Sistemik Lupus Eritematosus
Sistemik Lupus Eritematosus
1. Definisi
SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun
dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan
dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui
secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoantibody dalam tubuh. 1
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. 1
2. Epidemiologi
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus
eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi
wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65
tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga
dijumpai pada anak usia 10 tahun.1
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi
dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan
penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli
Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum
usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun
kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1
sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,
sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan
menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan
rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi
penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-
Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah
penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia
yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras
Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita
keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal
yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1
3. Etiologi
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi
diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan
faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik
yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu
juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya
peningkatan autoantibody. 4
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau
regulasi sistem imun.3,
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's
Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;
Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;
Interferon-a.
4. Patogenesis
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis
SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep
bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin
(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor
imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks
dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun. 3,4
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator
yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi
kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,
dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3,4
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel
limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.
Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk
dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk
kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. 3,4
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. 4
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,
yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat
juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula
autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat
berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,
sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.4
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis
ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi
antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui
pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.4
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang
sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).
Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 2
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan
penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars
dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi
oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause
dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan
estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. 2,4
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan
hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan
LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone),
LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan
dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan
estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4
4. Diagnosis
4.1 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem
dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang
lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.1
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan
remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat
seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya
golongan sulfa. 1
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang
paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat
badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung
intermiten atau terus-menerus. 4
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh
lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan
kaki. 4
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,
terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat
responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain
pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan
ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum
terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan
kortikosteroid dan vaskulopati. 4
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan
nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.
Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun
kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis
pada SLE.4
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau
ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari
merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. 4
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk
semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut
penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga
berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5
2). Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.5
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan
sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai
tahap lanjut.4
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri
akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat. 2,3,4
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia. 2,3,4
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan
kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium
pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 2,3,4
Kriteria Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit
4 dari 11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4
5. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan Umum :
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai
15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan;
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan
non-steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
Untuk SLE derajat berat;
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal,
penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat
bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu
belum ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan
dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut
6. Komplikasi
7. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin
membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun
jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami
kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang wanita usia 25 tahun, dirawat di bangsal penyakit dalam RSUP
DR. M. Djamil Padang, sejak tanggal 6 Desember 2012 , dengan :
ANAMNESA
Keluhan Utama :
Demam sejak tujuh hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang :
Demam sejak tujuh hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.Demam tinggi
terus menerus tidak mengigil tidak berkeringat dan turun bila minum obat
penurun demam.
Nyeri pada sendi-sendi, otot dan seluruh tubuh sejak satu bulan yang lalu.
Badan letih – lesu sejak satu bulan yang lalu.
Batuk sejak 7 bulan yang lalu, batuk tidak berdahak dan tidak berdarah.
Nyeri dada bila bernafas disangkal.
Ruam kehitaman pada hampir seluruh tubuh dan muka sejak tiga bulan yang
lalu.
Sariawan berulang sejak tiga bulan yang lalu.
Rambut rontok sejak tiga bulan yang lalu.
Sering merasa silau disangkal.
Nafsu makan menurun , BB turun, tidak diketahui penurunan.
Mual dan Muntah (-)
BAB dan BAK biasa.
Riwayat menstruasi : tujuh bulan terakhir tidak haid lagi, biasanya haid lancar
1x/ bulan, tiap 30 hari, lama haid 7 hari
Riwayat penyakit dahulu :
Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : CMC
Keadaan Umum : sedang
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Tekanan Darah : 90/60 cmHg
Nadi : 126x / menit
Nafas : 20 x / menit
Suhu : 39,6 0C
Edema : (-)
Anemis : (-)
Kulit : makula hiperpigmentasi di hampir
seluruh tubuh dan muka.
KGB : tidak membesar
Kepala : normochepal
Rambut : hitam, mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (+/+)
sclera ikterik (-/-)
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Gigi dan mulut : caries (+). ulserasi (+) didaerah
mukosa bibir dalam
Leher : JVP 5 – 2 cm H2O
Dada :
Paru : I : simetris kiri dan kanan
P : fremitus kiri = kanan
Pk: sonor , batas peranjakan paru Th10
A : vesikuler, Ronkhi Basah Halus Nyaring (+/+) di basal
paru , Wh(-/-)
Jantung : I : iktus tidak terlihat
P : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pk : kanan : LSD ; kiri : 1 jari medial LMCS ; atas : RIC II
kiri
A: bunyi jantung murni teratur , bising ( - ), M1> M2, P2<
A2
Perut : I : perut tidak membuncit, sikatrik (-), striae (-) venektasi
-,vena kolateral (-)
P : hepar / lien tidak teraba, undulasi (-)
Pe : timpani
shifting dullnes (-)
batas paru hepar RIC6 kanan
A : BU (+) N
Punggung : CVA : NT (-), NK (-)
Alat Kelamin : tidak ada kelainan
Anggota gerak :
Extremitas atas : RF (+/+), RP (-/-), edema (-/-)
Extremitas bawah : RF (+/+), RP (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan Laboratorium :
06/12/12
Hb : 8,6 mg/dl Trombosit : 503.000
Leukosit : 9.900 /mm3 Hematrokit : 25%
Albumin : 2,8 mg/dl Globulin : 3,3mg/dl
Ureum : 20 Creatinin : 0,6
URINALISA (8/12/12)
Protein : (+)
Glukosa : (-)
Leukosit : 3-4 / LPB
Eritrosit : 1-2 / LPM
Hasil Echocardiography : jantung dalam batas normal
Hasil Konsul Mata : tidak ada manifestasi SLE
Hasil Konsul Kulit : susp. SLE dan Pitriasis vesicolor
Hasil Ana Test : (+)
Hasil Ds-DNA : (+)
Coomb Test : (+)
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 15/12/12
Hb : 8,4 g/dl
Ht : 25,7
Leukosit : 16.940
Diff Count : 0/0/2/83/11/4
MCH : 23,8
MCV : 72,8
MCHC : 32,7
Eritrosit : 353.000.000
Trombosit : 292.000
LED :18
Retikulosit : 2,48
Na/K/Cl : 133/3,8/101
TIBC : 258 ug/dl
UIBC : 232 ug/dl
SI : 26 ug/dl
Eritrosit : normokrom anisositosis, hipokrom (+), cigar cell (+), sel target(+)
Leukosit : neutrofilia shift to the right
DISKUSI