Anda di halaman 1dari 12

PENYELESAIAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

DALAM KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT


(Penghindaran Labeling Terhadap Anak)

Achmad Ratomi
(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)
ratomi79ach@gmail.com

Abstrak
The fact that there are some data that indicate the involvement of children in criminal
ŠŒ•œï1 ›’–’—Š•1ŠŒ•œ1˜•1Œ‘’••›Ž—1’—1œ˜Œ’Ž•¢1‘ŠŸŽ1•˜›ŒŽ•1•‘Ž1Œ‘’••1 ’—1Œ˜— ’Œ•1 ’•‘1•‘Ž1•Š ï1
‘Ž1œŽ4•Ž–Ž—•1˜•1Œ‘’••1™›˜‹•Ž–11Œ˜— ’Œ•’—•1 ’•‘1•‘Ž1•Š 1’—1•‘Ž1Œ˜—•Ž¡•1˜•1œ˜Œ’Ž•¢11ŒŠ—1‹Ž1
done with out of court by the principles of togetherness and openness. This method is
–žŒ‘1–˜›Ž1‹Ž—Ž Œ’Š•1•˜›1Œ‘’••›Ž— œ1•ŽŸŽ•˜™–Ž—•ð1‹˜•‘1™‘¢œ’ŒŠ••¢1Š—•1™œ¢Œ‘˜•˜•’ŒŠ••¢1 ‘Ž—1
compared to the punishment. Formal law enforcement should be avoided as far as possible
•˜1Œ‘’••›Ž—1 ‘˜1Œ˜––’•1Š1Œ›’–Žœ1Šœ1•˜—•1Šœ1•‘Ž›Ž1’œ1—˜1•žŠ›Š—•ŽŽ1•˜›1•‘Ž’›1‹Ž—Ž •ï1 ŽŒŠžœŽ1
˜•1•‘’œ1Š›•’Œ•Žð1•‘Ž1Šž•‘˜›1•›’Žœ1•˜1 —•1Š1œ˜•ž•’˜—1‘˜ 1’•1œ‘˜ž••1‹Ž1•˜1›Žœ˜•ŸŽ1•‘Ž1’œœžŽ1˜•1
Œ‘’••›Ž—1’—1Œ˜— ’Œ•1 ’•‘1•‘Ž1•Š ïï1
Ž—¢Š•ŠŠ—1 ‹Š‘ Š1 Š•Š1 ‹Ž‹Ž›Š™Š1 •Š•Š1 ¢Š—•1 –Ž—ž—“ž””Š—1 ”Ž•Ž›•’‹Š•Š—1 Š—Š”,Š—Š”1 ¢Š—•1
dalam tindak pidana kriminal. Tindak pidana anak di masyarakat telah memaksa diri
Š—Š”1 ‹Ž›”˜— ’”1 •Ž—•Š—1 ‘ž”ž– ï1 Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 ™Ž›œ˜Š•Š—1 Š—Š”1 ¢Š—•1 ‹Ž›”˜— ’”1 •Ž—•Š—1
hukum dalam konteks sosial masyarakat dapat dilakukan dengan upaya damai di luar
pengadilan dengan prinsip kebersamaan dan keterbukaan. Penyelesaian cara ini jauh
•Ž‹’‘1–Ž—•ž—•ž—•”Š—1‹Š•’1™Ž›”Ž–‹Š—•Š—1Š—Š”1‹Š’”1œŽŒŠ›Š1 œ’”1–Šž™ž—1œŽŒŠ›Š1™œ’”˜•˜•’œ1
jika dibandingkan dengan pemidanaan. Penegak hukum secara formal hendaknya sejauh
mungkin dihindari terhadap anak yang melakukan tindak kriminal selama tidak ada
jaminan kemaslahatan bagi mereka. Karena itu melalui artikel ini penulis mencoba untuk
–Ž—ŒŠ›’”Š—1œ˜•žœ’1‹Š•Š’–Š—Š1œŽ‘Š›žœ—¢Š1–Ž—¢Ž•ŽœŠ’”Š—1™Ž›œ˜Š•Š—1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1
dengan hukum.

Kata Kunci: Anak, Tindak Pidana, Kriminal

Sebuah data yang dilansir oleh Komisi kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan
Nasional Perlindungan Anak menyatakan, remaja tercatat 1.150, sementara pada 2008
bahwa pelaku kriminal dari kalangan remaja hanya 713 kasus. Ini berarti ada peningkatan
dan anak-anak meningkat pesat. Berdasarkan 437 kasus. Adapun jenis kasus kejahatan itu
data yang ada, terhitung sejak Januari hingga antara lain pencurian, narkoba, pembunuhan
Oktober 2009, meningkat 35% dibandingkan dan pemerkosaan.1
tahun sebelumnya. Pelakunya rata-rata berusia Meski peningkatan kasus kriminal anak
13 hingga 17 tahun. Data ini menyebutkan, sangat tinggi, hingga kini pemerintah belum
mulai Januari hingga Oktober 2009 jumlah
1
www.kpai.go.id

134
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 135

memiliki rumah pembinaan khusus bagi anak- membersihkan kantor polisi dan mobil patroli.
anak yang bermasalah. Sejauh ini, pemerintah Rutan atau Lapas memberikan pengaruh buruk
‘Š—¢Š1 –Ž–Šœž””Š—1 Š—Š”1 ¢Š—•1 ‹Ž›”˜— ’”1 terhadap anak-anak di samping hak mendapat
dengan hukum ke dalam sel-sel Rumah Tahanan pendidikan baginya terabaikan.
(Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Hal serupa tidak hanya ada di negara
Padahal, Rutan bahkan LP Anak sekalipun tidak berkembang seperti Indonesia tetapi juga
mampu memenuhi hak-hak anak, khususnya dialami di negara maju. Kini dipikirkan berbagai
hak kebebasan dan hak tumbuh-kembang anak. upaya alternatif sejalan dengan prinsip yang
Hal ini pun masih harus ditambah dengan tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA),
sebagian besar anak-anak yang ditahan harus yaitu prinsip “The Best Interest of The Child”
berbaur dengan para tahanan dewasa. dan pidana sebagai “The Last Resort”.3 Hak-
Semestinya penanganan hukum terhadap anak ‘Š”1 Š—Š”1 ¢Š—•1 ‹Ž›”˜— ’”1 •Ž—•Š—1 ‘ž”ž–1
harus tetap memperhatikan beberapa hal, seperti diatur dalam Pasal 40 KHA yang berbunyi
aspek psikologis, mengedepankan sosialisasi “Negara-negara peserta mengakui hak setiap
hukum, pendampingan psikologis, pemisahan anak yang disangka, dituduh, atau diakui
tempat penahanan hingga pendampingan telah melanggar undang-undang hukum
pengacara. Beberapa hal tadi harus dilakukan pidana diperlakukan dengan cara yang sesuai
karena penanganan tanpa diimbangi program dengan peningkatan martabat dan harga
terpadu terkait pendidikan, kesehatan, bimbingan dirianak, memperkuat penghargaan anak pada
psikologis, dan keterlibatan komunitas akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar
mendorong kecenderungan anak untuk orang lain, dengan mempertimbangkan usia
mengulangi perbuatan yang melanggar anak dan hasrat negara untuk meningkatkan
hukum. reintegrasi anak dan peningkatan perannya
Menurut data Komisi Perlindungan Anak yang konstruktif dalam masyarakat”.
Indonesia (KPAI), Indonesia merupakan negara Sedangkan Pasal 37 ayat b KHA yang
yang paling banyak memidanakan anak. Ada berbunyi “Tidak seorang anak pun akan
6.000 anak yang dipidanakan sampai Juli 2009. dirampas kemerdekaannya secara tidak
Sementara, 3.800 anak di antaranya mendekam sah dan sewenang-wenang. Penangkapan,
di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Padahal penahanan, atau penghukuman seorang anak
di seluruh Indonesia hanya ada 16 Lembaga harus sesuai dengan hukum, akan diterapkan
Pemasyarakatan Anak.2 sebagai upaya terakhir (last resort), dan untuk
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka jangka waktu yang paling pendek”. Dalam
mendapat perlakuan yang buruk bahkan Pasal 37 ayat c KHA dinyatakan “Setiap
kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan anak yang dirampas kemerdekaannya akan
terhadap orang dewasa pada suatu situasi diperlakukan secara manusiawi, dihormati
yang sama. Perlakuan buruk ini tidak hanya martabat kemanusiaannya, dan dengan
terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) atau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) namun tindak seusianya”.
kekerasan terhadap mereka sering dialami ’1 —•˜—Žœ’Šð1‘Š”,‘Š”1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1
sejak berada di kantor polisi yang berupa dengan hukum diatur di dalam Undang-Undang
tamparan, tendangan, bahkan kadang-kadang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
pelecehan seksual. Penyidikan di kantor polisi Undang-undang mengatur tentang pemeriksaan
ini sebenarnya dalam rangkapenyusunan Berita terhadap anak yang harus dilaksanakan dalam
Acara Pemeriksaan (BAP). Namun, kekerasan suasana kekeluargaan. Setiap anak berhak
sering menjadi bagian dari upaya untuk didampingi oleh penasihat hukum. Tempat
memperoleh pengakuan. Bentuk kekerasan 3
Alit Kurniasari, •ž•’1 Ž—Š—•Š—Š—1 —Š”1 Ž›”˜— ’”1
lain berupa tindakan memaksa anak untuk dengan Hukum, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 2008),
2
Tim Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2009 h. 1
136 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 134-145

tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang camping. Betapapun dalam pertimbangan
dewasa. Dalam Undang-undang juga disebutkan undang-undang tersebut diakui bahwa anak
bahwa penahanan dilakukan setelah sungguh- adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
sungguh mempertimbangkan kepentingan anak satu sumber daya manusia yang merupakan
dan atau kepentingan masyarakat. Hukuman potensi dan penerus cita-cita perjuangan
yang diberikan tidak harus di penjara atau bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
tahanan melainkan dapat berupa hukuman mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
tindakan dengan mengembalikan anak ke pembinaan dan perlindungan dalam rangka
orangtua atau wali. menjamin pertumbuhan dan perkembangan
Jadi, atas dasar perundang-undangan tersebut, œ’”ð1–Ž—•Š•1•Š—1œ˜œ’Š•1œŽŒŠ›Š1ž•ž‘ð1œŽ›Šœ’ð1
upaya-upaya yang seharusnya dilakukan pada selaras, dan seimbang, namun nyatanya banyak
Š—Š”,Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1‘ž”ž–1 anak-anak di Indonesia yang mengalami
adalah upaya diversi dan keadilan restoratif kezaliman secara hukum.
(Restorative Justice). Diversi adalah pengalihan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
cara penanganan kasus-kasus anak yang diduga dinyatakan, dalam hal anak belum mencapai
telah melakukan tindak pidana dari proses umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga
formal dengan atau tanpa syarat kepada suatu melakukan tindak pidana, maka terhadap
proses informal. Namun, sampai saat ini belum anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
ada dasar hukum yang khusus untukdiversi oleh Penyidik. (2) apabila menurut hasil
sehingga polisi menggunakan aturan hukum pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa
diskresi untuk melaksanakan diversi. Keadilan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
restoratif adalah proses yang melibatkan semua masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau
pihak dalam memecahkan masalah secara orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan
bersama-sama dan menangani akibat suatu kembali anak tersebut kepada orang tua, wali,
tindak pidana di masa yang akan datang. Hal atau orang tua asuhnya. (3) apabila menurut
ini perlu diperhatikan dalam menangani anak hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat
¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1‘ž”ž–1Š•Š›1•ž“žŠ—1 bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
keadilan restoratif tercapai. Upaya-upaya ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang
keadilan restoratif bertujuan menghindarkan tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
anak dari penahanan dan pelabelananak menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
sebagai penjahat, terulangnya pelanggaran Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
tindak pidana, dan anak bertanggung jawab Pembimbing Kemasyarakatan.
atas perbuatannya. Proses seperti dinyatakan UU di atas, nyatanya
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, sering diabaikan. Ketika diperiksa di kantor
pengadilan anak (juvenile court) didasarkan Kepolisian, anak tidak didampingi petugas
pada asas parent patriae, dimana penguasa harus kemasyarakatan, Psikolog atau Penasehat
bertindak apabila anak-anak membutuhkan Hukum. Ada anak-anak ditahan di tahanan
pertolongan dan bagi anak yang melakukan kepolisian, ada hakim yang memerintahkan
kejahatan tidak dijatuhi hukuman pidana anak ditahan dan banyak lagi kejanggalan-
tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan kejanggalan atau bahkan pelanggaran hukum
sesuai kebutuhan si anak.4 Tentu saja, proses yang dialami anak-anak yang (disangka atau
hukum seperti ini sangat jauh berbeda dengan terbukti) melakukan tindak pidana.
realitas di Indonesia. Benar statement Save the Children International
Kendati telah diberlakukan Undang-Undang Alliance, bahwa kondisi sekarang jauh lebih buruk
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bagi anak-anak bahkan bila dibandingkan dari
namun nyatanya sistem peradilan anak yang 100 tahun lalu.5 Benar juga bahwa Indonesia
terjadi di Indonesia masih sangat compang- bukanlah negara hukum dan tapi negara undang-
4 5
Ibid., h. 1 www.ChildrenInternationalAlliance.com
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 137

undang, karena menyangkut perlindungan dan Fase Kedua yaitu Masa Kanak-kanak, dari
kesejahteraan anak, di Indonesia tak kurang umur 7 s/d 14 tahun, yang dibagi kedalam 2
ada 97 peraturan yang memiliki kekuatan (dua) yaitu (a) Masa anak Sekolah Dasar umur
hukum. 6 Akhirnya, bagi penguasa yang 7 – 12 tahun adalah intelektual, memasuki
dianugrahi kekuasaan, kewenangan dan berbagai masyarakat di luar perasaan, kemauan serta
kebijaksanaan harus lebih berkomitmen untuk kemampuan anak.9
memperhatikan dan melindungi anak-anak, Dalam proses pembelajaran dan pertumbuhan
karena mereka juga kita anggap penerus darah ini tidak semua anak-anak berjalan mulus, tidak
kita, penerus generasi bangsa-negara. semuanya berhasil melaksanakan proses tersebut
Anak adalah seseorang yang belum berumur sebagaimana seharusnya, baik karena kondisi
18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang orang tuanya yang tidak memungkinkan atau
masih dalam kandungan.7 Hukum Perdata situasi yang terganggu sehingga proses tidak
bericara lain (21 tahun), hukum Islam punya berjalan lancar, berakibat terdapat anak yang
ukuran akil baliq, sedangkan pada Pasal 4 Ayat menjadi korban dari kondisi / situasi tersebut
(1) tentang Pengadilan Anak menyebutkan baik sebagai korban situasi atau korban kejahatan
batas umur 18 untuk dapat diajukan ke atau menjadi pelaku kejahatan.
Sidang Anak. Mengenai umur ini berbagai Dalam hal yang terakhir yang menjadi pokok
macam ukuran dapat digunakan, namun bahasan kita kali ini kita pisahkan kedalam
dalam pembahasan ini kita ikuti aturan dalam perbuatan kenakalan remaja/ juvenile delinquency
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor yaitu perilaku menyimpang dari anak-anak /
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak remaja yang tidak meresahkan masyarakat dan
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 perilaku menyimpang yang telah meresahkan
tentang Pengadilan Anak. masyarakat. Dari pembedaan perilaku inilah
Anak-anak merupakan masa depan dari yang akan menentukan tindakan penanganan
suatu bangsa yang harus dipersiapkan sebagai yang akan kita sarankan untuk dilakukan.
penerus eksistensi kehidupan bangsa itu, yang Namun untuk itu semua perlu dilakukan upaya
ke depan akan menghadapi perkembangan perlindungan terhadap proses pembelajaran
lingkungan yang makin kompleks, melalui dan pertumubuhan anak-anak dan generasi
proses pembelajaran dan pertumbuhan anak muda suatu bangsa.
•Ž›ž•Š–Š1–Ž—¢Š—•”ž•1ñ1ûWü1™Ž–Š•Š—•Š—1 œ’”ð1 Perlindungan anak adalah segala kegiatan
(2) pematangan kecerdasan (intelektual), untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
(3) pematangan perasaan (emosional), (4) haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
pematangan sosial dan (5) pematangan susila dan berpartisipasi secara optimal sesuai
(moral).8 dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
Selanjutnya Wagiyati Soetodjo membagi serta mendapat perlindungan dari kekerasan
perkembangan anak kedalam 3 (tiga) kurun dan diskriminasi.10 Dengan berpedoman pada
waktu ( fase ) yaitu : (1) Fase pertama yaitu ide perlindungan anak agar mampu hidup,
Masa Anak Kecil dan masa perkembangan tumbuh, berkembang dan berpartisipasi dalam
kemampuan mental, pengembangan fungsi- kehidupan mereka sendiri dan bangsa pada
fungsi tubuh, perkembangan emosional, bahasa umumnya maka hak anak tersebut harus dapat
bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis dijamin keberlangsungannya.
(•›˜£Š••Ž›ü1pertama dan tumbuhnya seksualitas Perlindungan Khusus adalah perlindungan
awal pada anak, pada usia 0 s/d 7 tahun, (2) yang diberikan kepada anak dalam situasi
9
6
www.kpai.go.id Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung :
7
Pasal 1 huruf a Undang-Undang Republik Š ”Š1 •’•Š–ŠðXVV\üð1‘ï1X_
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
10
Anak Pasal 1 huruf b Undang-Undang Republik
8
Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. (Bandung: CV Utomo, 2005), h. 16 Anak
138 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 134-145

darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, bagian hukum. Budaya hukum merupakan
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, bagian dari budaya umum kebiasaan, opini,
anak yang dieksploitasi secara ekonomii dan/ cara bekerja dan berpikir yang mengikat
atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak masyarakat untuk mendekat atau menjauh
yang menjai korban penyalahgunaan narkotika, dari hukum dengan cara khusus.12 Dari ketiga
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya komponen di atas, budaya hukum merupakan
(napza), anak korban penculikan, penjualan, komponen yang paling penting. Muladi melihat
perdagangan, anak korban nkekerasan baik budaya hukum sebagai sistem hukum yang
œ’”1•Š—1&Š•Šž1–Ž—•Š•ð1Š—Š”1¢Š—•1–Ž—¢Š—•Š—•1 abstrak (abstract system) yang merupakan the
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan climate of social force which determines how law
penelantaran.11 Dengan demikian anak yang is used, advoided or abused. Lebih lanjut, Muladi
berhadapan dengan hukum harus mendapatkan menulis bahwa tanpa budaya hukum ini sistem
perlindungan. hukum akan tidak berdaya, seperti ikan mati
Selanjutnya Pasal 64 Undang-Undang dalam keranjang, bukan sebagai ikan yang
Nomor 23 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: (1) berenang di lau. Dengan demikian, budaya
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan hukum harus merupakan bagian sentral dari
dengan hukum (Pasal 59) meliputi anak yang pembangunan bidang hukum.13
‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1‘ž”ž–1•Š—1Š—Š”1”˜›‹Š—1 Dengan memperhatikan kedua konsep
tindak pidana, merupakan kewajiban dan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat; budaya hukum berimplikasi terhadap jalannya
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang suatu proses hukum. Bahkan, dapat dikatakan
berhadapan dengan hukum sebagaimana budaya hukum akam mempengaruhi penolakan
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: dan penerimaan masyarakat terhadap suatu
(a) Perlakuan atas anak secara manusiawi peraturan hukum. Hal ini sangat penting
sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; diperhatikan, karena suatu peraturan hukum
(b) Penyediaan petugas pendamping khusus tanpa dukungan dari masyarakat, dapat
anak sejak dini; (c) Penyediaan sarana dan berakibat tidak berwibawanya peraturan
prasarana khusus; (d) Penjatuhan sanksi yang hukum tersebut. Dukungan ini hanya akan
tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; diperoleh apabila apa yang telah ditetapkan
(e) Pemantauan dan pencatatan terus menerus sebagai suatu peraturan hukum oleh pihak
terhadap perkem bangan anak yang berhadapan yang berkompeten, selaras dengan keyakinan
dengan hukum; (f) Pemberian jaminan untuk hukum masyarakat.
memperthankan hubungan dengan orang- Ditaatinya hukum menurut Bachsan Mustafa,
tua atau keluarga; dan (g) Perlindungan dari ada tiga sebab, yaitu: (1) Karena anggota-
pemberitaan identitas melalui media massa anggota masyarakat itu sendiri menghendaki
dan untuk menghindari labelisasi. agar peraturan-peraturan hukum diberlakukan
terhadap mereka, karena mereka menyadari akan
Karakteristik Budaya Hukum fungsi hukum, yaitu mengayomi, melindungi
Budaya hukum pertama kali diperkenalkan hak-hak hukum mereka, dan dapat memaksakan
oleh Lawrence M. Friedman, seorang sosiolog orang yang mempunyai kewajiban hukum,
hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan untuk memenuhi kewajibannya atas tuntutan
bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, orang yang berhak; (2) Karena anggota-
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya anggota masyarkat sangat berkepentingan
hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, 12
Lawrence M. Friedman, Legal System: A Social
budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation,
opini dalam masyarakat dengan penekanan 1975), h. 8
13
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
pada hukum, sistem hukum serta beberapa Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
11
Ibid., Pasal 1 huruf p Diponegoro, 1997), h. 88
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 139

akan berlakukanya perturan-peraturan hukum Karakter khas dari budaya hukum ini adalah,
tersebut. Yang dimaksud kepentingan di sini pertama, hukum tidak tertulis; kedua, senantiasa
adalah kepentingan sebagai keinginan atau mempertimbangkan dan memperhatikan
tuntutan yang manusia mencoba memenuhinya, kondisi psikologis anggota masyarakat hukum
baik secara perorangan, berkelompok, atau setempat; ketiga, senantiasa mempertimbangkan
dalam himpunan, yang karenanya harus perasaan hukum, rasa keadilan dan rasa butuh
diperhatikan oleh pihak yang mengatur hukum masyarakat; keempat, dibentuk dan
hubungan-hubungan antar manusia atau diberlakukan oleh masyarakat tempat hukum
menertibkan kelakukan manusia; (3) Karena itu hendak diberlakukan; kelima, pembentukan
hukum itu sebagai pernyataan kehendak dari itu lebih merupakan proses kebiasaan.17
pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1 Š—•1 Ž›”˜— ’”1 Ž—•Š—1
negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan Hukum Dalam Konteks Sosial Masyarakat
UUD 1945, yaitu: (a) Melindungi segenap bangsa
Bila seorang anak dilaporkan melakukan
Indonesia; (b) Memajukan kesejahteraan umum;
pelanggaran pidana, yang perlu dilakukan
(c) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) Ikut
adalah mengupayakan penelaahan yang
serta melaksanakan perdamaian dunia.14
baik oleh beberapa pihak dan profesi agar
Dalam masyarakat hukum yang sederhana, anak mendapatkan diversi. Bila diversi tidak
kehidupan masyarakat terikat ketat oleh memungkinkan sekurang-kurangnya dilakukan
solidaritas mekanis, persamaan kepentingan •’œ”›Žœ’ï1 Š•Š–1™Ž›œ˜Š•Š—1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1
dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih dengan hukum, harus diupayakan keadilan
menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum restoratif. Sedangkan dalam pencegahan
cenderung berbentuk tidak tertulis. Bentuk pelanggaran pidana pada anak dan remaja
hukum dikenal sebagai budaya hukum tidak hendaknya kita mengacu pada “Pedoman
tertulis (ž—1 ›’4Ž—1 •Š ) dan terdapat pada Riyadh”, yaitu Pedoman PBB bagi Pencegahan
masyarakat-masyarakat tradisional seperti Kenakalan Remaja. Dalam pedoman tersebut
pada masyarakat Anglo-Saxon, Britinia, dan disebutkan bahwa pencegahan kenakalan remaja
masyarakat-masyarakat tradisional lainnya, memerlukan upaya segenap masyarakat agar
seperti pada masyarakat Eskimo, Indian, dan mereka dapat berkembang secara harmonis
masyarakat hukum adat di Indonesia.15 dalam menumbuhkan kepribadiannya sejak usia
Budaya hukum ini, yang dipandang sebagai dini sampai masa remaja. Upaya pencegahan
budaya masyarakat Anglo-Saxon, kemudian kenakalan remaja dapat dilakukan melalui
ditarnsformasikan ke dalam bentuk hukum pendidikan nilai-nilai dasar budaya dan sosial
kebiasaan (customary law) atau kebiasaan hukum negaranya untuk mengembangkan kemanusiaan
(legal custom). Dalam perkembangannya, budaya dan peradaban.18
hukum Anglo-Saxon berkembang menjadi Penanganan hukum terhadap anak harus
tradisi common law, yang kemudian menjadi tetap memperhatikan beberapa hal, seperti
salah satu dari tradisi hukum besar dunia, aspek psikologis, mengedepankan sosialisasi
sedangkan hukum kebiasaan tetapa ada dan hukum, pendampingan psikologis, pemisahan
berkembang dalam masyarakat-masyarakat tempat penahanan hingga pendampingan
sederhana.16 Dalam bentuknya sebagai kebiasaan, pengacara. Beberapa hal tadi harus dilakukan
hukum dianggap tumbuh dan berkembang karena penanganan tanpa diimbangi program
dalam masyarakat. Hukum dibentuk dan terpadu terkait pendidikan, kesehatan, bimbingan
diberlakukan oleh dan di dalam suatu masyarakat. 17
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia
14 Ibid.
18
Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 210- Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif:
211 Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, (Pidato
15
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Kriminologi
Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 156- Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
157 Semarang, 18 Februari 2006), h. 29
16
Ibid., h. 157
140 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 134-145

psikologis, dan keterlibatan komunitas akan dilakukan tersebut tujuannya tidak hanya sebagai
mendorong kecenderungan anak untuk proses untuk membuktikan kesalahannya dan
mengulangi perbuatan yang melanggar hukum. apa akibat dari kesalahannya tersebut, jika
Untuk menjalankan beberapa langkah di atas, terbukti. Hal penting yang juga harus dicari
pemerintah perlu melakukan koordinasi lintas pembuktiannya adalah mengapa si anak
dinas khususnya dinas pendidikan, dinas melakukan penyimpangan tersebut serta apa dan
sosial, dan dinas kesehatan yang bekerja sama bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan
dengan aparat kepolisian. Di samping itu, baik oleh Pemerintah, masyarakat dan keluarga
harus juga melibatkan seluruh stakeholder dalam menanggulangi perilakunya itu.
terkait dan masyarakat. Hal ini diperlukan dan seharusnya menjadi
Namun, segala hal yang dilakukan akan nafas dalam suatu proses peradilan anak, karena,
percuma apabila tidak secara terbuka untuk apabila merujuk kepada keadaan mental dan
memahami anak dan hak-hak mereka. Maka, œ’”—¢Š1¢Š—•1‹Ž•ž–1–Š•Š—•ð1–Š”Š1œ’•žŠœ’ð1
pemahaman yang terbuka didasari kasih sayang keadaan atau pengaruh dari luar dirinya
terhadap anak-anak dan hak-hak mereka memiliki peranan lebih besar dibanding yang
akan memunculkan sikap, perlakuan dan berasal dari dirinya yang sebenarnya, sehingga
kebijakan yang lebih komperehensif terhadap anak memang tidak pada tempatnya untuk
anak, termasuk di dalamnya anak-anak yang dibebankan tanggungjawab atas apa yang
‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1‘ž”ž–ï1 Š‘”Š—1”Š•Šž1™Ž›•ž1 dia lakukan.
‘Š›žœ1–Ž—•‘’—•Š›’1•Š‹Ž•’œŠœ’1 Š—Š”1—Š”Š• 1Š•Šž1 Oleh karena itu dari aspek kebijakan kriminal
Š—Š”1“Š‘Š• ð1–Žœ”’™ž—1–Ž›Ž”Š1•Ž•Š‘1–Ž•Š”ž”Š—1 (criminal policy) perbuatan menyimpang yang
suatu kesalahan. Hal ini dapat mendorong dilakukan anak tidak dapat dan seharusnya
nilai-nilai positif pada diri anak dan bukan tidak disamakan dengan penyimpangan
sebaliknya. yang dilakukan orang dewasa. Penanganan
Anak yang melakukan kejahatan sebenarnya perkara tindak pidana yang dilakukan anak
tidak harus dijatuhi pidana, sebagaimana dengan demikian bukan hanya sekedar
dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 Undang- proses pembuktian kesalahannya tapi harus
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan dapat membuktikan tindakan-tindakan yang
Anak. Sebenarnya penjatuhan pidana yang berdasarkan situasi dan kondisi objektif si anak,
dilakukan seorang hakim, sebagai perampasan bukan atas dasar criminal mind yang datang
kemerdekaan terhadap seorang anak, harus dari dalam diri si anak.19
sebagai hal ultimum remedium, sebagai pilihan Peradilan bagi anak yang melakukan
terakhir dan pilihan ini tentu saja harus melalui penyimpangan pada hakikatnya bukan untuk
pertimbangan sangat matang dan melibatkan menghukum tapi bertujuan untuk memberikan
banyak pihak berkompeten dan itu juga harus kepentingan yang terbaik kepada anak (the best
diyakini bertujuan untuk memberikan atau interests of the child), kepentingan terbaik anak
dalam rangka kepentingan yang terbaik bagi adalah merupakan prinsip yang seharusnya
anak tersebut. Dan tentu mahfum, penjara melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan
Indonesia hari ini sangat tidak layak dalam yang dilakukan oleh siapapun. Pasal 3 Konvensi
konteks kepentingan terbaik bagi anak, baik Hak Anak menyebutkan, “Dalam semua
dilihat dari aspek infrastruktur dan fasilitasnya tindakan yang menyangkut anak- anak, baik
maupun petugasnya. Malah yang terjadi yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan
sekarang, penjara anak juga dijejali tahanan sosial Pemerintah atau swasta, pengadilan,
orang dewasa yang merupakan titipan karena para penguasa pemerintahan atau badan
penjara dewasa over kapasitas. legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi
Perlakuan khusus bagi anak sangat diperlukan pertimbangan utama.”
karena pada dasarnya proses hukum yang 19
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), h. 124
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 141

Daniel S.Lev, mengemukakan dua macam anak diberi kesempatan untuk rekonsiliasi
budaya hukum, yaitu nilai-nilai hukum acara dan penyembuhan dalam masyarakat yang
dan nilai-nilia hukum materiel. Nilai-nilai dirugikan oleh tindak pidananya.
hukum acara berhubungan dengan sarana Upaya keadilan restoratif sebenarnya sudah
™Ž—•Š•ž›Š—1œ˜œ’Š•1•Š—1™Ž—Š—•Š—Š•Š‘1”˜— ’”ï1 diawali sejak tahun 1970 di Ontario dan di
Nilai-nilai ini adalah dasar kultur dari sistem beberapa negara lain. Evaluasi program tersebut
hukum, dan mereka sangat membantu dalam memuaskan baik dalam hal partisipasi si korban,
menentukan sistem pemberian tempat kepada kerugian yang ditimbulkan, mengurangi
lembaga-lembaga hukum, politik, religi dan ketakutan korban, dan akhirnya juga mengurangi
lain-lain pada setiap saat dalam sejarah suatu perilaku kriminal oleh yang bersangkutan.21
masyarakat. Sedangkan nilai budaya hukum Pelaksanaan upaya ini masih harus diperjuangkan
materiel terdiri atas asumsi-asumsi fundamental di Indonesia.
mengenai penyebaran dan penggunaan
Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1™Ž›”Š›Š1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1
sumber-sumber di masyarakat, kebaikan dan
dengan hukum secara damai yang dilakukan
keburukan sosial dan sebagainya.20
oleh tersangka (keluarganyaa) dengan korban
Dalam konteks sosial masyarakat, penyelesaian melalui mediasi aparat kepolisian memang
”˜— ’”1•Ž‹’‘1•’•Š—•Šœ’1˜•Ž‘1™›’—œ’™1”Ž‹Ž›œŠ–ŠŠ—1 masih menimbulkan kontroversi. Ada yang
dan keterbukaan. Tidak heran apabila para berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan
pihak dituntut tampil sendiri menyelesaiakan dengan alasan bahwa secara yuridis formal,
”˜— ’”1¢Š—•1–Ž•’‹Š•”Š—1•’›’—¢Šï1 ’‘Š”1”Ž•’•Š1 tindakan aparat hukum yang tidak mengajukan
biasanya hanya tampil sebagai mediator di perkara ke pengadilan secara tegas melanggar
Š—•Š›Š1–Ž›Ž”Šï1 Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1”˜— ’”1•Š™Š•1 asas legalitas yang menghendaki setiap
berlangsung secara efektif dan tuntas. perkara pidana harus diajukan ke pengadilan.
Banyak perkara yang melibatkan masyarakat Demikian juga pendapat yang menyatakan
justeru tidak diajukan ke pengadilan karena bahwa fenomena penghentian perkara pidana
dianggap bertele-tele dan tidak tuntas. Lagi dengan alasan perdamaian sangat bertentangan
pula, cara ini tidak mempersoalkan tentang dengan asas oprtunitas. Karena yang berhak
menang-kalah (win lose solution), melainkan mengenyampingkan perkara hanyalah Jaksa
menghasilkan menang-menang ( ’—, ’—1œ˜•ž•’˜—). Agung sebagaimana yang tercantum dalam
Š•1’—’1–Ž›ž™Š”Š—1œŠ•Š‘1œŠ•ž1›Ž Ž”œ’1•Š›’1‹ž•Š¢Š1 Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor
hukum masyarakat yang cenderung mencari 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
keselarasan dengan melibatkan para pihak Indonesia, yang berbunyi “Jaksa Agung dapat
ketiga dalam proses pengambilan keputusan mengesampingkan perkara demi kepentingan
melalui jasa baik pihak ketiga. umum”.
Intervensi bagi pelaku tidak perlu melalui Apabila ditinjau dari segi legalistic-positivistik,
proses formal sehingga anak terhindar dari pendapat di atas adalah benar. Namun, demi
proses sistem peradilan. Bila anak terpaksa memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat,
harus menjalani proses peradilan sebaiknya hendaknya pengertian kepentingan umum dalam
anak dijauhkan dari pengaruh dan implikasi asas oportunitas tidak hanya ditekankan pada
negatif. Bentuk keadilan restoratif akan aspek kepentingan negara semata, melainkan
mendorong anak untuk bertanggung jawab harus pula meliputi aspek-aspek kepentingan
atas perbuatannya. Selain itu anak mendapat umum lainnya. Menurut van Bemmelen,
kesempatan mengganti kesalahan dengan kepentingan umum dalam kaitannya dengan
berbuat baik pada si korban dan memelihara kewenangan deponir tersebut mengandung
hubungan dengan keluarga korban. Pada akhirnya tiga makna, yaitu: (1) Demi kepentingan
20
A.A.G. Peters, Hukum dan Perkembangan Sosial,
Negara, yaitu apabila penuntutan dilakukan
Buku Teks Sosiologi Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar berakibat suatu pengumuman (openbaring)
21
Harapan, 1988), h. 193 Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif , h. 26
142 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 134-145

yang tidak dikehendaki dari rahasia negara. lanjut Chairul Huda mengatakan bahwa
Artinya, apabila suatu penuntutan dilakukan diversion tidak mementingkan dikeluarkannya
akan berakibat kerugian besar terhadap negara putusan pengadilan (pidana). Diversion
(pemerintah); (2) Demi kepentingan masyarakat, bukan berarti menghindarkan terdakwa dari
yaitu penyampingan perkara demi kepentingan penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan,
masyarakat terjadi apabila tidak dituntutnya dengan mengupayakan penjatuhan hukuman
suatu perbuatan pidana karena secara sosial alternatif. Namun lebih jauh lagi, diversion
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk yang menghindarkan terdakwa dari proses
dalam kategori ini perubahan nilai/pandangan peradilan pidana. Dalam teori diversion yang
di dalam masyarakat terhadap pantas tidaknya dilakukan oleh polisi disebut sebagai police
suatu perbuatan dijatuhi pidana; (3) Demi coution.24 Andrew Sander menekankan bahwa
kepentingan pribadi, yaitu penyampingan perkara sistem peradilan pidana bertujuan menghindari
demi kepentingan pribadi terjadi apabila suatu adanya stigma. Polisi memilih anak-anak yang
perkara dianggap bukan tindak pidana serius melakukan tindak pidana untuk ditawarkan
dan si pelaku telah membayar ganti kerugian. mengadkan perbaikan terhadap korban (minta
Dalam hal ini masyarakat tidak mempunyai maaf, ganti rugi). Jika disepakati, maka proses
kepentingan dengan melakukan penuntutan pidana tidak dilanjutkan. Kelemahan sistem ini
terhadap pelaku. Artinya, keuntungan yang cukup membahayakan, yaitu dapat membuat
diperoleh dari penuntutan tidak seimbang polisi sebagai penuntut umum, hakim dan
dengan kerugian yang timbul terhadap pelaku sekaligus pelaksana putusan.
dan masyarakat.22 Dengan demikian, maka apabila penerapan
Dengan melihat dasar tersebut, ada pendapat diversion tidak dilaksanakan secara hati-hati,
bahwa penyelesaian tindak pidana secara artinya hanya bertumpu pada kepentingan
damai dapat dibenarkan dengan alasan: (1) negara saja, maka akan terkesan bahwa
Perdamaian untuk menyelesaikan suatu penyampingan perkara seolah hanya ditujukan
perkara pidana, sejauh perkara tersebut belum pada kasus-kasus tertentu yang berkaitan
diajukan ke pengadilan, merupakan suatu hal dengan kepentingan pemerintah saja. Kondisi
yang regular terjadi, oleh karenanya dapatlah ini dapat menimbulkan disparitas yang dapat
hal ini disebut regularity; (2) Sikap tindak ajeg mendesak asas fundamental dalam hukum
(regulatary) ini, merupakan pemantulan dari acara pidana yaitu asas persamaan di muka
budaya hukum (legal culture) yang hidup hukum (equality before the law). Disinilah dituntut
dalam masyarakat; (3) Perdamaian di sini keberanian dan kepekaan dari aparat penegak
dapatlah diartikan sebagai suatu hubugan hukum untuk melakukan penemuan hukum
yangs serasi (harmonis) antara mereka yang (rechtsvinding) guna memenuhi rasa keadilan
berperkara, yang berorientasi pada keadilan masyarakat.
dan kebenaran.23
Menurut Chairul Huda, dewasa ini sistem Menghindarkan Anak Dari Labeling
peradilan pidana diberbagai negara, telah Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1
diterima secara resmi pandangan bahwa hukum tidak selamanya membuat efek jera
peradilan pidana bukanlah satu-satunya cara terhadap anak. Banyak perkara anak yang
menyelesaikan masalah kejahatan. Bahkan suatu diselesaikan melalui pengadilan justeru
penyimpangan (diversion) yang dilakukan membuat pertumbuhan dan perkembangan
oleh polisi dan penuntut umum terhadap anak terganggu terutama secara psikologis,
kejahatan sering dianggap lebih baik. Lebih walaupun penyelesaiannya itu tiak berujung
22
(Hendi Suhendi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan pada pemidanaan. Selama proses peradilan
Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1986), h. 156-
24
157 Chairul Huda, “Kedudukan Subsistem Kepolisian
23
Kamal Firdaus, Seraut Wajah Hukum, (Bandung : Dalam Sistem Peradilan Pidana,” Jurnal Hukum, No. 12
Alumni, 1980), h. 34 Vol. 6, 1999, h. 142
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 143

(sejak di kepolisian sampai di pengadilan) pada penyimpangan primer. Para ahli teori
saja sudah terbentuk stigma jahat (label) yang label mengemukakan bahwa penyimpangan
dilekatkan oleh masyarakat terhadap anak sekunder adalah yang paling penting, karena
¢Š—•1 ‹Ž›”˜— ’”1 •Ž—•Š—1 ‘ž”ž–ï1 Ž ŠœŠ1 merupakan proses interaksi antara orang yang
ini perkembangan pemberian label yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini
dikemukakan masyarakat semakin meningkat. sering disebut teori interaksi.
Biasanya label yang dikemukakan masyarakat Lebih lanjut F.M. Lemert mengatakan,
adalah label yang negatif dan sasarannya teori labeling adalah penyimpangan yang
adalah individu yang dianggap menyimpang. disebabkan oleh pemberian cap/ label dari
Individu yang rentan terhadap label adalah masyarakat kepada seseorang yang kemudian
anak, dimana pada masa anak adalah masa cenderung akan melanjutkan penyimpangan
pencarian identitas dan pada masa ini anak tersebut. Lahirnya teori labeling, diinspirasi
harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan
kebingungan identitas. telah berkembang sedemikian rupa dengan
Menurut Howard S. Becker, kajian terhadap riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai
teori label menekankan kepada dua aspek, bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental,
yaitu: (1) Menjelaskan tentang mengapa dan kesehatan dan pendidikan. Teori labelling
bagaimana orang-orang tertentu diberi cap dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme
atau label; (2) Pengaruh/efek dari label sebagai simbolik dari Herbert Mead. Kemudian
suatu konsekuensi penyimpangan tingkah dikembangkan oleh Howard Becker pada
laku.25 Dengan demikian, reaksi masyarakat tahun 1963. Labeling bisa juga disebut sebagai
terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan penjulukan/pemberian cap. Awalnya, menurut
perilaku jahat. Kemudian F.M. Lemert, terkait Teori Struktural devian atau penyimpangan
dengan masalah kejahatan yang dilakukan, dipahami sebagai perilaku yang ada dan
membedakan tiga bentuk penyimpangan, merupakan karakter yang berlawanan dengan
yaitu: (1) Individual deviation, dimana timbulnya norma-norma sosial. Devian adalah bentuk
penyimpangan diakibatkan tekanan psikis dari dari perilaku. Howard Becker menyatakan
dalam; (2) Situational deviation, sebagai hasil bahwa label kriminal biasanya akan melekat
stres atau tekanan dari keadaan; (3) Systematic pada orang yang pernah menjalani sidang
deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan peradilan. Walaupun mungkin pada akhirnya
terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem mereka diputuskan tidak bersalah.27
tingkah laku.26 Š‹Ž•’—•1 Š•Š•Š‘1 œŽ‹žŠ‘1 •Ž —’œ’1 ¢Š—•1
Kemudian F.M. Lemert membedakan antara ketika diberikan pada seseorang akan menjadi
penyimpangan primer (primary deviance) dan identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan
penyimpangan sekunder (secondary deviance). orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan
Penyimpangan primer muncul dalam konteks memberikan label pada diri seseorang, kita
sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan cenderung melihat dia secara keseluruhan
hanya mempunyai efek samping bagi struktur kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya
œ’”1’—•’Ÿ’•žï1 Š•Š1•ŠœŠ›—¢Šð1™Ž—¢’–™Š—•Š—1 satu per satu.
primer tidak mengakibatkan reorganisasi Biddulph S. dan B. Steve dalam bukunya
simbolis pada tingkat sikap diri dan peran Raising a Happy Child banyak ahli yang setuju,
sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku bahwa bagaimana seseorang memandang
menyimpang atau peran sosial yang berdasar dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi
25
Lilik Mulyadi, Kajian Kritis Dan Analitis Terhadap dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang
’–Ž—œ’1 Ž˜›’, Ž˜›’1 ›’–’—˜•˜•’1 Š•Š–1 Ž›œ™Ž”•’•1 •–ž1 hidupnya. Anak yang memandang dirinya
Pengetahuan Hukum Pidana Modern, (Malang: Tanpa
Penerbit,2009), h. 16
baik akan mendekati orang lain dengan rasa
26
K. Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga percaya dan memandang dunia sebagai tempat
27
Penerbit FEUI, 2004), h. 26 Ibid., h. 28
144 | de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013, hlm. 134-145

yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya Dengan demikian, maka para penegak


akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa hukum seharusnya mengambil tindakan dari
dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan sudut pandang empatis. Bukan melulu melihat
cenderung memilih jalan yang mudah, tidak mereka sebagai penjahat, melainkan sebagai
berani mengambil resiko dan tetap saja tidak ”˜›‹Š—ï1 ˜›‹Š—1”Ž•’•Š”•Š‘žŠ—1Š”Š—1•Ž —’œ’1
berprestasi. Anak yang diberi label negatif perilaku mereka, korban kondisi ekonomi
dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, yang memaksa mereka, bahkan korban dari
cenderung bertindak sesuai dengan label yang kebijakan penguasa. Sejauh mingkin harus
melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai •’‘’—•Š›’1™Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1
labelnya, orang akan memperlakukan dia dengan hukum melalui jalur pengadilan, karena
juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus seperti yang tersebut di atas, proses peradilan
melingkar yang berulang-ulang dan semakin akan berpotensi membentuk kepribadian anak
saling menguatkan terus-menerus.28 yang semakin mengarah kepada devian. Jika
Bagi anak-anak pengalaman mendapatkan sudah demikian, maka tujuan dari sistem
label tertentu (terutama yang negatif) memicu peradilan pidana yang berupa “mengusahakan
pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi tidak mengulangi kejahatannya” tidak akan
oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat pernah tercapai.
menghancurkan kemampuan berinteraksi,
mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh Penutup
negatif terhadap kinerja seseorang dalam Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1
kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya. hukum dalam konteks sosial masyarakat dapat
Bagi anak penting untuk merasa bahwa dilakukan dengan cara penyelesaian diluar
dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini pengadilan dengan prinsip kebersamaan
ditemukan olehnya lewat respon orang-orang dan keterbukaan serta melibatkan semua
disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya pihak yang terkait seperti korban, pelaku
positif tentunya tidak perlu dicemaskan dan pihak ketiga baik yang berasal dari tokoh
akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar masyarakat maupun dari lembaga penegak
si anak tersebut, tidak dapat menahan diri seperti kepolisian, dimana pihak ketiga tersebut
sehingga menunjukkan respon-respon negatif bertindak sebagai mediator. Penyelesaian
seputar anak tersebut. Walaupun sesungguhnya cara ini jauh lebih menguntungkan bagi
orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan perkembangan dan pertumbuhan anak baik
respon-responnya, namun tanpa disadari œŽŒŠ›Š1 œ’”1–Šž™ž—1œŽŒŠ›Š1™œ’”˜•˜•’œï1 Ž—•Š—1
hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, •Ž–’”’Š—ð1–Š”Š1Š—Š”1¢Š—•1‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1
masuk dalam hati dan pikiran seorang anak hukum akan terhindar dari cap/label/stigma
dan berpengaruh dalam kehidupannya. negatif dari masyarakat sekitarnya. Karena
Terutama dalam pembentukan identitas si bagaimanapun kehidupan bermasyarakat anak
anak tersebut. akan terjamin baik jika pandangan masyarakat
terhadap anak tersebut baik pula. Penegak
hukum sejauh mungkin menghindari jalur
formal dalam proses penyelesaian anak yang
‹Ž›”˜— ’”1•Ž—•Š—1‘ž”ž–1”Š›Ž—Š1•’•Š”1Š•Š1
jaminan penyelesaian melalui jalur formal akan
tercapai tujuan-tujuan dari sistem peradilan
pidana.

28
Martina Rini S. Tamin, Label menyebabkan individu
menjadi devian, ‘4™://www.e-psikologi.com
Achmad Ratomi, Ž—¢Ž•ŽœŠ’Š—1 —Š”1¢Š—•1 Ž›”˜— ’” ... | 145

DAFTAR PUSTAKA Mulyadi, Lilik, Kajian Kritis Dan Analitis Terhadap


’–Ž—œ’1 Ž˜›’, Ž˜›’1 ›’–’—˜•˜•’1 Š•Š–1
Firdaus, Kamal. Seraut Wajah Hukum, Bandung
Perspektif Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana
: Alumni, 1980
Modern, Malang: Tanpa Penerbit, 2009
Friedman, Lawrence M. Legal System: A Social
Mustafa, Bachsan. Sistem Hukum Indonesia
Science Perspective, New York : Russel
Terpadu, Bandung: Citra Aditya Bakti,
Sage Foundation, 1975
2003
Hadisuprapto, Paulus. Peradilan Restoratif : Model
Peters, A.A.G. Hukum dan Perkembangan Sosial,
Peradilan Anak Indonesia Masa Datang,
Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta:
Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam
Pustaka Sinar Harapan, 1988
Bidang Kriminologi Pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum
Februari 2006 Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar
Maju, 2003
Huda, Chairul. “Kedudukan Subsistem Kepolisian
Dalam Sistem Peradilan Pidana,” Jurnal Suhendi, Suhendi. Bunga Rampai Hukum
Hukum, No. 12 Vol. 6, 1999 Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986
Kurniasari, Alit. •ž•’1 Ž—Š—•Š—Š—1 —Š”1 Ž›”˜— ’”1
dengan Hukum, Jakarta : Departemen Sunarto, K, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga
Sosial RI, 2008 Penerbit FEUI, 2004
Krisnawati, Emeliana, Aspek Hukum Perlindungan Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak.
Anak. Bandung : CV Utomo, 2005 Š—•ž—•1ñ1 Š ”Š1 •’•Š–Š
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Tasmin, Martina Rini S, Label menyebabkan
Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit individu menjadi devian, ‘4™://www.e-
Universitas Diponegoro, 1997 psikologi.com.
--------, dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Tim KPAI, Indonesia Negara Terbanyak Memidanakan
Hukum Pidana, Bandung : Alumni, Anak, Kompas, Kamis 16 Juli 2009.
2007 www.kpai.com. Penanganan Kasus Kriminal
Anak

Anda mungkin juga menyukai