Anda di halaman 1dari 7

Kotak Lebah Penyimpan Kenangan

“Tersengat lebah pasti sakit. Ini kotak apa ya? Apakah di dalamnya ada ribuan lebah
kenangan yang siap memberikan sengatan nyeri pada hati dan ingatanku?”
Aku memandangi sebuah kotak berukuran 30 x 30 cm berbalut kertas kado bermotif
lebah madu yang baru saja aku letakkan di meja. Kotak yang aku temukan dari lemari
bukuku. Aku sedang membereskan kamarku yang penuh dengan barang-barangku saat SMA
yang sudah saatnya untuk disingkirkan. Kamar ini sudah jarang disapa pemiliknya, kira-kira
sekitar 7 tahun kamar ini tidak bersamaku. Sejak aku kuliah di kota sebelah, meskipun dekat
tetap jarang pulang untuk menghemat uang beasiswa. Setelah lulus kuliah, aku memutuskan
mencari pengalaman kerja di kota besar, Surabaya. Setelah 3 tahun bekerja aku memutuskan
pulang ke kota kecil kelahiranku, kembali ke rumah orang tua, melanjutkan karir disini.
Aku lupa tentang kotak bermotif lebah ini. Aku memutuskan untuk membukanya. Oh,
dengan menatap sekilas isi kotak itu, aku ingat sejarah kotak ini. Kotak ini benar-benar
sarang lebah yang akan menyengat ingatanku. Sengatan lebah dalam kotak itu membawa
ingatanku melayang mundur beberapa tahun lalu mengingat beberapa kisah nano-nano, manis
campur asam bahkan pahit pada hidupku.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan pintu di ruang tamu berhasil menarikku kembali ke dunia nyata, sadar
dari lamunanku bernostalgia dengan barang-barang di dalam kotak motif lebah.
“Permisi! Ranti, kamu di rumah?” Terdengar suara wanita yang sepertinya tidak asing
di telingaku. Aku bergegas keluar dari kamar menuju ruang tamu.
“Erica!” Aku terkejut senang, ternyata sahabatku Erica mengunjungiku. Aku langsung
memeluknya. “Uuh, sudah lama ya tidak bertemu.”
“Yaa kamu sih, terlalu sibuk! Jarang pulang. Sudah disini juga tidak segera
mengunjungiku,” jawab Erica sambil menunjukkan wajah masamnya dan cemberut
kepadaku.
“Maaf, Erica. Namanya juga baru pindahan. Beres-beres dulu. Ini sekarang lagi
bersihin kamar,” sahutku sedikit merasa bersalah.
“Oke, permintaan maaf diterima. Untung kamu masih mau menyempatkan datang ke
pernikahanku tahun lalu.” Erica membalas pelukanku dengan mencubit kedua pipiku, gemas,
“eh, lagi beres-beres ya? Aku ganggu nih?”
“Sudah hampir selesai, kok. Masuk aja, yuk.” Aku mengajak Erica menuju kamarku.
“Wah, banyak juga nih yang harus diberesin.”
“Iya, habis lulus SMA dulu belum sempat diberesin semua. Apalagi setelah kuliah,
langsung bertolak ke Surabaya.”
Erica mengamati sekeliling kamarku, kemudian tatapannya terhenti pada kotak
bermotif lebah yang tergeletak di meja dekat jendela kamarku. Erica mengambilnya,
kemudian duduk di kasurku.
“Kotak apa ini? Aku tidak pernah tahu,” Erica membuka kotak itu, menelusuri isinya
kemudian menatapku dengan menyipitkan mata,“kotak kenangan pahit. Benda-benda
bersejarah dari mantan. Kok masih disimpan sih? Harusnya sudah dibuang dari dulu.”
“Aku ingat ini kotak apa juga baru saja. Kotak ini sudah terlupakan.”
“Oh ya? Terlupakan? Cerita dibalik masing-masing benda ini juga sudah hilang dari
ingatanmu?” Erica memilah barang-barang yang ada di kotak itu. Dia sedikit penasaran,
“hhmm … ada beberapa benda yang aku tidak tahu disini.”
“Sepertinya ada yang masih ingat,” jawabku pendek.
Erica menatapku dengan ekspresi berempati. “Kamu tidak apa menemukan kotak ini?
Kalau masih berat, biar aku yang membuangnya.”
“Kotak itu sudah tidak ada pengaruh apa-apa untukku. Sudah lama juga, kan? Emm …
sudah sekitar 4 tahun berlalu cerita itu berakhir. Waktu mampu menyembuhkan luka.” Aku
menjawab santai sambil membentuk bibirku menyerupai bulan sabit.
“Wah, masih ingat ternyata kapan kamu putus sama si Gavin itu,” Erica membalas
dengan senyuman dan sedikit menggodaku, “ceritakan tentang ini?” Erica mengambil
selembar voucher diskon makan malam di sebuah hotel berbintang 5 di Surabaya dari kotak,
menunjukkan voucher itu padaku.
“Katanya tadi mau bantu membuangnya. Malah tanya-tanya.” Aku merebut cepat
voucher itu dari tangan Erica.
“Sekalian saja mengenang masa lalu, kotak ini membuatku sedikit penasaran. Banyak
hal yang aku tidak tahu tentang kamu sahabatku dengan si Gavin itu. Tiba-tiba sudah putus.”
Aku duduk di samping Erica dan memeluknya lagi. “Uuh, iya juga ya, dulu aku
menarik diri dari kamu dan yang lain. Merasa tidak butuh kamu, sahabatku. Maaf.”
“Iya, dasar budak cinta! Sampai teman sekelas protes padaku terhadap sikapmu yang
tidak mau bersosialisasi gara-gara posesifnya si Gavin itu. Aku nekat harus menceramahimu
sampai air mataku kering,” sahut Erica dengan nada kesal.
Aku teringat kembali kenangan saat Erica tiba-tiba datang ke rumahku dengan mata
bengkak memerah. Berteriak kesal dan kecewa mengajukan protes kepadaku. Saat itu, aku
hanya bisa diam karena Erica terus berbicara, tidak memberiku kesempatan untuk menyela
atau membela diri.
Aku melepaskan pelukanku dan tersenyum pada Erica. “Iya, aku tahu, aku sangat
bodoh saat itu, mengecewakanmu. Terima kasih sudah mau menetap menjadi sahabatku
sampai saat ini, Erica.”
“Jadi, voucher kadaluarsa apa itu?”
“Hhm, hanya selembar kertas tidak penting yang pernah membuatku berbunga-bunga.
Gavin membawa pulang ini setelah mengunjungi kakaknya di Surabaya. Katanya, suatu saat
nanti, dia mau mengajakku makan malam di hotel itu.”
“Uuh, salah satu janjinya yang hanya manis di mulut. Ya namanya juga cinta monyet
ya.” Erica mengangkat bahu dan menunjukkan wajah tidak sukanya. Erica kembali sibuk
dengan isi kotak lebah milikku.
“Ini waktu ikut lomba yang mana ya? Kok tidak mengajak aku?” tanyanya lagi dengan
menunjukkan sebuah tanda pengenal bertuliskan peserta dari dalam kotak.
“Oh, itu aku ikut lomba Kimia di UNAIR saat kelas dua belas. Gavin yang mengajak,
sekalian lihat-lihat kampus impian nanti kalau lulus SMA. Dia mengajak aku kuliah disana
juga nantinya. Dia yang bayarin pendaftaran dan akomodasi lomba itu. Lumayan lha bisa
sampai semifinal.”
“Dasar bucin, lomba saja harus sama dia. Kampus impian apa? Impiannya dia saja.
Tidak ada kamu disana. Masa dia ngambek saat kamu lolos snmptn tulis sedangakan dia
tidak.” Lagi-lagi Erica merasa kesal.
“Kok jadi kamu yang kesal, Ca? Yang pacaran sama Gavin kan aku.” Aku tersenyum
geli mendengar respon Erica.
“Kamu kok malah senyum-senyum sih? Yah, aku masih kesal saja, dia menikah dengan
teman seangkatan kuliahnya setahun setelah putus dari kamu. Intinya dia udah selingkuhin
kamu selama LDRan. Dia posesif terus ke kamu, eh malah dia yang berhianat.”
“Waktu putus dengan Gavin, aku senang kok.”
“Iya, tapi pas dia datang ke rumahmu untuk kasih kabar dia memiliki rencana untuk
melamar istrinya itu, kamu nangis juga, kan? Padahal udah aku traktir makan es krim
kesukaanmu, tapi masih nangis tersedu-sedu.”
“Hmm … iya sih, aku nangis terus. Yah, namanya juga kaget. Tidak rela secepat itu dia
punya rencana melamar calon istrinya, 3 bulan setelah putus dariku. Muncul banyak
pertanyaan. Setelah menjalani LDR 2 tahun kuliah, hampir tidak pernah bertemu, sekalinya
bertemu, dia cerita tentang calon istrinya.”
“Habis dibuat bahagia berasa terbang ke langit, langsung dipatahkan sayap bahagiamu.
Hatimu pasti sakit sekali saat itu.”
“Hahaha. Iya kalau ingat waktu itu, sakit sekali. Istrinya itu cantik, pintar, calon dokter,
latar belakang keluarganya juga istimewa, ayahnya dosen, kaya juga. Setelah menikah, Gavin
dan istrinya bulan madu di luar negeri. Poin plusnya jauh dibanding aku. Aku yang tahu
bagaimana baik buruknya Gavin selama 5 tahun itu merasa istrinya itu terlalu istimewa buat
dia”
“Eits, sepertinya kamu masih kesal tidak rela ya?” Erica mengernyitkan dahi padaku
sambil mengarahkan telunjuknya padaku.

Terlintas di ingatanku, kenangan saat Gavin bercerita tentang rencana melamar calon
istrinya. Sejak putus, kami sudah tidak pernah saling bertukar pesan. 3 bulan kemudian,
pertengahan bulan Maret, ada undangan pernikahan salah satu teman SMA, teman sekelas
Gavin saat kelas dua belas. Seminggu sebelum acara resepsi itu, Gavin mengirimkan pesan.
Gavin berencana untuk mengajaku berangkat bersama ke pernikahan itu. Tiba-tiba sekali.
Awalnya aku merasa biasa saja, sekejap berubah menjadi harapan saat dia mengirimkan
pesan ‘aku ingin bertemu denganmu.’ Kalimat sederhana yang bisa memiliki banyak arti itu
meluluhkan hatiku. Akhirnya aku mengiyakan ajakannya.
Aku ingat, pagi hari saat hari pernikahan teman itu, aku merasa seperti kasmaran lagi.
Aku merasa bahagia akan bertemu Gavin setelah lama tidak berjumpa. Saat bertemu, kami
bertukar cerita tentang kuliah. Aku merasa aura bahagiaku sampai keluar dari tubuhku seperti
kembang api. Bahkan sampai pengantin di pernikahan itu mendoakan kami agar segera
menyusul. Padahal kami sudah mengakhiri hubungan kami, hanya sebatas teman saja. Saat
siang hari, pulang dari acara itu, dia membuka pembicaraan dengan permohonan maaf untuk
segala sikapnya selama ini. Kemudian menceritakan tentang calon istrinya, menunjukkan foto
calonnya itu. Amarah bergemuruh di hatiku, aku mencoba menahannya, tapi tetap jebol
dengan air mata. Untung saat itu, ada Erica yang langsung memelukku.
Beberapa bulan berlalu dari pernyataan yang merobek hatiku, aku masih belum terima
dia mendapatkan istri bagai bidadari itu. Gavin yang aku kenal tidak pantas mendapatkannya.
Sampai aku tidak nafsu makan dengan bakso yang selalu aku nantikan, yang aku sempatkan
membelinya hanya sekali dalam dua minggu. Hemat uang beasiswa. Aku masih menyimpan
password Facebooknya, dengan amarah benci aku menjelajahi akunnya. Memeriksa setiap
komentar pada foto-foto bersama teman kuliah kedokterannya, tidak lupa juga kotak pesan.
Ada beberapa komentar yang menunjukkan ada kedekatan Gavin dengan seorang teman
perempuannya di kampus. Lalu, aku membuka sebuah percakapan Gavin dengan seorang
laki-laki, seorang bapak yang menggunakan foto profil foto keluarga. Tecantum percakapan
itu terjadi pada akhir bulan Februari. Salah satu anggota keluarga di foto profil itu adalah
calon istri Gavin. Aku membaca percakapan itu, hatiku tersentak terasa teriris dan kembali
menangis.
‘Maaf, Nak Gavin, tolong menjauh dari Keisya. Saya sudah ada calon untuk Keisya.’
Kalimat pesan dari bapak itu merobek hatiku. Aku heran dengan diriku sendiri. Bukankah
aku sedang marah, benci dengan Gavin? Tapi, kenapa aku ikut sedih, terluka, sangat kecewa
ketika dia ditolak oleh calon mertuanya. Aku marah tidak rela dia mendapatkan istri yang
istimewa, tapi juga terluka dia ditolak oleh orang tua seseorang yang ia cintai. Sesak
perasaanku saat itu, tidak rasional.
Bulan Desember di tahun yang sama, Gavin mengabariku lewat pesan. Dia berhasil
meluluhkan hati calon mertuanya. Aku bisa merasakan aura bahagia dari pesan itu, hatinya
pasti sedang bernyanyi suka cita.
Bagaimana denganku?
Saat itu aku ikut bahagia, aneh rasanya, tidak ada lagi rasa sakit terluka dan tidak rela.
Perasaan sakit itu sudah menguap.

“Halo, Ranti! Ranti!” Kamu masih disini? Kamu masih tidak rela?” Erica mengibaskan
tangannya di depan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku.
“Hahaha. Ya tidaklah, memang takdirnya dia kok. Dia beruntug.” Aku menepis tangan
Erica.
“Oke, lanjut,” Erica kambali memilah-milah barang di kotak lebah, “wah, lucunya! Ini
miniaturnya Gavin ya? Wuiih, pakai jas dokter ada name tag gelarnya ‘dr. Gavin Abinaya,
Sp.BTKV.’ Dasar kamu bucin!” Erica mengerak-gerakkan paper art berbentuk laki-laki
mungil di depanku.
“Oh, ini pas aku kuliah tahun kedua, sebenarnya ingin aku kirim paket ke Gavin. Tapi
dia tidak kirim alamat kosnya, jadi cuma kirim foto aja. Untuk kado ulang tahunnya sekalian
kasih semangat buat kuliahnya,” aku menjelaskan santai.
“Sayangnya pas wisuda dan sumpah dokter, bukan kamu yang disampingnya.’
“Ya jelas sama istrinya, Erica.”
Erica memandangiku penuh simpati. Aku menepuk bahu Erica perlahan,“sudah aku
bilang kan, sudah berlalu. Santai aja.”
“Oke, tapi tetap si Gavin sialan itu masuk daftar musuhku.” Aku tertawa kecil
mendengar pernyataan Erica.
“Kenapa kamu malah senang begitu?” tanya Erica keheranan.
“Aku jadi ingat, teman-teman kosku juga kesal saat ada berita Gavin menikah di grup
Line SMA. Teman-teman kosku kan kebanyakan teman SMA kita.”
“Hoo, ceritakan soal itu.” Mata Erica tampak berbinar penasaran.
“Saat itu tepat sehari setelah aku seminar proposal skripsi. Hari itu hari Sabtu, di hari
itu ada acara jalan santai dies natalis fakultasku. Ketika aku pulang ke kos, mereka pada
heboh menanyakan kabarku, apakah aku sudah tahu, apakah aku baik-baik saja. Mereka
terkejut dengan foto pernikahan Gavin di grup Line. Mereka bersimpati kepadaku, kenapa
Gavin bisa setega itu.”
“Wah, Gavin masuk daftar musuh banyak orang ya.” Erica tampak merespon dengan
semangat.
“Entahlah. Mantannya siapa, yang kesal siapa. Sampai mereka menghiburku dengan
rencana akan ngelabrak Gavin.” Aku tersenyum geli mengingatnya sambil menggelengkan
kepala.
“Kamu beruntung, banyak teman yang lebih mendukungmu daripada Gavin sialan itu.”
“Termasuk kamu sahabatku yang selalu ada, Erica.”
“Kamu benar-benar tidak ada beban apa-apa ya selama 3 tahun menetap di Surabaya?
Gavin kan juga tinggal disana.”
“Saat dia nikah saja aku udah biasa aja. Sudah tidak ada kesal, dendam atau apapun itu.
Apalagi setelah lulus kuliah. Niatnya ke Surabaya kan cari pengalaman.”
“Iya juga sih, Surabaya kan luas, belum tentu bertemu dengan si Gavin menyebalkan
itu.”
“Hhmm … kemungkinan bertemu tetap ada, Ca. Malah bulan Desember tahun lalu, aku
bertemu dengan Gavin di Surabaya. Dia mengunjungi aku di tempat kerja.”
Erica memasang wajah geram, terkejut. “Mau ngapain dia ketemu kamu, Ranti? Masih
punya muka dia habis nyakitin kamu selama 5 tahun posesif nggak jelas ternyata selingkuhin
kamu.”
“Tenang dulu dong. Dia cuma mau minta maaf lagi, mengobrol sebentar saja, kok. Dia
merasa masih ada salah, dia perlu meminta maaf lagi agar urusannya lancar, dia akan punya
anak yang kedua.”
“Kok dia bisa tahu kamu di Surabaya? Kamu masih sering kontak dengan dia?”
“Ya tidaklah, dia sudah punya istri. Aku tidak ada keperluan apa-apa sama dia. Nanti
malah ada fitnah aku jadi pelakor.”
“Lalu, drimana dia tahu tempat kerjamu?”
“Gavin sempat cerita sih. Mencari informasi di akun facebookku, terus mencoba ketik
namamku di Google dengan spesifikasi gelarku, muncul di LinkedIn sepertinya. Malah
rencana awal, dia mau ke kosan waktu kuliah sebelum tahu aku di Surabaya.”
“Ih, merinding. Kaya stalker.”
“Sudah berlalu kok, tidak ada niat buruk apa-apa.”
“Oke, cukup bahas si Gavin. Dia masa lalu burukmu. Ke-GR-an nanti dia dibahas terus.
Orang penting di provinsi ini juga bukan,” Erica menyingkirkan kotak motif lebah dari
pangkuannya, “jadi, kabar kamu dengan teman kerjamu, Wikan, itu bagaimana?”
“Oh, Wikan. Dia sudah menikah tiga bulan yang lalu.”
Mata Erica membelalak kaget. Dia terdiam.
“Aku dan Wikan cuma teman dekat biasa saja kok. Dia kan teman kuliahku juga, kita
satu perusahaan, beda penempatan kerja. Iya sih sering janjian keluar bareng, makan, nonton,
keluh kesah tentang pekerjaan. Bahkan ikut seminar di luar kota bareng”
“Masa dia tidak ada tanda-tanda serius ke kamu, Ranti?”
“Kurasa tidak ada. Tidak pernah dia ucapkan rasa suka juga. Mungkin dari aku saja
yang terlalu nyaman dan terlalu berharap sama dia.”
“Dia menikah sama siapa?”
“Rekan kerjanya di outlet penempatannya. Dan ya, Wikan juga memiliki nasib yang
sama dengan Gavin, beruntung, keluarga istrinya juga orang sukses di Surabaya.”
Erica tiba-tiba menggenggam tanganku “Ranti, kamu tidak trauma untuk mengenal dan
memulai hubungan serius dengan laki-laki kan?”
“Err … kurasa tidak juga. Aku baik-baik saja, Erica. Untuk saat ini aku mau fokus dulu
dapat kerja disini dan mewujudkan mimpiku di kota kelahiran ini dan menjaga orang tuaku.”
“Surabaya menjadi kota dengan kenangan pahit untukmu. Makanya kamu memilih
pulang?”
“Hahaha. Bukan begitu, Erica. Kalau alasannya kabur seperti itu, aku juga tidak akan
memilih menetap disini. Banyak kenangan dengan Gavin juga disini, kan? Rumah orang tua
Gavin juga disini, peluang bertemu lagi tetap besar.”
“Iya juga sih.”
“Santai aja, aku tidak apa-apa. Sudah kubilang, kan, waktu mampu menyembuhkan
luka. Lagipula aku suka Surabaya. Kota dimana aku bisa mengeksplorasi banyak hal,
inspirasi dan bekal mimpiku aku dapatkan disana. Niatku ke Surabaya untuk mencari ilmu
sambil bekerja.”
“Harusnya kamu juga dapat jodoh disana.”
“Itu bonus, Erica. Bukan tujuan utamaku.”
“Hmm ... yaah mungkin jodohmu memang disini. Sudah ada panggilan wawancara
kerja disini?”
“Sudah, kok, selasa depan aku ada wawancara kerja.”
“Oke, aku buangkan isi kotak ini ya. Isi kotak ini membuat kamarmu penuh. Isinya
benar-benar sama dengan motif bungkus kotaknya. Lebah yang menyengat, tapi kamu sudah
kebal dengan sengatan lebah-lebah ini.” Erica berdiri dan membawa kotak sengatan kenangan
itu keluar kamar. Beberapa saat kemudian dia kembali masuk ke kamarku dengan membawa
toples kecil berisi kue kering coklat.
“Tadaa! Sampai lupa aku membawakanmu ini. Favoritmu, kemarin aku membuatnya.”
Erica menyodorkan toples itu padaku.
“Kamu wanita kuat, Ranti. Aku senang tidak melihatmu menangis dan larut kesedihan
lagi gara-gara Gavin ataupun dengan Wikan itu. Pasti akan segera datang seorang laki-laki
yang siap mendukungmu dan membantumu mewujudkan mimpi.” Erica memelukku dengan
erat.
“Tentu, aku sudah cukup bahagia dengan kondisiku saat ini.” Aku membalas pelukan
erat Erica, sahabatku yang selalu ada untuk menghiburku.
Data Singkat Penulis

Nama : Siti Rohmatillah


Alamat : jl. Sersan na’am No.7, Kel. Jogoyudan, Kec. Lumajang, Kab. Lumajang,
Jawa Timur 67315
WA : 08980578793
Medsos : IG @seraleva_sr13

Anda mungkin juga menyukai