Jurding Effitra Febrina
Jurding Effitra Febrina
Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
Effitra Febrina H2A013030P
Disusun Oleh:
Effitra Febrina
H2A013030P
Abstrak
Tujuan. Untuk mengevaluasi keberhasilan injeksi bevacizumab subkonjungtiva,
sebelum dan sesudah pembedahan eksisi dengan teknik bare sclera, dalam
mencegah pretigium berulang setelah operasi.
Bahan dan Metode. 83 mata dari 83 pasien yang menderita pterigium primer
mengalami pembedahan eksisi. 42 mata mendapatkan dua injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, dengan dosis 2.5mg/0.1ml, satu minggu sebelum operasi dan satu
minggu setelah intervensi. Tingkat kekambuhan dievaluasi diantara 2 kelompok.
Apalagi, modifikasi ukuran dan derajat pterigium dievaluasi satu minggu setelah
injeksi pertama.
Hasil. Enam bulan setelah operasi, tingkat kekambuhan kelompok dengan
bevacizumab sebesar 7.14% dan kelompok control sebesar 24.39%. Perubahan
signifikan dari ukuran dan derajat pterigium dilaporkan setelah injeksi pertama.
Tidak ada komplikasi yang berhubungan dengan pemberian injeksi bevacizumab
subkonjungtiva. Pemberian injeksi bevacizumab subkonjungtiva, dengan dosis 2.5
mg/0.1 ml. sebelum dan sesudah pembedahan eksisi, bermanfaat dalam mencegah
kekambuhan lesi setelah prosedur bare sclera. Terlebih, pemberian bevacizumab
subkonjungtiva dapat ditoleransi dengan baik dan dapat menjadi alternatif yang
lebih aman dibandingkan dengan teknik bedah dan obat tambahan lainnya.
1. Pendahuluan
Pterigium adalah kondisi degeneratif dari konjungtiva yang sangat umum
meskipun penyebab pasti lesi ini tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko
meliputi paparan sinar ultraviolet dan sinar matahari, angina, debu, trauma,
dan inflamasi. Peningkatan insidensi dilaporkan terjadi pada pekerjaan
tertentu, seperti pengelasan, pertamanan, pertanian, dan penangkapan ikan.
Prevalensinya juga meningkat dari individu dari iklim yang lebih hangat
dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan di luar rumah dan dua
kali lebih mungkin terjadi pada pria daripada wanita [1,2].
Meskipun biasanya dideskripsikan sebagai proses degenerasi, inflamasi
dan proliferasi fibrovaskular telah terbukti menjadi faktor yang penting dalam
patogenesisnya. Karena pterigia terdiri dari proliferasi jaringan fibrovaskular,
jelas bahwa neovaskularisasi terlibat dalam perkembangannya. Hal tersebut
telah ditunjukkan bahwa terdapat angiogenesis selama pembentukan
pterigium. Banyak faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor beta (TGF-β), dan tumor necrosis factor-
alpha (TNF-α) secara kimia merangsang angiogenesis dan telah diobservasi
pada fibloblastik dan inflamasi sel pterigium [4]. Berbagai penelitian telah
menunjukkan peningkatan VEGF dalam pathogenesis pterigium. Pada
penelitian imunohistokimia, telah ditunjukkan bahwa imunostaning VEGF
jauh lebih intensif dipelajari pada bagian pterigium dibandingkan jaringan
konjungtiva normal [5,6].
Saat ini tidak ada penanganan medis yang dapat diandalkan untuk
mengurangi atau bahkan mencegah perkembangan pterigium. Terapi definitif
yang dicapai dengan pembedahan eksisi, biasanya dilakukan jika pasien
mengalami gejala kronis, tidak responsif terhadap terapi non bedah, atau
hingga mengganggu penglihatan. Namun, operasi saja tidak dapat mencegah
terjadinya kekambuhan. Tidak ada perawatan tunggal yang lebih unggul
dibandingkan yang lain. Untuk mengurangi tingkat kekambuhan, berbagai
modalitas telah diusulkan. Keberhasilan operasi pterigium bergantung pada
tingkat penyembuhan luka pasca operasi dan jumlah pembentukan jaringan
parut. Kekambuhan terjadi saat fibroblast berproliferasi dan bermigrasi ke
arah kornea [7 – 9].
Penyebab kekambuhan pterigium yang paling umum adalah trauma bedah,
dan komponen histopatologi meliputi neovaskularisasi dan proliferasi
fibroblast. Sebagian besar tatalaksana medis melibatkan tindakan yang efektif
dalam menghambat aktivitas fibrovaskular, yang memainkan peran kunci
dalam kekambuhan pterigium. Bukti awal menunjukkan bahwa bevacizumab
lokal mungkin efektif dalam penanganan neovaskularisasi permukaan okular.
Manzano dkk menunjukkan bahwa bevacizumab topikal, 4 mg/ml, membatasi
neovaskular kornea pada model tikus [10]. Sebuah laporan kasus baru-baru ini
menunjukkan kemanjuran 2.5% bevacizumab topikal yang diberikan empat
kali sehari selama 3 minggu untuk menghambat kekambuhan pada pasien
dengan pterigium berulang [11]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi keberhasilan suatu protokol berdasarkan penggunaan dua
injeksi 2.5 mg/ml bevacizumab, sebelum dan sesudah operasi, sebagai terapi
tambahan pada pembedahan eksisi pterigium.
2. Metode
83 mata dari 83 pasien yang mengalami pterigium primer telah terdaftar
dalam penelitian klinis prospektif, komparatif dan uji buta. Informed consent
diperoleh dari semua pasien sebelum pengobatan. Semua pasien menjalani
pemeriksaan oftalmologi lengkap sebelum dan sesudah operasi. Kriteria
eksklusi meliputi kehamilan, penyakit pada permukaan ocular dan infeksi,
kelainan autoimun, dan operasi limbal sebelumnya.
Semua pasien menjalani eksisi pterigium dengan operasi bare sclera,
dilakukan oleh seorang dokter spesialis bedah. Teknik bedah yang dilakukan:
(1) Injeksi anestesi subkonjungtival (lidokain 2%) pada area sekitar
pterigium (5 mm dari limbus);
(2) Eksisi pterigium, dimulai dari bagian kepala, diikuti dengan pelepasan
bagian badan pterigium;
(3) Eksposisi dari bare sclera berbentuk segitiga dengan dimensi kecil
(dengan dasar pada tingkat limbus dan tepi masing-masing 1 mm,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1);
(4) Jahit konjungtiva dengan vicryl 7-0 di akhir prosedur. Simpul jahitan
dan ujung kawat ditutup oleh konjungtiva untuk mencegah rangsangan
inflamasi.
Gambar 1. Metode untuk mengukur dimensi pterigium. Metode ini, berdasarkan
pengukuran yang dilakukan oleh Singh dkk dalam penelitiannya (2015), dapat dianggap
sederhana karena bentuk pterigium dianggap sebagai trapezium
Pasien diacak menjadi dua kelompok. 42 mata yang mendapat dua injeksi
bevacizumab subkonjungtival (2.5 mg/0.1 ml), yang pertama 7 hari sebelum
eksisi pterigium dan yang kedua 15 hari setelah pembedahan (kelompok A).
Injeksi bevacizumab untuk penggunaan subkonjungtival diekstraksi dari 100
mg vial komersil yang tersedia. Persiapan injeksi telah dilakukan pada
workstation aliran laminar vertikal. Injeksi pertama dilakukan pada bagian
tubuh pterigium, sedangkan injeksi kedua diberikan pada bagian apeks dan
tepi dari insisi segitiga. 41 mata terdaftar pada kelompok kontrol dan tidak
mendapatkan injeksi subkonjungtival (kelompok B). Pasien diobati dengan
tetes mata tobramycin dan deksametason tiga kali sehari selama 1 minggu
setelah pembedahan.
Semua pasien diikuti selama 6 bulan oleh dua pemeriksa independen,
untuk menilai frekuensi kekambuhan pterigium di antara kelompok yang
diteliti. Setelah injeksi pertama, perubahan vaskularisasi dan dimensi
pterigium dievaluasi sesaat sebelum pembedahan eksisi pada hari ke 7.
Dimensi pterigium diukur dengan menghitung area setelah mengambil
panjang dalam mm (dari dasar, dianggap pada tingkat caruncola, sampai
puncak, yang dianggap paling menonjol pada kornea) dan lebar dalam mm
pada daerah dasar dan apikal. (Gambar 2). Untuk mengamati perubahan dari
vaskularisasi setelah injeksi pertama, kami membandingkan foto yang diambil
pada slit lamp saat kunjungan saat registrasi dengan yang diambil pada 7 hari
setelah pemberian bevacizumab subkonjunctival pertama. Tingkatan
vaskularisasi dilakukan pada semua foto sesuai dengan skema yang diajukan
oleh Tan dkk. [12]:
(1) Derajat 1 (atrofi): pembuluh episkleral dapat dibedakan jelas di bawah
tubuh pterigium
(2) Derajat II (intermediate): pembuluh episkleral yang terlihat sebagian di
bawah tubuh pterigium
(3) Derajat III (fleshy): pembuluh episkleral yang benar-benar tertutup di
bawah tubuh pterigium.
Gambar 2. Diagram skematik menunjukkan jumlah bare sclera yang tersisa setelah eksisi.
BS = bare sclera; C = konjungtiva
4. Diskusi
Perhatian utama dalam pembedahan pterigium adalah kekambuhan, yang
didefinisikan sebagai pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskular melewati
limbus dan kornea. Untuk mengurangi tingkat kekambuhan, berbagai
modalitas telah diusulkan. Umumnya, kekambuhan pterigium terjadi selama 6
bulan pertama setelah pembedahan. Sejumlah faktor seperti jenis pterigium,
usia pasien, agen lingkungan, dan teknik bedah mungkin berperan dalam
kekambuhan pterigium.
Sebenarnya, teknik bare sclera, yang melibatkan eksisi kepala dan badan
pterigium sementara membiarkan scleral bed untuk re-epitelisasi, biasanya
dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi (24-89%) [13]. Dalam
penelitian ini, dimaksudkan untuk mengevaluasi efikasi suntikan bevacizumab
2.5 mg/0.1 ml – diberikan sebelum dan sesudah pembedahan eksisi pterigium
dengan teknik bare sclera – untuk mencegah kekambuhan pasca operasi.
Inilah satu-satunya studi yang menggunakan waktu khusus untuk injeksi
bevacizumab subkonjungtival, pada saat ini.
Teknik bare sclera telah dipilih untuk penelitian ini karena mudah
dilakukan dan biasanya berhubungan dengan tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi, sehingga membuktikan bahwa pembedahan saja tidak cukup untuk
mencegah kekambuhan. Kami memilih untuk tidak memberikan jenis
injeksi/plasebo apapun sebelum/setelah operasi pada kelompok kontrol,
karena kami bermaksud mencegah respon inflamasi apapun, yang terkait
dengan injeksi itu sendiri, yang dapat mempengaruhi tingkat kekambuhan
pada kelompok ini. Selain itu, teknik eksisi yang berbeda, bahkan jika
memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah, dapat dihubungkan dengan
masalah seperti edema graft konjungtiva, nekrosis graft, hematoma, Tenon’s
pyogenic granuloma, corneoscleral dellen, kista inklusi epitel, fibrosis situs
donor (untuk autograft dan aplikasi konjungtiva dari membran amnion, juga)
[14-16]. Selain itu, rotasi autograft konjungtiva tidak dapat digunakan pada
kasus dengan area bare scleral yang luas setelah eksisi [17]. Sehubungan
dengan transplantasi membran amnion, potensi risiko kontaminasi membran
amnion dengan konsekuensi kegagalan masih ada dan tidak dapat diabaikan
[18]. Selanjutnya, penggunaan membran amnion dikaitkan dengan biaya yang
lebih tinggi dan ketersediaan yang kurang.
Obat tambahan untuk eksisi pterigium meliputi tindakan untuk melawan
aktivitas fibrovaskular yang memainkan peran kunci dalam kekambuhan
pterigium. Penerapan mitomisin C ke scleral bed selama 3 menit terbukti
bermanfaat dalam pencegahan kekambuhan pterygium [19], namun, terlepas
dari biaya yang mahal, prosedur ini dapat dikaitkan dengan ulserasi skleral,
skleritis nekrosis, perforasi (lebih sering di mata miopi, mungkin karena
dinding sklera yang lebih tipis) iridosiklitis, katarak, glaukoma, kalsifikasi
sklera, dan kehilangan mata. Untuk alasan ini, mitomisin C tidak sepenuhnya
aman dan dapat menyebabkan lebih banyak kesulitan [20, 21]. Penerapan
tunggal mitomycin C dosis rendah sebelum/intraoperatif dibuktikan selama
bertahun-tahun menjadi modalitas yang lebih aman dan efektif untuk
pengelolaan kekambuhan pterigium, namun efek samping seperti epitelisasi
yang tertunda (> 2 minggu) dan penipisan sklera masih dimungkinkan [22 ].
Selanjutnya, pencairan transplantasi membran konjungtiva atau amnion masih
dimungkinkan jika dikaitkan dengan aplikasi mitomycin C, sehingga
mengurangi keberhasilan teknik ini [23]. Walkow dkk. menunjukkan bahwa
teknik eksisi bare sclera berhubungan dengan keratektomi fototherapeutik dan
tetes mata mitomycin C 0.02% postoperatif dua kali sehari selama 4 hari
adalah metode yang relatif aman yang dapat mengurangi kekambuhan
pterigium sampai 2,9% setelah 28 bulan [24]; namun, penerapan laser excimer
sering dikaitkan dengan peningkatan biaya dan mungkin tidak selalu tersedia
untuk tujuan ini.
Penerapan bevacizumab subkonjungtiva selain eksisi bedah tampaknya
dapat ditoleransi dengan baik pada penelitian sebelumnya [25]. Bahkan dalam
penelitian kami, tidak ada komplikasi setelah beberapa injeksi bevacizumab
subkonjungtiva. Efek samping ringan dari injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, seperti perdarahan konjungtiva, telah dilaporkan namun,
karena sejumlah kecil subjek dalam penelitian sebelumnya, kesimpulan
definitif mengenai keamanan dan efek jangka panjang masih diperdebatkan.
Namun, sampai hari ini, tidak ada kesepakatan tentang protokol mana yang
harus diterapkan. Satu-satunya penelitian lain yang mengevaluasi injeksi
bevacizumab subkonjungtiva setelah eksisi pterigium dengan teknik bare
sclera telah dilakukan oleh Shenasi dkk. Selama penyelidikan tersebut, tidak
ada efek signifikan dari bevacizumab yang terdaftar; namun, dalam
kesempatan itu, dosis tunggal dengan dosis rendah bevacizumablah yang
digunakan [26].
Razeghinejad dkk. melaporkan bahwa injeksi subkonjungtiva tunggal
bevacizumab intraoperatif (1.25 mg/0.1 ml) tidak berpengaruh pada tingkat
kekambuhan [27]. Singh dkk. menggunakan injeksi tunggal bivacizumab
subkonjungtival dosis rendah (1.25 mg/0.5 ml) sebelum operasi tanpa efek
signifikan pada tingkat kekambuhan setelah 3 bulan, bahkan jika ada
peningkatan yang signifikan dalam tingkatan, intensitas warna, dan ukuran
pterigium [28]. Injeksi tunggal bevacizumab dosis rendah, baik sebelum
operasi atau pasca operasi, tidak menunjukkan keberhasilan karena efek
sementara obat anti-VEGF, terkait dengan waktu paruh pendek mereka; oleh
karena itu, disarankan untuk mengulangi injeksi setelah operasi dan
menerapkan dosis bevacizumab yang lebih tinggi.
Nava-Castañeda dkk. telah mempelajari manfaat autograft konjungtiva 2.5
mg/0.1 ml dan dua bevacizumab subkonjungtiva (yang pertama segera setelah
operasi dan yang kedua setelah 15 hari) dalam mengurangi kekambuhan
penyakit ini, dengan hasil yang memuaskan setelah follow up 1 tahun [29].
Studi lain dilakukan oleh Ozsutcu dkk. mengevaluasi penggunaan injeksi
bevacizumab intraoperatif, dengan dosis yang sama, terkait dengan eksisi
pterigium dengan flap rotasi konjungtiva diikuti suntikan lain setelah 1
minggu, melaporkan kekambuhan yang jauh lebih sedikit daripada flap rotasi
saja [30]. Tidak ada efek samping yang terkait dengan injeksi bevacizumab
yang diamati pada penelitian sebelumnya [31-33].
Dalam penelitian kami, tingkat kekambuhan secara signifikan lebih rendah
pada kelompok yang menjalani injeksi bevacizumab sebelum dan sesudah
operasi (Gambar 5). Selain itu, kami mengamati perbaikan dimensi dan
vaskularisasi pterigium satu minggu setelah injeksi subkonjungtiva pertama
(Gambar 6). Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa aplikasi bevacizumab
sebelum operasi dapat menyebabkan beberapa perubahan morfologi yang
dapat memfasilitasi eksisi bedah selanjutnya. Bahkan Fallah dkk.
mengevaluasi efikasi injeksi bevacizumab intralesional (2.5 mg/0.1 ml) dalam
mengurangi ukuran pterigium dan merasa cukup efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik (penurunan rata-rata ukuran lesi adalah 3.97 ± 3.84%) [34].
Namun, karena efek bevacizumab mungkin bersifat sementara, injeksi kedua
diperlukan untuk menghambat fase akut fibrovaskular yang terjadi segera
setelah operasi dan mungkin bertanggung jawab atas onset kekambuhan.
Gambar 5. Hasil dari penggunaan injeksi bevacizumab subkonjungtiva sebelum dan sesudah
operasi pterigium dengan teknik bare sclera: (a) keadaan sebelum operasi, (b) 1 hari setelah
operasi (1 minggu setelah injeksi bevacizumab pertama), (c) 1 hari setelah injeksi
bevacizumab kedua, dan (d) 6 bulan follow-up
5. Kesimpulan
Meskipun pada saat ini masih belum tersedia secara luas mengenai
modalitas pemberian, waktu, dan dosis, penerapan injeksi bevacizumab
subkonjungtiva, dengan dosis 2.5 mg/0.1 ml, sebelum dan sesudah
pembedahan eksisi pterigium, dapat bermanfaat dalam mencegah kekambuhan
lesi setelah prosedur bare sclera. Tidak ada efek samping yang dilaporkan di
antara pasien yang dirawat, mengkonfirmasi bahwa relatif aman dengan cara
dan dosis pemberian seperti ini. Protokol perawatan ini mudah dilakukan
dengan biaya dan tingkat efek samping yang mungkin lebih rendah jika
dibandingkan dengan penerapan mitomisin C. Selain itu, pemilihan prosedur
bare sclera diikuti dengan injeksi bevacizumab subkonjungtiva sebagai
pengobatan tahap pertama dapat mencegah komplikasi yang terkait dengan
teknik bedah lainnya yang masih bisa diaplikasikan dengan mudah, di lain
waktu, jika terjadi kegagalan pada pendekatan pertama atau pelebaran defek
pasca operasi. Namun, jika terjadi kegagalan autograft konjungtiva atau
membran amnion, interferensi ulang dapat menyebabkan kesulitan teknis yang
lebih besar.
Mekanisme kekambuhan pterigium masih belum sepenuhnya jelas, namun
VEGF dan neovaskularisasi memainkan peran penting dalam
perkembangannya. Dokter bedah harus mempertimbangkan banyak faktor
untuk menurunkan risiko kekambuhan sebanyak mungkin. Investigasi lebih
lanjut diperlukan untuk memahami efikasi dan batas nyata dari terapi
tambahan dengan injeksi bevacizumab subkonjungtiva. Sebenarnya, masih
ada sedikit pengalaman dalam penerapan bevacizumab sebagai pengobatan
tambahan untuk pembedahan menghilangkan pterigium; dengan demikian
rekomendasinya sebagai terapi lini pertama masih kontroversial.
Bagaimanapun, injeksi bevacizumab subkonjungtiva berulang mungkin
terbukti sebagai alternatif dan pengobatan tambahan yang efektif dalam
operasi eksisi pterigium, memperluas persenjataan yang kita miliki, dalam
pengelolaan episode berulang. Survei lebih lanjut mengenai polimorfisme
genetik dapat menentukan perbedaan respons pengobatan di antara individu
yang berbeda. Jika ditemukan bukti baru, akan memungkinkan untuk
meramalkan keberhasilan terapi antiangiogenetik dan mengantisipasi hasil
setelah pemberiannya.
Persetujuan Etik
Semua prosedur dalam penelitian ini mengenai konduksi dan dokumentasi
dilakukan sesuai dengan prinsip etika yang ditetapkan dalam Deklarasi Helsinki
dan revisinya. Uji coba ini telah disetujui oleh Dewan Farmasi Internal Rumah
Sakit Universitas San Luigi Gonzaga (University of Turin) pada tanggal 26
November 2015.
Referensi
1. W. Tasman and E. A. Jaeger, Duane's Clinical Ophthalmology, vol. 6p. 35,
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, 2002.
23. R. Chen, G. Huang, S. Liu, W. Ma, X. Yin, and S. Zhou, “Limbal conjunctival
versus amniotic membrane in the intraoperative application of mitomycin C
for recurrent pterygium: a randomized controlled trial,” Graefe's Archive for
Clinical and Experimental Ophthalmology, vol. 255, no. 2, pp. 375– 385,
2017.