Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan fungsi otak yang timbul akibat

ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak.

Skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya

perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar

pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi dan halusinasi (puspitasari,

2009).

Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 memperkirakan

bahwa 1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama

oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat

berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat

penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi

pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Tomb, 2004).

Hasil survey di Indonesia memperlihatkan bahwa sekitar 1-2% penduduk

yang menderita skizofrenia hal ini berarti sekitar 2- 4 juta jiwa dari jumlah

tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Demikian

juga dengan Irmansyah (2005), bahwa penderita yang dirawat di bagian psikiatri

di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia (Chandra, 2006).

Data yang diperoleh dari Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat

berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.183

1
Universitas Sumatera Utara
2

orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah

1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.543 orang

(91,09%). Dari 1543 orang penderita yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak

1493 orang penderita remisi sempurna (96,76%), dan dari jumlah tersebut

penderita yang mengalami kekambuhan sebanyak 876 orang penderita (58,76%).

Data di atas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke

tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara dan juga

menunjukkan tingginya angka kekambuhan pada penderita (Rekaman Medik

RSJD Propsu, 2005). Data Rekaman Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi

Sumatera Utara tahun 2009 ( Januari-Desember) menunjukkan bahwa pasien

skizofrenia paranoid yang rawat jalan sebanyak 3529 orang (Laporan Rekaman

RSJ, 2009)

Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehingga penderita

memerlukan terapi/ perawatan lama. Di samping itu semua etiologi, patofisiologi

dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/ heterogen bagi setiap penderita,

sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan

menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali

mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh penderita dan

juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan

melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada penderita.

Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh

dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita (Irmansyah, 2005).

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam

menimbulkan kekambuhan. Penderita yang dipulangkan ke rumah lebih

Universitas Sumatera Utara


3

cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang

ditempatkan pada lingkungan residensial. Penderita yang paling beresiko untuk

kambuh adalah penderita yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh

permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu

protektif terhadap penderita (Tomb, 2004).

Demikian juga menurut Sasanto, mengatakan bahwa banyak hal yang

dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu faktor yang

paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Kekambuhan dapat

diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis

dan non farmakologis, selain itu dukungan sosial keluarga juga sangat dibutuhkan

untuk resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Vijay, 2005).

Dukungan sosial merupakan cara keluarga untuk menghadapi/menangani

penderita skizofrenia sehingga tidak terjadi kekambuhan. Selain itu dukungan

sosial keluarga juga merupakan respons positif, afektif, persepsi dan respons

perilaku yang digunakan oleh keluarga untuk memecahkan masalah dan

mengurangi stress yang diakibatkan oleh penderita skizofrenia. Kekambuhan pada

penderita skizofrenia yang berada di tengah keluarga merupakan suatu tanda

bahwa keluarga gagal untuk melakukan dukungan sosial dengan baik.

Chandra (2005) menyatakan bahwa penderita skizofrenia remisi sempurna

akan dikembalikan kepada keluarga, maka keluarga harus mengenal gejala-gejala

skizofrenia. Selain itu penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan

empati dari keluarga. Itu sebabnya keluarga harus menumbuhkan sikap mandiri

dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap Expressed

Emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu

Universitas Sumatera Utara


4

memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan

dan menimbulkan kekambuhan (Chandra, 2005).

Pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga

yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan mengikuti program-program

intervensi keluarga yang menjadi satu dengan pengobatan skizofrenia seperti

family psycho education program, cognitive behavior therapy for family,

multifamily group therapy dan lain-lain. Di Indonesia program penanganan

keluarga ini belum mendapat perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu

dilakukan mengingat bahwa: pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam

perawatan, tetapi berada di tengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan

mental membuat penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga

penanganan oleh keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi

pengetahuan dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga,

keterampilan menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat

yang baik bagi penderita (Irmansyah, 2005).

Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, mereka membutuhkan

dukungan/penanganan yang baik dari keluarga setelah pulang dari rumah sakit,

sehingga kekambuhan bisa dikendalikan atau dicegah. Kenyataan yang ada di

lapangan tidak seperti yang diharapkan, pasien justru banyak yang mengalami

kekambuhan dan keluarga seolah pasrah dengan kondisi yang terjadi. Hal ini

didukung hasil penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa

Nanggroe Aceh Darussalam, dimana penerimaan yang tidak baik dari keluarga

Universitas Sumatera Utara


5

dapat meningkatkan resiko kekambuhan sebesar 4,28 kali dibandingkan dengan

penerimaan yang baik dari keluarga.

Yosep (2008) mengemukakan, adanya suatu penyakit yang serius dan

kronis pada diri seseorang anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang

mendalam pada sistem keluarga, khususnya pada struktur peran dan pelaksanaan

fungsi-fungsi keluarga. Oleh karena itu keluarga merupakan sistem pendukung

utama yang memberikan perawatan langsung setiap keadaan sehat dan sakit

terhadap penderita. Sehingga dalam hal ini perlu adanya peran serta yang besar

dari keluarga dalam memberikan dukungan sosial dan pemenuhan kebutuhannya.

Dalam menghadapi stressor kehidupan penting untuk memberikan dukungan

sosial kepada pasien skizofrenia paranoid. Dukungan sosial merupakan salah satu

sumber penanggulangan terhadap stres yang penting yang mempunyai pengaruh

terhadap kondisi kesehatan seseorang (Rahmawati, 2009).

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi

kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu

Medan.

2. Tujuan Penelitian

2.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien

skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan.

Universitas Sumatera Utara


6

2.2 Tujuan Khusus

1 Mengetahui dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di

Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

2 Mengetahui frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik

RS Jiwa Daerah Propsu Medan

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dukungan sosial keluarga pada pasien skizofrenia paranoid di

Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

2. Bagaimana frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di

Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan

3. Apakah ada hubungan dukungan sosial keluarga dengan frekuensi

kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah

Propsu Medan

4. Manfaat Penelitian

4.1 Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi

perawat jiwa untuk meningkatkan peran serta keluarga dengan cara melibatkan

keluarga dalam perawatan pasien skizofrenia paranoid

4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

dan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan jiwa dalam

memberikan asuhan keperawatan yang terkait dengan dukungan sosial keluarga

pada pasien skizofrenia paranoid dan sebagai informasi bagi mahasiswa untuk

Universitas Sumatera Utara


7

mengetahui pentingnya dukungan sosial keluarga dalam upaya pencegahan

kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.

4.3 Peneliti Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan

bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan dukungan sosial keluarga pada

pasien skizofrenia paranoid.

4.4 Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi

keluarga untuk dapat meningkatkan kemampuan keluarga memberikan perhatian,

bantuan dan penghargaan, memberikan semangat kepada pasien skizofrenia

paranoid.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai