Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Thoraks

2.1.1 Definisi trauma thoraks

Trauma thoraks adalah trauma tumpul atau tajam yang mengenai dinding thoraks baik

secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organ didalamnya. Terbanyak mengenai

rongga pleura dan parenkim paru. Pada rongga pleura tersering adalah pneumothoraks dan

hematothoraks, sedangkan pada parenkim paru meliputi kontusio, laserasi dan hematoma

parenkim paru (Mattox et al, 2013; Eckstein and Handerson, 2014; Lugo et al, 2015).

2.1.2 Epidemiologi trauma thoraks

Trauma thoraks di Negara Amerika Serikat menyebabkan lebih dari 16.000 kematian setiap

tahunnya atau 20 hingga 25 persen kematian karena trauma yang disebabkan oleh trauma thoraks.

Kejadian ini cukup besar dan terbanyak terjadi dijalan karena kecelakaan lalu-lintas. Trauma

thoraks yang ditemukan menjadi penyebab kematian, seperti: tension pneumothoraks, tamponade

jantung, dan perdarahan intra-thoraks yang tidak terkendali (Saaiq et al, 2010; Eckstein and

Handerson, 2014; Shah and Solanki, 2015).

Trauma tumpul di Negara Australia 45 persen mengenai thoraks dan menyebabkan juga

peningkatan angka kematian seperti di Negara Amerika Serikat. Terbanyak disebabkan oleh flail

chest sebesar 69 persen, kemudian kontusio pulmonum 56 persen, hematothoraks 42 persen dan

pneumothoraks 38 persen (Mefire et al, 2010; Saaiq et al, 2010).

Di daerah Timur Tengah Arab menilai presentasi klinis dan mortalitas berbasis waktu dari
5
trauma tumpul thoraks. Berdasarkan mekanisme trauma didapatkan mayoritas dari korban
kecelakaan lalu lintas adalah laki - laki muda. Ditemukan kontusio paru merupakan tipe trauma

tumpul thoraks yang paling umum, diikuti oleh fraktur kosta. Penelitian tersebut telah

mengobservasi suatu proporsi cedera ekstra-thoraks yang lebih tinggi di antara pasien trauma

tumpul thoraks, dimana hal ini dapat meningkatkan risiko komplikasi. Adanya trauma kepala

dipertimbangkan sebagai prediktor tunggal mortalitas dan trauma pada hepar atau lien juga

meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat (Al-Eassa et al, 2013; El-Menyar et al, 2016).

2.1.3 Etiologi trauma thoraks

Trauma thoraks terdiri dari trauma tumpul dan tajam dimana angka kejadian trauma tumpul

terbanyak sekitar 75 hingga 80 persen dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera

ekstra-thoraks. Penyebab tersering karena kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 63 hingga 78

persen. Terdapat tiga mekanisme trauma yang menyebabkan trauma tumpul thoraks, yaitu trauma

langsung pada thoraks, cedera akibat penekanan ataupun deselarasi. Sedangkan pada trauma tajam

dibedakan menjadi tiga berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma

tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti tembakan senjata

militer. Penyebab trauma lainnya adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru yang bisa

menyebabkan pneumothoraks seperti pada aktivitas menyelam. Oleh karena itu harus

dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola

trauma berbeda (Saaiq et al, 2010; Ekpe and Eyo, 2014).

2.1.4 Anatomi dan fisiologi thoraks

Thoraks berbentuk kerucut dimana pada bagian bawah berukuran lebih besar dibandingkan

atas dan bagian belakang lebih panjang dibandingkan depan. Dibagi dalam 4 komponen, yaitu

dinding thoraks, rongga pleura, parenkim paru dan mediastinum. Dalam dinding thorak termasuk

tulang dan otot yang terkait. Kerangka terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang
kosta yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.

Tulang dan otot pernafasan menyokong dan membentuk dinding thoraks serta berfungsi

melindungi organ vital seperti jantung, paru, hati dan lien. Rongga pleura berada diantara pleura

viseralis dan parietalis. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan.

Mediastinum termasuk jantung, aorta atau pembuluh darah besar dari thoraks, cabang

trakeobronkial dan esofagus (Eckstein and Handerson, 2014; Lugo et al, 2015).

Dinding thoraks diperlukan untuk ventilasi pernapasan normal. Pengembangan ke arah luar

dari dinding thoraks oleh otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma yang menghasilkan

tekanan negatif dari intra-thoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif keparu selama

inspirasi sehingga terjadi pertukaran oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh

(Drake et al, 2010; Assi and Nazal, 2012; Ombregt, 2013; Netter, 2014).
Gambar 2.1 Anatomi thoraks anterior view (Sobotta, 2007)

2.1.5 Patofisiologi trauma thoraks

Secara klinis trauma thoraks dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain mekanisme dari

trauma, luas, lokasi, trauma lain yang menyertai dan penyakit komorbid yang dimiliki. Akan

terjadi gangguan fungsi respirasi dan secara sekunder berhubungan dengan disfungsi jantung,

sehingga tatalaksana pada trauma thoraks akan mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi

normal, menghentikan pendarahan dan mencegah sepsis (Saaiq et al, 2010; Eckstein and

Handerson, 2014; Lugo et al, 2015).


Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma thoraks mulai dari ringan hingga berat

tergantung pada besar kecilnya gaya dari trauma. Kerusakan yang ringan pada dinding thoraks

berupa fraktur kosta simpel, sedangkan lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan

komplikasi pneumothoraks, hematothoraks atau kontusio pulmonum. Lebih dalam lagi dapat

menyebabkan robekan pada pembuluh darah besar atau trauma langsung pada jantung. Selain

kerusakan anatomi didapatkan juga gangguan pada fungsi fisiologi dari sistem repirasi dan

kardiovaskular. Gangguan sistem respirasi berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi

atau gangguan mekanik alat pernafasan, sedangkan gangguan sistem kardiovaskular merupakan

penyebab terbanyak kematian pada trauma thoraks (Saaiq et al, 2010; Mattox et al, 2013; Lugo et

al, 2015).

Kontusio atau hematoma pada dinding thoraks paling sering terjadi sebagai akibat dari

trauma tumpul dinding thoraks. Robekan pada pembuluh darah kulit, subkutan dan otot

menyebabkan hematoma ekstrapleura tapi tidak membutuhkan tindakan pembedahan karena

jumlah darah yang cenderung sedikit (Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015).

Fraktur pada kosta disebabkan oleh trauma tumpul langsung pada dinding thoraks dengan

angka kejadian 35 hingga 40 persen dari seluruh trauma thoraks. Karakteristik fraktur tergantung

dari lokasi dan besarnya gaya dari trauma (Saaiq et al, 2010; Milisavljevic et al, 2012). Gejala

yang spesifik adalah rasa nyeri yang meningkat terutama saat bernafas dalam, bergerak atau batuk.

Hal ini yang dapat meningkatkan risiko terjadinya atelektasis atau pneumonia karena pasien akan

berusaha mengurangi pergerakan atau hanya bernafas dangkal (Novakov et al, 2014; Lin et al,

2015; Lugo et al, 2015). Sedangkan pada kasus flail chest dimana kosta – kosta yang berdekatan

patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada area kostokondral. Keadaan klinis akan

tampak pernafasan yang paradoksal pada dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi. Dengan
angka kejadian sekitar 5 persen dari seluruh trauma thoraks. Menegakkan diagnosa fraktur kosta

dan flail chest dengan pemeriksaan fisik dan dapat dikonfirmasi melalui rontgen thoraks (Wanek

and Mayberry, 2004; Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015).

Gambar 2.2 Flail chest (ATLS, 2012)

Fraktur sternum disebabkan oleh trauma tumpul pada thoraks dengan gaya yang sangat

besar dan disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai,

umumnya adalah kontusio miokardium (Milisavljevic et al, 2012).

Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura yang dapat disebabkan oleh

trauma maupun non-trauma. Pada kasus trauma dapat disebabkan oleh fraktur kosta atau

peningkatan tekanan intra-alveolar akibat kompresi thoraks secara mendadak. Fraktur kosta

menjadi penyebab terbanyak dimana menyebabkan laserasi dari pleura parietalis maupun viseralis.

Sedangkan trauma tumpul yang menyebabkan kompresi mendadak pada thoraks meningkatkan

tekanan intra-alveolar sehingga terjadi ruptur alveolus. Selain itu dapat juga terjadi ketika adanya

peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan

peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea atau bronchial tree tempat dimana bronkus

lobaris bercabang sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Pneumothoraks yang
tidak mendapatkan penanganan cepat dapat berkembang menjadi tension pneumothoraks yang

mengakibatkan peningkatan risiko mortalitas. Terjadi pendesakan mediastinum kearah

kontralateral, menurunnya venous return dan menekan paru kontralateral (Milisavljevic et al,

2012; Lugo et al, 2015).

a b

Gambar 2.3 Pneumothoraks (a); tension pneumothoraks (b) (ATLS, 2012)

Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura yang disebabkan oleh trauma pada

dinding thoraks, diafragma, paru – paru atau mediastinum. Terbanyak karena trauma tumpul dan

37 hingga 58 persen bersamaan dengan pneumothoraks atau hemopneumothoraks (Milisavljevic

et al, 2012; Lugo et al, 2015). Hematothoraks dikatakan masif bila drainage darah mencapai 1000

mililiter atau 100 mililiter per-jam dan lebih dari 4 jam pada kasus akut. Segera dilakukan

thoracotomy emergensi karena sangat berisiko mengancam nyawa bahkan kematian (Cobanoglu

et al, 2012).
Gambar 2.4 Hematothoraks masif (ATLS, 2012)

Kontusio pulmonum adalah kerusakan parenkim paru, edema interstitial atau hematoma

yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru yang disebabkan oleh trauma thoraks,

terutama oleh trauma tumpul thoraks. Kontusio lebih dari 30 persen pada parenkim paru

membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015).

Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul thoraks tergantung terutama pada tingkat

keparahan trauma dan adanya keterkaitan dengan sistem organ lainnya (Huber et al, 2014; El-

Menyar et al, 2016).

2.1.6 Tatalaksana trauma thoraks

Manajemen awal untuk pasien trauma thoraks tidak berbeda dengan pasien trauma lainnya

meliputi: airway patency with care of cervical spine, breathing adequacy, circulatory support,

disability assessment dan exposure without causing hypothermia (Saaiq et al, 2010; Lugo et al,

2015; Unsworth et al, 2015).

Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus dilakukan.

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang mengancam nyawa dengan
segera, seperti obstruksi jalan napas, tension pneumothoraks, hematothoraks masif, tamponade

pericardial dan flail chest. Begitu kondisi yang mengancam nyawa telah ditangani maka

pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest

survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut:

kontusio pulmonum, kontusio miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik, disrupsi

trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq et al, 2010; Lugo et al, 2015).

Pasien dengan tension pneumothoraks harus segera dilakukan dekompresi dengan jarum

thorakosintesis dilanjutkan tindakan definitif thorakostomi. Diagnosa dapat ditegakkan cukup

secara klinis, sedangkan rontgen thoraks akan menunda tatalaksana tindakan medis yang harus

segera dilakukan (Saaiq et al, 2010; Lugo et al, 2015).

Pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia atau takipneu berat dengan ancaman gagal nafas

merupakan indikasi utama untuk dilakukan intubasi endotrakeal dan mengunakan ventilator

sebagai support pernafasan. Hal ini didapatkan dari pasien dengan kontusio pulmonum berat dan

atau disertai flail chest (Saaiq et al, 2010; Lugo et al, 2015).

2.2 Thorakostomi

2.2.1 Sejarah thorakostomi

Tindakan thorakostomi dapat dilakukan pada pneumothoraks, hematothoraks,

hemopneumothoraks, empiema atau efusi pleura. Merupakan tindakan bedah minor yang

terbanyak dilakukan pada thoraks dan menjadi prosedur life-saving. Sebelumnya thorakostomi

telah dikenal sejak Abad ke-lima SM oleh Hippocrates guna drainage empiema dan pertama kali

dipublikasikan oleh Hewett pada tahun 1876. Pengunaan thorakostomi mulai diterima sebagai

standar tatalaksana untuk trauma thoraks seperti pneumothoraks, hematothoraks dan

hemopneumothoraks pada tahun 1950-an setelah pengunaan thorakostomi pada Perang Dunia ke-
II serta perang Vietnam yang berkembang menjadi standar manajemen trauma thorak di rumah

sakit umum maupun militer (Hewett, 1876; Monaghan and Swan, 2008; Kesieme et al, 2012).

Pada tahun 1968, Heimlich membuat flutter valve yang dihubungkan dengan selang

thorakostomi dan menganti botol drainage yang tidak praktis. Ini memberikan keuntungan, seperti:

steril, sederhana dan aman (Heimlich, 1968; Heimlich, 1983). Survei yang dilakukan tahun 1974

mengenai sistem drainage, seperti: satu atau multipel botol, unit plastik atau kaca, buatan sendiri,

semuanya dapat menjadi pilihan untuk digunakan (Munnell and Thomas, 1975).

Gambar 2.5 Heimlich valve (Kuhajda et al, 2014)

Pada tahun 1975 di produksi selang thorakostomi dalam beberapa ukuran, pada dewasa

berukuran 28Fr, 32Fr dan 36Fr sedangkan anak berukuran 16Fr, 20Fr dan 24Fr (Munnell, 1997).

Dibuat dari plastik bening (vinyl atau silastic) dengan ujungnya terdiri dari beberapa lubang yang

efektif untuk drainage cairan atau udara, serta memiliki centimeter marking guna mengatur

kedalaman insersi. Dan memiliki strip radiopaque yang akan terlihat pada rontgen thoraks.

Kemajuan teknologi membuat selang thorakostomi dimodifikasi dengan mengunakan trochar


untuk mempermudah masuknya selang menembus otot interkosta hingga rongga pleura secara

akurat (Mahmood and Wahidi, 2013).

2.2 2 Teknik thorakostomi

Teknik pemasangan selang thorakostomi, sebagai berikut (ATLS, 2012; Kuhajda et al,

2014):

1. Pasien diposisikan tidur terlentang dengan membentuk sudut 450 atau posisi duduk, hal ini

untuk mengurangi risiko diafragma naik atau salah masuknya selang thorakostomi kedalam

rongga abdomen. Kemudian tangan diposisikan abduksi dan eksternal rotasi pada sisi yang

akan dipasang, telapak tangan diletakkan dibelakang kepala.

2. Dilakukan desinfeksi dengan menggunakan povidon iodin 10 persen dan penutupan

lapangan operasi dengan doek steril. Dilanjutkan identifikasi interkosta ke-V dan

midaxillary line, rencana insisi kulit dilakukan antara midaxillary dan anterior axillary line,

diatas kosta. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2 persen sebanyak 10 ml secara

infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura.

Gambar 2.6 Injeksi lidocaine (Kuhajda et al, 2014)


3. Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit, kemudian dipasang

jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan mengunakan benang silkblack no.

0.1.

4. Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung jaringan bawah kulit

dibebaskan sampai pleura secara pelan pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan,

berarti pleura parietalis sudah terbuka atau pada hematothoraks akan segera menyemprot

keluar darah dan pada pneumothoraks udara yang keluar.

Gambar 2.7 Diseksi secara tumpul hingga menembus pleura


(Kuhajda et al, 2014)

5. Selang thorakostomi dengan trocharnya dimasukkan melalui lubang kulit tersebut kearah

cranial lateral. Bila memakai selang tanpa trochar maka ujung selang dijepit dengan klem

tumpul dan untuk memudahkan mengarahkan selang. Kemudian didorong masuk sambil

diputar sedikit kearah lateral sampai ujungnya kira-kira ada dibawah apeks paru.
Gambar 2.8 Insersi selang thorakostomi (Kuhajda et al, 2014)

6. Setelah selang thorakostomi pada posisi, maka diikat dengan benang pengikat berputar

ganda, diakhiri dengan simpul hidup.

7. Sebelum selang thorakostomi dihubungkan dengan sistem botol penampung, maka harus

diklem dahulu kemudian dihubungkan dengan sistem botol penampung yang akan

menjamin terjadinya kembali tekanan negatif pada rongga intrapleural.

Ujung akhir selang thorakostomi dari thoraks pasien dihubungkan ke dalam satu botol yang

memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara

maupun cairan kembali ke dalam. Secara fungsional, drainage tergantung pada gaya gravitasi dan

mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan

di dalam botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga dada,

dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya. Sistem satu botol digunakan pada

kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya membutuhkan gaya gravitasi saja untuk

mengeluarkan isi pleura. Water seal dan penampung drainage digabung pada satu botol dengan

menggunakan katup udara. Katup udara digunakan untuk mencegah penambahan tekanan dalam

botol yang dapat menghambat pengeluaran cairan atau udara dari rongga pleura. Karena hanya

menggunakan satu botol yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat mengurangi
daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada rongga intrapleura tidak dapat dikeluarkan (Luci

et al, 1984).

Gambar 2.9 Botol water seal drainage. Sistem 1 botol (a), 2 botol (b), 3 botol (c) (Luci et al,
1984)

Sistem dua botol menggunakan dua botol yang masing-masing berfungsi sebagai water

seal dan penampung. Botol pertama adalah penampung drainage yang berhubungan langsung

dengan pasien dan botol kedua berfungsi sebagai water seal yang dapat mencegah peningkatan

tekanan dalam penampung sehingga drainage dapat dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini

jumlah drainage dapat diukur secara tepat (Luci et al, 1984).

Sistem tiga botol menggunakan 3 botol yang masing-masing berfungsi sebagai

penampung, "water seal" dan pengatur yang mengatur tekanan penghisap. Jika drainage yang

ingin, dikeluarkan cukup banyak biasanya digunakan suction dengan tekanan sebesar 20 cmH20

untuk mempermudah pengeluaran. Karena dengan mesin penghisap dapat diatur tekanan yang

dibutuhkan untuk mengeluarkan isi pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan

keluaran dari paru-paru dan tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari

rongga intrapelura akibat tekanan dalam btol pertama yang merupakan sumber-vacuum. Botol

kedua berfungsi sebagai "water seal" yang mencegah udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga
merupakan pengatur hisapan. Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup

atmosferik atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan mesin

suction yang digunakan (Luci et al, 1984).

Sistem water seal drainase modern berupa satu unit yang terdiri dari 3 chamber dan dapat

membuat penampungan cairan intrapleura atau evakuasi udara lebih efisien. Memiliki kelebihan

dengan adanya dry chamber dapat menurunkan suara bubbling pada chamber yang berisi cairan

saat di sambungkan dengan mesin suction atau wall suction, serta mempermudah mobilisasi pasien

(Manzanet et al, 2005; Brims and Maskell, 2013).

Gambar 2.10 Water seal drainase modern disposable


(Brims and Maskell, 2013)
2.2.3 Komplikasi thorakostomi

Pemasangan selang thorakostomi pada pasien trauma thoraks dapat memiliki komplikasi

saat pemasangan, selama perawatan atau pasca pencabutan selang thorakostomi (Kesieme et al,

2012).

Malposisi selang thorakostomi saat pemasangan merupakan komplikasi yang banyak

ditemui terutama saat keadaan emergensi dibandingkan urgent, terbanyak ke intra-fissural sebesar
21 persen kemudian intra-parenkim 9 persen (Strak et al, 1983; Baldt et al, 1995). Sedangkan

malposisi subkutan jarang ditemukan dengan insiden 1 hingga 1,8 persen, dapat disebabkan karena

tidak stabilnya dinding thoraks karena multipel fraktur kosta atau hematoma sehingga

mempengaruhi proses insersi (Ozpolat and Yazkan, 2007). Serta pemasangan selang thorakostomi

dengan trochar memiliki risiko lebih tinggi terjadi malposisi dibandingkan tanpa trochar

(Remerand et al, 2007). Hal ini dapat mempengaruhi lama perawatan di rumah sakit tapi masih

kontroversi ada yang menyarankan untuk dilakukan revisi sedangkan yang lainnya tidak,

tergantung dari keadaan klinis pasien dan kemampuan drainage dari selang thorakostomi (Strak et

al, 1983; Fraser, 1988; Curtin et al, 1994). Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang karena

bekuan darah atau debris sehingga fungsi drainage tidak efektif (Collop, 1997).

Komplikasi berupa perdarahan yang bersumber dari robeknya arteri interkostal, perforasi

organ viseral, perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena subklavia dapat

diterjadi selama proses pemasangan selang thorakostomi (Abad and Padron, 2002; Takanami,

2005).

Pemasangan selang thorakostomi merupakan tindakan operasi minor bersih terkontaminasi

dan memiliki risiko infeksi sebesar 7,7 persen, pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa

didapatkan komplikasi empiema sekunder tapi dengan persentase yang rendah yakni 1 persen tapi

risiko dapat meningkat bila sebelumnya pasien memiliki efusi pleura (Chan et al, 1997; Helling et

al, 1989). Adanya efusi pleura memungkinkan kolonisasi nosokomial dari saluran pernapasan

yang menyebabkan empiema, namun berdasarkan metodologi kesimpulan ini tidak dapat

didukung. Empiema terjadi lebih sering setelah trauma tusuk thoraks daripada trauma tumpul

thoraks karena luka tembus memungkinkan masuknya secara langsung mikro-organisme ke dalam

rongga pleura. Infeksi luka operasi dapat berkisar dari selulitis ke necrotizing infeksi jaringan
lunak, pencegahan infeksi luka adalah dengan persiapan kulit yang memadai sebelum tindakan

insersi (Kalkat et al, 2003).

Infeksi biasanya dimulai dengan kemerahan yang nantinya akan menimbulkan kulit hitam

dan keunguan, tanda-tanda nekrosis jaringan, bula, dan emfisema subkutan. Rontgen thoraks akan

tampak adanya gas pada area subkutan. Tatalaksana dengan mengunakan antibiotik, debridement

agresif dan debridement ulang merupakan hal yang harus dilakukan. Setelah infeksi dikendalikan

skin graft dapat dilakukan, free flap jarang diperlukan tetapi harus dipertimbangkan ketika defek

yang lebih kompleks. Rekonstruksi mikro dengan latissimus dorsi free flap telah digunakan untuk

rekonstruksi pleura dan stabilisasi dinding thoraks (Barbosa, 2006).

2.3 Pemberian Antibiotik Profilaksis Pada Pemasangan Selang Thorakostomi Pasien


Hematothoraks Pasca Trauma Tumpul Thoraks.

Hematothoraks pasca trauma tumpul thoraks adalah adanya darah di rongga pleura yang

disebabkan oleh trauma dinding thoraks, diafragma, paru – paru atau mediastinum (Milisavljevic

et al, 2012; Lugo et al, 2015). Terdapat respon fisiologi terhadap kejadian hematothoraks yang

terdiri dari respon dini dan lambat. Respon dini mempengaruhi hemodinamik atau respirasi,

sedangkan respon lambat terbentuknya fibrothoraks atau empiema (Mahoozi et al, 2016).

Gangguan respirasi yang ditimbulkan oleh hematothoraks harus segera mendapatkan

tindakan thorakostomi (Cobanoglu et al, 2012). Pemasangan selang thorakostomi merupakan

tindakan operasi minor bersih terkontaminasi, sehingga tindakan ini tidak memerlukan antibiotik

profilaksis dalam pelaksanaannya (Chan et al, 1997; Bratzler et al, 2013). Tapi hal ini ditentang

oleh beberapa penelitian pada pasien pneumonia dan empiema post pencabutan selang

thorakostomi akibat hematothoraks pasca trauma tumpul thoraks (Gonzalez and Holevar, 1998;

Luchette et al, 2000; Wilson and Nichols, 2000; Maxwell et al, 2004). Akhirnya pemasangan
selang thorakostomi disertai pemberian antibiotik profilaksis masih menjadi kontroversi (Kwiatt

et al, 2014).

Hematothoraks minimal yang tidak mendapatkan tindakan drainase atau hematothoraks

yang tidak dapat keluar dari selang hematothoraks akan memacu respon lambat, terjadi proses

defibrinasi mulai bersamaan dengan terbentuknya hematothoraks tapi pada suhu tertentu tetap

dalam keadaan incomplete clot. Dapat lisis oleh enzim pleura dengan meningkatkan konsentrasi

protein, sehingga peningkatan hiperosmotik intrapleura menghasilkan gradien osmotik positif

yang menarik cairan dan terbentuk efusi pleura sampai kandungan darah sangat minimal (Inci et

al, 1998). Keadaan ini dapat memacu proses inflamasi pada dinding pleura viseral serta parietal

dan dapat berkembang menjadi empiema (Jantz and Antony, 2006). Hal ini sama dengan penelitian

lainnya, bahwa faktor yang terlibat terhadap perkembangan empiema adalah pemakaian selang

thorakostomi dan perawatan diruang intensif dalam waktu yang panjang, kontusio pulmonum dan

sisa hematothoraks, sehingga melalui penelitian prospective randomized trial didapatkan bahwa

antibiotik profilaksis signifikan menurunkan kejadian infeksi yang merupakan komplikasi dari

pemasangan selang thorakostomi (Nichols et al, 1994). Penelitian lainnya, meta-analisis

sependapat antibiotik profilaksis secara absolut menurunkan risiko empiema dan infeksi lainnya

(Fallon and Wears, 1992). Dari Current British Thoracic Society menyatakan pemberian antibiotik

profilaksis mendapatkan rekomendasi A bila dibandingkan teknik yang aseptik saat pemasangan

selang thorakostomi (rekomendasi C) (Laws et al, 2003). Antibiotik yang digunakan pada banyak

penelitian adalah cephalosporin atau clindamycin (Laws et al, 2003).

Secara teori antibiotik dapat mencegah infeksi pada trauma terkontaminasi atau mencegah

iatrogenik kontaminasi pada saat pemasangan selang thorakostomi, karena merupakan benda asing

yang memiliki potensial kontaminasi atau sumber infeksi (Gonzales and Holevar, 1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell, dengan randomized controlled study

membandingkan pemberian antibiotik cefazolin sebagai profilaksis dengan diberikan pasca

melepas selang thoracostomy dan dengan hanya plasebo. Evaluasi 4 hingga 6 hari didapatkan hasil

yang tidak bermakna bahwa antibiotik dapat mencegah infeksi. Didapatkan organisme yang

resisten terhadap antibiotik. Sehingga pengunaan antibiotik harus dipertimbangkan (Maxwell et

al, 2004).

Empiema banyak disebabkan oleh Staphylococcus Aureus, dimana terbanyak ditemui pada

trauma tajam thoraks bilang di bandingkan trauma tumpul thoraks karena menembus langsung

hingga rongga pleura sehingga mikro-organisme dapat masuk. Membuat kontroversi pemberian

antibiotik pada trauma tumpul thoraks (Kwiatt et al, 2014).

Anda mungkin juga menyukai