Bab Ii Tinjauan Pustaka: and Handerson
Bab Ii Tinjauan Pustaka: and Handerson
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma thoraks adalah trauma tumpul atau tajam yang mengenai dinding thoraks baik
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organ didalamnya. Terbanyak mengenai
rongga pleura dan parenkim paru. Pada rongga pleura tersering adalah pneumothoraks dan
hematothoraks, sedangkan pada parenkim paru meliputi kontusio, laserasi dan hematoma
parenkim paru (Mattox et al, 2013; Eckstein and Handerson, 2014; Lugo et al, 2015).
Trauma thoraks di Negara Amerika Serikat menyebabkan lebih dari 16.000 kematian setiap
tahunnya atau 20 hingga 25 persen kematian karena trauma yang disebabkan oleh trauma thoraks.
Kejadian ini cukup besar dan terbanyak terjadi dijalan karena kecelakaan lalu-lintas. Trauma
thoraks yang ditemukan menjadi penyebab kematian, seperti: tension pneumothoraks, tamponade
jantung, dan perdarahan intra-thoraks yang tidak terkendali (Saaiq et al, 2010; Eckstein and
Trauma tumpul di Negara Australia 45 persen mengenai thoraks dan menyebabkan juga
peningkatan angka kematian seperti di Negara Amerika Serikat. Terbanyak disebabkan oleh flail
chest sebesar 69 persen, kemudian kontusio pulmonum 56 persen, hematothoraks 42 persen dan
Di daerah Timur Tengah Arab menilai presentasi klinis dan mortalitas berbasis waktu dari
5
trauma tumpul thoraks. Berdasarkan mekanisme trauma didapatkan mayoritas dari korban
kecelakaan lalu lintas adalah laki - laki muda. Ditemukan kontusio paru merupakan tipe trauma
tumpul thoraks yang paling umum, diikuti oleh fraktur kosta. Penelitian tersebut telah
mengobservasi suatu proporsi cedera ekstra-thoraks yang lebih tinggi di antara pasien trauma
tumpul thoraks, dimana hal ini dapat meningkatkan risiko komplikasi. Adanya trauma kepala
dipertimbangkan sebagai prediktor tunggal mortalitas dan trauma pada hepar atau lien juga
meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat (Al-Eassa et al, 2013; El-Menyar et al, 2016).
Trauma thoraks terdiri dari trauma tumpul dan tajam dimana angka kejadian trauma tumpul
terbanyak sekitar 75 hingga 80 persen dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera
persen. Terdapat tiga mekanisme trauma yang menyebabkan trauma tumpul thoraks, yaitu trauma
langsung pada thoraks, cedera akibat penekanan ataupun deselarasi. Sedangkan pada trauma tajam
dibedakan menjadi tiga berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma
tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti tembakan senjata
militer. Penyebab trauma lainnya adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru yang bisa
menyebabkan pneumothoraks seperti pada aktivitas menyelam. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola
Thoraks berbentuk kerucut dimana pada bagian bawah berukuran lebih besar dibandingkan
atas dan bagian belakang lebih panjang dibandingkan depan. Dibagi dalam 4 komponen, yaitu
dinding thoraks, rongga pleura, parenkim paru dan mediastinum. Dalam dinding thorak termasuk
tulang dan otot yang terkait. Kerangka terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang
kosta yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang dan otot pernafasan menyokong dan membentuk dinding thoraks serta berfungsi
melindungi organ vital seperti jantung, paru, hati dan lien. Rongga pleura berada diantara pleura
viseralis dan parietalis. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan.
Mediastinum termasuk jantung, aorta atau pembuluh darah besar dari thoraks, cabang
trakeobronkial dan esofagus (Eckstein and Handerson, 2014; Lugo et al, 2015).
Dinding thoraks diperlukan untuk ventilasi pernapasan normal. Pengembangan ke arah luar
dari dinding thoraks oleh otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma yang menghasilkan
tekanan negatif dari intra-thoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif keparu selama
inspirasi sehingga terjadi pertukaran oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh
(Drake et al, 2010; Assi and Nazal, 2012; Ombregt, 2013; Netter, 2014).
Gambar 2.1 Anatomi thoraks anterior view (Sobotta, 2007)
Secara klinis trauma thoraks dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain mekanisme dari
trauma, luas, lokasi, trauma lain yang menyertai dan penyakit komorbid yang dimiliki. Akan
terjadi gangguan fungsi respirasi dan secara sekunder berhubungan dengan disfungsi jantung,
sehingga tatalaksana pada trauma thoraks akan mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi
normal, menghentikan pendarahan dan mencegah sepsis (Saaiq et al, 2010; Eckstein and
tergantung pada besar kecilnya gaya dari trauma. Kerusakan yang ringan pada dinding thoraks
berupa fraktur kosta simpel, sedangkan lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan
komplikasi pneumothoraks, hematothoraks atau kontusio pulmonum. Lebih dalam lagi dapat
menyebabkan robekan pada pembuluh darah besar atau trauma langsung pada jantung. Selain
kerusakan anatomi didapatkan juga gangguan pada fungsi fisiologi dari sistem repirasi dan
kardiovaskular. Gangguan sistem respirasi berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi
atau gangguan mekanik alat pernafasan, sedangkan gangguan sistem kardiovaskular merupakan
penyebab terbanyak kematian pada trauma thoraks (Saaiq et al, 2010; Mattox et al, 2013; Lugo et
al, 2015).
Kontusio atau hematoma pada dinding thoraks paling sering terjadi sebagai akibat dari
trauma tumpul dinding thoraks. Robekan pada pembuluh darah kulit, subkutan dan otot
jumlah darah yang cenderung sedikit (Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015).
Fraktur pada kosta disebabkan oleh trauma tumpul langsung pada dinding thoraks dengan
angka kejadian 35 hingga 40 persen dari seluruh trauma thoraks. Karakteristik fraktur tergantung
dari lokasi dan besarnya gaya dari trauma (Saaiq et al, 2010; Milisavljevic et al, 2012). Gejala
yang spesifik adalah rasa nyeri yang meningkat terutama saat bernafas dalam, bergerak atau batuk.
Hal ini yang dapat meningkatkan risiko terjadinya atelektasis atau pneumonia karena pasien akan
berusaha mengurangi pergerakan atau hanya bernafas dangkal (Novakov et al, 2014; Lin et al,
2015; Lugo et al, 2015). Sedangkan pada kasus flail chest dimana kosta – kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada area kostokondral. Keadaan klinis akan
tampak pernafasan yang paradoksal pada dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi. Dengan
angka kejadian sekitar 5 persen dari seluruh trauma thoraks. Menegakkan diagnosa fraktur kosta
dan flail chest dengan pemeriksaan fisik dan dapat dikonfirmasi melalui rontgen thoraks (Wanek
Fraktur sternum disebabkan oleh trauma tumpul pada thoraks dengan gaya yang sangat
besar dan disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai,
Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura yang dapat disebabkan oleh
trauma maupun non-trauma. Pada kasus trauma dapat disebabkan oleh fraktur kosta atau
peningkatan tekanan intra-alveolar akibat kompresi thoraks secara mendadak. Fraktur kosta
menjadi penyebab terbanyak dimana menyebabkan laserasi dari pleura parietalis maupun viseralis.
Sedangkan trauma tumpul yang menyebabkan kompresi mendadak pada thoraks meningkatkan
tekanan intra-alveolar sehingga terjadi ruptur alveolus. Selain itu dapat juga terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan
peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea atau bronchial tree tempat dimana bronkus
lobaris bercabang sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Pneumothoraks yang
tidak mendapatkan penanganan cepat dapat berkembang menjadi tension pneumothoraks yang
kontralateral, menurunnya venous return dan menekan paru kontralateral (Milisavljevic et al,
a b
Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura yang disebabkan oleh trauma pada
dinding thoraks, diafragma, paru – paru atau mediastinum. Terbanyak karena trauma tumpul dan
et al, 2012; Lugo et al, 2015). Hematothoraks dikatakan masif bila drainage darah mencapai 1000
mililiter atau 100 mililiter per-jam dan lebih dari 4 jam pada kasus akut. Segera dilakukan
thoracotomy emergensi karena sangat berisiko mengancam nyawa bahkan kematian (Cobanoglu
et al, 2012).
Gambar 2.4 Hematothoraks masif (ATLS, 2012)
Kontusio pulmonum adalah kerusakan parenkim paru, edema interstitial atau hematoma
yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru yang disebabkan oleh trauma thoraks,
terutama oleh trauma tumpul thoraks. Kontusio lebih dari 30 persen pada parenkim paru
Angka mortalitas pada pasien trauma tumpul thoraks tergantung terutama pada tingkat
keparahan trauma dan adanya keterkaitan dengan sistem organ lainnya (Huber et al, 2014; El-
Manajemen awal untuk pasien trauma thoraks tidak berbeda dengan pasien trauma lainnya
meliputi: airway patency with care of cervical spine, breathing adequacy, circulatory support,
disability assessment dan exposure without causing hypothermia (Saaiq et al, 2010; Lugo et al,
Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus dilakukan.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang mengancam nyawa dengan
segera, seperti obstruksi jalan napas, tension pneumothoraks, hematothoraks masif, tamponade
pericardial dan flail chest. Begitu kondisi yang mengancam nyawa telah ditangani maka
pemeriksaan sekunder dari kepala hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest
survey harus dilakukan. Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut:
kontusio pulmonum, kontusio miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik, disrupsi
trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq et al, 2010; Lugo et al, 2015).
Pasien dengan tension pneumothoraks harus segera dilakukan dekompresi dengan jarum
secara klinis, sedangkan rontgen thoraks akan menunda tatalaksana tindakan medis yang harus
Pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia atau takipneu berat dengan ancaman gagal nafas
merupakan indikasi utama untuk dilakukan intubasi endotrakeal dan mengunakan ventilator
sebagai support pernafasan. Hal ini didapatkan dari pasien dengan kontusio pulmonum berat dan
atau disertai flail chest (Saaiq et al, 2010; Lugo et al, 2015).
2.2 Thorakostomi
hemopneumothoraks, empiema atau efusi pleura. Merupakan tindakan bedah minor yang
terbanyak dilakukan pada thoraks dan menjadi prosedur life-saving. Sebelumnya thorakostomi
telah dikenal sejak Abad ke-lima SM oleh Hippocrates guna drainage empiema dan pertama kali
dipublikasikan oleh Hewett pada tahun 1876. Pengunaan thorakostomi mulai diterima sebagai
hemopneumothoraks pada tahun 1950-an setelah pengunaan thorakostomi pada Perang Dunia ke-
II serta perang Vietnam yang berkembang menjadi standar manajemen trauma thorak di rumah
sakit umum maupun militer (Hewett, 1876; Monaghan and Swan, 2008; Kesieme et al, 2012).
Pada tahun 1968, Heimlich membuat flutter valve yang dihubungkan dengan selang
thorakostomi dan menganti botol drainage yang tidak praktis. Ini memberikan keuntungan, seperti:
steril, sederhana dan aman (Heimlich, 1968; Heimlich, 1983). Survei yang dilakukan tahun 1974
mengenai sistem drainage, seperti: satu atau multipel botol, unit plastik atau kaca, buatan sendiri,
semuanya dapat menjadi pilihan untuk digunakan (Munnell and Thomas, 1975).
Pada tahun 1975 di produksi selang thorakostomi dalam beberapa ukuran, pada dewasa
berukuran 28Fr, 32Fr dan 36Fr sedangkan anak berukuran 16Fr, 20Fr dan 24Fr (Munnell, 1997).
Dibuat dari plastik bening (vinyl atau silastic) dengan ujungnya terdiri dari beberapa lubang yang
efektif untuk drainage cairan atau udara, serta memiliki centimeter marking guna mengatur
kedalaman insersi. Dan memiliki strip radiopaque yang akan terlihat pada rontgen thoraks.
Teknik pemasangan selang thorakostomi, sebagai berikut (ATLS, 2012; Kuhajda et al,
2014):
1. Pasien diposisikan tidur terlentang dengan membentuk sudut 450 atau posisi duduk, hal ini
untuk mengurangi risiko diafragma naik atau salah masuknya selang thorakostomi kedalam
rongga abdomen. Kemudian tangan diposisikan abduksi dan eksternal rotasi pada sisi yang
lapangan operasi dengan doek steril. Dilanjutkan identifikasi interkosta ke-V dan
midaxillary line, rencana insisi kulit dilakukan antara midaxillary dan anterior axillary line,
diatas kosta. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2 persen sebanyak 10 ml secara
jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan mengunakan benang silkblack no.
0.1.
4. Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung jaringan bawah kulit
dibebaskan sampai pleura secara pelan pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan,
berarti pleura parietalis sudah terbuka atau pada hematothoraks akan segera menyemprot
5. Selang thorakostomi dengan trocharnya dimasukkan melalui lubang kulit tersebut kearah
cranial lateral. Bila memakai selang tanpa trochar maka ujung selang dijepit dengan klem
tumpul dan untuk memudahkan mengarahkan selang. Kemudian didorong masuk sambil
diputar sedikit kearah lateral sampai ujungnya kira-kira ada dibawah apeks paru.
Gambar 2.8 Insersi selang thorakostomi (Kuhajda et al, 2014)
6. Setelah selang thorakostomi pada posisi, maka diikat dengan benang pengikat berputar
7. Sebelum selang thorakostomi dihubungkan dengan sistem botol penampung, maka harus
diklem dahulu kemudian dihubungkan dengan sistem botol penampung yang akan
Ujung akhir selang thorakostomi dari thoraks pasien dihubungkan ke dalam satu botol yang
memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara
maupun cairan kembali ke dalam. Secara fungsional, drainage tergantung pada gaya gravitasi dan
mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan
di dalam botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga dada,
dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya. Sistem satu botol digunakan pada
kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya membutuhkan gaya gravitasi saja untuk
mengeluarkan isi pleura. Water seal dan penampung drainage digabung pada satu botol dengan
menggunakan katup udara. Katup udara digunakan untuk mencegah penambahan tekanan dalam
botol yang dapat menghambat pengeluaran cairan atau udara dari rongga pleura. Karena hanya
menggunakan satu botol yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat mengurangi
daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada rongga intrapleura tidak dapat dikeluarkan (Luci
et al, 1984).
Gambar 2.9 Botol water seal drainage. Sistem 1 botol (a), 2 botol (b), 3 botol (c) (Luci et al,
1984)
Sistem dua botol menggunakan dua botol yang masing-masing berfungsi sebagai water
seal dan penampung. Botol pertama adalah penampung drainage yang berhubungan langsung
dengan pasien dan botol kedua berfungsi sebagai water seal yang dapat mencegah peningkatan
tekanan dalam penampung sehingga drainage dapat dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini
penampung, "water seal" dan pengatur yang mengatur tekanan penghisap. Jika drainage yang
ingin, dikeluarkan cukup banyak biasanya digunakan suction dengan tekanan sebesar 20 cmH20
untuk mempermudah pengeluaran. Karena dengan mesin penghisap dapat diatur tekanan yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan isi pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan
keluaran dari paru-paru dan tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari
rongga intrapelura akibat tekanan dalam btol pertama yang merupakan sumber-vacuum. Botol
kedua berfungsi sebagai "water seal" yang mencegah udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga
merupakan pengatur hisapan. Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup
atmosferik atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan mesin
Sistem water seal drainase modern berupa satu unit yang terdiri dari 3 chamber dan dapat
membuat penampungan cairan intrapleura atau evakuasi udara lebih efisien. Memiliki kelebihan
dengan adanya dry chamber dapat menurunkan suara bubbling pada chamber yang berisi cairan
saat di sambungkan dengan mesin suction atau wall suction, serta mempermudah mobilisasi pasien
Pemasangan selang thorakostomi pada pasien trauma thoraks dapat memiliki komplikasi
saat pemasangan, selama perawatan atau pasca pencabutan selang thorakostomi (Kesieme et al,
2012).
ditemui terutama saat keadaan emergensi dibandingkan urgent, terbanyak ke intra-fissural sebesar
21 persen kemudian intra-parenkim 9 persen (Strak et al, 1983; Baldt et al, 1995). Sedangkan
malposisi subkutan jarang ditemukan dengan insiden 1 hingga 1,8 persen, dapat disebabkan karena
tidak stabilnya dinding thoraks karena multipel fraktur kosta atau hematoma sehingga
mempengaruhi proses insersi (Ozpolat and Yazkan, 2007). Serta pemasangan selang thorakostomi
dengan trochar memiliki risiko lebih tinggi terjadi malposisi dibandingkan tanpa trochar
(Remerand et al, 2007). Hal ini dapat mempengaruhi lama perawatan di rumah sakit tapi masih
kontroversi ada yang menyarankan untuk dilakukan revisi sedangkan yang lainnya tidak,
tergantung dari keadaan klinis pasien dan kemampuan drainage dari selang thorakostomi (Strak et
al, 1983; Fraser, 1988; Curtin et al, 1994). Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang karena
bekuan darah atau debris sehingga fungsi drainage tidak efektif (Collop, 1997).
Komplikasi berupa perdarahan yang bersumber dari robeknya arteri interkostal, perforasi
organ viseral, perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena subklavia dapat
diterjadi selama proses pemasangan selang thorakostomi (Abad and Padron, 2002; Takanami,
2005).
dan memiliki risiko infeksi sebesar 7,7 persen, pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa
didapatkan komplikasi empiema sekunder tapi dengan persentase yang rendah yakni 1 persen tapi
risiko dapat meningkat bila sebelumnya pasien memiliki efusi pleura (Chan et al, 1997; Helling et
al, 1989). Adanya efusi pleura memungkinkan kolonisasi nosokomial dari saluran pernapasan
yang menyebabkan empiema, namun berdasarkan metodologi kesimpulan ini tidak dapat
didukung. Empiema terjadi lebih sering setelah trauma tusuk thoraks daripada trauma tumpul
thoraks karena luka tembus memungkinkan masuknya secara langsung mikro-organisme ke dalam
rongga pleura. Infeksi luka operasi dapat berkisar dari selulitis ke necrotizing infeksi jaringan
lunak, pencegahan infeksi luka adalah dengan persiapan kulit yang memadai sebelum tindakan
Infeksi biasanya dimulai dengan kemerahan yang nantinya akan menimbulkan kulit hitam
dan keunguan, tanda-tanda nekrosis jaringan, bula, dan emfisema subkutan. Rontgen thoraks akan
tampak adanya gas pada area subkutan. Tatalaksana dengan mengunakan antibiotik, debridement
agresif dan debridement ulang merupakan hal yang harus dilakukan. Setelah infeksi dikendalikan
skin graft dapat dilakukan, free flap jarang diperlukan tetapi harus dipertimbangkan ketika defek
yang lebih kompleks. Rekonstruksi mikro dengan latissimus dorsi free flap telah digunakan untuk
Hematothoraks pasca trauma tumpul thoraks adalah adanya darah di rongga pleura yang
disebabkan oleh trauma dinding thoraks, diafragma, paru – paru atau mediastinum (Milisavljevic
et al, 2012; Lugo et al, 2015). Terdapat respon fisiologi terhadap kejadian hematothoraks yang
terdiri dari respon dini dan lambat. Respon dini mempengaruhi hemodinamik atau respirasi,
sedangkan respon lambat terbentuknya fibrothoraks atau empiema (Mahoozi et al, 2016).
tindakan operasi minor bersih terkontaminasi, sehingga tindakan ini tidak memerlukan antibiotik
profilaksis dalam pelaksanaannya (Chan et al, 1997; Bratzler et al, 2013). Tapi hal ini ditentang
oleh beberapa penelitian pada pasien pneumonia dan empiema post pencabutan selang
thorakostomi akibat hematothoraks pasca trauma tumpul thoraks (Gonzalez and Holevar, 1998;
Luchette et al, 2000; Wilson and Nichols, 2000; Maxwell et al, 2004). Akhirnya pemasangan
selang thorakostomi disertai pemberian antibiotik profilaksis masih menjadi kontroversi (Kwiatt
et al, 2014).
yang tidak dapat keluar dari selang hematothoraks akan memacu respon lambat, terjadi proses
defibrinasi mulai bersamaan dengan terbentuknya hematothoraks tapi pada suhu tertentu tetap
dalam keadaan incomplete clot. Dapat lisis oleh enzim pleura dengan meningkatkan konsentrasi
yang menarik cairan dan terbentuk efusi pleura sampai kandungan darah sangat minimal (Inci et
al, 1998). Keadaan ini dapat memacu proses inflamasi pada dinding pleura viseral serta parietal
dan dapat berkembang menjadi empiema (Jantz and Antony, 2006). Hal ini sama dengan penelitian
lainnya, bahwa faktor yang terlibat terhadap perkembangan empiema adalah pemakaian selang
thorakostomi dan perawatan diruang intensif dalam waktu yang panjang, kontusio pulmonum dan
sisa hematothoraks, sehingga melalui penelitian prospective randomized trial didapatkan bahwa
antibiotik profilaksis signifikan menurunkan kejadian infeksi yang merupakan komplikasi dari
sependapat antibiotik profilaksis secara absolut menurunkan risiko empiema dan infeksi lainnya
(Fallon and Wears, 1992). Dari Current British Thoracic Society menyatakan pemberian antibiotik
profilaksis mendapatkan rekomendasi A bila dibandingkan teknik yang aseptik saat pemasangan
selang thorakostomi (rekomendasi C) (Laws et al, 2003). Antibiotik yang digunakan pada banyak
Secara teori antibiotik dapat mencegah infeksi pada trauma terkontaminasi atau mencegah
iatrogenik kontaminasi pada saat pemasangan selang thorakostomi, karena merupakan benda asing
yang memiliki potensial kontaminasi atau sumber infeksi (Gonzales and Holevar, 1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell, dengan randomized controlled study
melepas selang thoracostomy dan dengan hanya plasebo. Evaluasi 4 hingga 6 hari didapatkan hasil
yang tidak bermakna bahwa antibiotik dapat mencegah infeksi. Didapatkan organisme yang
al, 2004).
Empiema banyak disebabkan oleh Staphylococcus Aureus, dimana terbanyak ditemui pada
trauma tajam thoraks bilang di bandingkan trauma tumpul thoraks karena menembus langsung
hingga rongga pleura sehingga mikro-organisme dapat masuk. Membuat kontroversi pemberian