Anda di halaman 1dari 6

Menjadi Kenangan

Warna putih dan Suara alat itu selalu mengganggu


pendengaranku seakan hanya mereka yang akan
selalu menjadi temanku. Aku mengingat kembali
ingatan yang telah lama berlalu menjadi sebuah
kepingan memori, Andai saja bisa ku putar ulang
memori itu, pasti tidak akan kusia-siakan waktu.
Tiba-tiba saja aku teringat oleh sebuah peristiwa
yang membuatku kembali mengusahakan sekilas
senyum yang mungkin bisa menjadi penghilang
bahwa nyatanya tidak ada lagi harapan. Orang-
orang yang dulu menjadi bagian dari ceritaku kini
telah pergi meninggalkan kisah dari perjalananku.
Dan aku akan menceritakan satu kenangan dari
ribuan memori yang telah aku simpan.
25 Oktober 1985
Namaku Cerry Rastina, mungkin Saat itu usiaku
masih menginjak 16 tahun sebelum aku terbaring
tak berdaya disini. Aku sangat ingat bagaimana
aku membentak Ayah saat dia mulai mengeluh
mengenai kakinya yang katanya sakit lagi, aku
tidak memedulikannya karena aku sudah memiliki
janji bersama teman-temanku. Aku hanya
menganjurkan untuk mengoleskan minyak urut ke
kakinya. Bodohnya aku yang tidak menyadari jika
sakit dari kaki ayah disebabkan oleh pekerjaan
yang dia lakukan yaitu sebagai tukang bangunan.
Ya, aku adalah seseorang yang berasal dari
keluarga serba berkecukupan. Saat itu hari sudah
menjelang malam kota Bandung mulai menggelap
sedangkan lampu-lampu jalan mulai hidup sebagai
penerangan. Pesta ulang tahun karina menjadi
tujuanku. Untuk informasi saja, saat masih SMA
Karina adalah salah satu perempuan populer di
sekolahku jadi suatu kehormatan yang sangat besar
bagiku karena sudah diundang oleh Karina.
Sebenarnya aku sedikit ragu untuk ke pesta itu,
aku takut pakaian yang aku gunakan tidak pantas.
Sekalipun aku tidak pernah pergi ke pesta orang
berada aku tidak tahu harus mengenakan apa jadi
kugunakan saja dress peninggalan ibuku, memang
sedit lusuh tapi kurasa cukup pantas. Aku terus
memandang indahnya lampu jalan melalui kaca
jendela bis sambil menggoyangkan kaki. Lalu aku
mengingat aku lupa membawa tas kecil berisi uang
yang baru saja aku minta dari ayah tadi siang.
Karena itu juga aku mengingat Ayah, sebenarnya
ada sedikit perasaan khawatir tapi aku berusaha
mengenyahkannya.
Tepat pukul 20.00 aku tiba di depan sebuah rumah
megah dengan hiasan pesta yang meriah. Ada
sedikit rasa takut saat memasuki rumah itu.
Sesampainya di dalam aku melihat banyak orang-
orang yang tidak aku kenal. Disini aku seperti
seorang anak yang kehilangan ibunya, bingung
dan tidak tahu Arah sampai seorang pemuda
menyapaku.
“Halo mau cari siapa?” Tanyanya, dia terlihat baik
dan ramah juga tampan. Tapi wajahnya tidak
begitu asing bagiku.”Hm.. sa-saya mau mencari
Karina.” Tanyaku pelan. Dia terlihat tersenyum
dan itu membuatku tambah malu. “Tunggu
sebentar disini ya akan aku panggilkan.” Pemuda
itu langsung meninggalkanku di tengah ramainya
pesta. Semua orang yang ada disana sudah
memiliki pasangan bicaranya masing – masing
sedangkan aku? Aku seperti patung berdiri dengan
kaku. Aku mendengar sedikit keributan di
belakang lalu aku menoleh untuk mencari tahu.
Betapa terkejutnya aku melihat Ayah ada disana,
waktu itu beliau menggunakan pakaian begitu
aneh, celana di lutut robek yang selalu beliau
kenakan saat bekerja serta baju lusuh dengan
warna pudar. Sungguh waktu itu aku sangat malu
melihatnya bertepatan dengan itu juga Karina
datang bersama pemuda tadi.
“Siapa dia?” tanya Karina kepada orang di
sekitarnya. “Aku tidak tahu, mungkin pengemis.”
Jawab salah satu orang yang tidak aku kenal. Aku
membelalak tidak percaya, mereka mengatakan
ayahku seorang pengemis! “Hai Cerry, apa kabar
aku kira kau tidak akan datang.” Aku sangat takut
ayah terus saja memandangku dengan senyuman
sambil menunjukkan tas yang tidak aku bawa.
Sedangkan Karina yang melihat hal itu
menyerinyit. “Kau kenal dia?” aku menggeleng
cepat, terbesit sedikit rasa bersalah. Apa ayah
menyusulku kemari untuk membawakan tas kecil
yang tidak aku bawa? Setelahnya karina kembali
tersenyum lalu berkata “Aku kira kau mengenal
pengemis itu.” Sekilas aku melihat Ayah yang
tadinya tersenyum kemudia memudarkan
senyumnya perlahan dan terlihat kecewa.
Tanganku ditarik oleh karina menuju ke dalam
pesta.
Hari itu adalah salah satu kenangan paling
menyedihkan yang pernah aku alami, ada banyak
kisah yang ingin aku ceritakan tapi suara ketukan
pintu mebuyarkan semuanya. Kulihat siapa yang
datang dan ternyata itu Ayah. Orang yang lima
tahun lalu tidak aku akui di pesta Karina. Ayah
tersenyum membawa sebuah piring berisikan
makanan. Dengan tertatih beliau membawa piring
itu dengan sebelah tangan lainnya memegang
tongkat dengan erat untuk menopang tubuhnya.
“Cerry, sudah malam. Ayo makan.” Suara itu
dikeluarkan dengan nada pelan. Ayah sangat tahu
kalau aku sangat tidak menyukai makanan yang
ada di rumah sakit mereka semua terasa hambar..
Ada banyak rasa sesal yang terbesit saat melihat
ayah tersenyum kearahku yang tak berdaya ini.
Andai saja waktu bisa kembali berputar, akan aku
usahakan menjadi putri terbaik bagi ayah. Satu hal
yang bisa aku sampaikan, jangan pernah
menyianyiakan waktu. Karna kalian tidak akan
pernah tahu kapan waktu berhenti. Alat itu
berbunyi lagi bahkan terdengar semakin kencang.
Ayah terlihat semakin panik dan berkali kali
memanggil dokter. Hari ini aku tahu jalan akhir
hidupku yaitu kenangan yang telah berlalu menjadi
Sebuah penyesalan dan tak akan bisa aku bayar.
Hanya satu pesanku, jadikan detik ini berharga.
Lakukan yang terbaik untuk orang-orang yang
ingin kamu bahagiakan jangan sampai waktu lebih
dulu berakhir dengan sebuah peyesalan. Tanpa
terasa air mataku menetes lalu hanya ada gelap
tanpa suara.

Anda mungkin juga menyukai