Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun
dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan
dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui
secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoantibody dalam tubuh. 1
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. 1

2. Epidemiologi
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus
eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi
wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65
tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga
dijumpai pada anak usia 10 tahun.1
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi
dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan
penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli
Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum
usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun
kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1
sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,
sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan
menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan
rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi
penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-
Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah
penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia
yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras
Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita
keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal
yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1

3. Etiologi
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi
diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan
faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik
yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu
juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya
peningkatan autoantibody. 4
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau
regulasi sistem imun.3,
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's
Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;
Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;
Interferon-a.

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :


1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit
mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh
produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu
antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi
kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang
mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit
bereaksi menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA)
dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 2
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan
lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. 2

4. Patogenesis
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis
SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep
bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin
(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor
imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks
dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun. 3,4
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator
yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi
kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,
dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3,4
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel
limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.
Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk
dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk
kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. 3,4
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. 4
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,
yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat
juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula
autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat
berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,
sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.4
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis
ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi
antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui
pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.4
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang
sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).
Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 2
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan
penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars
dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi
oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause
dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan
estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan
hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan
LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone),
LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan
dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan
estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4

4. Diagnosis
4.1 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem
dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang
lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.1
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan
remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat
seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya
golongan sulfa. 1
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang
paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat
badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung
intermiten atau terus-menerus. 4

B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh
lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan
kaki. 4
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,
terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat
responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain
pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan
ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum
terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan
kortikosteroid dan vaskulopati. 4
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan
nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.
Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun
kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis
pada SLE.4
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau
ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari
merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. 4
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk
semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut
penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga
berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5
2). Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah
15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5
tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.5

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,


telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan
berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,
mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3%
dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak. 5

4). Livido Retikularis


Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.4,5

5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.5

D. Kelainan pada Ginjal


Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus
nefritis adalah :
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,3,4

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)


Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik
dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi
pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan
pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat.2,3,4

F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan
sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai
tahap lanjut.4

G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri
akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat. 2,3,4

H. Hati dan Limpa


Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang
atau kembali normal. 2,3,4

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis


Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.
Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.
Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. 2,3,4

J. Susunan Saraf Tepi


Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan
motorik. Biasanya bersifat sementara. 6

K. Susunan Saraf Pusat


Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.6
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.6
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.
Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena
mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,
aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang
myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan
susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang
peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus
koroideus. 6

L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia. 2,3,4

M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan
kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium
pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 2,3,4

4.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau
menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit,
terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang
pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu
pengobatan.

4.2.1 Pemeriksaan Autoantibodi


Antibody Prevalensi, Antigen yang Clinical Utility
% Dikenali
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining
antibodies (ANA) terbaik; hasil
negative berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double- Jumlah yang tinggi
stranded) spesifik untuk SLE
dan pada beberapa
pasien berhubungan
dengan aktivitas
penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein Spesifik untuk SLE;
pada 6 jenis U1 tidak ada korelasi
RNA klinis; kebanyakan
pasien juga memiliki
RNP; umum pada
African American
dan Asia dibanding
Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein Tidak spesifik untuk
pada U1 RNAγ SLE; jumlah besar
berkaitan dengan
gejala yang overlap
dengan gejala
rematik termasuk
SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein Tidak spesifik SLE;
pada hY RNA, berkaitan dengan
terutama 60 kDa sindrom Sicca,
dan 52 kDa subcutaneous lupus
subakut, dan lupus
neonatus disertai
blok jantung
congenital; berkaitan
dengan penurunan
resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein Biasanya terkait
pada hY RNA dengan anti-Ro;
berkaitan dengan
menurunnya resiko
nephritis
Antihistone 70 Histones terkait Lebih sering pada
dengan DNA lupus akibat obat
(pada nucleosome, daripada SLE.
chromatin)
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 Tiga tes tersedia –
glycoprotein 1 ELISA untuk
cofactor, cardiolipin dan β2G1,
prothrombin sensitive
prothrombin time
(DRVVT);
merupakan
predisposisi
pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes


Coombs’ langsung;
terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan Terkait dengan
perubahan antigen trombositopenia
sitoplasmik pada namun sensitivitas
platelet. dan spesifitas kurang
baik; secara klinis
tidak terlalu berarti
untuk SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil
(termasuk anti- permukaan antigen positif terkait dengan
glutamate limfosit lupus CNS aktif.
receptor)
Antiribosomal P 20 Protein pada Pada beberapa hasil
ribosome positif terkait dengan
depresi atau psikosis
akibat lupus CNS

Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid,


DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-
linked immunosorbent assay.

Secara diagnostik, antibody yang paling penting untuk dideteksi


adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya
pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1
tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat
berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini
sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan
kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak
ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas
antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA)
spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel
dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60%
sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-
dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih
baik dengan nephritis

4.2.3 Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE


 Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi
ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika
menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan
untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari
kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua
penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang
berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi
lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas
dan lamanya penyakit.
 Ruam kulit atau lesi yang khas
 Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
 Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
 Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
 Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis
sel darah
 Biopsi ginjal
 Pemeriksaan saraf.

Kriteria Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit
4 dari 11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).


 (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap
(butterfly rash) di daerah pipi, cenderung menyebar ke
lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan
adherent keratotic scaling dan follicular
plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut
atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan
sinar matahari, pada anamnesis atau
pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih
persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik.
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan.
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular,
tubular atau campuran

8 Gangguan saraf Kejang


Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik à dengan retikulositosis
Leukopenia à < 4000/mm3 pada >  1 pemeriksaan
Limfopenia à < 1500/mm3 pada >  2 pemeriksaan
Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya
intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes
standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%
spesifisitas

5. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
 Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
 Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.

Penatalaksanaan Umum :
 Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
 Hindari Merokok
 Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
 Hindari stres dan trauma fisik
 Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
 Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai
15.00
 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
Penatalaksanaan Medikamentosa :
 Untuk SLE derajat Ringan;
 Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
 Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan
non-steroid
 Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
 Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
 Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
 Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan
 Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
 Untuk SLE derajat berat;
 Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal,
penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
 Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
 Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat
bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
 Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
 Pengobatan Pada Keadaan Khusus
 Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu
belum ada perbaikan
 Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan
dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
 Perikarditis Ringan 
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
 Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
 Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
 Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
 Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
 Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut

6. Komplikasi

Komplikasi LES pada anak meliputi: 2,3


 Hipertensi (41%)
 Gangguan pertumbuhan (38%)
 Gangguan paru-paru kronik (31%)
 Abnormalitas mata (31%)
 Kerusakan ginjal permanen (25%)
 Gejala neuropsikiatri (22%)
 Kerusakan muskuloskeleta (9%)
 Gangguan fungsi gonad (3%).

7. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin
membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun
jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami
kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang wanita usia 25 tahun, dirawat di bangsal penyakit dalam RSUP
DR. M. Djamil Padang, sejak tanggal 6 Desember 2012 , dengan :
ANAMNESA
Keluhan Utama :
Demam sejak tujuh hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang :
 Demam sejak tujuh hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.Demam tinggi
terus menerus tidak mengigil tidak berkeringat dan turun bila minum obat
penurun demam.
 Nyeri pada sendi-sendi, otot dan seluruh tubuh sejak satu bulan yang lalu.
 Badan letih – lesu sejak satu bulan yang lalu.
 Batuk sejak 7 bulan yang lalu, batuk tidak berdahak dan tidak berdarah.
 Nyeri dada bila bernafas disangkal.
 Ruam kehitaman pada hampir seluruh tubuh dan muka sejak tiga bulan yang
lalu.
 Sariawan berulang sejak tiga bulan yang lalu.
 Rambut rontok sejak tiga bulan yang lalu.
 Sering merasa silau disangkal.
 Nafsu makan menurun , BB turun, tidak diketahui penurunan.
 Mual dan Muntah (-)
 BAB dan BAK biasa.
 Riwayat menstruasi : tujuh bulan terakhir tidak haid lagi, biasanya haid lancar
1x/ bulan, tiap 30 hari, lama haid 7 hari
Riwayat penyakit dahulu :
 Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga :


 Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Status Perkawinan dan Kebiasaan :


 Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
 Pasien mempunyai 1 orang suami dan 2 orang anak
- Pasien menikah tahun 2002
- Anak pertama lahir tahun 2008, laki-laki, berat lahir ± 2.000gr,
lahir normal.
- Anak kedua lahir tahun 2010, laki-laki, berat lahir ± 3.000gr, lahir
normal.
 Riwayat memakai KB 3 bulan sekali selama satu tahun pada tahun 2008
setelah melahirkan anak pertama.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : CMC
Keadaan Umum : sedang
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Tekanan Darah : 90/60 cmHg
Nadi : 126x / menit
Nafas : 20 x / menit
Suhu : 39,6 0C
Edema : (-)
Anemis : (-)
Kulit : makula hiperpigmentasi di hampir
seluruh tubuh dan muka.
KGB : tidak membesar
Kepala : normochepal
Rambut : hitam, mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
sclera ikterik (-/-)
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Gigi dan mulut : caries (+). ulserasi (+) didaerah
mukosa bibir dalam
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Dada :
Paru : I : simetris kiri dan kanan
P : fremitus kiri = kanan
Pk: sonor , batas peranjakan paru Th10
A : vesikuler, Ronkhi Basah Halus Nyaring (+/+) di basal
paru , Wh(-/-)
Jantung : I : iktus tidak terlihat
P : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pk : kanan : LSD ; kiri : 1 jari medial LMCS ; atas : RIC II
kiri
A: bunyi jantung murni teratur , bising ( - ), M1> M2, P2<
A2
Perut : I : perut tidak membuncit, sikatrik (-), striae (-) venektasi
-,vena kolateral (-)
P : hepar / lien tidak teraba, undulasi (-)
Pe : timpani
shifting dullnes (-)
batas paru hepar RIC6 kanan
A : BU (+) N
Punggung : CVA : NT (-), NK (-)
Alat Kelamin : tidak ada kelainan
Anggota gerak :
Extremitas atas : RF (+/+), RP (-/-), edema (-/-)
Extremitas bawah : RF (+/+), RP (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan Laboratorium :
06/12/12
Hb : 8,6 mg/dl Trombosit : 503.000
Leukosit : 9.900 /mm3 Hematrokit : 25%
Albumin : 2,8 mg/dl Globulin : 3,3mg/dl
Ureum : 20 Creatinin : 0,6

Different Count : 0/0/1/80/16/3


Na/K/Cl/Ca : 130/ 3,6 / 97 / 7,5
Gula Darah Sewaktu : 97 mg/dl
Protein total : 6,1 g/dl

ANALISIS GAS DARAH


pH : 7,47
pCO2 : 35 mmHg
pO2 : 103 mmHg
HCO3- : 22,6 mmol/L
BE ecf : -1,1 mmol/L
SO2 : 97 %
Diagnosa Kerja : Sepsis ec BP
Anemia ringan e.c penyakit kronik
Susp. Sistemik Lupus Eritematosus
Diagnosa Banding:
Anjuran : - Darah/Urin/ Feses rutin
- Kultur Darah
- Kultur Sputum
- Kultur Urin
- ANAtest
- Sel LE
- Investigasi Anemia
- EKG
- Expertisi Ro. Thoraks
Terapi : - Istirahat / ML TKTP
- IVFD NaCl 0,9 % 6 jam /kolf
- Inj. Ceftriakson 2x2 gr (ST)
- Inj. Ciprofloksasin 2 x 100 mg
- PCT 3x1 tab
- NTR 2x1 tab

Pemeriksaan Laboratorium (8/12/12)


As. Urat : 3,2 mg/dl
Natrium : 139
Kalium : 3,9
Cl : 108
Kalsium : 8,4
GDS : 145,4 mg/dl
Protein Total : 6,6
Albumin :3
Globulin : 3,6
SGOT : 85
SGPT : 85
Ureum : 35,9
Creatinin : 0,4 mg/dl
Cholesterol : 180
LDL : 27,8
HDL : 26 mg/dl
Trigliserida : 131 mg/dl
LED : 4 mm/jam
Retikulosit : 0,70 %
Hb : 9,2 g/dl
Ht : 26,6 %
Leukosit : 10.870
Dif. Count : 0/1/0/78/18/3
Eritrosit : 4.060.000
Trombosit : 530.000
MCV : 70,4
MCH : 22,7
MCHC : 32,2

URINALISA (8/12/12)
Protein : (+)
Glukosa : (-)
Leukosit : 3-4 / LPB
Eritrosit : 1-2 / LPM
Hasil Echocardiography : jantung dalam batas normal
Hasil Konsul Mata : tidak ada manifestasi SLE
Hasil Konsul Kulit : susp. SLE dan Pitriasis vesicolor
Hasil Ana Test : (+)
Hasil Ds-DNA : (+)
Coomb Test : (+)
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 15/12/12
Hb : 8,4 g/dl
Ht : 25,7
Leukosit : 16.940
Diff Count : 0/0/2/83/11/4
MCH : 23,8
MCV : 72,8
MCHC : 32,7
Eritrosit : 353.000.000
Trombosit : 292.000
LED :18
Retikulosit : 2,48
Na/K/Cl : 133/3,8/101
TIBC : 258 ug/dl
UIBC : 232 ug/dl
SI : 26 ug/dl
Eritrosit : normokrom anisositosis, hipokrom (+), cigar cell (+), sel target(+)
Leukosit : neutrofilia shift to the right

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien wanita umur 25 tahun, yang dirawat di


penyakit dalam sejak tanggal 5 Desember 2012, dengan diagnosis akhir :
Sistemik Lupus Eritematosus
Anemia mikrositik hipokrom
Sepsis ec BP
Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus berdasarkan temuan-temuan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang disesuaikan dengan kriteria diagnosis
American Rheumatology Assosiation (ARA) :
Anamnesis
 Nyeri pada sendi-sendi, otot dan seluruh tubuh sejak satu bulan yang lalu
(artritis).
 Badan letih – lesu sejak satu bulan yang lalu (akibat anemia).
 Ruam kehitaman pada hampir seluruh tubuh dan muka sejak tiga bulan yang
lalu ( malar rash dan lesi diskoid).
 Sariawan berulang sejak tiga bulan yang lalu (ulserasi mulut).
 Rambut rontok sejak tiga bulan yang lalu.
Pemeriksaan fisik
Kulit : makula hiperpigmentasi di hampir
seluruh tubuh dan muka (malar rash
dan lesi diskoid).
Rambut : hitam, mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
sclera ikterik (-/-) ( anemia
Gigi dan mulut : caries (+). ulserasi (+) didaerah
mukosa bibir dalam
Paru : I : simetris kiri dan kanan
P : fremitus kiri = kanan
Pk: sonor , batas peranjakan paru Th10
A : vesikuler, Ronkhi Basah Halus Nyaring (+/+) di basal
paru , Wh(-/-)
Kesan pemeriksaan paru : Brokopneumoni.
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 9,2 g/dl
Ht : 26,6 %
Leukosit : 10.870
Dif. Count : 0/1/0/78/18/3
Eritrosit : 4.060.000
Trombosit : 530.000
MCV : 70,4
MCH : 22,7
MCHC : 32,2
LED : 4 mm/jam
Retikulosit : 0,70 %
URINALISA (8/12/12)
Protein : (+)
Glukosa : (-)
Leukosit : 3-4 / LPB
Eritrosit : 1-2 / LPM
Hasil Ana Test : (+)
Hasil Ds-DNA: (+)
Sel LE : (+)
Coomb Test : (+)
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 15/12/12
Hb : 8,4 g/dl
Ht : 25,7
Leukosit : 16.940
Diff Count : 0/0/2/83/11/4
MCH : 23,8
MCV : 72,8
MCHC : 32,7
Eritrosit : 353.000.000
Trombosit : 292.000
LED :18
Retikulosit : 2,48
Na/K/Cl : 133/3,8/101
TIBC : 258 ug/dl
UIBC : 232 ug/dl
SI : 26 ug/dl
Eritrosit : normokrom anisositosis, hipokrom (+), cigar cell (+), sel target(+)
Leukosit : neutrofilia shift to the right
kesan hasil pemeriksaan laboratorium :

Terdapat gangguan hematologi berupa anemia mikrositik hipokrom.


Adanya protein di urinalisa pertanda mulai tejadi gangguan ginjal.

ANA test  gangguan imunologis

Coomb Test : anemia hemolitik autoimun.

Sel LE : gambaran seperti bunga rose.

Berdasarkan kriteria ARA pada pasien ini terdapat 7 kriteria.

Gangguan fungsi sistem respiratorius pada pasien ini didapatkan adanya


bronkopneumonia, proses infeksi paru adalah suatu yang cukup sering pada
penderita SLE terutama pasien-pasien yang telah mendapat terapi imunosupresan.
Penyebab infeksi tebanyak adalah bakteri dan virus, namun selain itu kelainan
paru dapat juga disebabkan oleh proses imunologi yang melibatkan paru,
pembuluh darah paru, pleura dan atau diagfragma. Gejala yang timbul dapat
berupa nyeri dada pleuritik, pneumonitis lupus akut yang ditandai dengan demam,
batuk, nyeri dada, sesak nafas, infiltrat pada rontgen paru (infiltrat difus terutama
di lapangan paru bawah), hipoksia, ronkhi dibasal paru, efusi pleura(50%) serta
hasil kultur sputum yang steril. Pada pasien ini gangguan respiratorius yang
terjadi sepertinya bukan suatu pneumonitis lupus karena pada pasien ini tidak
ditemukan nyeri dada pleuritik, sesak nafas dan efusi pleura pada pasien ini hanya
ditemukan demam, batuk, ronkhi dibasal paru, meskipun hasil rontgen toraks dan
hasil kultur sputum belum keluar. Untuk mendiagnosis adanya suatu pneumonitis
lupus dapat dilakukan: CT scanning yang dapat ditemukan adanya tanda-tanda
alveolitis atau fibrosis, peningkatan uptake Galium 67 skintigrafi, analisa
bronkoalveolar (BAL) yang normal.
Pada pasien ini terjadi gangguan menstruasi, yaitu amenorhea dalam 7
bulan ini. Pada penderita SLE terjadinya gangguan menstruasi dapat berupa
menorhagia (12-15 %) ataupun amenorhea (17-24%). Amenorhea terjadi akibat
terjadinya proses injury pada ovarium ataupun dapat akibat efek pemberian obat-
obat imunosupresif, amenorhea yang terjadi dapat bersifat temporer atau menetap.
Anemia hemolitik autoimun terjadi pada pasien ini terkait SLE karena
hasil Coomb’s test memberikan hasil yang positif ditambah adanya retikulosis.
Leukositosis dan trombositosis pada pasien diduga sekunde akibat reaksi dari
proses inflamasi dan infeksi yang terjadi, penanganan leukositosis dan
trombositosis pada pasien ini adalah dengan mengatasi penyebab utamanya.
Peningkatan SGOT dan SGPT pada pasien ini mungkin disebabkan oleh
hepatitis autoimun akibat penyakit SLE sendiri yang dikenal dengan lupoid
hepatitis dimana yang paling sering adalah Hepatitis Otoimun (HO) tipe 1.
Biasanya pada lupoid hepatitis didapatkan kadar amino trasferase dan alkali
fosfatase dalam keadaan normal atau meningkat < 4 kali normal. Pada HO terjadi
proses inflamasi yang melibatkan sel-sel hati dimana terjadi reaksi antigen
antibodi yang merusak membran sel hati, mengakibatkan ekspresi membran sel
terhadap autoantigen dan terjadi ekspansi sel T limfosit sitotoksik yang merusak
jaringan hati. Untuk memastikan diagnosa HO perlu pemeriksaan gamma
globulin, tes serologi seperti ANA (antinuclear antibody), SMA (smooth muscle
antibody), SLA (Soluble Liver Antigen), anti LKM 1 ( Liver Kidney Mikrosomal
antibody) dan anti SLA serta perlu sebaiknya dilakukan biopsi hati dimana pada
lupoid hepatitis akan didapatkan periportal inflamasi dan gambaran vaskulitis
pada pembuluh darah hati.
Prognosis pada pasien bila melakukan kontrol pengobatan yang teratur
serta adanya suatu terapi yang terencana diduga 5 survival rate 90%, perbaikan
angka harapan hidup ini dibantu ini dibantu akibat majunya ilmu biomolukuler
dalam pemberian terapi imunosupresan serta kemajuan antibiotika.

Anda mungkin juga menyukai