Anda di halaman 1dari 57

Faktor-faktor penyebab tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh perawat

1. Kelalaian (negligence, culpa)

Kelalaian merupakan suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja,

atau kurang hati-hati terhadap sesuatu yang berakibat munculnya suatu

kerugian dari tindakan yang telah dilakukan.

Kelalaian (negligence,culpa) adalah salah satu faktor yang sering dijadikan

sebagai penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan

bahwa kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama.

Hal ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh

beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang

menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan

untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

dilingkungan yang sama.1

Guwandi menyatakan bahwa malpraktek tidak sama dengan kelalaian.2

Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi dalam malpraktek tidak selalu

terdapat unsur kelalaian. Artinya malpraktek mempunyai pengertian yang lebih

luas daripada kelalaian (negligence). Malpraktek, selain mencakup arti kelalaian,

ia juga mencakup tindakan- tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional,

dolus) dan melanggar Undang-Undang.

Didalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah

berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu “kelalaian adalah

1 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87


2 Amir, Amri, op.cit , hal 62
kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang lain

dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau

melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan

melakukannya.

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk

kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang

telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama,

“kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya

itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang

timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, “kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru

merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah

menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau
3
matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP.

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu, padahal

dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh

hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada kalau

pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan

tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia memang

memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang perawat

adalah “kelalaian akibat”, misalnya tindakan seorang perawat yang menyebabkan

3 Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta:


Rineka Cipta, 2005, hal 56
cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut

dapat dicelakan padanya.

Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:4

1. culpa lata (gross fault/neglect), yang berarti kesalahan besar atau sangat

tidak hati-hati.

2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.

3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan

atau kecil.

Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi perawat berupa

kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian

kecil (culpa levis).

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,jika kelalaian

itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu

dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex”,

yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.5

Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan

bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian

serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.6

Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur “culpa lata” adalah:7

1. bertentangan dengan hukum

2. akibatnya dapat dibayangkan

4 Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta; Widya Medika,1996,


hal 28
5 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87
6 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 110
7 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 88
3. akibatnya dapat dihindarkan

4. perbuatannya dapat dipersalahkan.

Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu: 8 1.

peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya

(foreseeabilit, voorzienbaarheid).

2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid).

3. maka sipelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).

Salah satu contoh perbuatan malpraktek perawat yang dilakukan karena

kelalaian,misalnya pada saat seorang perawat akan memotong tali pusat bayi

ternyata perut pasien atau bayinya ikut terluka.

2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang perawat

tentu saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di perawatg

kesehatan , perawat tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki

kesehatannya. Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan

perawatan dari seorang perawat tentu saja mengharapkan agar perawat tersebut

dapat membantunya melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk

terjadi yang dapat membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.

Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam perawatan yang diberikan oleh

perawat kepada pasiennya, terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh

perawat yang membahayakan kesehatan pasien atau mungkin mengakibatkan sang

pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.

8 Guwandi,J, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik,Jakarta; FK-UI, 1993,
hal 22
Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari

perawat tersebut. Kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan

perawat tersebut dapat terjadi ketika melakukan diagnosa ataupun mengenai

perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya

semakin memberikan kemudahan bagi tenaga kesehatan termasuk perawat untuk

memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu seorang

perawat diharapkan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Didalam Kode Etik Perawat, juga dicantumkan bahwa salah satu

kewajiban perawat adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurangnya pengalaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya

malpraktek atau praktek yang dibawah standar. Karena dari pengalaman inilah

seorang perawat semakin belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

prfesinya sebagai perawat. Melalui pengalaman inilah seorang perawat harus

dapat menggunakan ilmu yang didapatnya ketika menjalani pendidikan.

3. Faktor Ekonomi

Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat

berpengaruh terhadap pandangan masyarakat mengenai pelbagai segi kehidupan.

Segi positif dari perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari

hakhaknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi

kehidupan.
Sedangkan segi negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin materialistik,

hedonistik dan konsumtif, dimana materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai

suatu masalah dan hidup menjadi seolah-olah “perlombaan” mencari materi.9

Seorang perawat selain dalam profesinya adalah juga merupakan manusia biasa.

Didalam kehidupannya, seorang perawat tentu saja mempunyai

kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi disaat ini ketika

kehidupan ekonomi di Indonesia sedang mengalami masa sulit.

Dengan kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan untuk

memenuhi kebutuhan dengan mencari materi, telah menutupi peran yang mulia

dari profesi perawat. Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek perawat

hanyalah imbalan yang akan didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang

diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.

Contoh malpraktek perawat yang disebabkan oleh faktor ekonomi, misalnya

perawat dengan diberikan imbalan uang tertentu membuka rahasia dari pasiennya

kepada orang lain yang tidak berhak untuk mengetahui rahasia tersebut. Padahal

seorang perawat dilarang untuk membuka rahasia dari pasiennya kepada orang

lain, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian. Hal ini diatur

dalam Kode Etik Perawat maupun dalam hukum pidana. Di dalam kode etik

perawat hal ini diatur dalam Bab I tentang kewajiban perawat terhadap klien dan

masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap perawat senantiasa

menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam

melaksanakan tugas pengabdiannya”. Dalam sumpah jabatannya perawat tersebut

telah bersumpah bahwa seorang perawat hanya boleh membuka rahasia

9 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 17


pasiennya/kliennya apabila diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan.

Sedangkan didalam KUHP ketentuan ini diatur dalam pasal 322 KUHP.

Pasal 322 KUHP:

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia,yang menurut jabatannya

atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu iadiwajibkan

menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp.9000,-.

2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka

perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.

Contoh lain perbuatan malpraktek perawat yang dilakukan karena faktor ekonomi

adalah perawat yang dengan diberikan uang atau imbalan tertentu melakukan

pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yang tidak berdasarkan

indikasi medis yang mengharuskan dilakukan pengguguran kandungan. Perbuatan

ini diatur dan diancam pidana dalam pasal 349 KUHP yang berbunyi: “jika

seorang dokter, perawat atau juru obat membantu melakukan kejahatan

berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu

kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang

ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak

untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Selain

diatur dalam pasal 349 KUHP, tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi

medis ini juga diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 80 UU No.23 Tahun

1992 tentang Kesehatan yang berbunyi:”barangsiapa dengan sengaja melakukan

tindakan medis tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-“.

4. Faktor Rutinitas

Seorang perawat yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien dapat

juga terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut menjadi

sebuah rutinitas belaka. Hal ini dapat dapat juga menjadi faktor penyebab

terjadinya malpraktek atau pelayanan yang dibawah standar. Karena dengan

menjadikan praktek pelayanannya menjadi sebuah rutinitas, kemungkinan

kehatihatian atau ketelitian dalam melaksanakan tugasnya menjadi berkurang.

Sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam melakukan perawatan menjadi

semakin besar.

5. Perubahan Pola Hubungan Perawat-Pasien

Hubungan tenaga kesehatan (perawat)- pasien, pada masa kini telah beralih dari

hubungan paternalistik ke hubungan otonom. Pasien semakin menyadari hakhak

dan kewajibannya dalam perawatg pelayanan kesehatan.10

Dahulu masyarakat dapat dikatakan selalu patuh kepada tenaga kesehatan tanpa

dapat bertanya apapun karena ketidaktahuan atas hak-haknya. Tetapi pada masa

kini pandangan tersebut mulai ditinggalkan. Pandangan bahwa tindakan yang

dilakukan tenaga kesehatan selalu benar, kini telah ditinggalkan dan diganti

dengan pandangan-pandangan yang kritis.

Dahulu dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat posisi tenaga

kesehatan berada diatas pasien. Dengan kata lain antara tenaga kesehatan dengan

10 Amir, Amri, op.cit, hal 52


pasien mamiliki hubungan yang bersifat vertikal paternal. Sedangkan sekarang

seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak kesehatannya

maka hubungan tersebut berubah menjadi hubungan yang bersifat horizontal

otonom. Yaitu posisi antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah seimbang.

Sehingga apabila ada tindakan tenaga kesehatan yang merugikan pasien maka

tenaga kesehatan tersebut dapat dituntut oleh pasien yang merasa dirugikan.

B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh

Perawat

Mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang dilakukan

oleh perawat ini, penulis membagi menjadi dua bagian. Yaitu upaya pencegahan

yang dapat dilakukan oleh perawat itu sendiri dan upaya pencegahan yang dapat

dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan keperawatan.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh perawat itu sendiri:

1. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya

Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang perawat tentu saja

mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di perawatg kesehatan ,

perawat tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu

atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang

perawat tentu saja mengharapkan agar perawat tersebut dapat membantunya

melahirkan tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat

membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.


Dalam hal ini, perawat sebaiknya tidak menjanjikan atau memberi garansi bahwa

upaya yang akan dilakukannya akan seratus persen berhasil. Hal ini karena upaya

yang dilakukan perawat dalam perawatan pasiennya termasuk dalam perjanjian

upaya (inspanningsverbintenis) dan bukan perjanjian yang bersifat

resultaatverbintenis.

Yang dimaksud dengan inspanningsverbintenis atau perjanjian upaya adalah

kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk

mewujudkan apa yang diperjanjikan.11

Sedangkan yang dimaksud dengan Resultaatverbintenis adalah suatu perjanjian

bahwa pihak yang berjanji kan memberikan suatu Resultaat,yaitu suatu hasil yang

nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.12

Seorang perawat hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan

kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan

dan perhatiannya sesuai dengan Standar Profesi Perawat.

2. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan

Tindakan Medis (Informed Consent).

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah persetujuan sepenuhnya

yang diberikan oleh klien/pasien atau walinya (bagi bayi,anak dibawah umur dan

kloien/pasien yang tidak sadar) kepada perawat untuk melakukan tindakan sesuai

dengan kebutuhan.13

11 Ohoiwutun, Triana Y.A, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia


1997, hal 13
12 ibid,
13 Sofyan, Mustika,dkk, op.cit, hal 96
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu proses bukan suatu

formulir atau selembar kertas.

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu dialog antara

perawat dengan pasien atau walinya yang didasari akal dan pikiran yang sehat

dengan suatu acara birokratisasi yakni penandatanganan suatu formulir atau

selembar kertas yang merupakan jaminan atau bukti bahwa persetujuan dari pihak

pasien atau walinya telah terjadi.

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent adalah:14

a. maksud dan tujuan tindakan medik tersebut

b. risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut

c. kemungkinan timbulnya efek samping

d. alternatif lain tindakan medik tersebut

e. kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila

tindakan medik itu tidak dilakukan.

Leenen menyatakan bahwa Standar Profesi Medis dan informed consent

merupakan dua hal pokok yang harus dipenuhi, untuk menhilangkan sifat

bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan atau perbuatan medik.45

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya informed consent, seorang

perawat dapat memperlakukan pasien dengan seenaknya. Walaupun sudah ada

informed consent dari pasien atau walinya, apabila terjadi kesalahan yang

mengakibatkan efek negatif kepada pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau

bahkan meninggal, sang perawat tetap dapat dituntut secara pidana. Yaitu apabila

14 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 24


45
Ibid,
dalam pelaksanaan tindakan medik tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan

Standar Profesi Perawat.

Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik (informed consent) ini

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.585/MENKES/Per/IX/1989.

3. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis

Pengaturan mengenai Rekam Medis diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.749a/MENKES/Per/XII/1989 tentang Rekam

Medis/Medical Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).

Pengertian Rekam Medis menurut Pasal 1 huruf a Permenkes Rekam

Medis adalah berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien,

pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain pada pasien pada sarana

pelayanan kesehatan.15

Didalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Perawat

disebutkan yang dibuat dalam rekam medis sekurang-kurangnya:

a. identitas pasien

b. data kesehatan

c. data persalinan

d. data bayi yang dilahirkan (panjang badan dan berat lahir)

e. tindakan dan obat yang diberikan.

15 Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit, hal 20


Petugas pembuat rekam medis ditentukan dalam Pasal 3 Permenkes Rekam

Medis adalah dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan

langsung kepada pasien.16

Rekam medis ini sangat berguna, terutama untuk menentukan apakah tindakan

yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan Standar Profesi.

Didalam perawatg hukum Rekam Medis dapat dipergunakan sebagai bahan

pembuktian perkara hukum.17 Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 huruf b

Permenkes Rekam Medis yang menyatakan bahwa Rekam Medis dapat digunakan

sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.

Dalam rangka pembuktian perkara pidana, kopi atau salinan rekam medis yang

digunakan sebagai alat bukti (tanpa meminta keterangan dokter atau tenaga

kesehatan pembuat rekam medis didepan persidangan) dapat dikategorikan

sebagai alat bukti surat karena rekam medis dibuat sesuai dengan ketentuan

kriteria Pasal 187 huruf a KUHAP (dalam UU No.8 Tahun 1981). Ketentuan

tersebut menyatakan bahwa berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi (dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannnya) harus

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat,atau

dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan

itu. Rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian

karena memenuhi unsur-unsur yang diisyaratkan oleh Pasal 187 KUHAP, yaitu

apa yang ditulis sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar

dan lihat.

16 Ibid, hal 25
17 Ibid, hal 34
4. Apabila Terjadi Keragu-raguan, Konsultasikan Kepada Senior Atau Dokter

Apabila seorang perawat mengalami keraguan dalam menangani pasiennya. Baik

pada tahap diagnosis maupun terapi atau perawatan, sebaiknya perawat tersebut

mengkonsultasikan hal tersebut kepada senior atau dokter, atau dengan kata lain

kepada orang yang menurut perawat tersebut memiliki pengetahuan yang lebih

mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh perawat dalam menangai pasiennya.

Hal ini perlu dilakukan, agar sang perawat jangan sampai melakukan kesalahan

mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya dalam menangani pasiennya.

5. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga Dan Masyarakat

Sekitarnya.

Seorang perawat dalam kesehariannya, hidup didalam lingkungan masyarakat.

Biasanya masyarakat inilah yang akan menjadi pasien atau klien dari perawat

tersebut.

Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar

bagi seorang perawat adalah sangat penting. Kedudukan perawat dalam sistem

pelayanan kesehatan tidak saja sebagai pemberi pelayanan kesehatan, akan tetapi

sering pula perawat menjadi semacam tempat tumpahan permasalahan dari klien

maupun keluarganya. Seorang wanita dalam keadaan hamil, melahirkan ataupun

pada masa nifas, seringkali mendapat gangguan pada emosinya atau pada keadaan

kesehatan mentalnya. Dalam keadaan seperti ini seringkali ia ingin mencurahkan

segala isi hatinya atau permasalahan dirinya secara pribadi maupun keluarga pada

seseorang yang mau mendengarkannya. Biasanya orang tersebut adalah perawat,

yang pada waktu-waktu tersebut sangat dekat dengan klien. Oleh karena itu sangat
penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan

masyarakat sekitar agar ketika mendapat perawatan dari perawat sang klien atau

pasien merasa nyaman sehingga dapat memberi kepercayaan kepada perawat

untuk membantunya.

Amri Amir, mengatakan bahwa hubungan tenaga kesehatan(perawat)-pasien ini

adalah pangkal dari timbulnya kasus malpraktek, maka kemungkinan timbulnya

kasus malpraktek dapat dikurangi dari semula bila terjalin komunikasi dan

informasi yang baik antara tenaga kesehatan (perawat) - pasien.18

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait

dengan pelayanan keperawatan:

1. Melakukan Pembinaan Keperawatan Yang Lebih Baik

Pada saat ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan keperawatan

(biasanya dengan nama Akademi Keperawatan atau disingkat Akbid), baik yang

dimiliki pemerintah, daerah, ataupun swasta.

Hal ini mencerminkan besarnya minat masyarakat yang ingin mempelajari ilmu

keperawatan dan berkecimpung dalam profesi perawat.Oleh karena, menjadi

tanggung jawab bagi lembaga pendidikan keperawatan tersebut untuk membina

dan melatih para peserta pendidikan keperawatan agar dapat menghasilkan

perawat-perawat yang berkualitas. Para peserta pendidikan keperawatan inilah

yang nantinya akan menjadi calon-calon perawat yang akan melayani didalam

masyarakat.

2. Memaksimalkan peran IBI

18 Amir, Amri, op.cit., hal 62


IBI sebagai wadah organisasi profesi bagi perawat tentu saja diharapkan agar

dapat mengawasi dan membina anggotanya agar dapat memberikan pelayanan

kesehatan yang memuaskan kepada masyarakat. Didalam wadah IBI terdapat

lembaga MPEB dan MPA yang berwenang untuk mengawasi keinerja dari

perawatperawat yang adalah merupakan anggota dari organisasi IBI.

Diharapkan agar IBI melalui MPEB maupun MPA lebih dimaksimalkan

fungsinya agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang

dilakukan oleh perawat. Karena hal ini juga dapat merusak citra perawat di mata

masyarakat.

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Perawat

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan

malpraktek yang dilakukan oleh perawat. Akan tetapi banyak pula dari kasus-

kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau dengan

kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan

oleh perawat sehingga para tersangka dapat terbebas dari hukuman.

Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan,

khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih terdapat kendala-

kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses pembuktiannya. Kendala-

kendala tersebut antara lain:

1. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan.

Hukum kesehatan adalah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga


aparat penegak hukum masih sulit untuk dapat menyelesaiakan atau memproses

kasus-kasus yang berkaitan dengan malpaktek.

Selain itu malpraktek atau kasus-kasus yang berkaitan dengan pelayanan

kesehatan tidaklah sama dengan tindak pidana pada umumnya. Sebagai bahan

perbandingan, ,misalnya untuk dapat menentukan kesalahan dari pengemudi yang

menyebabkan kecelakaan, sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau bahkan

meninggal. Aparat penegak hukum dapat dengan mudah menentukan ukuran

pengemudi yang memiliki kemampuan rata-rata. Sedangkan pada kasus

malpraktek hal ini tidak mudah untuk menentukan kemampuan rata-rata dari

setiap tenaga kesehatan.

2. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan perawat

Untuk dapat membuktikan kesalahan perawat, terlebih lagi yang disebabkan oleh

kelalaian bukanlah hal yang mudah. Karena dalam kesalahan yang dilakukan oleh

perawat banyak faktor yeng mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari

timbulnya kesalahan tersebut. Faktor tersebut dapat berasal dari pihak perawat

maupun pihak pasien itu sendiri.

Faktor yang berasal dari pihak perawat:

a. Penatalaksanaan tindakan medik

b. Cara pemeriksaan

c. Kecermatan dan ketelitian Faktor yang berasal dari pihak pasien: a.

Tingkat keseriusan penyakit

b. Daya tahan tubuh pasien

c. Usia
d. Kemauan dari pasien untuk sembuh

e. Komplikasi dari penyakitnya

3. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang perawat

Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-rata seorang

tenaga kesehatan sangatlah sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi

penentun itu. Sebagai misalnya seorang tenaga kesehatan yang baru lulus

pendidikan tentunya tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang

tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjan di perawatg kesehatan selama

dua puluh tahun.

Selain untuk kendala dalam menilai kemampuan rata-rata seorang tenaga

kesehatan, adalah tidak meratanya keadaan dari tiap daerah. Seorang tenaga

kesehatan yang melaksanakan pekerjaan di Irian Jaya selama sepuluh tahun tentu

tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang

melaksanakan pekerjaannya selama sepuluh tahun di rumah sakit dengan

peralatan super canggih di Jakarta.

Selain itu kemampuan tenaga kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan

informasi dan peralatan, tidak dapat disamakan dengan kemampuan tenaga

kesehatan yang bekerja di kota besar yang tentunya sangat mudah memperoleh

informasi dan dikelilingi oleh peralatan canggih.


BAB IV PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG
DILAKUKAN OLEH PERAWAT DALAM PERAWATAN PASIENNYA

A. Kriteria Penilaian Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Perawat

Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis

terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa terletak pada

akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada

sebab/kausa dari tindak pidana.19

Begitu banyak kasus malpraktek yang diajukan ke pengadilan, akan tetapi banyak

juga kasus-kasus tersebut yang kandas atau tidak dijatuhi hukuman ataupun

pidana oleh pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pandangan yang

salah terhadap timbulnya tuntutan malpraktek dari masyarakat. Masyarakat lebih

menekankan pada akibat yang ditimbulkan, seberapa jauh pasien dirugikan.

Makin berat akibatnya, semakin besar dianggap kesalahan tenaga kesehatan

tersebut.20 Setiap ada tindakan tenaga kesehatan atau perawat yang tidak sesuai

dengan hasil yang diharapkan pasien, maka tindakan perawat atau tenaga

kesehatan itu dikatakan sebagai malpraktek. Hal inilah yang menyebabkan

tuntutan malpraktek semakin meningkat.

Secara hukum apakah seseorang melakukan malpraktek atau tidak, harus

dibuktikan di depan pengadilan. Seperti dikemukakan diatas, fokus dari tindak

19 Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 59


20 Amir, Amri, op.cit., hal 62
pidana medis adalah pada sebab atau kausa dari tindak pidana tersebut. Dengan

kata lain, walaupun akibat yang ditimbulkan sangat besar, misalnya pasien

menjadi cacat atau bahkan meninggal, akan tetapi apabila tidak ditemukan

kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian maka tenaga kesehatan

tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.

Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktek apabila:21

1. Ada tindakan atau sikap tenaga kesehatan yang:

- bertentangan dengan etik atau moral

- bertentangan dengan hukum

- bertentangan dengan Standar Profesi Medik

- kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada perawatgnya yang berlaku

umum

2. Adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.

Y.A. Triana Ohoiwutun memberikan penilaian tentang ada atau tidaknya

malpraktek medis antara lain didasarkan pada beberapa pertanyaan yaitu:22

1. Adakah tindakan yang merupakan kelalaian yang telah dilakukan oleh tenaga

kesehatan?

2. Apakah praktek tindakan medis yang dilakukan tenaga kesehatan telah sesuai

dengan standar profesi?

3. Apakah pasien berakibat mendeita fisik/psikis secara serius akibat tindakan

medis?

21 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 19


22 Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 53
Dalam kepustakaan Anglo Saxon dikatakan bahwa seorang tenaga

kesehatan dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum, apabila telah

memenuhi syarat:23

1. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian perawat dengan pasien, perawat haruslah

bertindak berdasarkan:

a. adanya indikasi medis

b. bertindak secara hati-hati dan teliti

c. bekerja sesuai dengan standar profesi

d. sudah ada informed consent

2. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang perawat melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang

seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut

standar profesinya, maka perawat tersebut dapat dipersalahkan.

3. Damage (kerugian)

Adanya kerugian yang dirasakan atau dialami oleh pasien.

4. Direct Causation (penyebab langsung)

Perawat untuk dapat dipersalahkan harus ada hubungan kausal (langsung)

antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh

karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya.

Selanjutnya menurut C. Berkhouwer S. dan D. Vortman seorang tenaga kesehatan

(perawat) dapat dikatakan melakukan kesalahan profesional, apabila dia tidak

23 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 28


memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang

akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh tenaga kesehatan

(perawat) pada umumnya didalam situasi yang sama. 24

Selain kriteria penentuan terjadinya malpraktek yang telah dikemukakan oleh

beberapa sarjana diatas, juga harus diperhatikan mengenai hal-hal yang

meniadakan hukuman bagi perawat.

Dasar peniadaan hukuman dapat merupakan dasar peniadaan hukuman yang

tercantum dalam Pasal-Pasal di KUHP maupun yang berasal dari luar KUHP.

Dasar peniadaan hukuman bagi perawat yang tercantum dalam KUHP, yaitu:

1. Pasal 44 (sakit jiwa)

2. Pasal 48 (adanya unsur daya paksa/overmacht)

3. Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa)

4. Pasal 50 (melaksanakan ketentuan UU)

5. Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan yang sah)

Sedangkan mengenai dasar peniadaan hukuman di luar KUHP, Guwandi

berusaha menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau

kesalahan khususnya di perawatg medik, yaitu:25

1. Resiko pengobatan atau resiko medik (risk of treatment)

2. Kecelakaan medik (medical accident)

3. Kekeliruan penilaian klinis (Non-negligent error of judgement)

4. Kesediaan menanggung resiko (volenti non fit iniura/assumption of risk) 5.

Contributory negligence

24 Nasution, Bahder Johan, op.cit., hal 76


25 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 29
Selain itu ada juga dasar peniadaan hukuman yang diberikan oleh

UndangUndang, misalnya dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan

yang menyebutkan: “Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan

jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Hal-hal tersebut diatas adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk

menentukan suatu penilaian atas suatu kasus. Apakah kasus tersebut termasuk

dalam malpraktek atau bukan. Selain itu untuk menentukan apakah pelaku dapat

diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak. Mengenai penentuan

tersebut tentu saja kembali kepada keputusan hakim yang menangani suatu kasus

yang berkaitan dengan malpraktek untuk menentukan apakah kasus yang

ditanganinya adalah merupakan malpraktek atau bukan. Atau apakah si pelaku

dapat diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Mengenai proses penyelesaian malpraktek yang dilakukan oleh perawat, terlebih

dahulu harus memperhatikan apakah perbuatan perawat tersebut termasuk dalam

kategori malpraktek etik, administrasi, perdata atau pidana.

Harus diingat bahwa melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti

juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek

etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis.

Apabila perawat tersebut hanya melakukan perbuatan yang termasuk

kedalam malpraktek etik, misalnya dalam prakteknya perawat membeda-bedakan

setiap pasien berdasarkan pangkat, kedudukan,golongan, bangsa atau agama. Hal

ini melanggar salah satu kode etik perawat pada Bab I tentang kewajiban perawat

terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap
perawat senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah

jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Sedangkan dalam sumpah

jabatannya perawat tersebut telah bersumpah bahwa dalam melaksanakan tugas

atas dasar kemanusiaan tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan,

golongan, bangsa dan agama. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh

wadah profesi perawat yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan

peraturanperaturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.

Sedangkan apabila perbuatan perawat tersebut termasuk ke dalam

malpraktek yuridis, baik perdata, administrasi maupun pidana, maka

penyelesaiannya bukan lagi menjadi wewenang dari IBI sebagai wadah profesi

dan pengawas dari orang-orang yang berprofesi sebagai perawat. Akan tetapi,

menjadi wewenang dari lembaga judikatif atau lembaga peradilan.

Apabila perbuatan tersebut termasuk kedalam malpraktek perdata, maka

penyelesaian kasus tersebut harus berdasarkan kepada hukum atau aturan yang

ada di dalam hukum perdata. Dalam hal ini penyelesaian kasus malpraktek yang

termasuk dalam kategori malpraktek perdata dapat dilakukan melalui dua cara,

yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (diluar proses

peradilan).

Apabila dipilih cara litigasi atau melalui proses peradilan, maka pasien

atau penggugat dapat mengajukan gugatannya dipengadilan negeri di wilayah

kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak.

Hal-hal yang sering dijadikan dasar dalam menggugat perawat secara perdata

adalah:
a. wanprestasi (Pasal 1371 KUHPerdata)

b. perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)

c. kelalaian sehingga menimbulkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata)

Dalam proses peradilan perdata umumnya ingin dicapai suatu putusan

tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah dan kemudian

putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada

penggugat apabila gugatan yang diajukan dapat dibuktikan.

Apabila dipilih cara non litigasi atau diluar proses peradilan, maka kedua

belah pihak, yaitu pasien dan perawat berupaya untuk mencari kesepakatan

tentang penyelesaian sengketa. Dalam proses ini diupayakan mencari cara

penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak.

Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum

dimulainya persidangan.

Menurut pendapat Wila, sebagian kasus malpraktek diselesaikan secara

damai yang dilakukan diluar jalur litigasi.26 Hal ini disebabkan karena tenaga

kesehatan tidak menghendaki reputasinya rusak bila dipublikasikan secara negatif,

walaupun ada kemungkinan tenaga kesehatan yang bersangkutan tidak bersalah.

Sedangkan apabila, perbuatan perawat tersebut termasuk dalam kategori

malpraktek pidana, maka kasus tersebut harus diselesaikan melalui jalur litigasi.

Karena berbeda dengan hukum perdata yang bertujuan untuk mencari perdamaian

antara kedua pihak yang bersengketa atau dalam hal ini adalah tenaga kesehatan

dengan pasiennya, hukum pidana adalah hukum yang menyangkut kepentingan

umum bersama. Berbicara hukum pidana berarti berbicara tentang hukum publik.

26 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 108


Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan

malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak,

berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar

terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk

menegakkan hukum itu sendiri.

Untuk mengajukan tuntutan melalu proses hukum pidana, pasien atau

korban cukup melaporkan kepada penyidik dengan menunjukan bukti-bukti

permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan

penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan

saksi dan terdakwa, serta mengumpulkan bukti-bukti. Berkas hasil penyidikan

penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun

tuntutannya. Setelah itu tergantung kepada putusan hakim untuk memutuskan

kasus tersebut, apakah terdakwa diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana

atau tidak. Dan apakah terdakwa tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban

secara pidana atau tidak.

Menurut Y.A.Triana Ohoiwutun, penjatuhan sanksi pidana dapat

dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:27

a. Perbuatan dilakukan oleh subyek hukum (manusia dan badan hukum).


b. Ada kesalahan.

c. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.

d. Pembuat atau pelaku mampu bertanggung jawab.

e. Tidak ada alasan yang menghapuskan pidana.

27 Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit. hal 59


Dalam proses penyidikan kasus malpraktek pidana, diperlukan saksi ahli

dalam perawatg yang berkaitan dengan kasus tersebut. Hal ini diperlukan karena

kasus malpraktek adalah kasus yang menyangkut dua perawatg yang berlainan,

yaitu perawatg hukum dan perawatg kesehatan. Oleh karena itu diperlukan

pendapat dari orang yang memiliki pengetahuan di perawatg kesehatan yang

sesuai dengan kasus malpraktek yang terjadi. Dalam kasus malpraktek yang

dilakukan oleh perawat, maka saksi ahli yang diajukan adalah saksi ahli yang

memiliki keahlian dalam ilmu keperawatan, misalnya dokter spesialis kandungan.

Keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik

atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat

dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan

tersebut. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan disidang diminta

untuk memberikan keterangan dan dicatat didalam berita acara pemeriksaan.

Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji

dihadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah

atau janji yang diucapkan dimuka sidang mengenai kebenaran keterangannya yang

diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan sumpah atau janji yang

diucapkan pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan (sumpah jabatan) Adanya

keharusan bagi saksi ahli untuk mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan

keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam

perawatg keahliannya itu dapat berlaku bagi dokter ahli kedokteran kehakiman,

atau dokter atau ahli lainnya, merupakan hal yang wajib demi keadilan diatur

dalam Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP.


Bahkan bila hakim belum yakin, karena keterangan ahli mempunyai nilai

kekuatan pembuktian bebas, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan untuk

menerima kebenaran keterangan ahli yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.28

Oleh karena itu bila hakim kurang atau belum yakin, dapat meminta

keterangan ahli lain, dan bahkan dimungkinkan untuk mengadakan penelitian

ulang dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunya

wewenang untuk itu. Hal ini dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 180

ayat (1) sampai dengan ayat (4) KUHAP.

Apabila seorang perawat melakukan malpraktek yuridis (baik perdata,

administrasi maupun pidana) dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI

melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah perawat tersebut

telah benar-benar melakukan kesalahan. Karena salah satu tujuan pembentukan

MPA dan MPEB adalah untuk memberikan penilaian apakah seorang perawat

dalam melaksanakan tugasnya telah sesuai dengan kode etik perawat atau tidak.

Salah satu alasan dibentuknya MPA dan MPEB adalah karena perawat dalam

melaksanakan tugas profesinya kadang kala diprotes oleh keluarga pasien bahwa

si perawat telah membuat kesalahan atau kelalaian yang mendatangkan kerugian

bagi pasien yang ditolongnya. Sedangkan kemungkinan dapat terjadi kesalahan

atau kelalaian dari keluarga pasien itu sendiri seperti pertolongan keluarga

sebelum pergi ke perawat. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan

atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian perawat, dan

perawat tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka

28 Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Study Tentang Hubungan Hukum


Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal 158
IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada perawat tersebut

dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.

Didalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sebenarnya sudah

ditentukan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya

kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam

menjalankan praktek profesinya. Didalam Pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa

yang berhak menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga

kesehatan dalam melaksanakan profesinya adalah Majelis Disiplin Tenaga

Kesehatan (MDTK).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.56

Tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas

untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan

dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,

mandiri dan non struktural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana

Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi di perawatg kesehatan,

ahli agama, ahli psikologi dan ahli sosiologi.

Namun sampai saat ini peran MDTK dalam penanganan kasus malpraktek atau

kasus yang berkaitan dengan tenaga kesehatan masih kurang optimal. Hal ini

terlihat dari masih banyaknya kasus-kasus yang diduga sebagai malpraktek

ataupun kasus-kasus yang melibatkan tenaga kesehatan yang diajukan ke depan

muka pengadilan.

B. Kasus dan Analisis Kasus


1. Kasus Kronologis

Perkara

Terdakwa Afrina Br. Sembiring telah didatangi saksi korban Henny Vivi

Yulianty bersama adik saksi korban di Klinik Bersalin Sari Buana milik terdakwa

di Jl. Setia Budi Medan pada pukul 09.00 WIB dengan mengatakan bahwa saksi

korban sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Kemudian terdakwa memeriksa

kesehatan pasien dan bayinya yang pada waktu itu kondisi kesehatan saksi korban

Henny Vivi Yulianty dan bayinya dalam keadaan sehat, kemudian terdakwa

ketahui bahwa bukaan jalan lahir bayi saksi korban sebesar 3 cm dan diperkirakan

masih lama lagi. Lalu terdakwa menyarankan saksi korban untuk jalan-jalan

disekitar klinik kurang lebih lima menit. Kemudian sekitar pukul 13.00 terdakwa

memberi infus Deatrose 5 % sebanyak 500 cc untuk menambah

tenaga,pemasangan infus tersebut telah disetujui oleh saksi korban Henny Vivi

Yulianty dan menurut pengakuan saksi korban, saksi Hastaricka alias Adek, saksi

Yusrah Nasution, dan saksi Denny Armaya alias Deni, 10 menit kemudian saksi

korban di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) melalui jarum infus

yang dilakukan oleh terdakwa.

Kemudian pada pukul 17.00 WIB jalan lahirnya sudah lengkap 10 cm dan

disitulah saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dengan kondisinya ketika

itu agak lemah dan saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dalam keadaan

normal tanpa menggunakan ekstraksi Vakum dan juga tidak dengan dioperasi lalu

10 menit kemudian keluar urinya.

Pada pukul 18.00 WIB terdakwa melihat darah masih keluar sedikitsedikit

dari vagina saksi korban Henny Vivi Yulianty dan pada pukul 20.00 terdakwa
melihat saksi korban agak gelisah dan lemah dan perutnya agak kembung dan

ketika terdakwa mengukur tekanan darah menunjukan 70/50 MMHg. Kemudian

ibu saksi korban memberitahukan kepada terdakwa bahwa telah terjadi

pendarahan banyak dari vagina saksi korban, namun terdakwa mengatakan

“Jangan Cemas” dan membiarkannya begitu saja, lalu keluarga saksi korban

bersikeras agar saksi korban dibawa ke Rumah Sakit untuk ditangani lebih

intensif, lalu terdakwa menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica.

Waktu itu pihak keluarga saksi korban yaitu bapak saksi korban meminta ke

Rumah Sakit Tentara, namun terdakwa menyarankan kepada mereka, saksi agar

dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG

sebagai Dokter Konsul terdakwa bisa menangani pasien di Rumah Sakit Vina

Estetica dan kemudian terdakwa menghubungi Dr. Jhon Robert Simanjuntak,

SpOG melalui Hp nya bahwa terdakwa membawa saksi korban ke Rumah Sakit

Vina Estetica.

Kemudian pada malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB terdakwa

bersama keluarga saksi korban membawa saksi korban ke Rumah Sakit Vina

Estetica di Jl. Iskandar Muda Medan.

Setibanya di Rumah Sakit Vina Estetica adalah sekitar pukul 20.30 WIB

dan selanjutnya saksi lorban ditangani oleh pihak Rumah Sakit Vina Estetica

sampai dirinya ditangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjutak, SpOG.

Sesuai dengan Resume Medik Rumah Sakit Vina Estetica tanggal 5 Agustus

2004 yang ditandatangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak, SpOG selaku dokter

yang merawat saksi korban dan R. Sinaga, Bsc,SE selaku Direktur Umum, bahwa
pada tanggal 1 Juli 2004 telah dilakukan operasi buka perut (laparatomi) yang

dijumpai robekan rahim dan robekan dinding kemaluan bagian atas dan dijumpai

jaringan nekrotik, diputuskan untuk penggangkatan rahim.

Dakwaan:

Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa terdakwa sebagai

berikut:

Pertama:

Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada hari Kamis tanggal 01 Juli

2004 sekira pukul 16.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan

April tahun 2006, bertempat di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No.106

Tanjung Sari Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih

termasuk daerah Hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja melakukan

tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UURI

No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Atau kedua:

Bahwa terdakwa Afrina Br Sembiring pada waktu dan tempat seperti tersebut

diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang lain mendapat luka-luka berat, yang dilakukan dalam menjalankan suatu

jabatan atau pencarian.

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 361 KUHP.

Atau ketiga:
Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada waktu dan tempat seperti tersebut

diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang luka berat.

Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 360 KUHP.

Tuntutan Hukum:

Tuntutan Hukum Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut

agar terdakwa dijatuhi Pidana sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Afrina Br. Sembiring telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan

medis terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan”

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No.23

Tahun 1992 tentang UU Kesehatan.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Afrina Br. Sembiring

dengan pidana selama 3 (tiga) bulan penjara dikurangi sepenuhnya selama

terdakwa menjalani tahanan sementara dan denda Rp.1.000.000,- subsidair

2 bulan kurungan.

3. Menyatakan barang bukti berupa: nihil

4. Menetapkan agar terdakwa Afrina Br. Sembiring supaya dibebani

membayar biaya perkara sebesar Rp.500,- (lima ratus rupiah).

Fakta-Fakta Hukum:

Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dalam persidangan secara

berturut-turut dikemukakan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,

dan dikuatkan dengan barang bukti.


Keterangan saksi-saksi:

Saksi Henni Vivi Yulianty alias Heni, setelah bersumpah menurut agama islam

di depan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika

dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduannya tentang adanya

dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh Perawat Afrina Br. Sembiring

selaku perawat di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Medan

ketika dirinya melahirkan anaknya yang ketiga.

- Bahwa saksi menerangkan ketika mengetahui sudah ada tanda-tanda dirinya

akan melahirkan selanjutnya saksi bersama-sama dengan adiknya bernama

HASTARICKA alias ADEK pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia

Budi No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor

pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di

Klinik tersebut, saksi diperiksa langsung oleh Perawat Afrina Br.Sembiring

dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian saksi di SINTO (obat

perangsang untuk cepat melahirkan) oleh Perawat Afrina Br. Sembiring .

- Bahwa saksi menerangkan kondisi kesehatan saksi dan kandungannya dalam

keadaan sehat bahkan sebelumnya sejak usia kandungan saksi berumur 7

bulan, saksi selalu memeriksakan kandungannya ke Klinik Bersalin Sari

Buana, dan hasil pemeriksaan sehat, bahkan saksi korban dengan ditemani

oleh Perawat Afrina Br. Sembiring pergi bersama memeriksakan kandungan

saksi di tempat praktek dr. JHON ROBERT S. Sp.OG.untuk USG pada


bulan Juni 2004 atau sekitar dua minggu sebelum saksi melahirkan dengan

hasil bayi yang dikandung dalam keadaan sehat.

- Bahwa saksi menerangkan ketika dirinya akan melahirkan anaknya yang

ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00, yang

ditangani oleh Perawat Afrina Br. Sembiring ada memberikan suntikan

perangsang untuk bayi lahir dengan cara di SINTO (obat perangsang untuk

cepat melahirkan)melalui jarum infus dan sejak diberi SINTO (obat

perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut saksi merasa perutnya mulas

seperti ingin melahirkan saja dan kemudian barulah sekitar pukul 14.30

WIB, saksi melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat badan bayi 3,9

Kg, namun lebih kurang 5 menit setelah melahirkan saksi mengalami

pendarahan yang hebat yang akhirnya saksi dirujuk ke RSU Vina Estetica

Medan dan kemudian ditolong oleh dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan ketika

dilakukan operasi barulah kelihatan bahwa rahim saksi telah robek akibat

melahirkan yang ditangani oleh Perawat Afrina Br. Sembiring di Klinik Sari

Buana Jl. Setia Budi Medan dan akhirnya saksi ditolong dengan cara

pengangkatan rahim untuk keselamatan jiwa saksi.

Saksi Hastaricka alias Adek, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan

persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika

dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduan kakak saksi bernama

Henni Vivi Yulianty tentang adanya dugaan Malpraktek yang dilakukan

oleh Perawat Afrina Br. Sembiring selaku Perawat di Klinik Bersalin Sari
Buana Jl. Setia Budi No. 106 Medan ketika kakak saksi Henni Vivi Yulianty

melahirkan anaknya yang ketiga.

- Bahwa saksi menerangkan ketika kakaknya sudah ada tanda-tanda akan

melahirkan selanjutnya, saksi bersama-sama dengan kakaknya bernama

Henni Vivi Yulianty pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia Budi

No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor pada hari

kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di Klinik

tersebut, kakak saksi diperiksa langsung oleh Perawat Afrina Br. Sembiring

dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian kakak saksi bernama Henni

Vivi Yulianty di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) oleh

Perawat Afrina Br. Sembiring.

- Bahwa saksi menerangkan ketuban Henni Vivi Yulianty pecah sekitar pukul

13.00 WIB, dan kemudian pada pukul 14.30 WIB, Henni Vivi Yulianty

melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat 3,9 Kg, namun selama proses

persalinan saksi melihat tangan Perawat Afrina Br. Sembiring dimasukkan

kedalam lobang kemaluan kakak saksi Henni Vivi Yulianty untuk berusaha

mengeluarkan si bayi dan waktu itu Henni Vivi Yulianty mengerang-erang

kesakitan.

- Bahwa saksi menerangkan lebih kurang 5 menit selesai dibersihkan dari

melahirkan, Henni Vivi Yulianty mengalami pendarahan dan ketika itu tidak

ada tindakan Perawat Afrina Br. Sembiring terhadap kakak saksi dan

tindakan perawatnya hanya melakukan tensi darah saja.


- Bahwa saksi menerangkan, karena pendarahan pada Henni Vivi Yulianty

tidak berhenti, dan kondisi Henni Vivi Yulianty semakin lemah saja, maka

pada malam itu juga, Henni Vivi Yulianty dirujuk ke RSU Vina Estetica.

- Bahwa saksi menerangkan selanjutnya kakak saksi diberi pertolongan oleh

dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan kemudian pada malam itu juga sekitar pukul

23.30 WIB, kakak saksi Henni Vivi Yulianty di operasi pengangkatan rahim

dengan alasan rahim Henni Vivi Yulianty telah robek akibat melahirkan di

Klinik Sari Buana Jl. Setia Budi Medan.

Saksi Yusrah Nasution, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan

persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.

Saksi Maulana Yahya Hapendi, setelah bersumpah menurut agama Islam

didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.

Saksi Denny Armaya alias Deni, setelah bersumpah menurut agama Islam

didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.

Saksi Wiwiek Devita alias Wiwik, setelah bersumpah menurut agama Islam

didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.

Saksi Dr. Jhon Robert simanjuntak Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama

Kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika

dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya mengenai adanya

saksi melakukan pengobatan atau operasi terhadap perempuan bernama

Henni Vivi Yulianty.


- Bahwa saksi menerangkan sebabnya dirinya melakukan operasi

pengangkatan rahim (Histertomi) terhadap pasien Henni Vivi Yulianty

adalah karena pasien tersebut ketika dirujuk dari Klinik Bersalin Sari Buana

yang ditangani oleh Perawat Afrina Br. Sembiring kepada Rumah Sakit

Vina pasien tersebut sebelumnya dilakukan pemeriksaan, dan hasil

pemeriksaan, pasien tersebut mengalami robekan rahim, dan pendarahan

yang hebat dan kemudian dilakukan tindakan operasi dan pada saat operasi

ditemukan darah dirongga perut, sumber pendarahan dari robekan rahim

yang luas, kemudian saya memutuskan untuk dilakukan pengangkatan

rahim.

- Dan perlu saya tambahkan sebelum dilakukan operasi saya sudah

memberikan penjelasan kepada keluarga Henni Vivi Yulianty yang

bertanggung dan setuju dilakukan operasi dan pada saat operasi, saya

memberikan penjelasan bahwa rahim tidak bisa dipertahankan lagi dan harus

diangkat dan pada waktu itu keluarga pasien dalam hal ini orangtua kandung

Henni Vivi Yulianty setuju untuk pengangkatan rahim.

- Bahwa saksi menerangkan sebelum korban Henni Vivi Yulianty melahirkan

anaknya yang ketiga tanggal 01 Juli 2004 yang ditangani oleh Perawat

Afrina

Br. Sembiring, korban Henni Vivi Yulianty pernah memeriksakan kesehatan

kehamilannya di tempat praktek saksi di Jl. SM Raja No. 15 B Simpang

Garu I medan yaitu pada tanggal 19 Juni 2004 sekitar pukul 19.00 WIB

dengan ditemani oleh Perawat Afrina Br. Sembiring dan hasil pemeriksaan
USG saksi ketika itu Henni Vivi Yulianty berikut bayinya dalam keadaan

sehat dan waktu itu usia kehamilan 38 minggu, detak jantung janin positif,

letak kepala, air ketuban cukup, kondisi ibu (Henni Vivi Yulianty) sehat

dengan tensi 120/80.

Saksi Ahli Dr. Jenius L.Tobing Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama

kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika

dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya sebagai saksi ahli

karena memiliki keahlian FETO MATERNAL (Janin dan Ibu) atau Ilmu

Keperawatan yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehamilan persalinan dan

Nifas sehubungan dengan pengaduan Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga

dengan Henni Vivi Yulianty dan juga Perawat Afrina Br. Sembiring.

- Bahwa saksi setelah membaca Resume Medik An. Henni Vivi Yulianty

yang menerangkan Henni Vivi Yulianty dirujuk ke Rumah Sakit Umum

Vina Estetica dengan keluhan utama pendarahan dari kemaluan, sebelumnya

persalinan luar rumah sakit yang ditolong oleh perawat, pemeriksaan

tekanan darah 50/30 mm Hg s/d tidak terukur dengan HB 5,3 g/11. hasil

pemeriksaan : pendarahan paska persalinan ditambah pendarahan dalam

rongga perut, diduga terdapat robekan rahim. Dan kemudian pada saat

dilakukan operasi buka perut dijumpai robekan rahim dan robekan dinding

kemaluan bagian atas dan dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk

pengangkatan rahim. Maka saya membuat kesimpulan bahwa tindakan Dr.


Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. yang melakukan pengangkatan rahim

pasien Henni Vivi Yulianty tersebut sudah sesuai prosedur untuk

keselamatan jiwa pasien Henni Vivi Yulianty, namun yang menjadi

penyebabnya berarti adalah pada Perawat yang menangani persalinan Henni

Vivi Yulianty sehingga terjadi pendarahan dan luka pada rahim Henni Vivi

Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan setelah dirinya membaca dan memperhatikan

bukti-bukti tersebut, saksi berkesimpulan kemungkinan penyebab terjadinya

pendarahan dari luka robekan rahim korban Henni Vivi Yulianty adalah

akibat dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)

yang diberikan oleh Perawat Afrina Br. Sembiring, karena anak yang

dilahirkan oleh Henni Vivi Yulianty tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai

dengan surat Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban

melahirkan) sehingga rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO

(obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut bisa mengakibatkan luka

robek pada rahim sehingga terjadinya pendarahan pada pasien Henni Vivi

Yulianty.

- Bahwa saksi menerangkan menurut tanggapan saksi selaku saksi ahli setelah

memperhatikan, membaca Resume Medis, Berita Acara Pemeriksaan Saksi

Henni Vivi Yulianty dan juga Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik

Bersalin Sari Buana, tindakan Perawat Afrina Br. Sembiring tidak sesuai

dengan Prosedur Medis yang berlaku di Negara RI karena pemberian


SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut dengan tanpa izin

dokter.

Keterangan Terdakwa:

Terdakwa Afrina Br. Sembiring, pada pokoknya didepan persidangan

menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa terdakwa mengaku ketika dimintai keterangan dalam keadaan sehat

jasmani dan rohani ketika memberikan keterangan sehubungan dengan

adanya pengaduan Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa terdakwa mengaku dan membenarkan dirinya yang menangani

proses persalinan pasien Henni Vivi Yulianty ketika melahirkan anak pasien

yang ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 15.30 di

Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Tanjung Sari Medan.

- Bahwa terdakwa mengaku dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga

dengan korban Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa terdakwa mengaku kondisi kesehatan Henni Vivi Yulianty dan bayi

dalam kandungannya ketika dirinya memeriksakan kepada terdakwa dalam

keadaan sehat-sehat saja.

- Bahwa terdakwa mengaku ketika hendak menangani persalinan Henni Vivi

Yulianty dirinya tidak ada mengkonsulkan kepada Dokter konsul klinik

terdakwa dan kebetulan Dokter konsul terdakwa di klinik Bersalin Sari

Buana adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG.

- Bahwa terdakwa mengaku Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang

ketiga di Klinik miliknya tersebut dengan keadaan normal dengan berat 3,9
Kg dan tinggi 50 cm, namun setelah melahirkan terdakwa mengaku Henni

Vivi Yulianty mengalami pendarahan pervagina.

- Bahwa terdakwa mengaku selanjutnya pasien Henni Vivi Yulianty dirujuk

ke Rumah Sakit Vina Estetica pada hari kamis, yanggal 01 Juli 2004 sekitar

pukul 17.00 WIB dengan keluhan pendarahan pervagina, dan setelah

dioperasi oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. barulah diketahui

penyebab terjadinya pendarahan pervagina tersebut karena robeknya rahim

dari Henni Vivi Yulianty dan itu diketahui terdakwa karena terdakwa sendiri

langsung melihat jalannya operasi tersebut.

- Bahwa terdakwa mengaku tindakan yang dilakuka oleh Dr. Jhon Robert

Simanjuntak Sp.OG guna penyelamatan jiwa Henni Vivi Yulianty adalah

dengan cara mengangkat rahim Henni Vivi Yulianty tersebut.

- Bahwa terdakwa tidak mengakui dirinya ada memberikan SINTO (obat

perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien Henni Vivi Yulianty.

- Bahwa benar terdakwa meminta uang sebanyak Rp.250.000,- untuk biaya

melahirkan.

Barang Bukti:

Nihil
Surat :

1. Resume Medik RSU Vina Estetica Medan yang ditandatangani oleh Dr.

Jhon Robert Simanjuntal Sp.OG dan Direktur Umum RSU Vina Estetica

R. Sinaga Bsc. SE.

2. Resume Medik Klinik Sari Buana yang ditandatangani oleh Afrina.

3. Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana.


4. Surat Keterangan Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan

No.440/4286/IV/2006.

5. Surat Izin Praktik Perawat Afrina Br. Sembiring tanggal 27 Februari 2002

yang berakhir tanggal 27 Februari 2004.

6. Surat Izin Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Swasta yang diberikan

kepada Afrina Br. Sembiring pada tanggal 11 April 2002 yang berlaku

sampai tanggal 11 April 2004.

Amar Putusan:

Menyatakan bahwa terdakwa Afrina Br. Sembiring tersebut telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana: “Melakukan

tindakan medik tidak sesuai dengan ketentuan”.

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 3 (tiga) bulan, denda Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair

1 (satu) bulan kurungan.

Menetapkan masa penahan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Memerintahkan agar barang bukti berupa:

Nihil

Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 1000,-.

2. Analisis Kasus
Amar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan

hukuman kepada terdakwa Afrina Br. Sembiring tentu saja di ambil berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang muncul di

persidangan.

Fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan yaitu keterangan saksisaksi,

keterangan terdakwa dan alat bukti, tidak ada yang dapat mendukung terdakwa.

Sebaliknya fakta-fakta yang muncul dipersidangan justru memberatkan terdakwa

dalam kasus tersebut.

Selain itu tidak adanya pembelaan dari terdakwa, juga membuktikan bahwa

terdakwa mengakui perbuatannya. Dan untuk itu terdakwa telah menagajukan

permohonan yang pada pokoknya agar dijatuhi hukuman yang seringan-

ringannya.

Dalam menjatuhkan putusan tersebut, Majelis Hakim juga telah

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa,

yaitu:

Yang memberatkan:

- perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.

- Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban menjadi cacat Yang

meringankan :

- terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesal

- terdakwa sopan dipersidangan

- terdakwa belum pernah dihukum


Didalam persidangan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap

ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan.

Adapun unsur-unsur dari Pasal 80 ayat (1) UU Kesehatan tersebut adalah:

a. Dengan Sengaja

Dalam lapangan teori hukum pidana ada tiga macam kesengajaan, yaitu:

1). Sengaja sebagai maksud (oogmerz)

2) Sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet Bijkerheid-Bewustzin) 3)

Sengaja dengan kesadaran kemungkinan akan terjadi (voorwardelijk opzet/ dolus

eventualis)

Dalam kasus ini, kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa adalah bentuk

kesengajaan yang termasuk dalam kategori sengaja dengan

kesadaran kemungkinan akan terjadi.

Dengan pengetahuan dan kemampuannya sebagai seorang perawat, sudah

sepatutnya terdakwa menyadari atau mengetahui akibat yang mungkin terjadi dari

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban.

Terlebih lagi, ketika usia kandungan korban atau sekitar dua minggu sebelum

korban melahirkan, korban dengan ditemani oleh terdakwa pergi untuk melakukan

pemeriksaan USG di tempat praktik Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG yang

juga merupakan dokter konsul dari terdakwa.


Berdasarkan hal tersebut, seharusnya terdakwa betul-betul mengetahui tentang

keadaan korban dan kandungannya. Seharusnya korban mengetahui akibat dari

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban, ada

kemungkinan terjadi akibat yang negatif terhadap korban. Seperti keterangan yang

diberikan oleh saksi ahli Dr. Jenius L. Tobing Sp.OG, bahwa kemungkinan

penyebab terjadinya pendarahan dari luka robekan rahim korban adalah akibat

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)yang diberikan oleh

terdakwa. Saksi memberikan keterangan tersebut karena menurut saksi ahli

dengan pengetahuan dan keahliannya dalam perawatg Feto Maternal (janin dan

ibu) atau ilmu keperawatan, setelah membaca Resume Medik korban, bahwa anak

yang dilahirkan oleh korban tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai dengan surat

Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban melahirkan). Oleh

karena itu rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO (obat perangsang

untuk cepat melahirkan) tersebut, dapat mengakibatkan luka robek pada rahim

sehingga terjadi pendarahan pada korban.

b. Melakukan Tindakan Medis Tertentu Terhadap Ibu Hamil

Menurut Chrisdiono M. Achadiat, yang dimaksud dengan tindakan medis adalah

semua tindakan atau langkah yang dilakukan atas pasien sehingga dalam

pengertian ini termasuk tindakan diagnostik maupun terapeutik.29

Dalam hal ini yang menjadi obyek dari tindakan medis adalah ibu hamil. Dengan

kata lain dalam kasus ini tidak hanya menyangkut keselamatan ibu hamil atau

pasien itu saja, tetapi juga menyangkut bayi yang sedang dikandungnya. Seperti

dikemukakan diatas tindakan medis meliputi tindakan diagnostik maupun

29 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 37


terapeutik. Karena berdasarkan tindakan diagnostiklah dapat ditentukan tindakan

terapeutik apa yang harus diberikan kepada pasien.

Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan kesalahan, mulai dari tindakan

diagnostik yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan terapeutik yaitu pemberian

SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien. Yang menjadi

penyebab terjadinya pendarahan pada korban akibat luka robekan rahim sehingga

rahim korban terpaksa diangkat untuk keselamatan jiwa korban. Kesalahan yang

dilakukan oleh terdakwa adalah tidak mengkonsultasikan mengenai tindakan

medis yang akan dilakukan kepada pasien kepada dokter konsul terdakwa yang

adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. Padahal mengenai pemberian SINTO

(obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut, seharusnya diberikan dengan

izin dokter. Apabila terdakwa terlebih dahulu mengkonsultasikan mengenai

tindakan medis yang akan dilakukan oleh terdakwa kepada dokter konsul

terdakwa, mungkin dokter konsul terdakwa dapat memberikan saran yang lebih

bailk kepada terdakwa, mengenai tindakan medis yang harus diberikan kepada

korban/pasien. Hal ini tidak hanya didasarkan pada kemampuan dan keahlian

yang dimiliki oleh dokter konsul terdakwa, akan tetapi juga berdasarkan fakta

bahwa korban pernah memeriksakan diri kepada konsul terdakwa dengan

ditemani terdakwa. Hal ini berarti bahwa dokter konsul terdakwa juga mengetahui

keadaan korban dan kandungannya.

c. Yang Tidak Memenuhi Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 15 ayat

(1) dan ayat (2) Pasal

15:
ayat (1):Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu

hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat dilakukan:

a) Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan

tersebut.

b) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta

berdasarkan pertimbangan tim ahli.

c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau

keluarganya.

d) Pada sarana kesehatan tertentu.

Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini

adalah dasar hukum peniadaan hukuman dari tenaga kesehatan yang melakukan

pengguguran kandungan (abortus provocatus). Hal ini mungkin dikarenakan

penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini yang menyebutkan mengenai

tindakan medis yang berupa pengguguran kandungan. Padahal maksud dari

ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini tidak hanya mengenai tindakan medis yang berupa

pengguguran kandungan saja. Akan tetapi juga tindakan medis lain yang bertujuan

untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya.

Dalam kasus ini, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan ini berlaku

sebagai peniadaan hukuman bagi tindakan medis yang dilakukan oleh Dr. Jhon

Robert Simanjuntak Sp.OG yang melakukan operasi pengangkatan rahim korban,


sehingga korban tidak dapat melahirkan lagi. Akan tetapi kepada Dr. Jhon Robert

Simanjuntak Sp.OG tersebut, tidak dapat dikenakan pidana, karena perbuatan Dr.

Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15

ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan. Tujuan dari tindakan medis yang dilakukan

oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut adalah untuk menyelamatkan

jiwa korban/ pasien. Karena apabila tidak dilakukan tindakan medis tersebut,

korban/pasien terancam bahaya maut.

Sedangkan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban.

Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan tidak dapat berlaku

sebagai peniadaan hukuman. Dengan kata lain perbuatan atau tindakan medis

yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan.

Perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak

berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.

Selain itu perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu

pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu. Atau dalam hal ini dilakukan tanpa izin dokter yang berwenang. Dengan

kata lain tidak ada pendelegasian wewenang untuk melakukan tindakan medis

tersebut.
Terlebih lagi ternyata terdakwa, selain tidak memiliki kewenangan untuk

melakukan tindakan medis tersebut. Bahkan sebenarnya terdakwa tidak memiliki

kewenangan sama sekali untuk melakukan tindakan medis apapun. Atau dengan

kata lain bahwa terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kewenangan untuk

menjalankan profesi tenaga kesehatan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan

melalui Surat Izin Praktek Perawat (SIPB) dan Surat Izin Perawat (SIB) telah

habis masa berlakunya dan belum diperbaharui.

Seharusnya sebelum SIB dan SIPB diperbaharui, terdakwa tidak boleh

menjalankan profesinya sebagai perawat dan memberikan pelayanan kesehatan

kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis setuju dengan putusan

yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan hukuman atau pidana

kepada terdakwa. Karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap

ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang

diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Selain karena telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam

Pasal 80 ayat (1) UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menurut penulis

masih ada lagi satu faktor yang menjadi dasar persetujuan penulis terhadap

putusan majelis hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Yaitu tidak

adanya atau lambatnya penanganan terdakwa terhadap korban ketika terjadi

pendarahan setelah korban melahirkan. Yang dilakukan terdakwa hanya berkata


“Jangan Cemas” dan hanya melakukan pengukur tekanan darah saja. Setelah

pihak keluarga korban memaksa agar korban dibawa ke Rumah Sakit untuk dapat

ditangani lebih intensif baru terdakwa merujuk korban ke Rumah Sakit Vina

Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG sebagai Dokter Konsul

terdakwa bisa menangani korban di Rumah Sakit Vina Estetica.

Seandainya terdakwa langsung bertindak cepat menanggapi keadaan korban yang

mengalami pendarahan setelah melahirkan, dengan langsung merujuk korban ke

Rumah Sakit agar dapat ditangani oleh dokter yang memiliki keahlian yang lebih,

mungkin saja akibat yang terjadi terhadap korban dapat dikurangi.

Kesalahan pertama dari terdakwa adalah melakukan praktek keperawatan

atau memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa memiliki izin

untuk melakukan praktek keperawatan. Karena izin untuk melakukan praktek

keperawatan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah

habis masa berlakunya dan belum diperbaharui. Seharusnya sebelum IB dan SIPB

diperbaharui, terdakwa tidak boleh menjalankan praktek keperawatan dan

memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Hal ini adalah salah satu bukti kurangnya pengawasan dari pemerintah

melalui Dinas Kesehatan maupun oleh IBI sebagai wadah organisasi perawat di

Indonesia.

Pemerintah melalui Dinas Kesehatan seharuya melakukan pengawasan

terhadap setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktek di wilayahnya.

Apabila ada tenaga kesehatan yang menjalankan pratek tidak sesuai dengan

ketentuan, misalnya menjalankan praktek tanpa izin, maka pemerintah melalui


Dinas Kesehatan dapat memberikan sanksi kepada tenaga kesehatan yang

bersangkutan.

Begitu juga IBI sebagai wadah organisasi profesi perawat di Indonesia,

seharusnya juga melakukan pengawasan terhadap anggotanya. Karena setiap

pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat kepada masyarakat tentu saja

mempengaruhi citra IBI di mata masyarakat.

Apabila mutu pelayanan yan diberikan perawat kepada masyarakat baik,

hal itu akan meningkatkan citra IBI di mata masyarakat dan meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap perawat dalam memberikan pelayanan

kesehatan.

Begitu juga sebaliknya, apabila mutu pelayanan yang diberikan perawat

kepada masyarakat buruk, hal itu akan menjatuhkan citra IBI di mata masyarakat

dan kepercayaan masyarakat terhadap perawat juga akan semakin menurun.

Apabila kita melihat faktor penyebab terdakwa melakukan praktek

keperawatan walaupun tanpa memiliki izin adalah karena faktor ekonomi. Karena

tujuan dari terdakwa dengan tetap melakukan praktek keperawatan walaupun

tanpa memiliki izin adalah agar terdakwa dapat mendapatkan uang sebagai

imbalan atas jasa pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan yang diberikan

oleh terdakwa kepada pasien.

Selain itu yang menjadi kesalahan terdakwa adalah mengenai tindakan

medis yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban yaitu pemberian SINTO

(obat perangsang kelahiran) kepada korban yang mengakibatkan terjadinya

pendarahan pada vagina korban yang disebabkan oleh robekan pada rahim korban
sehingga rahim korban terpaksa diangkat dan mengakibatkan korban tidak dapat

melahirkan lagi.

Dalam hal ini, terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melakukan

tindakan medis tersebut. Pertama, oleh karena sebenarnya terdakwa tidak

memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis apapun, karena izin yang

diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah habis masa

berlakunya dan belum diperbaharui. Kedua, karena pemberian SINTO (obat

perangsang kelahiran) harus dengan izin dokter. Sedangkan pada saat memberikan

SINTO (obat perangsang kelahiran) kepada korban, terdakwa tidak ada meminta

izin ataupun mengkonsultasikan kepada dokter yang berwenang untuk

memberikan izin.

Sebenarnya, menurut penulis masalah kewenangan melakukan tindakan

medis tanpa memiliki izin dapat dikesampingkan, yaitu pada situasi dan kondisi

tertentu. Misalnya pada daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga kesehatan

lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang

membutuhkan. Akan tetapi pada kasus ini, terdakwa melakukan perbuatan

tersebut dikota Medan, yang merupakan kota besar dan memiliki banyak tenaga

kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada korban.

Dengan kata lain, pada kasus ini sebenarnya terdakwa memiliki pilihan

lain yang lebih baik untuk menangani korban. Yaitu dengan sejak awal merujuk

korban kepada perawat atau dokter yang memiliki wewenang yang menurut

terdakwa dapat membantu korban untuk melahirkan. Misalnya menyarankan atau

merujuk korban kepada dokter konsul terdakwa.


Di dalam pasal 15 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan bahwa salah satu

syarat dilakukannya tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yaitu dilakukan

oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dan

dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan

tim ahli.

Oleh karena itu perbuatan terdakwa yang memberikan SINTO (obat

perangsang kelahiran) tanpa izin dokter dan melakukannya tanpa memiliki

wewenang dan izin untuk menjalankan praktek keperawatan adalah tidak sesuai

dengan ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan. Dan oleh karena itu

terdakwa dapat dikenakan dan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 80 UU

Kesehatan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor penyebab tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh

perawat adalah:

a. Kelalaian (negligence, culpa)

b. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman

c. Faktor Ekonomi

d. Perubahan Pola Hubungan Perawat-Pasien


Sedangkan mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang

dilakukan oleh perawat adalah:

a. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya

b. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan

Tindakan Medis (Informed Consent)

c. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis

d. Melakukan Pembinaan Keperawatan Yang Lebih Baik

e. Memaksimalkan peran IBI

Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan

malpraktek yang dilakukan oleh perawat. Akan tetapi banyak pula dari

kasuskasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan.

Atau dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai

kesalahan yang dilakukan oleh perawat sehingga para tersangka dapat terbebas

dari hukuman. Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di

pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih

terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses

pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:

a. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan

b. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan perawat

c. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang perawat.

2. Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan

oleh perawat terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan.

Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan


oleh perawat yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada

pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan

apakah kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau

apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan

malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum

tentu merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang perawat melakukan

malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut

dilakukan oleh wadah profesi perawat yaitu IBI. Dan pemberian sanksi

dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi

IBI tersebut. Sedangkan apabila seorang perawat melakukan malpraktek

yuridis dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan

MPEB wajib melakukan penilaian apakah perawat tersebut telah benar-benar

melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan

atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian perawat,

dan perawat tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi,

maka IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada perawat

tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.

B. Saran

1. Kiranya kepada para perawat dapat diberikan pengetahuan mengenai

ketentuanketentuan hukum yang berkaitan dengan profesinya.


3. Kiranya para perawat lebih bertindak hati-hati dan dapat selalu memberikan

pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat, dengan begitu

masyarakat puas dan perawat pun dapat terhindar dari tuntutan malpraktek.

4. Kiranya masyarakat pun dapat mengerti bahwa tidak semua akibat negatif

yang timbul sebagai akibat dari kesalahan perawat, karena mungkin saja hal

tersebut adalah kecelakaan medik atau hal-hal lain yang tidak dapat

dihindarkan.

Anda mungkin juga menyukai