan didefinisikan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular
yang meluas lebih dari 1 mm di melewati limbus. Penguji tidak diberitahu
mengenai protokol pengobatan. Signifikansi statistik yang terkait dengan
perbedaan tingkat kekambuhan antara kedua kelompok telah dievaluasi
dengan uji chi-square. Perubahan signifikan dari rata-rata dimensi pterigium
antara kedua kelompok dievaluasi dengan Student’s t-test, sedangkan
perubahan tingkat pterigium antar kelompok dievaluasi dengan menggunakan
uji Mann-Whitney.
3. Hasil
Karakteristik pasien yang masuk dalam kriteria inklusi tercantum pada
Tabel 1. Tidak ada perbedaan signifikan mengenai jenis kelamin dan usia di
antara kedua kelompok. Perubahan rata-rata dimensi lesi dan vaskularisasi
pada 1 minggu setelah injeksi pertama pada kelompok A ditunjukkan pada
Gambar 3 dan 4. Pada 6 bulan setelah pembedahan, tingkat kekambuhan
adalah 7,14% pada kelompok A (n = 3) dan 24,39% pada kelompok B (n =
10). Perbedaan ini signifikan secara statistik (p = 0.03; CI 0.02 – 34.14).
Semua kasus kekambuhan pterigium pada kelompok A terjadi pada subyek
dengan usia di atas 50 tahun sementara 2 kasus pada kelompok B terjadi pada
pasien dengan usia di bawah 50 tahun. Pasien wanita yang menderita
kekambuhan pterygium adalah 1 orang pada kelompok A dan 2 orang pada
kelompok B. Semua kasus kekambuhan pterigium pada kelompok A
dilaporkan pada 3 bulan setelah injeksi subkonjungtival kedua. Mengenai
kelompok B, 2 kasus kekambuhan terjadi pada 1 bulan setelah pembedahan, 6
kasus terjadi setelah 3 bulan, dan sisanya dilaporkan pada follow-up bulan ke
6. Tidak ada komplikasi yang berhubungan dengan injeksi bevacizumab
subkonjungtival yang terdaftar selama periode follow-up.
Tabel 1: Karakteristik pasien kelompok A dan B
Kelompok A Kelompok B
Jumlah pasien 42 41
Usia rata-rata 52.39 (42-63) 54.02 (46-62)
Pria 20 23
Wanita 22 18
Gambar 3. Rata-rata perubahan dimensi pterigium satu minggu setelah injeksi bevacizumab
subkonjungtival pertama pada kelompok A

Gambar 4. Rata-rata perubahan tingkat pterigium 1 minggu setelah injeksi bevacizumab


subkonjungtival pada kelompok A

4. Diskusi
Perhatian utama dalam pembedahan pterigium adalah kekambuhan, yang
didefinisikan sebagai pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskular melewati
limbus dan kornea. Untuk mengurangi tingkat kekambuhan, berbagai
modalitas telah diusulkan. Umumnya, kekambuhan pterigium terjadi selama 6
bulan pertama setelah pembedahan. Sejumlah faktor seperti jenis pterigium,
usia pasien, agen lingkungan, dan teknik bedah mungkin berperan dalam
kekambuhan pterigium.
Sebenarnya, teknik bare sclera, yang melibatkan eksisi kepala dan badan
pterigium sementara membiarkan scleral bed untuk re-epitelisasi, biasanya
dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi (24-89%) [13]. Dalam
penelitian ini, dimaksudkan untuk mengevaluasi efikasi suntikan bevacizumab
2.5 mg/0.1 ml – diberikan sebelum dan sesudah pembedahan eksisi pterigium
dengan teknik bare sclera – untuk mencegah kekambuhan pasca operasi.
Inilah satu-satunya studi yang menggunakan waktu khusus untuk injeksi
bevacizumab subkonjungtival, pada saat ini.
Teknik bare sclera telah dipilih untuk penelitian ini karena mudah
dilakukan dan biasanya berhubungan dengan tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi, sehingga membuktikan bahwa pembedahan saja tidak cukup untuk
mencegah kekambuhan. Kami memilih untuk tidak memberikan jenis
injeksi/plasebo apapun sebelum/setelah operasi pada kelompok kontrol,
karena kami bermaksud mencegah respon inflamasi apapun, yang terkait
dengan injeksi itu sendiri, yang dapat mempengaruhi tingkat kekambuhan
pada kelompok ini. Selain itu, teknik eksisi yang berbeda, bahkan jika
memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah, dapat dihubungkan dengan
masalah seperti edema graft konjungtiva, nekrosis graft, hematoma, Tenon’s
pyogenic granuloma, corneoscleral dellen, kista inklusi epitel, fibrosis situs
donor (untuk autograft dan aplikasi konjungtiva dari membran amnion, juga)
[14-16]. Selain itu, rotasi autograft konjungtiva tidak dapat digunakan pada
kasus dengan area bare scleral yang luas setelah eksisi [17]. Sehubungan
dengan transplantasi membran amnion, potensi risiko kontaminasi membran
amnion dengan konsekuensi kegagalan masih ada dan tidak dapat diabaikan
[18]. Selanjutnya, penggunaan membran amnion dikaitkan dengan biaya yang
lebih tinggi dan ketersediaan yang kurang.
Obat tambahan untuk eksisi pterigium meliputi tindakan untuk melawan
aktivitas fibrovaskular yang memainkan peran kunci dalam kekambuhan
pterigium. Penerapan mitomisin C ke scleral bed selama 3 menit terbukti
bermanfaat dalam pencegahan kekambuhan pterygium [19], namun, terlepas
dari biaya yang mahal, prosedur ini dapat dikaitkan dengan ulserasi skleral,
skleritis nekrosis, perforasi (lebih sering di mata miopi, mungkin karena
dinding sklera yang lebih tipis) iridosiklitis, katarak, glaukoma, kalsifikasi
sklera, dan kehilangan mata. Untuk alasan ini, mitomisin C tidak sepenuhnya
aman dan dapat menyebabkan lebih banyak kesulitan [20, 21]. Penerapan
tunggal mitomycin C dosis rendah sebelum/intraoperatif dibuktikan selama
bertahun-tahun menjadi modalitas yang lebih aman dan efektif untuk
pengelolaan kekambuhan pterigium, namun efek samping seperti epitelisasi
yang tertunda (> 2 minggu) dan penipisan sklera masih dimungkinkan [22 ].
Selanjutnya, pencairan transplantasi membran konjungtiva atau amnion masih
dimungkinkan jika dikaitkan dengan aplikasi mitomycin C, sehingga
mengurangi keberhasilan teknik ini [23]. Walkow dkk. menunjukkan bahwa
teknik eksisi bare sclera berhubungan dengan keratektomi fototherapeutik dan
tetes mata mitomycin C 0.02% postoperatif dua kali sehari selama 4 hari
adalah metode yang relatif aman yang dapat mengurangi kekambuhan
pterigium sampai 2,9% setelah 28 bulan [24]; namun, penerapan laser excimer
sering dikaitkan dengan peningkatan biaya dan mungkin tidak selalu tersedia
untuk tujuan ini.
Penerapan bevacizumab subkonjungtiva selain eksisi bedah tampaknya
dapat ditoleransi dengan baik pada penelitian sebelumnya [25]. Bahkan dalam
penelitian kami, tidak ada komplikasi setelah beberapa injeksi bevacizumab
subkonjungtiva. Efek samping ringan dari injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, seperti perdarahan konjungtiva, telah dilaporkan namun,
karena sejumlah kecil subjek dalam penelitian sebelumnya, kesimpulan
definitif mengenai keamanan dan efek jangka panjang masih diperdebatkan.
Namun, sampai hari ini, tidak ada kesepakatan tentang protokol mana yang
harus diterapkan. Satu-satunya penelitian lain yang mengevaluasi injeksi
bevacizumab subkonjungtiva setelah eksisi pterigium dengan teknik bare
sclera telah dilakukan oleh Shenasi dkk. Selama penyelidikan tersebut, tidak
ada efek signifikan dari bevacizumab yang terdaftar; namun, dalam
kesempatan itu, dosis tunggal dengan dosis rendah bevacizumablah yang
digunakan [26].
Razeghinejad dkk. melaporkan bahwa injeksi subkonjungtiva tunggal
bevacizumab intraoperatif (1.25 mg/0.1 ml) tidak berpengaruh pada tingkat
kekambuhan [27]. Singh dkk. menggunakan injeksi tunggal bivacizumab
subkonjungtival dosis rendah (1.25 mg/0.5 ml) sebelum operasi tanpa efek
signifikan pada tingkat kekambuhan setelah 3 bulan, bahkan jika ada
peningkatan yang signifikan dalam tingkatan, intensitas warna, dan ukuran
pterigium [28]. Injeksi tunggal bevacizumab dosis rendah, baik sebelum
operasi atau pasca operasi, tidak menunjukkan keberhasilan karena efek
sementara obat anti-VEGF, terkait dengan waktu paruh pendek mereka; oleh
karena itu, disarankan untuk mengulangi injeksi setelah operasi dan
menerapkan dosis bevacizumab yang lebih tinggi.
Nava-Castañeda dkk. telah mempelajari manfaat autograft konjungtiva 2.5
mg/0.1 ml dan dua bevacizumab subkonjungtiva (yang pertama segera setelah
operasi dan yang kedua setelah 15 hari) dalam mengurangi kekambuhan
penyakit ini, dengan hasil yang memuaskan setelah follow up 1 tahun [29].
Studi lain dilakukan oleh Ozsutcu dkk. mengevaluasi penggunaan injeksi
bevacizumab intraoperatif, dengan dosis yang sama, terkait dengan eksisi
pterigium dengan flap rotasi konjungtiva diikuti suntikan lain setelah 1
minggu, melaporkan kekambuhan yang jauh lebih sedikit daripada flap rotasi
saja [30]. Tidak ada efek samping yang terkait dengan injeksi bevacizumab
yang diamati pada penelitian sebelumnya [31-33].
Dalam penelitian kami, tingkat kekambuhan secara signifikan lebih rendah
pada kelompok yang menjalani injeksi bevacizumab sebelum dan sesudah
operasi (Gambar 5). Selain itu, kami mengamati perbaikan dimensi dan
vaskularisasi pterigium satu minggu setelah injeksi subkonjungtiva pertama
(Gambar 6). Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa aplikasi bevacizumab
sebelum operasi dapat menyebabkan beberapa perubahan morfologi yang
dapat memfasilitasi eksisi bedah selanjutnya. Bahkan Fallah dkk.
mengevaluasi efikasi injeksi bevacizumab intralesional (2.5 mg/0.1 ml) dalam
mengurangi ukuran pterigium dan merasa cukup efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik (penurunan rata-rata ukuran lesi adalah 3.97 ± 3.84%) [34].
Namun, karena efek bevacizumab mungkin bersifat sementara, injeksi kedua
diperlukan untuk menghambat fase akut fibrovaskular yang terjadi segera
setelah operasi dan mungkin bertanggung jawab atas onset kekambuhan.

Gambar 5. Hasil dari penggunaan injeksi bevacizumab subkonjungtiva sebelum dan sesudah
operasi pterigium dengan teknik bare sclera: (a) keadaan sebelum operasi, (b) 1 hari setelah
operasi (1 minggu setelah injeksi bevacizumab pertama), (c) 1 hari setelah injeksi
bevacizumab kedua, dan (d) 6 bulan follow-up

Gambar 6. Modifikasi vaskularisasi pada lesi setelah injeksi bevacizumab subkonjungtiva


pertama. (a) keadaan sebelum operasi dan (b) 1 minggu setelah injeksi bevacizumab

5. Kesimpulan
Meskipun pada saat ini masih belum tersedia secara luas mengenai
modalitas pemberian, waktu, dan dosis, penerapan injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, dengan dosis 2.5 mg/0.1 ml, sebelum dan sesudah
pembedahan eksisi pterigium, dapat bermanfaat dalam mencegah kekambuhan
lesi setelah prosedur bare sclera. Tidak ada efek samping yang dilaporkan di
antara pasien yang dirawat, mengkonfirmasi bahwa relatif aman dengan cara
dan dosis pemberian seperti ini. Protokol perawatan ini mudah dilakukan
dengan biaya dan tingkat efek samping yang mungkin lebih rendah jika
dibandingkan dengan penerapan mitomisin C. Selain itu, pemilihan prosedur
bare sclera diikuti dengan injeksi bevacizumab subkonjungtiva sebagai
pengobatan tahap pertama dapat mencegah komplikasi yang terkait dengan
teknik bedah lainnya yang masih bisa diaplikasikan dengan mudah, di lain
waktu, jika terjadi kegagalan pada pendekatan pertama atau pelebaran defek
pasca operasi. Namun, jika terjadi kegagalan autograft konjungtiva atau
membran amnion, interferensi ulang dapat menyebabkan kesulitan teknis yang
lebih besar.
Mekanisme kekambuhan pterigium masih belum sepenuhnya jelas, namun
VEGF dan neovaskularisasi memainkan peran penting dalam
perkembangannya. Dokter bedah harus mempertimbangkan banyak faktor
untuk menurunkan risiko kekambuhan sebanyak mungkin. Investigasi lebih
lanjut diperlukan untuk memahami efikasi dan batas nyata dari terapi
tambahan dengan injeksi bevacizumab subkonjungtiva. Sebenarnya, masih
ada sedikit pengalaman dalam penerapan bevacizumab sebagai pengobatan
tambahan untuk pembedahan menghilangkan pterigium; dengan demikian
rekomendasinya sebagai terapi lini pertama masih kontroversial.
Bagaimanapun, injeksi bevacizumab subkonjungtiva berulang mungkin
terbukti sebagai alternatif dan pengobatan tambahan yang efektif dalam
operasi eksisi pterigium, memperluas persenjataan yang kita miliki, dalam
pengelolaan episode berulang. Survei lebih lanjut mengenai polimorfisme
genetik dapat menentukan perbedaan respons pengobatan di antara individu
yang berbeda. Jika ditemukan bukti baru, akan memungkinkan untuk
meramalkan keberhasilan terapi antiangiogenetik dan mengantisipasi hasil
setelah pemberiannya.

Persetujuan Etik
Semua prosedur dalam penelitian ini mengenai konduksi dan dokumentasi
dilakukan sesuai dengan prinsip etika yang ditetapkan dalam Deklarasi Helsinki
dan revisinya. Uji coba ini telah disetujui oleh Dewan Farmasi Internal Rumah
Sakit Universitas San Luigi Gonzaga (University of Turin) pada tanggal 26
November 2015.

Referensi
1. W. Tasman and E. A. Jaeger, Duane's Clinical Ophthalmology, vol. 6p. 35,
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, 2002.

2. D. J. Moran and F. C. Hollows, “Pterygium and ultraviolet radiation: a


positive correlation,” The British Journal of Ophthalmology, vol. 68, no. 5, pp.
343–346, 1984.

3. M. Aspiotis, E. Tsanou, S. Gorezis et al., “Angiogenesis in pterygium: study


of microvessel density, vascular endothelial growth factor, and
thrombospondin-1,” Eye (London, England), vol. 21, no. 8, pp. 1095–1101,
2007.

4. L. Kria, A. Ohira, and T. Amemiya, “Immunohistochemical localization of


basic fibroblast growth factor, platelet derived growth factor, transforming
growth factor-beta and tumor necrosis factor-alpha in pterygium,” Acta
Histochemica, vol. 98, no. 2, pp. 195–201, 1996.

5. J. Mauro and C. S. Foster, “Pterygia: pathogenesis and the role of


subconjunctival bevacizumab in treatment,” Seminars in Ophthalmology, vol.
24, no. 3, pp. 130–134, 2009.

6. H. Hosseini, M. Nejabat, and M. R. Khalili, “Bevacizumab (Avastin) as a


potential novel adjunct in the management of pterygia,” Medical Hypotheses,
vol. 69, no. 4, pp. 925–927, 2007.

7. P. Prabhasawat, N. Tesavibul, K. Leelapatranura, and T. Phonjan, “Efficacy of


subconjunctival 5-fluorouracil and triamcinolone injection in impending
recurrent pterygium,” Ophthalmology, vol. 113, no. 7, pp. 1102–1109, 2006.
8. J. Frucht-Pery, C. S. Siganos, and M. Ilsar, “Intraoperative application of
topical mitomycin C for pterygium surgery,” Ophthalmology, vol. 103, no. 4,
pp. 674–677, 1996.

9. M. J. Maldonado, J. Cano-Parra, A. Navea-Tejerina, A. L. Cisneros, E. Vila,


and J. L. Menezo, “Inefficacy of low-dose intraoperative fluorouracil in the
treatment of primary pterygium,” Archives of Ophthalmology, vol. 113, no.
11, pp. 1356–1357, 1995.

10. R. P. Manzano, G. A. Peyman, P. Khan et al., “Inhibition of experimental


corneal neovascularisation by bevacizumab (Avastin),” The British Journal of
Ophthalmology, vol. 91, no. 6, pp. 804–807, 2007.

11. P. C. Wu, H. K. Kuo, M. H. Tai, and S. J. Shin, “Topical bevacizumab


eyedrops for limbal-conjunctival neovascularization in impending recurrent
pterygium,” Cornea, vol. 28, no. 1, pp. 103–104, 2009.

12. D. T. Tan, S. P. Chee, K. B. Dear, and A. S. Lim, “Effect of pterygium


morphology on pterygium recurrence in a controlled trial comparing
conjunctival autografting with bare sclera excision,” Archives of
Ophthalmology, vol. 115, no. 10, pp. 1235–1240, 1997.

13. P. A. Jaros and V. P. DeLuise, “Pingueculae and pterygia,” Survey of


Ophthalmology, vol. 33, no. 1, pp. 41–49, 1988.

14. K. R. Kenyon, M. D. Wagoner, and M. E. Hettinger, “Conjunctival autograft


transplantation for advanced and recurrent pterygium,” Ophthalmology, vol.
92, no. 11, pp. 1461–1470, 1985.

15. S. Lewallen, “A randomized trial of conjunctival autografting for pterygium in


the tropics,” Ophthalmology, vol. 96, no. 11, pp. 1612–1614, 1988.

16. M. Ozdemir, “Conjunctival Z-plasty for pterygium: comparison with


conjunctival autografting,” European Journal of General Medicine, vol. 5, no.
2, pp. 84–89, 2008.
17. H. W. Pan, J. X. Zhong, and C. X. Jing, “Comparison of fibrin glue versus
suture for conjunctival autografting in pterygium surgery: a meta-analysis,”
Ophthalmology, vol. 118, no. 6, pp. 1049–1054, 2011.

18. A. Katbaab, H. R. Anvari Ardekani, H. Khoshniyat, and H. R. Jahadi


Hosseini, “Amniotic membrane transplantation for primary pterygium
surgery,” J. Ophthalmic Vis. Res., vol. 3, no. 1, pp. 23–27, 2008.

19. F. Segev, S. Jaeger-Roshu, N. Gefen-Carmi, and E. I. Assia, “Combined


mitomycin C application and free flap conjunctival autograft in pterygium
surgery,” Cornea, vol. 22, no. 7, pp. 598–603, 2003.

20. J. Frucht-Pery, F. Raiskup, M. Ilsar, D. Landau, F. Orucov, and A. Solomon,


“Conjunctival autografting combined with lowdose mitomycin C for
prevention of primary pterygium recurrence,” American Journal of
Ophthalmology, vol. 141, no. 6, pp. 1044–1050, 2006.

21. Y. A. Katircioğlu, U. E. Altiparmak, and S. Duman, “Comparison of three


methods for the treatment of pterygium: amniotic membrane graft,
conjunctival autograft and conjunctival autograft plus mitomycin C,” Orbit,
vol. 26, no. 1, pp. 5–13, 2007.

22. K. S. Zaky and Y. M. Khalifa, “Efficacy of preoperative injection versus


intraoperative application of mitomycin in recurrent pterygium surgery,”
Indian Journal of Ophthalmology, vol. 60, no. 4, pp. 273–276, 2012.

23. R. Chen, G. Huang, S. Liu, W. Ma, X. Yin, and S. Zhou, “Limbal conjunctival
versus amniotic membrane in the intraoperative application of mitomycin C
for recurrent pterygium: a randomized controlled trial,” Graefe's Archive for
Clinical and Experimental Ophthalmology, vol. 255, no. 2, pp. 375– 385,
2017.

24. T. Walkow, J. Daniel, C. H. Meyer, E. B. Rodrigues, and S. Mennel, “Long-


term results after bare sclera pterygium resection with excimer smoothing and
local application of mitomycin C,” Cornea, vol. 24, no. 4, pp. 378–381, 2005.
25. Q. Hu, Y. Qiao, X. Nie, X. Cheng, and Y. Ma, “Bevacizumab in the treatment
of pterygium: a meta-analysis,” Cornea, vol. 33, no. 2, pp. 154–160, 2014.

26. A. Shenasi, F. Mousavi, S. Shoa-Ahari, B. Rahimi-Ardabili, and R. F.


Fouladi, “Subconjunctival bevacizumab immediately after excision of primary
pterygium: the first clinical trial,” Cornea, vol. 30, no. 11, pp. 1219–1222,
2011.

27. M. R. Razeghinejad, H. Hosseini, F. Ahmadi, F. Rahat, and H. Eghbal,


“Preliminary results of subconjunctival bevacizumab in primary pterygium
excision,” Ophthalmic Research, vol. 43, no. 3, pp. 134–138, 2010.

28. P. Singh, L. Sarkar, H. S. Sethi, and V. S. Gupta,“A randomized controlled


prospective study to assess the role of subconjunctival bevacizumab in
primary pterygium surgery in Indian patients, ” Indian Journal of
Ophthalmology, vol. 63, no. 10, pp. 779 –784, 2015.

29. A. Nava-Castañeda, O. Olvera-Morales, C. Ramos-Castellon, L. Garnica-


Hayashi, and Y. Gar fias, “Randomized, controlled trial of conjunctival
autografting combined with subconjunctival bevacizumab for primary
pterygium treatment: 1- year follow-up, ” Clinical and Experimental
Ophthalmology , vol. 42, no. 3, pp. 235 –241, 2014.

30. M. Ozsutcu, E. Ayintap, J. C. Akkan, A. Koytak, and C. Aras, “Repeated


bevacizumab injections versus mitomycin C in rotational conjunctival flap for
prevention of pterygium recurrence, ” Indian Journal of Ophthalmology, vol.
62, no. 4, pp. 407 –411, 2014.

31. S. Grisanti, S. Biester, S. Peters et al., “Intracameral bevacizumab for iris


rubeosis,” American Journal of Ophthalmology, vol. 142, no. 1, pp. 158 –160,
2006.

32. T. U. Krohne, N. Eter, F. G. Holz, and C. H. Meyer, “Intraocular


pharmacokinetics of bevacizumab after a single intravitreal injection in
humans, ” American Journal of Ophthalmology, vol. 146, no. 4, pp. 508–512,
2008.
33. H. M. Marey and A. F. Ellakwa, “Intravitreal bevacizumab with or without
mitomycin C trabeculectomy in the treatment of neovascular glaucoma,”
Clinical Ophthalmology, vol. 5, pp. 841–845, 2011.

34. M. R. Fallah Tafti, K. Khosravifard, M. Mohammadpour, M. N. Hashemian,


and M. Y. Kiarudi, “Efficacy of intralesional bevacizumab injection in
decreasing pterygium size,” Cornea vol. 30, no. 2, pp. 127–129, 2011.
Nama : Effitra Febrina
NIM : H2A013030P

Judul : Keberhasilan Injeksi Bevacizumab Subkonjungtiva


sebelum dan sesudah Pembedahan Eksisi dalam
Mencegah Kekambuhan Pterigium
Latar belakang : Pterigium adalah kondisi degeneratif dari
konjungtiva yang sangat umum meskipun penyebab
pasti pterigium tidak sepenuhnya dipahami.
Berbagai penelitian telah menunjukkan peningkatan
VEGF dalam patogenesis pterigium. Penyebab
kekambuhan pterigium yang paling umum adalah
trauma bedah, dan komponen histopatologi meliputi
neo-vaskularisasi dan proliferasi fibroblast. Sebuah
laporan kasus baru-baru ini menunjukkan
kemanjuran 2.5% bevacizumab topikal yang
diberikan empat kali sehari selama 3 minggu untuk
menghambat kekambuhan pada pasien dengan
pterigium berulang.
Tujuan : Untuk mengevaluasi keberhasilan injeksi
bevacizumab subkonjungtiva, sebelum dan sesudah
pembedahan eksisi dengan teknik bare sclera, dalam
mencegah pretigium berulang setelah operasi.
Metode : 83 mata dari 83 pasien yang menderita pterigium
primer mengalami pembedahan eksisi. 42 mata
mendapatkan dua injeksi bevacizumab sub-
konjungtiva, dengan dosis 2.5mg/0.1ml, satu minggu
sebelum operasi dan satu minggu setelah intervensi.
Tingkat kekambuhan dievaluasi diantara 2 kelompok.
Perubahan ukuran dan derajat pterigium dievaluasi
satu minggu setelah injeksi pertama.
Hasil : Enam bulan setelah operasi, tingkat kekambuhan
kelompok dengan bevacizumab sebesar 7.14% dan
kelompok kontrol sebesar 24.39%. Perubahan
signifikan dari ukuran dan derajat pterigium
dilaporkan setelah injeksi pertama. Tidak ada
komplikasi yang berhubungan dengan pemberian
injeksi bevacizumab subkonjungtiva. Pemberian
injeksi bevacizumab subkonjungtiva, dengan dosis
2.5 mg/0.1 ml. sebelum dan sesudah pembedahan
eksisi, bermanfaat dalam mencegah kekambuhan lesi
setelah prosedur bare sclera. Terlebih, pemberian
bevacizumab subkonjungtiva dapat ditoleransi
dengan baik dan dapat menjadi alternatif yang lebih
aman dibandingkan dengan teknik bedah dan obat
tambahan lainnya.
Kesimpulan : Pemberian injeksi bevacizumab subkonjungtiva,
dengan dosis 2.5mg/0.1ml, sebelum dan sesudah
pembedahan eksisi pterigium, dapat bermanfaat
dalam mencegah kekambuhan lesi setelah prosedur
bare sclera.

Anda mungkin juga menyukai