Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Hukum Islam dan Manfaat Menjalaninya

Pengertian hukum Islam adalah ketentuan perintah dari Allah baik yang wajib,
haram, maupun mubah. Hukum Islam bersumber dari ayat Al-Qur’an dan hadits.
Setiap perintah yang dianjurkan oleh Allah memiliki hukum yang berbeda-beda.
Hal tersebutlah yang menentukan bagaimana seharusnya sikap kita dalam
menjalani kewajiban tersebut. Maka dari itu, sebelum menjalani suatu amalan, ada
baiknya jika kita mencari tahu terlebih dahulu apa hukum yang mendasarinya.
Manfaat yang dapat diraih bila kita memahami dan mentaati hukum Islam adalah
kehidupan yang lebih teratur serta terarah. Dengan mentaati hukum Islam, kita
juga bisa mengetahui mana perbuatan yang bermanfaat, disukai oleh Allah, dan
mendapat pahala, serta kita juga mengetahui perbuatan mana yang tidak disukai
oleh Allah karena menupakan perbuatan yang tercela dan jika dilakukan akan
menambah dosa.

Pengertian Sumber Hukum Islam


            Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu
peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau
yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat
bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan
Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan
sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat
mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[1]
C. Macam-macam dalil yang disepakati

1. Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran
dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu  105.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
            Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa
ulama’,akan tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur
pokok,yaitu :
1.      Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa
yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk
makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-
Qur’an.
2.      Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.      Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.      Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.      Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa
seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3.      Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4.      Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar
sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1.      Ayat-ayat Makkiyah
2.      Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian
bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat
(tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada
umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[2]

2. Hadist
             Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan
dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah
Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah
sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
   Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum
yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-
Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah
dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar
perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok
yaitu :

1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi


2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak
mencapai tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya
dan berdasarkan sifat perawinya.
1.      Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat
yang tertentu.
2.      Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau
tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang
sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari
orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW
yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke
dalam empat tingakatan yaitu:
·               Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang
lain hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
·               Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang,
kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
·               Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga
sampai kepada nabi muhammad.
·               Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-
tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.        

3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan
beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah
tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau
suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau
mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu
hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu
perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan
pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari
abad tertentu mengenai masalah hukum.[3]
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara
melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli
ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara
tegas dan jelas.
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad
atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara
jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka
ijma’ dapat digolongkan menjadi :
1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum
( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum
yang tidak pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut
memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak
akan sampai kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi,
sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat
maupun lemah adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka
sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat
diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada
syara’ tidak wajib diikuti.[4]
4. Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam
nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya
kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan
hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti
perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan.
Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak
mungkin  persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi
(analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum
yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum
yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada
persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam
hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak
negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan 
demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram.
Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang memabukkan haram
hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.
Prinsip Hukum Islam

Dalam hukum Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan


ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk
perintah, larangan maupun pilihan-pilihan.

Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut : 

1. Prinsip Tauhid 
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang
dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah).
Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan
atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam
arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai
maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap
mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan
hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan
kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas
kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan
kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal
ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan
ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 

2. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 


Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan
yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang
dibenci Allah.
3. Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata
keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan
pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja.
Akan tetapi,  keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip
keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili
bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak
mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari
perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan
untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan
bagi individu dan masyarakat.

3. Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum
Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan,
demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah
kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan
individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin
berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.

4. Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-
Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah
manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan
mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti
komunis. 
5. Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan
ketakwaan. 

6. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

Dari prinsip-prinsip tersebut, perlu kita pahami  bahwa hukum Islam dapat
menciptakan masyarakat Rabbani

Perbedaan Mazhab Dan Penyikapannya

1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau
lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl
memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau
makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau
lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki
makna larangan yang haram atau makruh.
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara
umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama”
apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal
sebenarnya?
2. Perbedaan Riwayat

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada


beberapa, di antaranya:

 Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai
kepada perawi lainya.
 Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada
lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
 Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang
ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan
itu kuat.
 Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis.
Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi
sebagai pembawa hadis.
 Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah
disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam
beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.

3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum

Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat,


istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber
tersebut.
4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak
menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan
dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh
(penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal
(masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat
dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa
diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada
kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab
ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang
bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang
bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar
sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-
penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan
Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka
dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai
syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki
kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar,
kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi)
dihormati dan disikapi sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme
golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin
yang disebut Al-Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk
berpegang teguh dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah
atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia
berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan
Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya
baik dipimpin langsung atau tidak adalah, "
Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum
Allah, maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun
berlakukan kepada mereka dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah
engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah kepada mereka atau tidak, " (HR
Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah
cabang fiqh.

Akomodasi Budaya Lokal Dalam Islam

Kita telah lama melihat sebuah fenomena Islam yang terbagi dua, yakni Islam
yang modern dan Islam yang berbasiskan budaya. Tema yang saya angkat kali ini
sangat perlu kita renungkan karena beragama tanpa melihat unsur budaya sering
kali terasa kering. Mereka yang mengatasnamakan diri Islam yang kafah (benar),
menganggap sebuah unsur budaya memudarkan essensi beragama yang
murni. Namun pada realita praktiknya pun, agama Islam masuk ke Indonesia
melalui proses akulturasi budaya yang menghasilkan sebuah asimilasi yang besar
yang dinamakan masyarakat Islam Indonesia.
Mengapa dikatakan kita sebagai Islam Indonesia? sebuah pertanyaan menarik
yang telah tentu tergambar jelas dalam sejarah. Nusantara, yang awalnya
kepulauan yang bukan merupakan basis jajahan Islam. Kepulauan ini berdiri
bebas dengan sebuah kepercayaan Hindu-Buddha yang juga masuk melalui proses
asimilasi dengan peradaban animisme yang kala itu menjadi agama nenek moyang
kita. Hal ini yang telah pula dicermati oleh para wali songo yang ingin meraih
sebuah penyebaran yang damai dan maksimal. Dan agama yang berdamai dengan
budaya itu meraup sukses dalam dakwahnya.
Wali songo, sebagai lambang kesuksesan penyebaran Islam di Indonesia,
mengunakan tiga prinsip dalam berdakwah. Pertama adalah momong, yang berarti
mengasuh. Dalam bahasa modern berarti persuasif. Mereka menggunakan sebuah
perilaku persuasif dalam mengadopsi budaya lokal. Dan kedua adalah momor,
yang berarti bergaul. Dalam bahasa modern dapat diartikan komunikatif. Prinsip
terakhir adalah momot, yang artinya mengangkut dan membawa. Dalam bahasa
modern yang berarti akomodatif
Akomodasi budaya lokal dalam Islam sama artinya dengan prinsip ketiga yang
diajarkan oleh Sunan kalijaga dalam kidungnya. Jadi budaya lokal itu bisa dimuat
dalam ajaran Islam yang prinsipnya mengasihi. Contohnya ketika pada zaman
hindu kita mengenal wayang dengan kisah Mahabarata dan Ramayana yang penuh
dengan konsep Hindu yakni trimurti (tiga dewa), pada masa wali songo, wayang
tak serta merta diberangus dan digantikan oleh budaya Islam seperti gambus atau
yang lainnya. Malah mereka mengkonsepsikan dewa sebagai aparatur Tuhan dan
bukan lagi sebagai konsep Tuhan yang mereka buat dalam lakon Dewa Ruci.
Ada lagi yang unik, jika kita berziarah ke makam Sunan kudus, dan masuk ke
dalam mesjid Kudus, kita akan melewati sebuah gapura dalam bentuk candi,
ataupun atap mesjid yang berundak. Sunan Kudus tidak merusak candi yang telah
terbangun, namun justru merefungsikan candi itu sebagai gapura menuju mesjid
Kudus. Dengan demikian, warga kudus yang dulunya beragaman Hindu merasa
tersanjung dengan kerendahan hati Sunan, dan memutuskan agama yang terkenal
berbasiskan toleransi, yakni Islam. Adapun pada contoh lain, Sunan menghormati
ajaran Hindu yang tidak membolehkan memakan sapi (karena dianggap sebagai
kendaraan Bhatara Guru). Beliau malah sedikit memplesetkan dengan mengganti
kerbau sebagai hewan yang boleh diternak untuk disembelih dan sapi hanyalah
sebagai hewan perah. Dan hal ini pun terus berlanjut hingga kini. Masyarakat
Kudus memliki kebiasaan yang dibuat oleh Sunan tadi.
Dan itulah contoh-contoh keindahan akulturasi budaya dengan agama
Islam. Dengan tanpa meremehkan hakiki prinsip Islam, yakni tauhid, para Wali
Songo telah berhasil meluluhkan para pemeluk agama Hindu pada zaman itu,
untuk memeluk sebuah keyakinan yang didasari pada toleransi ber sosial-
budaya. Ini merupakan pelajaran kecil yang kita dapat ambil dari kebijaksanaan
para Sunan dalam menjaga budaya. Pelajaran ini nampaknya sederhana, namun
bermakna luarbiasa. Semua ajaran Islam yang bagus ini telah dikemas secara apik
dalam sebuah bentuk Islam berbudaya. Dan kini, saatnya kita memainkan peranan
dalam mengakomodasi budaya lokal dengan Islam, menjadi sebuah tradisi yang
baik. Dan janganlah kita sok menyuarakan modernitas dari sebuah bentuk hakiki
Islam yang kita sendiri belum mengetahui pasti kekafahan Islam yang mereka
gembar-gemborkan. Menjaga sebuah budaya berarti menghormati mereka yang
telah meyerahkan diri kepada Islam (para pemeluk Islam terdahulu di msa awal
peradaban Islam di Nusantara). Dengan demikian, beragama akan terasa sejuk,
indah, bukan terasa keras, kaku, dan meyakitkan.

Anda mungkin juga menyukai