Anda di halaman 1dari 5

Suara Karya

Sabtu, 10 Maret 2007

Bakso Pak Gunarto


Cerpen: Gita Nuari

Mulanya Aku Aku Aku tak begitu peduli dengan celoteh teman-teman sekerjaku perihal
bakso Pak Gunarto yang mangkal di depan kantorku itu mengatakan bahwa siapa saja
yang ingin makan bakso atau siomay Pak Gunarto namun belum pesan diawal
kedatangannya, tak akan kebagian alias kehabisan. Kenapa bisa begitu? Apa hebatnya
bakso Pak Gunarto? Pernah sewaktu aku kembali dari menghadiri seminar di jalan
Sudirman, tampak bakso Pak Gunarto dikerubungi orang. Laris sekali, gumamku. Tanpa
sadar, akupun jadi ingin mencicipinya. Dan ketika aku pesan somay satu porsi, ternyata
sudah kehabisan. Benar juga, pikirku kemudian.

Pak Gunarto yang berjualan bakso sejak tigapuluh tahun lalu di depan kantorku jadi
sangat terkenal karena gurih dan enak. Cara meracik bumbu yang pas dan bakso dari
daging sapi segar yang dibuat sendiri barangkali itulah yang membuat bakso pak Gunarto
jadi pilihan utama bagi mereka yang melintasi jalan di depan kantorku, ditambah lagi jika
Pak Gunarto sedang membuka tutup dandangnya, uap kuah bakso tercium ke mana-
mana sehingga mengundang selera untuk memesan dan mencicipinya.

Pak Gunarto tidak memiliki kios atau tenda. Dia hanya menyediakan bangku panjang yang
bisa diduduki lima sampai enam orang. letaknya di bawah pohon akasia yang rindang
yang banyak tumbuh didepan kantorku. Gerobaknyapun terdiri dua peti berukuran 40
sentimeter persegi, diletakan secara menggantung di tengah-tengah boncengan sepeda
ontelnya. Satu peti gunanya untuk tempat dandang berisi kuah bakso dan satunya lagi
untuk tempat bumbu serta bakso dan somay yang sudah jadi.

Penggemarnya juga cukup banyak terdiri dari kalangan bawah sampai tingkat menteri.
Aneh memang. Tapi itulah kenyataannya, bakso Pak Gunarto amat terkenal.
Pesanannyapun cukup bervariasi, ada untuk pesta perkawinan, khitanan atau hajatan
lainnya. Kalau ada yang memesan bakso Pak Gunarto untuk pesta perkawinan, atau
sejenisnya, jangan harap peminat esok harinya akan bertemu dengan bakso Pak Gunarto,
karena beliau pasti istirahat tidak berjualan dan sekaligus demi untuk menikmati hasil
keuntungannya. Pak gunarto tak rakus untuk berjualan non stop. Meski baksonya banyak
peminatnya, Pak Gunarto tak ngoyo mencari uang. Pak Gunarto bisa istirahat satu bulan
dan lamanya dua bulan. Jeleknya di situ, kalau sudah malas berjualan, jangan harap yang
rindu dengan bakso atau somay Pak Gunarto akan terobati, bisa-bisa rasa dongkol yang
didapat. Pernah terjadi seorang istri yang sedang ngidam minta dibawakan somay Pak
Gunarto oleh suaminya. Tiba di tempat ternyata somay pesanan sang istri sudah habis.
Sang suami akhirnya pulang dengan tangan hampa. Sang istri marah. Dicoba esok
harinya lagi-lagi kehabisan. Sang suami tak hilang akal. Lalu dia membeli somay yang
mirip olahannya dengan somay Pak Gunarto pada pedagang lain. Lidah sang istri tak bisa
dikibuli, somay yang disodorkan suaminya bukan somay buatan Pak Gonarto. Sang istri
marah lagi, somay yang disodorkan suaminya dibuang ke tong sampah. Saking kesalnya
karena dibohongi, sang istri ngambek dan pulang ke rumah orangtuanya gara-gara apa
yang diingininya tak bisa dikabulkan suami.

Aku sendiri kadang merindukan bakso Pak Gunarto jika berada di kota lain. Aku sering
mencoba beberapa bakso di kedai ataupun yang ada di kafe-kafe tapi tak seenak dan
segurih baksa buatan Pak Gunarto. Aku dan teman-teman sekantor kenal dekat dengan
Pak Gunarto. Kami suka bercanda dan kadang sering mengolok-olok yang agak
berlebihan. Misalnya sewaktu ramai isu tentang bakso tikus. Kami sering menanyakan
lebih dulu, bakso daging sapi apa bakso daging tikus yang dibawanya hari ini? Pak
Gunarto hanya menyahut,
"Terserah sampean, maun pesan yang mana. Dijamin enak!" kami tertawa. Pak Gunarto
tenang dan tidak cepat tersinggung. Bahkan dia tahu kalau kami bercanda.

"Saya percaya, gosip seperti itu tak mengurangi niat orang membeli bakso Pak Gunarto.
Karena memang bakso Pak Gunarto asli daging sapi!" kata Ngatiman, seorang satpam di
kantorku.

"Tenang, kalau ada yang bikin gosip mengenai bakso tikus yang menyangkut nama Pak
Gunarto, akan berhadapan denganku!" kata Bambang penggemar nomor wahid bakso
Pak Gunarto.

Yang menarik dari diri pak Gunarto selain racikan bakso dan somaynya, adalah sikapnya
yang netral. Ini terjadi pada musim kampanye beberapa tahun lalu. Saat itu
penggemarnya dari kalangan politikus, atau lebih jelasnya orang-orang partai. Mereka
sering berkunjung untuk memesan somay atau makan bakso Pak Gunarto di bawah
pohon akasia yang teduh. Usai makan bakso, orang-orang partai itu sering meninggalkan
atribut partai seperti kaos, topi atau pin untuk dikenakan oleh Pak Gunarto. "Apa salahnya
menerima dan memakai," katanya suatu hari ketika kupergoki sedang menerima sebuah
kaos dan satu topi dari orang partai tertentu.

"Hati nurani di dalam dada ini tak bisa diketahui dari apa yang kita pakai," katanya lagi
sewaktu ia mengenakan kaos partai berlambang bintang duabelas.

Hari ini Pak Gunarto pake kaos berlambang bintang duabelas, esoknya kulihat dia
memakai kaos bergambar pohon bambu, esoknya lagi pake kaos berlambang kepala
kambing, dan esok esoknya lagi pake kaos berlambang timbangan patah.

"Biar adil. Biar yang memberi tak merasa sia-sia."

Ah, Pak Gunarto. Siapa yang tahu isi hatimu? Gumamku saat aku melintas keluar kantor
dengan sedan tuaku menuju arah Blok M, Jakarta Selatan.

Suatu hari, pernah gerobaknya tersenggol sebuah mobil yang berjalan zig- zag. Sepeda
Pak Gunarto oleng dan kemudian rubuh ke tanah. Seluruh air bakso dan somay tumpah.
Botol kecap, saos dan sambal pecah berserakan dijalanan. Sebagian tangan sebelah kiri
Pak Gunarto tersiram air bakso yang mendidih karena baru keluar dari rumahnya. Satu
bulan Pak Gunarto tak berjualan karena tangannya melepuh tersiram air bakso. Satu
bulan para penggemarnya tak merasakan bakso Pak Gunarto yang memiliki citra rasa
yang jempolan itu. Meski dapat ganti rugi dari pengemudi mobil yang menyerempetnya,
Pak Gunarto merasa menyesal atas kejadian itu. Karena saat itu dia sedang semangat-
semangatnya berjualan. Sedang selera makan para penggemarnya jadi rendah sebab dari
rumah sudah teropsesi bahwa siang nanti mau makan bakso Pak Gunarto, namun sampai
ditempat tidak kesampaian karena Pak Gunarto tidak berjualan akibat kecelakaan kecil
tersebut.

Keuntungan keberadaan bakso Pak Gunarto mangkal di situ, selain tempatnya sejuk di
bawah pohon rindang dengan lokasi yang kuanggap cukup setrategis itu, juga membuat
laku pedagang rokok yang ada disebelahnya yang menyediakan berbagai minuman
seperti teh botol dan air aqua dingin. Pembeli bakso Pak Gunarto secara otomatis akan
memesan minuman di tukang rokok tersebut.

Di tempat itu juga jadi ajang tempat bertemu bagi yang berselingkuh atau mentraktir te te
em alias teman tapi mesra. Pernah di suatu sore yang bising karena macet, datang
seorang perempuan setengah tua ke tempat Pak Gunarto berjualan. Di situ secara
kebetulan sang suami sedang mentraktir wanita simpanannya makan bakso. Karuan saja
terjadi perang mulut karena sang suami sudah dua hari tidak pulang ke rumahnya. Pak
Gunarto sibuk melerai pertengkaran itu karena istri sah lelaki yang tengah didampratnya
itu tiba-tiba mengambil botol kecap yang ada di gerobak bakso Pak Gunarto dan hendak
dilemparkan ke wajah wanita simpanan suaminya. Untung ketiga orang yang berseteru itu
mau pergi dari tempat itu dan mencari tempat lain untuk menyelesaikan
persoalannya..Lega hati Pak Gunarto, karena barang-barangnya tak jadi rusak. Dan juga
jangan heran, lokasi bakso Pak Gunarto jadi tempat berkumpulnya para mahasiswi dari
kampus yang secara kebetulan gedungnya bersebelahan dengan kantorku.

Ah, bisa dibayangkan kami-kami yang notabene belum punya pendamping, sering
kelayaban ke tempat bakso Pak Gunarto mangkal di saat jam-jam istirahat dimana secara
kebetulan jam istirahat kuliah cewek-cewek kampus itu ada yang sama dengan istirahat
jam kantor kami. Buktinya Hendrik, bisa kenal dengan Tiwi anak semester tiga, Johan,
intim dengan Lisa anak semester satu, Karjono lagi deketan sama Ita anak semester
tujuh. Bahkan Dedy, bakal jadian sama Maya anak semester empat gara-gara sering
bertemu di jam yang sama dan makan bareng bersama. Aku sama siapa yah?

Kupikir-pikir, gaji tiga juta lima ratus ribu rupiah sebulan, percuma tak bisa menggaet satu
cewek kampus sebelah kantorku. Mobil ada, rumah di Bintaro tinggal isi, jadi mau apalagi?
Tentu cari calon bini! Bisikku dalam hati.

Di suatu hari yang cerah. Panas sedikit menyengat. Namun dikarenakan keberadaan
lokasi bakso Pak Gunarto tepat di bawah pohon akasia yang rimbun, aku tak merasa
kepanasan. Saat itu aku sedang menunggu Reni anak kampus sebelah kantorku yang
baru duduk di semester empat yang tak lain adalah teman kuliah Maya yang lagi dekat
dengan temanku Dedy. Prakasa merekalah aku dapat berkenalan dengan gadis kampus
bernama Reni.

"Sudah kelihatan Reni, Pak Gun?" bisikku di telinga Pak Gunarto siang itu yang lagi
melayani pemesannya.

"Belum. Apa makan baksonya sekarang?" tanya Pak Gunarto.

"Jangan Pak, nanti saja bareng Reni kalau dia datang."

Tak lama Reni muncul bersama Maya dari arah kampus. Selang beberapa menit Dedy
muncul dari gerbang kantor.

"Kau SMS-an ya?" bisikku di telinga Dedy, "Bisa bareng gitu keluarnya?"

Dedy hanya mesem-mesem. Aku menggeser pantat memberi peluang untuk Reni duduk.
Reni duduk disebelahku. Berempat kami pesan bakso. Sambil makan bakso kami saling
bertanya kegiatan di bidang masing-masing. Sampai pada akhirnya kami berempat
sepakat sehabis jam kantor berencana mempererat hubungan ke Darmint Cafi di bilangan
Kuningan. Di situ ada musik hidup. Aku akan memberi sebuah lagu untuk Reni, gadis
keturunan Jawa-Padang yang mulai kusukai itu.

Jam delapan malam kami berempat sudah berada di Darmint Cafi. Maya mengawali
meramaikan suasana dengan melantunkan sebuah lagu yang pernah dibawakan oleh Kris
Dayanti yang berjudul, Menghitung Hari. Walau Maya bukan seorang penyanyi tapi dia
cukup bisa membawakan lagu indah itu dengan pas. Disusul Dedy melantunkan tembang
lawas yang pernah dibawakan oleh Bimbo, Cinta.

"Sudah ini kau ya," bisikku di telinga Reni.

"Kau dulu, baru aku," balasnya. Aku mengangguk.

Dengan vocal setengah hancur, aku menyanyikan lagu Widuri yang pernah dipopulerkan
oleh penyanyi gaek Bob Tutupoly. Dedy mesem-mesem melihat aku menyanyi, Maya
menahan geli karena aku satu kali salah di ref kedua. Setelah usai aku menyanyi, Reni
mengambil mikrofon dari tanganku. Aku merasakan jemari tangannya begitu halus dan
lembut saat tadi tangan kami bersentuhan. Ah, senyumnya begitu manis ketika ia naik ke
panggung kecil disamping meja bar di cafi itu. My Heart Will Go On lagu Celine Dion mulai
dilantunkan Reni. Aku tak menduga sebelumnya kalau vocal Reni begitu indah dan sangat
pas membawakan lagu itu. Penghayatannya amat dalam. Semua pengunjung dibuat
tercengang dan tertegun menikmati alunan yang sangat mempesona itu.

Seusai menyanyi cepat kujemput Reni ketika turun dari panggung. Aku ambil tangannya
lalu kutuntun ke tempat duduknya semula.

"Waktu kau menyanyi, aku seperti berada di kapal persiar Titanic sebelum tenggelam itu,
indah sekali," sanjungku. Reni menutup wajahnya seraya malu. "Ya, seperti makna lagu
itu, hatiku akan selalu ada: untukmu," bisikku di telinganya. Reni tersenyum manja lalu
menyusup ke bahuku.

Setelah pertemuan di cafi malam itu, hubunganku dengan Reni kian mesra. Reni banyak
mensuport aku mengenai pekerjaan. Aku pun gencar mendorong semangatnya agar dia
giat kuliah. Sampai pada akhirnya aku rela membiayai satu semesternya yang kelima
yang nyaris dua juta itu.

Sebulan kemudian di tempat Pak Gunarto mangkal, Reni kembali menemuiku. Kali ini dia
minta bantuan dana untuk les tambahan bahasa Inggrisnya yang jeblok. Aku beri lagi Reni
uang satu juta rupiah demi kemajuannya. Pikir-pikir, kalau Reni jodohku, tentu
kemajuannya bakal milikku juga. Pak Gunarto mendukung hubungan kami.

"Semakin lengket saja nih," seloroh Pak Gunarto.

"Doakan, Pak. Kalau kami berjodoh, saya mau pesan seribu porsi bakso dan somay
buatan Bapak, untuk melengkapi pesta perkawinan kami nanti."

"Serius, Nak Dadang?"

"Ya, serius!"

***

Di bulan kelima sejak aku berhubungan dengan Reni, hitung-hitung uangku yang sudah
keluar untuk membantu biaya kuliahnya mencapai sepuluh jutaan. Tapi titik terang untuk
mengetahui hubungan kami ke jenjang pernikahan sama sekali belum terlihat. Bahkan
ketika kukatakan umurku sudah melewati angka kepala tiga, Reni tenang-tenang saja.

"Umur bagi laki-laki nggak begitu pengaruh," kata Reni spontan. "Kuliahku belum selesai,
dan umurku juga baru duapuluh tahun. Sabarlah," lanjutnya waktu itu.

Belakangan, aku jarang bertemu Reni. Kalau ku SMS, lagi sibuk belajar, balasnya.

Di hari-hari berikutnya bila kutelpon ke HP-nya, sering mail box. Aku jadi curiga, jangan-
jangan aku dipermainkan. Maka, keesokan harinya aku minta ditemani Dedy saat jam
istirahat untuk menemui Reni dan Maya di kampusnya yang ada di sebelah kantorku.
Walaupun dibilang 'sebelah' bukan berarti dekat. Dari kantorku untuk menuju ke
kampusnya bisa mencapai limaratus meter karena pintu gerbang kampus itu
membelakangi kantorku. Dan saat kuminta izin kepada satpam kampus itu untuk bertemu
dengan Reni, mahasiswi perhotelan semester lima, serta-merta satpam kampus itu
terbelalak.

"Wah, pasti Saudara-saudara ini korban Reni cs lagi!" cetus satpam kampus itu.

Kini aku yang terbelalak, "Memangnya Reni siapa, Pak?"


"Reni, Maya, Tiwi, Ita dan Lisa sudah di DO dari kampus ini. Mereka itu kerjanya hanya
mengotori dan menjeleki nama kampus yang kami jaga ini. Mereka sering bikin onar antar
siswa, pernah bawa gele ke kampus ini. Makanya, jangan percaya akan kecantikan dan
bujuk rayunya. Cewek-cewek itu super penipu!" beber satpam kampus itu panjang lebar.
Oh, dadaku tiba-tiba sesak. Dedy menca-menca seperti kebakaran jenggot. Aku tahu,
Maya pernah minta dibelikan HP keluaran terbaru kepada Dedy, dan temanku itu
membelikannya dengan harga yang lumayan mahal.

"Kena kita, Dang! Kena kita" cetus Dedy penuh penyesalan.

Esoknya, aku tak masuk kerja. Badanku jadi meriang. Aku tak napsu makan apalagi
bekerja. Kenapa aku mudah tertipu? Ah, betapa malunya aku bila Pak Gunarto tahu kalau
kami kena tipu karena penjajakan asmara kami dengan perempuan-perempuan sial
dangkalan itu di tempat Pak Gunarto mangkal menjajakan dagangannya. Tentu beliau
tahu rasa senang dan riangnya hati kami saat cinta kami bersemi dengan dijembatani
bakso Pak Gunarto. Tapi biar bagaimanapun, aku harus bercerita dan sekaligus
membatalkan pesanan seribu porsi bakso dan somaynya untuk melengkapi perkawinan
aku dengan Reni bila jadi.

Dua hari aku tak masuk kerja. Dan bila masuk kerja, orang pertama yang akan aku temui
adalah Pak Gunarto. Tapi sayang, di hari pertama aku masuk kerja, tak kulihat kalau Pak
Gunarto berjualan. Dengar selentingan Pak Gunarto pulang kampung ke Wonogiri.

Dari satu hari, ke minggu, dari semingu ke sebulan, Pak Gunarto belum berjualan. Aku
jadi penasaran ingin secepatnya bertemu Pak Gunarto untuk bercerita tentang
penderitaan yang kualami. Namun di waktu yang kesekian, aku melihat orang-orang
berkerumun di pos satpam tampak sedang memperbincangkan sesuatu dengan wajah
menyimpan duka yang dalam. Aku jadi penasaran, maka aku hampiri kerumunan orang di
pos satpam itu.

"Ada apa, Man?" tanyaku kepada Ngatiman seorang petugas satpam di kantorku.

"Pak Gunarto meninggal!"

"Apa! Serius, Man?"

"Serius. Dia meninggal di kampungnya akibat terkena serangan jantung gara-gara gagal
panen."

"Innalillahi wainnailaihi rojiun" gumamku tak ada kata-kata lain lagi dari mulutku yang
terucap. Kecuali hati yang sedih dan jiwa yang gamang karena tak bisa curhat lagi akan
masalah-masalah kantor dan pribadi.

Siang itu, di bawah pohon akasia yang biasa jadi tempat berjualan bakso buatan Pak
Gunarto, dihempas angin berdebu. Daun-daun akasia yang kering berjatuhan memenuhi
pelataran yang biasa dia sapu sebelum menaruh sepedanya di situ. Daun-daun kering itu
jadi saksi bisu atas kepergian Pak Gunarto untuk selama-lamanya. Selamat jalan Pak
Gunarto.***

* Jakarta, 11 Januari 2007

Anda mungkin juga menyukai