Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENGANTAR PSIKOLINGUISTIK

“HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR DAN BERBUDAYA


DALAM PSIKOLINGUISTIK”

Dosen Pengampu:
Dr. Noor Cahaya, M.Pd. dan Lita Luthfiyanti, M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Ahmad Zainul Abidin (1910116210019)
Ahmad Al Mujahidinsyah (1910116210020)
Siti Patimah (1910116120008)
Gusty Mardiaty Zulfa (1910116220006)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas pembuatan makalah mata kuliah Pengantar Psikolinguistik dengan baik dan
tepat waktu. Selanjutnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Noor
Cahaya, M.Pd. dan Lita Luthfiyanti, M,Pd. telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah wawasan mengenai bidang studi yang kami tekuni.
Makalah yang berjudul “ Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya
dalam Psikolinguistik “ dapat disusun dengan baik dan tepat waktu karena
keterlibatan penuh semua anggota kelompok 3. Kami berharap makalah ini dapat
dijadikan sebagai salah satu referensi bagi pembaca untuk lebih dalam
mempelejari mengenai Psikolinguistik. Selain daripada itu, kami juga meminta
kepada pembaca apabila ada kekeliuran atau informasi yang tidak benar agar
menyampaikannya secara langsung kepada kami.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf apabila ada kesalahan
dan kekeliruan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
kita semua.

Banjarmasin, 11 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................................5
2.1 Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya....................................5
2.2 Teori Wilhelm Von Humboldt..............................................................5
2.3 Teori Sapir-Whorf................................................................................6
2.4 Teori Jean Piaget...................................................................................7
BAB 3 PENUTUP...........................................................................................9
3.1 Simpulan...............................................................................................9
3.2 Saran.....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................10

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu
termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa
akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman
manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang
memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai
tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir
itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Dalam satu pernyataannya yang
terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein,
mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono,
1993). Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem
klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004).
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat
menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari
psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan menyajikan sesuatu
yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang
mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi
aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan
aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning
about other minds).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat Wilhelm Von Humboldt tentang teori hubungan
berbahasa, berpikir dan berbudaya ?
2. Bagaimana pendapat Sapir-Whorf tentang teori hubungan berbahasa,
berpikir dan berbudaya ?
3. Bagaimana pendapat Jean Piaget tentang teori hubungan berbahasa,
berpikir dan berbudaya ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk memahami hubungan berbahasa berpikir dan berbudaya.
2. Untuk mengetahui pandangan Wilhelm Von Humboldt tentang teori
tersebut.
3. Mengetahui pandangan Sapir-Whorf tentang teori tersebut.
4. Mengetahui pandangan Jean Piaget tentang teori tersebut.

3
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Manfaat penulisan ini sebagai pemenuhan tugas perkuliahan dalam mata
kuliah Psikolinguistik serta menambah wawasan tentang hubungan
berbahasa, berpikir dan berbudaya.
2. Bagi Pembaca
Menambah literatur serta wawasan tentang hubungan berbahasa, berpikir,
dan berbudaya dalam kajian Psikolinguistik.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya


Menurut Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) berbahasa, dalam arti
berkomunikasi, dimulai dengan membuat encode semantic dan encode
gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat encode
fonologi. Kemudian dilanjutkan dengan peyususnan decode fonologi,
decode gramatikal, dan decode semantik pada pihak pendengar yang
terjadi di dalam otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampain
pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang
dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir
dan berbudaya ada tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam
kehidupan manusia. Hanya masalahnya, di dalam kajian psikolinguistik
ada dua hipotesis yang kontroversial yang tercermin dalam pertanyaan :
mana yang lebih dahulu ada bahasa atau pikiran; pikirankah, bahasakah,
atau keduanya hadir bersamaan.
Disini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan
dikemukakan pendapat sejumlah pakar. Kemudian dicoba membuat
konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut
yang telah ada sejak abad yang sialam.
2.2 Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan
adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya,
pandanagan hidup dan budaya suatu asyarakat ditentukan oleh bahasa
masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat
menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu.
Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah
pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain.
Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya)
masyarakat bahasa lain itu.
Mengenai bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi
bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian
lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh
lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi,
bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan
pikiran (ideenform)
Dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan
bentuk-luar, sedangakan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa

5
itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam
otak. Kedua bentuk inilah yang “membelenggu” manusia, dan menetukan
cara berpikirnya. Dengan kata

5
lain,Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bhasa menyatakan
kehidupan dalam (otak, pemikiran) penutur bahasa itu. Manusia hidup dengan
dunia seluruhnya sebagaimana bahasa menyuguhkannya atau memberikannya.
2.3 Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939)linguis Amerika memiliki pendapat yang
hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia
hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi
alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah
menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di
atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itu lah, tidak ada dua
bahasa yang sama sehingga dianggap mewakili satu masyarakat yang
sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “medirikan” satu dunia
tersensiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat
manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang
ada di dunia ini. Dengan tegas juga Sapir mengatakan apa yang kita lihat,
kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-
sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu.
Benjamin Lee Worf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan
klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa
bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri. Pandangan
klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi
yang berbeda, tetapi semunya menyatakan rumusan-rumusan yang sama
yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan
demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pikiran yang sejajar dan
saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von Humblodt dan Sapir, Whorf juga
menyatakan bahwa bahasa menetukan pikiran seseorang sampai kadang-
kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf yang
bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas
minyak bisa meledak. Kata kosong digunankan dengan pengertian tidak
ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas(after
effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng
dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini
tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak
kalua terkena panas. Disinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran
seseorang telah ditentukan oleh bahasanya.
Menurut Whorf selanjutnya system tata bahasa suatu bukan hanya
merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan

6
pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang,
penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang
menetukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987)

6
Sesudah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California
Amerika Serikat, dengan mendalam, Whorf mengajukanbsatu hipotesis
yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf)
mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang
berbeda “membedah” ala mini dengan cara yang berbeda, sehingga
terciptalah relativitas system-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-
bahasa yang beragam itu.tata bahasa suatu bahasa bukan meruapakan alat
untuk mengeluarkan ide-ide itu, tetapi merupakan ide-ide itu. Tata
bahasalah yang menentukan jalan pikiran, bukan kata-kata.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan
pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina,
dll.) adalah sama, karena bahasa-bahasamereka mempunyai struktur yang sama.
Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang,
Amerika, Eropa dan Afrika adalah berlainan karena struktur bahasa mereka
berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi
dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi diorganisasi berdasarkan peristiwa-
peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang
(space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalua satu bibit ditaman
maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam
dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam
dan tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah
yang paling penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah
menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan.
Untuk menunjukan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manuisa, Whorf
menunjukan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai
pola yang sama dengan kalimay see that house. Dalam see that house kita
memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut
Whorf belum ada seorangpun yan melihat satu ombak. Yang terlihat sebenarnya
adalah permukaan air yang terus menerus berubah dengan gerak naik-turun, dan
bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, disini seolah-olah kita melihat satu
ombak karena bahasa yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan
kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita lebih dikungkung oleh ikatan-ikatan
yang sebenarnya dapat ditinggalkan.
2.4 Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf. Piaget, Sarjana Perancis,
berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa
tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon
bahasa; bukan sebaliknya. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan
kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seorang kanak-kanak dapat menggolong-
golongkan sekumpulan benda-benda dengan cara-cara yang berlainan sebelum

7
kanak-kanak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan
menggunakan kata-kata

7
yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat
diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang kanak-kanak mempelajari segala
sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya dan baru
kemudian melalui bahasa. Tindakan-tindakan atau prlikau kanak-kanak itu
meruapakan manipulasi dunia pada satu waktu dan tempat tertentu; dan bahasa
hanyalah satu alat yang memberikan kepada kanak-kanak itu satu kemampuan
untuk beranjak lebih jauh dari wkatu dan tempattertentu itu. Namun, jelas
gambaran benda-benda dan keadaan-keadaan dunia dan manipulasinya dalam otak
kanak-kanak tidak memerlukan bahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek(pikiran) Piaget
mengemukakan dua hal penting berikut.
a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode
sensomotorik, yakni satu system skema, dikembangkan secara penuh, dan
membuat lebih dulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur
golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum
mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar
penyimpanan dan operasi pemakian kembali.
b. Pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang
bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang
lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya. Fungsi
lambang ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadinya fungsi lambang
ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam
perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat
hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambang, peniruan,
dan bayangan-bayangan mental.

8
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berbahasa adalah penyampain pikiran atau perasaan dari orang yang
berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya.
Berbahasa, berpikir dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling
berkaitan dalam kehidupan manusia. Ada beberapa teori yang membahas tentang
hubungan bahasa dan pikiran diantaranya.
1. Teori Wilhem Von Humboldt
2. Teori Sapir-Whorf
3. Jean Piaget
Menurut Wilhelm Von Humboldt substansi suatu bahasa terbagi menjadi dua
bagian yaitu berupa bunyi dan pikiran yang belum terbentuk. Menurut Sapir-
Whorf setiap masyarakat didirikan berdasarkan tabiat dan bahasanya. Berbeda
jika menurut Peaget, menurutnya pikiranlah yang membentuk suatu bahasa.
3.2 Saran
Bahasa sebagai sub system kebudayaan yaitu sebagai faktor yang
memungkinkan terbentuknya budaya melalui interaksi. Bahasa juga merupakan
kunci bagi pengertian yang mendalam atats suatu budaya atau ciri yang paling
kuat dari kepribadian sosial seseorang. Oleh karena itu penulis mengajak kalian
semua untuk mengerti bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang perlu dijaga
kelestariannya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Hidayat, Nandang Sarif. dkk 2014: Hubungan Bahasa, Berfikir, dan Berbudaya.
Jurnal Sosial Budaya: 1-15.
Suryana, Intan. 2013. Hubungan Berbahasa Berfikir dan Berbudaya.
http://suryaintan.blogspot.com/2013/05/hubungan-berbahasa-berpikir-dan.html?
m=1. Diakses pada tanggal 10 Februari 2021.

10

Anda mungkin juga menyukai