Anda di halaman 1dari 4

Nama : desi anggreini

Npm : 17.14201.30.10

Judul jurnal

The Associations Among Male - Perpetrated Partner Violence, Wives'


Psychological Distress And Children's Behavior Problems: A Structural
Equation Modeling Analysis.

1. Teori
 Lelaki pelaku kekerasan dalam perkawinan menjadi pusat perhatian pada
penelitian di bidang klinis dalam beberapa tahun ini. Hal tersebut
menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan dalam perkawinan adalah
sebuah permasalahan penting di kesehatan masyarakat. Secara kasar
diperkirakan bahwa 1,6 juta perempuan Amerika dipukul oleh pasangan
mereka setiap tahun (Straus & Gelles, 1986). Kalangan Militer dan
Veteran memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam
perkawinan, sebuah hubungan dengan pasangan dari kalangan militer
dilaporkan berada dalam tingkatan paling tinggi dalam kekerasan terhadap
perempuan (Bahannon & Dosser, 1995), kekerasan terhadap perempuan
yang paling parah, dan lebih berisiko menjadi korban terluka dalam
kekerasan terhadap perempuan (Cantos, dkk., 1994) dibandingkan kasus-
kasus sipil lainnya. Lelaki pelaku kekerasan terhadap pasangan secara
signifikan bertanggungjawab terhadap kesehatan fisik wanita yang
menjadi korban. Laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan telah
memperlihatkan memiliki konsekuensi negatif jangka panjang terhadap
kesehatan mental pasangan perempuan mereka, mencakup depresi ( e.g.,
Straus, 1992), kecemasan (e.g. Russell, dkk., 1989), sindrom stres
pascatrauma (PTSD; e. G. Astin, dkk., 1995), penarikan sosial (e.g., Star,
dkk., 1979), dan harga diri rendah (e.g., Aguilar & Nightingale, 1994).
 “Korban yang tidak diharapkan” lainnya dari kekerasan dalam perkawinan
adalah anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam orang tuanya
(Hershorn & Rosenbaum, 1985). Carlson (1984) memperkirakan kurang
lebih 3,3 juta anak-anak terkena kekerasan dari orang tua setiap
tahunnya. Angka tersebut didapat dari sebuah konsensus di dalam
literatur bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dari orang tua memiliki
kencenderungan beresiko memiliki masalah dengan kebahagian
psikologinya (e.g., Cummings, dkk., 1999). Jaffe, dkk (1986) melaporkan
bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki
kesulitan menyesuaikan diri memiliki masalah serupa yang ditunjukan oleh
anak-anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya, dan berbeda
secara signifikan dari masalah-masalah yang ditunjukan oleh anak-anak
dari keluarga yang harmonis. Anak-anak yang terkena kekerasan antar
orang tua, serta mereka yang tidak langsung terkena kekerasan,
memperlihatkan sebuah jarak antara eksternalisasi dan internalisasi
masalah-masalah perilaku, sama halnya dengan rendahnya harga diri,
performa akademik, dan sosial kompetensi ( Smith, dkk., 1997).
 Seperti yang sudah dijabarkan di atas, banyaknya fakta-fakta empiris
tersebut menunjukan bahwa perempuan yang menjadi korban dalam
kekerasan perkawinan mengalami lebih banyak stres dan masalah
kesehatan mental daripada perempuan yang tidak mengalami kekerasan.
Tekanan-tekanan tersebut mungkin berdampak negatif terhadap kualitas
dari perhatian yang seorang perempuan korban kekerasan dapat berikan
untuk anak-anaknya, atau hasil dari ketidaktepatan beban-beban yang
ada pada anak-anak apabila mereka percaya bahwa mereka harus
memberikan dukungan emosional terhadap ibunya (Elbow, 1982).
 Pejuang perang Vietnam, pada khususnya yang dilaporkan memiliki
tingkat tinggi dalam  penyerangan atau gangguan sindrom pasca trauma
(PTSD) , adalah populasi yang cenderung memiliki keberfungsian dan
penyesuain keluarga yang rendah (Kulka, dkk., 1990a, 1990b). Sebagai
tambahan, kejahatan penganiayaan terhadap perempuan adalah hal yang
lazim terjadi pada veteran yang mengalami PTSD (e.g. Caroll, dkk., 1985).
Tidak mengagetkan, istri pejuang-pejuang perang Vietnam dengan PTSD
sering dilaporkan berada dalam tingkat di atas level umum distrress
psikologi (Kulka, dkk., 1990a, 1990b), dan level tinggi untuk simptom
psikiatrik dan disfungsi sosial (Rosenhack & Fontana, 1998). Sama
halnya, anak-anak pejuang Vietnam juga memiliki tingkat distress perang
yang tinggi ditunjukan dengan tanda-tanda meningkatnya level  masalah
perilaku dan penyesuaian diri (Rosenhack & Fontana, 1998). Selain itu
Pejuang Vietnam juga sering dilaporkan merupakan keluarga yang miskin,
penyesuaian perkawinan yang buruk, tingginya tingkat kejahatan
kekerasan dalam rumah tangga, dan tingginya masalah perilaku anak,
seorang sampel pejuang vietnam dan keluarganya memberikan sebuah
kesempatan bagus untuk menguji hubungan multivarian antara variabel
variabel tersebut.
2. Hipotesis
Perspektif suami di dalam keberfungsian keluarga dan dia menggunakan
kekerasan akan langsung berhubungan dengan perspektif istri di dalam
keberfungsian keluarga, distres psikologis istri, dan masalah-masalah perilaku
anak.
3. Variable
 Variabel independen: Perspektif suami dan istri terhadap keberfungsian
keluarga, distress psikologis istri dan masalah perilaku anak
 Variabel dependen: Perilaku kekerasan lelaki dalam perkawinan
4. HASIL
1.    Kekerasan mental yang dialami dikaitkan dengan peningkatan tekanan
psikologis bagi istri, dengan efek langsung dan tidak langsung pada
kesejahteraan psikologis istri melalui sikap dan perasaan tentang kehidupan
keluarganya. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi perempuan tentang
fungsi keluarga yang kuat berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka.
Persepsi suami tentang fungsi keluarga juga berdampak pada tingkat tekanan
psikologis istri.
2.    Kekerasan perkawinan dan fungsi keluarga berhubungan dengan
peningkatan masalah perilaku di kalangan anak-anak, efek ini bukan efek
langsung. Artinya, kekerasan perkawinan yang dialami berdampak langsung
pada tekanan psikologis sang istri dan tidak langsung melalui persepsi istri
tentang fungsi keluarga. Tekanan psikologis istri, pada gilirannya, sangat
terkait dengan masalah perilaku anak. Dua puluh delapan persen dari varians
dalam masalah perilaku anak dipertanggungjawabkan.

Anda mungkin juga menyukai