Anda di halaman 1dari 16

1.

Anatomi tulang belakang


Susunan tulang belakang merupakan suatu sistem axis dari tubuh manusia yang terdiri dari
kolumna vertebra, spinal cord, otot-otot dan jaringan lunak. Susunan kolumna vertebra ini
tersegmentasi dan simetris bilateral. Fungsi dari tulang belakang adalah untuk penyangga tubuh
saat posisi berdiri dan duduk, melindungi spinal cord dan sebagai fungsi pergerakan1. Kolumna
vertebra membentuk sumbu tubuh tersusun atas 33 tulang vertebra. Regio cervical terdiri dari
tujuh tulang vertebra cervikal, regio thorakal tersusun atas dua belas tulang vertebra. regio
lumbal terdiri dari 5 tulang vertebra, region sacral terdiri dari 5 tulang yang menyatu dan regio
coccygeal terdiri dari empat tulang yang menyatu. 1

Kurvatura pada tulang belakang juga bervariasi pada tiap region. Pada daerah cervikal
kurvatura tulang vertebra adalah lordosis, pada daerah thorakal adalah kyphosis, pada daerah
lumbal adalah lordosis dan di daerah sacral adalah kyphosis. Tulang belakang secara umum
memiliki bagian-bagian antara lain body, arkus (pedikel dan lamina), prosesus (spinosus dan
transverses) dan foramina (vertebra dan neural)5. Pada korpus vertebra memiliki artikulasi pada
permukaan superior dan inferiornya. Korpus vertebra juga berhubungan langsung dengan diskus
intervertebral. Korpus vertebra semakin ke distal akan semakin besar. Arkus vertebra terdiri atas
pedikel dan lamina. Arkus vertebra terbentuk dari dua pusat osifikasi yang menyatu. Kegagalan

1
penyatuan ini akan menimbulkan poenyakit yang disebut spina bifida. Arkus vertebra yang
menyatu di bagian tengahnya akan terbentuk kanal vertebra yang terisi oleh spinal cord. Pada
prosesus spinosus akan melekat ligament interspinosus yang menghubungkan prosesus spinosus
bagian distal dan proximal. Pada prosesus transversus akan berfungsi sebagai perlekatan
ligament dan artikulasi dengan tulang rusuk. Pusat osifikasi primer adalah pada korpus vertebra
dan arkus neural. Pusat osifikasi sekunder adalah prosesus spinosus, prosesus transversus dan
annular ephypisis. Vertebra thorakal bagian atas memiliki superior dan inferior facet sedangkan
vertebra thorakal inferior hanya memiliki facet tunggal. Facet berada dalam posisi semicoronal
dan memungkinkan pergerakan rotasi tetapi sangat minim fleksi dan ekstensi. Semua tulang
vertebra thorakal berartikulasi dengan tulang rusuk. Tulang rusuk berartikulasi dengan tulang
vertebral melalui costal facet di bagian superior dan inferior dari korpus vertebra bagian
posterior.1
Lumbar vertebra terdiri dari lima tulang vertebra. Vertebral Lumbar relative lebih besar
dibandingkan tulang vertebra lainnya. Hal ini memungkinkan fungsinya sebagai penyangga
beban tubuh. Facet pada vertebra lumbar berada dalam pisisi sagital sehingga memungkinkan
pergerakan fleksi dan ekstensi lebih besar daripada vertebra thorakal1,2. Daerah antar facet
merupakan lokasi tersering terjadinya fraktur atau spondylolysis. Pedikel pada vertebra lumbar
ukurannya lebih besar, pendek dan kuat. Pusat osifikasi primer terletak pada korpus vertebra dan
arkus neural, sedangkan pusat osifikasi sekunder terdapat pada prosesus mammilary, prosesus
transversus, prosesus spinosus dan ring epiphysis.1

2
Tulang vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh kompleksitas susunak persendian,
ligament, otot dan struktur penghubung lainnya. Terdapat diskus intervertebral terletak diantara
dua korpus vertebra (kecuali antara C1 dan C2 dan segmen sacral yang menyatu). Selain iotu
teradapat sepasang sendi facet yang menghubungkan elemen posterior dan orientasinya
menentukan pegerakan masing-masing regio. Anterior longitudinal Ligamen (ALL) melekat
pada bagian anterior dan korpus vertebra dan bagian anterior dari diskus intervertebral
merupakan ligament yang kuat dan tebal berfungsi menahan pergerakan hiperekstensi. Posterior
Longitudinal Ligament (PLL) merupakan ligament yang lemah sehingga sering terjadi herniasi
diskus di daerah tersebut. Ligament ini berfungsi mencegah gerakan hiperfleksi. 1
Sendi facet merupakan sendi berpasangan yang terletak diantara prosesus atikular inferior dan
superior pada tulang vertebra yang berdekatan. Sendi facet tersusun dari kapsul dan meniscus.
Kedua bagian ini dapat mengalami proses degenerative. Perubahan orientasi dari semicoronal di
daerah cervikal menjadi sagital di daerah lumbar memungkinkan pergerakan yang berbeda di
masing-masing regio. Prosesus artikular inferior terletak lebih anterior dan inferior pada region
cervikal sedangkan terletak lebih anterior dan lateral pada region lumbar. Perubahan degeneratif
dapat menyebabkan terjadinya nerve root impingement2. Diskus intervertebral merupakan
struktur yang terletak diantara dua korpus vertebra. Fungsi dari diskus intervertebral adalah
untuk memberikan stabilitas pada kolumna vertebra, memungkinkan pergerakan flexi dan
menyerap serta distribusi tekanan beban. Diskus intervertebra membentuk 25% dari tinggi tulang

3
belakang. Diskus intervertebral terdiri dari annulus fibrosus dan nucleus pulposus. Annulus
fibrosus meurpakan struktur terluar yang terdiri dari annulus bagian luar dan annulus bagian
dalam. Annulus bagian luiar tersusun atas serat padat kolagen tipe 1 sedangkan annulus bagian
dalam merupakan fibrocartilage kolagen tipe 2 yang terususun lebih longgar. Serat kolagen
terususun oblik dan kuat menahan beban regangan . Annulus bagian luar memiliki inervasi saraf
sehingga apabila terjadi robekan akan menimbulkan nyeri. Nucleus pulposus terletak di tengah
annulus fibrosus. Nucleus pulposus merupakan masa kenyal yang terususu atas air, proteoglikan
dan kolagen tipe 2. Struktur ini mampu menahan beban kompresi dimana beban kompresi
terbesar adalah dalam posisi duduk sambil condong ke depan. Komposisi air dan proteoglykan
akan menurun seiring bertambahnya usia. Nucleus pulposus mampu mendorong keluar annulus
dan menekan serat saraf.1
Adapun otot-otot yang turut membantu menyangga tulang belakang secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot ekstrinsik terdiri dari trapezius,
Latissiumus dorsi, Levator scapulae, Rhomboid minor, Rhomboid mayor, Serratus posterior
superior, Serratus posterior. Otot-otot intrinsic dibagi menjadi tiga grup besar antara lain Grup
Spinotransverse, Grup Sacrospinalis, Grup Transversospinalis. 1
Spinal cord berjalan dari batang otak sampai conus medularis (berakhir sampai L1). Terminal
filum dan cauda equine (serat saraf lumbar dan sacral) berlanjut di dalam spinal canal. Spinal
cord melebar di daerah leher dan lumbar dimana di daerah itu serat sarafnya membentuk plexus
yang mempersarafi extremitas atas dan bawah.Spinal cord dibungkus oleh duramater, arachnoid
mater dan pia mater. Beberapaserat saraf berasal dari dorsal yang membawa modalitas sensoris
dan dari ventral yang membawa modalitas motorik2. Spinal cord berakhir pada area memipih
yang disebut conus medullaris, yang terletak pada level vertebra L1-2. Pada titik ini serat saraf
berjalan kebawah membentuk kumpulan yang disebut cauda equina “horse’s tail”. Spinal cord
melekat dibagian inferior oleh filum terminalis yang menempel pada coccyx. 1
Spinal cord merupakan kumpulan banyak jalur saraf (traktus) yang menuju ke otak (traktus
ascenden) dan keluar dari otak (traktus descenden). Adapun yang termasuk dalam traktus
descenden adalah traktus kortikospinal anterior dan lateral kortikospinal. Sedangkan yang
termasuk ke dalam traktus ascenden adalah traktus spinothalamikus anterior, sphinotalamikus
lateral dan traktus dorsal kolum. Traktus anterior kortikospinal merupakan modalitas motorik
minor sering mengalami cedera pada trauma anterior cord (anterior cord syndrome). Traktus
lateral kortikospinal merupakan modalitas motorik mayor yang sering mengalami kerusakan
pada Brown-Sequard syndrome. Traktus spinothalamikus anterior membawa modalitas raba
halus dan sering mengalami trauma pada anterior cord syndrome. Traktus spinothalamikus lateral
membawa modalitas nyeri dan suhu mengalami trauma pada Brown-sequard syndrome. Traktus
dorsal kolum membawa modalitas propiosepsi dan getar dan sering mengalami trauma pada
posterior cord syndrome.1

4
Saraf spinal dibentuk oleh serat ventral dan dorsal. Terdapat 31 pasang saraf spinal yang
simetris kanan dan kiri. Badan sel untuk modalitas sensori tiap saraf terdapat di ganglion dorsal.
Badan sel untuk modalitas motorik terdapat pada ventral horn pada spinal cord. Serat saraf keluar
dari spinal kolum melalui intervertebral foramen (dibawah pedikel). Pada C1 sampai C7 serat
saraf keluar di atas tulang vertebranya sedangkan pada C8 dan L5 serat saraf keluar di bawah
tulang vertebranya. Serat saraf dapat tertekan apabila terjadi herniasi diskus, osteofit dan
hipertrofi jaringan lunak yaitu ligamentum flavum dan kapsul facet. Pada daerah lumbar, saraf
transfersal biasanya lebih sering terkena sedangkan saraf yang keluar dari spinal kolum tidak
terpengaruh, kecuali terjadi penekanan di bagian yang sangat lateral. Saraf di daerah lumbar dan
sacral membentuk kauda ekuina pada kanalis spinalis. 1
Regio pada kulit diinervasi oleh axon saraf sensoris somatik yang berhubungan dengan dorsal
root ganglion pada level spinal cord tunggal. Seperti yang melingkupi anterolateral kepala, kulit
diinervasi oleh satu dari tiga divisi nervus trigeminal (nervus kranialis). Neuron yang
memberikan serat saraf terhadap serat sensoris adalah neuron pseudounipolar yang berada pada
dorsal root ganglion tunggal yang berhubungan dengan level spinal cord yang spesifik (satu
pasang nervus spinal pada setiap spinal cord). C1 adalah level spinal cord servikal pertama,
memiliki serat sensoris tetapi menyediakan sedikit kontribusi ke kulit, sehingga di dermatome
puncak kepala dimulai oleh dermatome C2.1

5
Dermatome mengelilingi tubuh secara segmental berdasarkan level spinal cord yang
menerima input sensoris dari segmen kulit. Sensasi yang dibawa oleh sentuhan ringan lebih besar
dibandingkan tekanan dan nyeri. Pengetahuan tentang dermatome sangat penting untuk
melokalisasi segmen spinal cord dan menilai integritas level spinal cord (normal atau lesi). Serat
saraf sensoris yang menginervasi segmen kulit dan membentuk dermatome menunjukkan adanya
overlaping serat saraf. Konsekuansinya, segmen kulit yang diinervasi secara primer oleh serat
dari level spinal cord tunggal, tetapi kemudian mengalami overlap dengan serat sensoris dari
level diatas dan dibawahya. Contohnya, dermatome T5 akan memiliki beberapa overlap dengan
serat sensoris yang berhubungan dengan level T4 dan T6. Kemudian dermatome akan
memberikan pendekatan yang baik pada level spinal cord, tetapi variasi adalah normal dan tetap
ada overlap.1
Spinal cord mendapat vaskularisasi dari cabang arteri besar yang mensuplai bagian tubuh
tengah. Arteri mayor tersebut antara lain vertebral arteri yang berasal dari arteri subclavia di
leher. Dari arteri subclavia juga akan mengeluarkan cabang yaitu arteri cervikal anterior. Aorta
thorakalis juga turut memberikan vaskularisasi di spinal cord di daerah thorakal melalui arteri
intercostals posterior. Aorta abdominal mengeluarkan cabang berupa arteri lumbar untuk

6
vaskularisasi daerah lumbar. Sedangkan dari arteri internal iliaka akan memberikan cabang arteri
sakral lateral.1

2. Spondilolistesis
a. Definisi
Spondilolistesis berasal dari bahasa Yunani, yakni spondylo (vertebrata) dan
olisthesis (slip), jadi secara harfiah berarti vertebrata yang bergeser, secara definisi adalah
subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata terhadap korpus vertebrata lain
dibawahnya. Pergeseran hampir selalu antara L4 dan L5, atau antara L5 dan sakrum (11%
terjadi pada L4 / 5 dan 82% terjadi pada L5 / S1). Secara normal, discus, lamina, dan
faset merupakan mekanisme penguncian yang mencegah masing-masing vertebra
bergerak maju pada segmen di bawahnya. Pergeseran hanya terjadi ketika mekanisme ini
gagal. Penyebab spondylolisthesis bersifat multifaktorial tetapi sebagian besar bersifat
degeneratif.2

b. Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada
spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/ tekanan
konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran
tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis berdasarkan klasifikasi Wiltse−Newman :

Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi akibat kelainan


kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau
keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau pars
interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu di
bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang,
keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran
kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II
dibagi dalam tiga subkategori :
 Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolistesis
dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren yang disebabkan oleh
hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur pars interarticularis dan
paling sering terjadi pada laki-laki.
 Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.
Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih

7
tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang
baru.
 Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian
pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam menegakkan
diagnosis kelainan ini.
Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat
degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan
mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini
sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran
vertebra tidak melebihi 30 %.
Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada elemen
posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan dengan fraktur pada
bagian pars interartikularis.
Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang sekunder
akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya. 2,3

c. Gambaran Klinis
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa
low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama
selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage),
meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis
berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris, motoric dan
perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf. Progresifitas listesis pada individu
dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik
berupa :

 Terbatasnya pergerakan tulang belakang


 Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
 Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
 Hiperkifosis lumbosacral junction
 Kesulitan berjalan
 Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan muncul
dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenic atau
gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5

8
dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis
dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan
menyebabkan kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenic selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang ketika
pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal
dengan menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan
pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga
mengurangi nyeri yang timbul.2

d. Patofisiologis
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami spondilolistesis. Pertama sekali
tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktifitas fisik yang berat seperti angkat
besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan
wanita, terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa
anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat jarang anak-
anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi pada
anak usia 7-10 tahun. Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa
seharihari mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing
mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmic,
degenerative, traumatic dan patologik. Spondilolistesis displastik merupakan kelainan
kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan sendi
yang kecil dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi
cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan deficit
neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosessus
transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil
untuk fusi pada bagian posterolateral. Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek
arkus neural, seringnya pada sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus
berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjaid kompresi serabut saraf pada foramen
S1, meskipun peregserannya minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk
spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga sering disebut
spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijjumpai dengan
angka prevalensi 5-7 %. Fredericson et al menunjukkan bahwa defek spondilolistesis
biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun, dan pergeseran tersebut sering lebih cepat.
Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak
mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan
diskus intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan

9
spondilolistesis isthmic tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala tidak
diketahui. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus merupakan pergeseran tingkat renah
(low grade : kurang dari 50 % yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10 % bersifat
high grade (lebih dari 50 % yang mengalami pergeseran). Sistem grading untuk
spondilolistesis yang umum dipakai adalah system grading Meyerding untuk menilai
beratnya pergeseran. Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir
posterior korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang
terletak berdekatan dengannya pada foto rontgen lateral. 2,3
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilolisis
menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan postural akan
menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan
rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik pada pars
interartikularis dan kelemahan pars interartikularis pada pasien muda. Terdapat
hubungan antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek
pada pars interartikularis. Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi
akibat penyakit diskus degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan
spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks
persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya
terkena. Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat
hipertrofi ligament atau permukaan sendi. Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus
neural yang terkena / mengalami fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra
yang tidak stabil. Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai
tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolic tulang, yang menyebabkan
mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior sehingga
menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi pada penyakit
Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell Tumor dan metastasis tumor. 3

e. Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
radiologis. 1. Gambaran Klinis Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena
merupakan gejala khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas.
Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya.
Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri yang
spesifik. G\ejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering
terjadi kecuali jika terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya

10
baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakir atau
kondisi lainnya.2
Pemeriksaan Fisik Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi
bersifat ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan
tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot. Penyangga badan
kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada
bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa
segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien dalam posisi
telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat
diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang.
Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi
nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi
lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui pada
posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya
negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan
sindrom cauda equine yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi. 2,3
Pemeriksaan Radiologis Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal
dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan
spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral dan
oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian lumbosacral akan
melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat
pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars
interartikularis, karena defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien
berada dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti bone
scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada
pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan. Bone scan (SPECT scan)
bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis
yang tidak terlihat baik dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses
penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan abnormalitas
pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain
dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal
dan anatomi serabut saraf ) lebih baik dibandingkan dengan foto polos. Xylography
umumnya dilakukan pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi.
Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajatnya berdasarkan persentase pergeseran
vertebra dibandingkan dengan vertebra di dekatnya, yaitu: 3,4
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25%

11
2. Derajat II diantara 26-50%
3. Derajat III diantara 51-75%
4. Derajat IV diantara 76-100%

f. Terapi
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative dan non
operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien, tipe subluksasi dan
gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan nyeri yang

12
dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi vertebra. Prinsip terapi pada
spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan
terapi tertentu. Apabila muncul gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan
latihan agar tidak terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi
vertebra. Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai
mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik.Terapi konservatif,
serupa dengan jenis nyeri punggung lainnya, cocok untuk sebagian besar pasien dan
didasarkan pada manajemen gejala. Istirahat (bed rest)jangka pendek, pembatasan
aktivitas, analgesik, NSAID, relaksan otot, suntikan steroid, terapi fisik dan menguatkan
semua modalitas pengobatan secara umum.
Pengobatan operatif diindikasikan jika:
(1) gejalanya melumpuhkan dan mengganggu secara signifikan aktivitas kerja dan
rekreasi (kehilangan aktivitas kehidupan sehari-hari)
(2) slip lebih dari 50% dan berkembang
(3) kompresi neurologis signifikan
 Konservatif (Non operatif) Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest),
penyangga eksternal ke bagian vertebra yang terkena defek, terapi
medikamentosa dan fisioterapi. Penyangga eksternal biasanya menggunakan
brace.  Modifikasi gaya hidup Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien
dengan spondilolistesis mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk
meminimalisasi gejala yang dialami serta mencegah terjadinya progresi dari
subluksasi tersebut. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan nyeri
b. Bed rest selama episode nyeri akut
c. Menjaga berat badan agar tidak overweight
d. Membatasi gerakan lumbar
e. Penyangga eksternal (bracing) Brace merupakan hal yang penting dalam terapi
konservatif. Tujuan penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah
terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam beberapa kasus brace
juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
 Terapi medikamentosa Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses
inflamasi dan spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle
relaxants digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau steroid untuk
mengurangi proses inflamasi.
 Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound, stimulasi elektrik,
pemijatan dan termal terapi untuk membantu mengurangi spasme otot. Latihan stabilitas
vertebra juga bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat

13
bahwa latihan ini apabila dilakukan pada fase akut dapat semakin merusak bagian yang
sedang mengalami inflamasi.
 Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk menstimulasi
penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat meningkatkan sirkulasi ke area yang
mengalami kerusakan, dan membantu merilekskan otot sekitarnya. Cara ini sangat
mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis yang telah menyebabkan
iritasi pada jaringan disekitarnya.
 Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan merilekskan
jaringan otot sekitar.
 Kompres es Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari terjadinya
injuri untuk mengurangi inflamasi dan menghilangkan nyeri.
 TENS Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu menghilangkan
nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri yang teradiasi.
 Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien muda.
Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang diakibatkan
oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan
menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit
degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade slip, <25%), dan
biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran
radiografi. Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab
disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan factor
tingkah laku dan psikososial yang berperan dalam timbulnya disabilitas pada pasien
tersebut.
 Terapi Pembedahan Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien
yang sangat simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk dekompesi elemen
neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil. Umumnya dilakukan dengan eliminasi
pergerakan sepanjang permukaan sendi (facet joints) dan diskus intervertebralis melalui
arthrodesis (fusi).2,3

g. Prognosis

14
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan akan
kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan vertebra
yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya
intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring
dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30%
pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf.3

DAFTAR PUSTAKA

15
1. Thompson, John T. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. Philadelpia Saunder
Elsevier, 2010.
2. Apley, G.A and Solomon, L. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures.
9th ed. London: Hodder Arnold.
3. Hu, et al. 2008. Spondylolisthesis and Spondylolysis. J Bone Joint Surg Am. 2008;90:
656671
4. Niggemann, et al. 2012. Spondylolysis And Isthmic Spondylolisthesis: Impact Of
Vertebral Hypoplasia On The Use Of The Meyerding Classification. The British
Journal of Radiology, 85 (2012), 358–362

16

Anda mungkin juga menyukai