Anda di halaman 1dari 4

Tahapan Sejarah Perkembangan Perekonomian

Soekarno (1945-1967)

INDONESIA mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama
yakni penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase
krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita Indonesia
sebesar Rp 5.523.863.
Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74 persen. Setahun
berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74 persen. Lalu, pada 1963,
pertumbuhannya minus 2,24 persen.
Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi.
Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi
melambung atau hiperinflasi sampai 600 persen hingga 1965.
Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke angka positif pada 1964,
yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu masih positif meski turun menjadi
1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia tumbuh 2,79 persen.

Soeharto (1967-1998)

MASA kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia
hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya.
Ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia
mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU
ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.
Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang
mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga
tembus 10,92 persen pada 1970.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih
terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia
tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen.
Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan
dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos.
Kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden.
Kondisinya keropos.
Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70 persen perekonomian dikuasai
pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos
itu tak bisa menopang perekonomian nasional.
"Ketika krisis, pemerintah kehilangan pijakan, ya bubarlah perekonomian Indonesia karena sangat
bergantung pada pemerintah," kata Lana.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat penutup
defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi
tinggi hingga 80 persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu
saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13
persen.
Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter
Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan
kebijakan ekonomi di segala lini.

BJ Habibie (1998-1999)

PEMERINTAHAN Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi.


Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi
pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999.
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa
perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp
16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.

Abdurrahman Wahid
(1999-2001)

ABDURRAHMAN Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak


pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen
pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah
membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan
pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat
menjadi 3,64 persen.

Megawati Soekarnoputri
(2001-2004)

PADA masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap


terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari
3,64 persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan
Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4 persen
pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa
proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga
menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi
repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya
pelaku-pelaku ekonomi.

Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

MESKI naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo


Bambang Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di
awal pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005.
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di tahun
berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya 6,35 persen.
Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun tipis ke angka 6,01
persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga tinggi sehingga
neraca perdagangan lumayan berimbang.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY,
ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY,
ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak hanya dirasakan
Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed)
menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas global naik.
"Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga komoditas melambat
lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita memang tinggi, tapi impornya lebih tinggi,"
tambah dia.
Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun
melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di dunia.
Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen.
Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka
panjang.
Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas
6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu,
dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.

Joko Widodo (2014-Sekarang)

PADA masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi
merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan
melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan
Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus
melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen.
"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang cenderung
turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa
pengawasan dalam implementasinya.
Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita
yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga.
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan
ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal
I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.
Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang
sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-
2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya.
Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank
Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan
berada di batas bawah 5 persen.
Namun, fakta mendapati, ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh 5,17 persen. Ini menjadi
pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang
utama dengan porsi 5,08 persen.

Anda mungkin juga menyukai