MODUL 09
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
pengembangan Modul Konservasi DAS dan Tata Ruang sebagai materi
inti/substansi dalam Pengendalian Banjir. Modul ini disusun untuk memenuhi
kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang SDA.
Modul Konservasi DAS dan Tata Ruang disusun dalam 3 (tiga) bagian yang terbagi
atas Pendahuluan, Materi Pokok, dan Penutup. Penyusunan modul yang sistematis
diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami konservasi
DAS dan tata ruang. Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini lebih
menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim
Penyusun dan Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka
dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan
yang terus menerus terjadi. Semoga Modul ini dapat memberikan manfaat bagi
peningkatan kompetensi ASN di bidang SDA.
DAFTAR ISI
KUNCI JAWABAN
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi iii
Modul 9 Konservasi DAS dan Tata Ruang
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 - Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan (Raudkivi,
1979; Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984) ................ 3
Gambar I.2 - Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan tata guna lahan ............. 6
Gambar I.3 - Urutan strategi perencanaan konservasi tanah dan air
(setelah Parrens and Trustum, 1984) .............................................. 12
Gambar I.4 - Sketsa terras pengelak (a) dan terras retensi (b) ............................ 19
Gambar I.5 - Sketsa terras bangku berlereng ke dalam (atas), dan terras bangku
datar (bawah) .................................................................................. 20
Gambar I.6 - Sistem terras konvensional pada lahan sawah (kiri) dan pada lahan
kering (kanan) ................................................................................. 20
Gambar I.7 - Sketsa tata letak saluran pembuang air dalam sistem konservasi tanah
dan air (dari Morgan, 1986) ............................................................. 22
Gambar I.8 - Bangunan check dam dari beton (kiri) dan bronjong (kanan) ........... 23
Gambar I.9 - Berbagai macam konstruksi perkuatan tebing ................................. 29
Gambar I.10 - Berbagai macam konstruksi konsolidasi pondasi .......................... 30
PETUNJUK PENGGUNAAN
Deskripsi
Modul Konservasi DAS dan Tata Ruang ini terdiri dari 1 (satu) materi pokok yang
membahas mengenai konservasi DAS dan tata ruang.
Peserta pelatihan mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara yang berurutan.
Pemahaman setiap materi pada modul ini diperlukan untuk memahami konservasi
DAS dan tata ruang. Setiap materi pokok dilengkapi dengan latihan yang menjadi
alat ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan setelah mempelajari materi pada
materi pokok.
Persyaratan
Dalam mempelajari modul ini, peserta pelatihan diharapkan dapat menyimak
dengan seksama penjelasan dari pengajar, sehingga dapat memahami dengan baik
materi yang merupakan materi inti/substansi dari Pelatihan Pengendalian banjir.
Untuk menambah wawasan, peserta diharapkan dapat membaca terlebih dahulu
materi yang berkaitan dengan konservasi DAS dan tata ruang dari sumber lainnya.
Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran ini, metode yang dipergunakan adalah dengan
kegiatan pemaparan yang dilakukan oleh Pengajar/Widyaiswara/Fasilitator, adanya
kesempatan diskusi dan studi kasus.
Alat Bantu/Media
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan Alat Bantu/Media
pembelajaran tertentu, yaitu: LCD/projector, Laptop, white board dengan spidol dan
penghapusnya, bahan tayang, serta modul dan/atau bahan ajar.
Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan mampu
memahami konservasi DAS dan tata ruang.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka
pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan semakin bertambahnya volume dan kompleksitas tugas-tugas
lembaga pemerintahan dan silih bergantinya regulasi yang begitu cepat perlu
upaya-upaya preventif untuk memperlancar tugas-tugas yang harus diemban oleh
Pegawai Negeri Sipil.
B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membekali peserta pelatihan dengan pengetahuan/wawasan
mengenai konservasi DAS dan tata ruang, melalui metode ceramah interaktif,
diskusi dan studi kasus.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran, peserta diharapkan mampu
memahami konservasi DAS dan tata ruang.
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta diharapkan mampu menjelaskan
konservasi DAS dan tata ruang.
E. Estimasi Waktu
Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk
mata pelatihan “Konservasi DAS dan Tata Ruang” ini adalah 6 (enam) jam pelajaran
(JP) atau sekitar 270 menit.
MATERI POKOK 1
KONSERVASI DAS DAN TATA RUANG
Gambar I.1 - Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan
(Raudkivi, 1979; Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984)
Perlu pula diketahui bahwa perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi
dominan kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh ke tanah airnya akan
menjadi aliran permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke dalam tanah
tergantung kondisi tanahnya.
Suatu kawasan hutan bila diubah menjadi permukiman maka yang terjadi adalah
bahwa hutan yang bisa menahan run-off cukup besar diganti menjadi pemukiman
dengan resitensi run-off yang kecil. Akibatnya ada peningkatan aliran permukaan
tanah yang menuju sungai dan hal ini berakibat adanya peningkatan debit sungai
yang besar. Apabila kondisi tanahnya relatif tetap, air yang meresap ke dalam tanah
akan relatif tetap.
Sudah sering ada pernyataan bahwa “apabila hutan digunduli atau menjadi
kawasan permukiman resapannya hilang terjadilah banjir”. Pernyataan ini kurang
tepat, seharusnya yang perlu disampaikan adalah ”apabila hutan digunduli atau
menjadi kawasan pemukiman maka run-off (aliran permukaan) akan meningkat
signifikan dan terjadilah banjir”. Resapan yang masuk ke dalam tanah relatif tetap
karena jenis tanahnya tidak berubah. Namun kuantitas resapan menjadi kecil
karena di atas tanah yang bisa meresap air berubah menjadi bangunan permanen
yang kedap air. Hubungan antara run-off dan resapan mempunyai perbedaan
tingkat besaran (order of magnitude) yang besar.
Bila yang dibicarakan adalah run-off maka, kecepatan air berkisar dari 0,1-1 m/detik
bahkan bisa mencapai lebih dari 10 m/detik tergantung dari kemiringan lahan tinggi
aliran, penutup lahan.
Bila yang dibicarakan adalah resapan maka kecepatan air yang meresap ke dalam
tanah tergantung dari jenis tanah. Bila jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran
(konduktivitas hidraulik) sangat kecil berkisar antara 1/1.000.000.000.000 sampai
1/1000.000.000 m/detik (10-12 sampai 10-9 m/detik), sedangkan bila jenis tanah
lanau (silt) maka kecepatan aliran berkisar antara 1/100.000.000 - 1/10.000 m/detik
(10-8 sampai 10-4 m/detik). Bila jenis pasir maka kecepatan aliran berkisar antara
1/100.000 - 1/100 m/detik (10-5 sampai 10-2 m/detik). Tabel 1.1 menunjukkan
konduktivitas hidraulik untuk berbagai jenis tanah.
kerikil
10-1
Karst Limestone
10-2
Permeable basalt
10-3
pasir
kerikil lanau
10-4
metamorphic &
igneous rock
10-5
fractured
silt,loess
10-6
Limestone &
dolomite
batuan pasir
10-7
Glacial till
10-8
10-9
Unweathered
marine clay
Lempung
10-10
metamorphic &
igneous rock
shale
Unfractured
10-11
10-12
10-13
Berikut ini diberikan gambaran tentang perubahan run-off akibat perubahan tata
guna lahan.
Gambar I.2 - Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan tata guna lahan
Umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan perbaikan
penampang sungai sering disebut dengan istilah populer normalisasi. Perbaikan
sungai yang dilakukan umumnya dengan melebarkan sungai atau memperdalam
(pengerukan) sungai. Sesungguhnya istilah normalisasi kurang tepat, karena
sebenarnya sungai (alami) sudah normal lalu mengapa harus dinormalkan. Secara
alami sungai hampir selalu merubah kondisi fisiknya sesuai dengan perubahan
yang terjadi di sungai.
Sebagai contoh perubahan debit sungai akan diikuti dengan perubahan morfologi
sungai. Pengertian ini lebih dominan meluruskan sungai, melebarkan atau
memperdalam penampang, agar aliran air lebih cepat dan kapasitas sungai
menampung air lebih besar.
Pelebaran sungai tergantung dari tata guna lahan di sekitarnya. Apabila sudah
dipadati penduduk maka persoalan menonjol yang terjadi adalah pembebasan
tanah. Semakin padat penduduk dan semakin strategis lokasinya, biaya
pembebasan akan semakin mahal. Dalam kondisi ini untuk melebarkan menjadi dua
kali lebar semula akan sangat mahal dan menghadapi persoalan pembebasan
tanah yang cukup sulit dipecahkan. Di samping itu perlu diperhatikan ketersediaan
air di DAS untuk cadangan air di musim kemarau. Memperbesar kapasitas sungai
berarti memperkecil air yang tertahan di DAS.
Pelebaran atau pengerukan sungai hampir linear dengan debit. Bila sungai
dilebarkan menjadi dua kali, maka debitnya meningkat dua sampai empat kali.
Demikian pula bila sungai diperdalam dua kali maka debit pada awalnya juga
menjadi dua sampai empat kali dari debit semula, namun karena ada sedimentasi
maka kedalaman sungai ada kemungkinan akan kembali seperti semula, bahkan
bila laju sedimentasi besar luas penampang sungai akan menjadi lebih kecil.
Sebagai catatan dalam upaya memperdalam atau melebarkan sungai perlu dikaji
stabilitas sungai. Dalam kaitan upaya untuk stabilitas sungai, para ahli teknik sungai
dianjurkan oleh Simons dan Senturk (1992) agar tidak berupaya mengembangkan
sungai lurus.
Untuk membedakan tingkat kerusakan yang diderita oleh suatu DAS atau sub-DAS
dengan yang lainnya, maka perlu diberi nilai masing-masing menurut kualitasnya.
Nilai itu nantinya akan merupakan derajat kualitas DAS atau sub-DAS.
Di Indonesia belum terdapat suatu metode penelitian DAS yang baku. Tingkat
kerusakan DAS atau sub-DAS selama ini, hanya dinilai dengan menyatakan erosi
yang diderita oleh DAS atau sub-DAS tersebut, dalam satuan ton/ha/tahun, yang
diketahui melalui metode Universal Soil Loss Equation.
Pelaksanaan penentuan tingkat erosi dengan metode Universal Soil Loss Eqution
(USLE), amat sulit diterapkan apabila dilakukan untuk menilai kualitas suatu DAS.
Karena dalam suatu DAS, terdapat banyak sekali jenis tanah, sehingga faktor
erodibilitas tanah (faktor K) menjadi berbeda-beda pula. Demikian pula faktor
erosivitas hujan (R), faktor panjang-dan kemiringan lereng (LS), faktor pengolahan
tanah (P) dan faktor pengelolaan tanaman (C), yang masing-masing faktor tersebut
memiliki nilai yang berbeda-beda pada luasan daerah tertentu yang diteliti.
Semua faktor-faktor tersebut di atas, merupakan penentu laju erosi (Ea) yang bakal
diderita oleh setiap luasan lahan tertentu, dan hanya faktor pengelolaan tanaman
dan faktor praktek konservasi tanah, yang dapat diupayakan dengan campur
tangan manusia. Dengan demikian, untuk menghitung tingkat (laju) erosi dalam
suatu DAS dengan metoda USLE, maka haruslah dihitung laju erosi (Ea) yang
diderita oleh lahan setiap luasan tertentu, diseluruh DAS, kemudian dijumlahkan.
Hal tersebut merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, dan memerlukan waktu
yang lama, tenaga dan keahlian.
Kemajuan teknologi komputer dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dewasa ini
sedikit banyak telah mampu membantu memecahkan permasalahan spasial
tersebut. Interaksi antara USLE dan SIG mampu memprediksi laju erosi secara
spasial dengan cepat dengan segmentasi luasan (elemen) sesuai yang kita
kehendaki. Suatu DAS dibagi-bagi dalam grid dengan ukuran tertentu sehingga
terbentuk elemen-elemen dengan luasan sesuai dengan ukuran grid. Tiap-tiap
elemen mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri yang unik. Parameter USLE
dihitung secara individual untuk tiap-tiap elemen, dan merupakan data masukan
bagi SIG. Dari tiap-tiap parameter USLE dapat digambarkan dalam peta tematik
(thematic map) sehingga akan terbentuk lima macam peta tematik, yaitu peta
erosivitas hujan - R, peta erodibilitas tanah - K, peta kemiringan dan panjang lereng
- LS, peta manajemen tanaman - C, dan peta kontrol erosi praktis - P. Peta laju
erosi dapat diperoleh dengan menampakkan (overlay) kelima peta tematik
parameter USLE tersebut.
Apabila akan membuat suatu rencana rehabilitas untuk suatu daerah aliran sungai,
maka perlu terlebih dahulu diidentifikasi seluruh sub-DAS yang terdapat dalam
kawasan DAS tersebut, untuk meyakini sub-DAS mana yang paling besar
kontribusinya terhadap penurunan kualitas DAS tersebut. Identifikasi ini perlu
dilakukan, agar pembangunan atau rehabilitasi dapat diarahkan pada sasaran-
sasaran yang merupakan sumber kerusakan, dan dapat dipilih prioritas sub-DAS
untuk ditetapkan, dari sub-DAS mana pekerjaan harus dimulai. Dengan prosedur
tersebut, maka pelaksana atau penduduk dapat menggunakan biaya dan waktu
secara efisien, efektif dengan hasil yang memuaskan.
Pengaruh atau interaksi manusia pada suatu DAS yang tercakup dalam faktor
pengelolaan tanaman dan praktek konservasi tanah seperti tersebut di atas, sangat
mempengaruhi erosi, yaitu adanya yang disebut percepatan erosi (accelerated
erosion), erosi yang dipercepat atau sebaliknya. Apabila pada suatu DAS dilakukan
penebangan terhadap pohon-pohon seperti yang sering dilakukan oleh oknum-
oknum peladang berpindah, atau penduduk, atau petani, maka ini berarti
pengurangan terhadap vegetasi penutup tanah, dan penambahan bagian yang
terbuka. Pengurangan terhadap penutupan tanah seperti vegetasi dan serasah,
berakibat terhadap pengurangan air yang melalui proses evapotranspirasi (ET), dan
pengurangan infiltrasi peresapan air ke dalam tanah.
Akibat lain terhadap lingkungan yang karena berkurangnya vegetasi penutup tanah
karena tindakan penebangan pohon atau semacamnya, ialah peningkatan pukulan
curah hujan, berakibat peningkatan terhadap pembongkaran tanah. Dengan
peningkatan pembongkaran tanah, maka akan terjadi peningkatan terhadap erosi,
dan peningkatan terhadap konsentrasi sedimen di sungai.
Adapun karakteristik suatu DAS atau sub-DAS, dapat digambarkan oleh fluktuasi
debit sungainya. Hal ini, dapat dijelaskan dengan proses siklus hidrologi pada suatu
DAS. Hujan yang jatuh di atas daerah penangkapan (catchment area) sebuah
daerah aliran sungai, mula-mula diterima oleh vegetasi, kemudian sebagian
dilepaskan melalui proses intersepsi (interception), dan sebagian lagi jatuh
langsung ke bawah pohon, dan sebagian lainnya dialirkan melalui proses aliran
batang (steamflow). Aliran batang diteruskan ke dalam tanah melalui akar, yaitu
yang kemudian dilepaskan ke pori-pori tanah melalui proses infiltrasi. Air dalam
tanah selanjutnya dengan daya gravitasi bergerak menuju tempat yang lebih rendah
dengan proses perkolasi, menuju ground water storage, penampungan air di bawah
tanah, dan dari tempat ini air akan mengalir ke sungai secara teratur.
Batas maksimum laju erosi atau tingkat toleransi kehilangan tanah bukanlah hal
yang mudah untuk ditentukan, karena menyangkut keseimbangan antara laju erosi
dan laju pembentukan tanah yang secara praktis tidak mungkin dapat ditentukan.
Adalah hal yang sangat sulit untuk mengenali kapan kondisi keseimbangan itu
tercapai, walaupun laju kehilangan tanah dapat diukur, laju pembentukan tanah
berlangsung sangat lambat dan tidak mudah untuk menentukannya. Secara global
laju pembentukan tanah berkisar antara 0,01 - 7,7 mm/th, dengan rata-rata 0,1
mm/th.
Laju pembentukan tanah 0,1 mm/th ekivalen dengan 0,12 kg/m2/th atau 1,2 t/ha/th,
dengan menganggap rapat massa tanah 1 t/m3. Laju sebesar itu masih lebih
kecil dibanding laju kehilangan tanah rata-rata lahan pertanian. Oleh karena itu,
secara praktis Morgan (1986) menyatakan bahwa tingkat toleransi kehilangan tanah
dapat didefinisikan sebagai nilai dimana kesuburan tanah dapat dipertahankan 20
sampai 25 tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya erosi tanah disebabkan oleh hujan dan
aliran permukaan, maka strategi konservasi tanah harus mengarah pada : (i)
melindungai tanah dari hantaman air hujan dengan penutup permukaan tanah, (ii)
mengurangi aliran permukaan dengan meningkatkan kapasitas infiltrasi, (iii)
meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan (iv) mengurangi kecepatan aliran
permukaan dengan meningkatkan kekasaran permukaan lahan.
Secara garis besar metode konservasi tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan utama, yaitu (1) secara agronomis, (2) secara mekanis, dan (3) secara
kimia.
ketinggian ini tidak efektif sebagai tanaman konservasi. Disamping itu, butiran hujan
yang terintersepsi oleh tanaman dapat saling menyatu untuk membentuk butiran
yang lebih besar sehingga lebih erosif. Dengan demikian tanaman rendah berdaun
kecil memberi dampak lebih efektif dalam mengurangi energi kinetik butiran hujan
dibanding tanaman tinggi dan berdaun lebar. Sebab daun lebar akan berfungsi
sebagai cawan pengumpul butiran air hujan.
Konservasi tanah dan air secara vegetatif dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, yaitu:
Pertanaman tanaman atau tumbuhan penutup tanah secara terus-menerus
(permanent plant cover)
Pertanaman dalam strip (strip cropping)
Adapun usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam metode mekanis
antara lain meliputi:
Pengolahan tanah
Pengolahan tanah menurut garis kontur
Pembuatan terras
Pembuatan saluran air (waterways)
Pembuatan dam pengendali (check dam)
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
ditujukan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan utama pengolahan tanah adalah menyiapkan tempat tumbuh
bagi benih, menggemburkan tanah pada daerah perakaran, membalikkan
tanah sehingga sisa-sisa tanaman terbenam didalam tanah, dan memberantas
gulma.
Manfaat pengolahan tanah, sampai saat ini masih sering diragukan. Dari segi
konservasi tanah, pengolahan tanah malah merugikan, karena justru akan
memperbesar kemungkinan timbulnya erosi pada lahan-lahan yang miring,
apalagi jika sistem pengolahannya searah dengan kemiringan lahan atau tegak
lurus garis kontur. Tanah yang telah diolah secara sepintas memang dapat
meningkatkan kapasitas infiltrasi karena tanah menjadi gembur. Akan tetapi
pengaruh ini hanya sementara, tanah yang gembur akan menjadi lebih mudah
dihancurkan oleh butiran air hujan. Disamping itu, pengolahan tanah juga
mempercepat mineralisasi bahan organik sehingga kemantapan agregat akan
menurun (Utomo dan Dexer, 1982). Oleh karena itu pengolahan tanah tidak
perlu dibesar-besarkan, mengingat waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan
tidak selalu sebanding dengan tambahan hasil yang diperoleh.
Untuk mencapai hasil pengelolaan tanah yang tidak hanya baik bagi pertanian,
tapi juga bagi usaha-usaha konservasi, maka usaha-usaha yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
Tanah diolah seperlunya saja.
Pengolahan tanah dilakukan pada saat kandungan air yang tepat
Pengolahan tanah dilakukan sejajar garis kontur.
Merubah kedalaman pengolahan tanah.
Pengolahan tanah sebaiknya diikuti dengan pemberian mulsa.
Pada jenis tanah lempung dan pasir halus, laju erosi dapat dikurangi lebih
lanjut dengan menyimpan air di permukaan dari pada membiarkannya menjadi
aliran permukaan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat gundukan-
gundukan tanah pada jarak tertentu.
Pada lahan yang lebih curam atau lahan dengan kondisi tanah yang peka
terhadap erosi fungsi guludan kemungkinan kurang efektif. Dalam hal ini perlu
4. Terras
Terras adalah timbunan tanah yang dibuat melintang atau memotong
kemiringan lahan, yang berfungsi untuk menangkap aliran permukaan, serta
mengarahkannya ke outlet yang mantap/stabil dengan kecepatan yang tidak
erosif. Dengan demikian memungkinkan terjadinya penyerapan air dan
berkurangnya erosi.
Berdasarkan fungsinya, terras dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (1) terras
pengelak (diversion terrace), (2) terras retensim (retention terrace), dan (3)
terras bangku (bench terrace).
Terras pengelak mempunyai fungsi utama untuk menangkap aliran
permukaan dan mengalirkannya memotong kontur melalui outlet yang tepat.
Terras jenis ini cocok diterapkan untuk lahan dengan kemiringan kecil, sekitar
1:250. Beberapa tipe terras pengelak yang sudah dikenal diantaranya terras
Mangum dan terras Nicholas. Terras Mangum dibuat dengan cara menimbun
tanah yang diambil dari kedua sisinya (atas dan bawahnya). Sedangkan
terras Nicholas tanah timbunan hanya diambil dari sisi sebelah atasnya saja
(Gambar I.4a).
Terras retensi dibuat dimana diperlukan penyimpanan air dengan
menampungnya di bagian bukit (Gambar I.4b). Dalam hal ini diperlukan
adanya bagian tanah yang datar yang mampu menampung/menyimpan
aliran permukaan dengan periode ulang 10-tahunan dengan tanpa terjadi
limpasan (overtopping). Terras jenis ini biasanya hanya direkomendasikan
untuk tanah permeabel dengan kemiringan kurang dari 4,5o.
Terras bangku atau tangga dibuat dengan jalan memotong lereng dan
meratakan tanah dibagian bawah sehingga terbentuk suatu deretan anak
tangga atau bangku yang dipisahkan oleh talud. Terras bangku cocok untuk
lahan dengan kemiringan sampai 30o atau kurang lebih 50% yang masih
difungsikan sebagai lahan pertanian. Talud merupakan bagian yang kritis
terhadap bahaya erosi, dan biasanya dilindungi dengan tumbuhan/rumput
atau kadang-kadang dilapisi dengan pasangan batu kali atau beton untuk
lahan yang ditanami komoditas dengan nilai ekonomi tinggi. Ada dua jenis
terras bangku yang banyak dibuat di Indonesia, yaitu terras bangku berlereng
ke dalam dan terras bangku datar (Gambar I.5). Terras bangku berlereng ke
dalam dipergunakan untuk tanah-tanah dengan permeabilitas rendah,
dengan maksud air yang tidak terinfiltrasi dengan cepat tidak mengalir keluar
melalui talud. Terras bangku sulit diterapkan pada usaha pertanian yang
menggunakan mesin-mesin pertanian besar, sehingga konstruksinya
memerlukan modal yang cukup besar. Terras bangku juga sulit dilaksanakan
untuk lahan dengan lapisan tanah tipis.
Luas areal yang dapat ditanami pada lahan yang menggunakan terras
bangku makin berkurang dengan bertambah kecuraman lereng lahan. Pada
lereng 30% misalnya, dengan jarak vertikal 1 meter, lebar lahan yang dapat
ditanami adalah 1,83 m, lahan yang dapat ditanami tinggal hanya 55%.
Gambar I.5 - Sketsa terras bangku berlereng ke dalam (atas), dan terras
bangku datar (bawah)
Gambar I.6 - Sistem terras konvensional pada lahan sawah (kiri) dan pada
lahan kering (kanan)
Ada tiga macam saluran pembuang air yang dapat dibuat dalam sistem
konservasi tanah dan air, yaitu (1) saluran pengelak, (2) saluran terras, dan (3)
saluran berumput (grass waterways) (Gambar I.7). Saluran pengelak dibuat di
bagian atas lereng dari lahan pertanian, berfungsi untuk menangkap air yang
mengalir dari lereng di atasnya dan menyalurkannya ke saluran berumput.
Saluran terras berfungsi mengumpulkan air dari areal antar terras dan
menyalurkannya memotong lereng menuju ke saluran berumput. Saluran
berumput, yang biasanya berupa saluran alamiah yang terletak di bagian yang
rendah, berfungsi menyalurkan air yang berasal dari kedua saluran lainnya ke
arah bawah menuju sistem sungai. Saluran berumput direkomendasi untuk
lahan berkemiringan sampai 11o, pada lahan yang lebih terjal, sampai 15o,
saluran perlu dilapisi batu, pasangan, atau beton . Untuk lahan-lahan perbukitan
dengan lereng sangat terjal, saluran perlu dilengkapi dengan bangunan
terjunen.
Gambar I.7 - Sketsa tata letak saluran pembuang air dalam sistem
konservasi tanah dan air (dari Morgan, 1986)
6. Bangunan Satabilitas
Bangunan stabilisasi sangat penting artinya dalam rangka reklamasi
parit/selokan dan pengendalian erosi parit/selokan. Bangunan stabilisasi yang
umum berupa dam penghambat (check dam), balong, dan rorak. Bangunan-
bangunan tersebut berfungsi untuk mengurangi volume dan kecepatan aliran
permukaan, disamping juga untuk menambah masukan air tanah dan air bawah
tanah.
Dam penghambat (check dam) adalah bangunan yang dibuat melintang parit
atau selokan yang berfungsi untuk menghambat kecepatan aliran dan
menangkap sedimen yang dibawa aliran sehingga kedalaman dan kemiringan
parit berkurang (Gambar I.8). Bangunan ini biasanya dibuat dari bahan lokal
yang tersedia, misalnya kayu, tanah, atau batu. Bangunan ini mempunyai resiko
kegagalan yang tinggi, namun dapat memberikan stabilisasi sementara dan
dapat dikombinasikan dengan sistem agronomi.
Gambar I.8 - Bangunan check dam dari beton (kiri) dan bronjong (kanan)
Balong adalah waduk kecil yang dibuat di daerah perbukitan dengan kemiringan
lahan kurang dari 30%. Bangunan ini berfungsi untuk menampung air aliran
permukaan guna memenuhi kebutuhan air tanaman, ternak dan keperluan-
keperluan lainnya, menampung sedimen hasil erosi, meningkatkan jumlah air
yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi), dan mendekatkan permasalahan dan
penyelesaian konservasi kepada masyarakat. Syarat utama balong yang efektif
adalah (1) kondisi topografi di tempat balong akan dibangun harus
memungkinkan pembangunan yang ekonomis; tenaga dan biaya merupakan
fungsi langsung panjang dan kedalaman balong, dua faktor yang menentukan
volume balong (2) cukup air yang memenuhi syarat, (3) terdapat bahan tanah
yang kedap air, (4) semua balong harus dilengkapi fasilitas pelimpah untuk
menyalurkan air pada saat terjadi banjir secara aman, (5) balong harus dapat
dikeringkan untuk keperluan perbaikan-perbaikan. Untuk menghindari
sedimentasi, areal sekitar balong harus tertutup vegetasi yang rapat, tidak boleh
terbuka atau digarap. Tanah bagian bawah (subsoil) harus terdiri-dari lapisan
yang relatif kedap air.
Ada beberapa tipe balong yang dikenal, yaitu (a) balong galian (digaout ponds)
sumber air utamanya berasal dari air tanah, (b) balong aliran permukaan
(surface water ponds), (c) balong mata atau sungai kecil (spring-fed atau creek-
fed ponds), (d) balong by-pass (off-stream ponds atau by-pass ponds).
Rorak (silt pit) adalah bangunan yang dibuat dengan menggali lubang sedalam
60 cm, lebar 50 cm, dengan panjang 4 sampai 5 meter. Rorak dibuat
memanjang sejajar garis kontur atau memotong lereng. Jarak kesamping antara
satu rorak dengan rorak lainnya berkisar antara 10 sampai 15 meter, sedangkan
jarak ke arah lereng berkisar antara 10 meter, untuk lereng yang agak curam)
sampai 20 meter untuk lahan yang landai. Banguan ini berfungsi untuk
menangkap air dan tanah yang tererosi, sehingga terjadi pengisian air tanah
dan mengurangi erosi.
Bahan pemantap tanah yang baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut
(Seta,1987):
Mempunyai sifat yang adhesif serta dapat bercampur dengan tanah secara
merata.
Dapat merubah sifat hidrophobik atau hidrophilik tanah, yang dengan demikian
dapat merubah kurva penahanan air tanah.
Dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, yang berarti mempengaruhi
kemampuan tanah dalam menahan air.
Daya tahan sebagai pemantap tanah cukup memadai, tidak terlalu singkat dan
tidak terlalu lama.
Tidak bersifat racun (phytotoxix) dan harganya terjangkau (murah).
Beberapa macam bahan pemantap tanah yang banyak digunakan dalam rangka
konservasi tanah dan air dapat dilihat pada Gambar berikut. Cara kerja bahan
pemantap tanah tersebut dapat digambarkan dengan contoh penggunaan
Polyacrylamide (PAM) di bawah ini.
perkuatan lereng, agar dapat mengurangi kecepatan arus air di depan perkuatan
lereng, mencegah gerusan dasar sunagi di depan perkuatan lereng dan
melindungi perkuatan lereng secara keseluruhan. Konsolidasi pondasi dapat
berupa: lapis-lindung batu (rip-rap), matras anyaman ranting, matras nayman
ranting lapis tunggal, matras balok kayu, matras balok beton, atau blok beton.
Krib adalah bangunan yang dibuat mulai dari tebing sungai ke arah tengah guna
mengatur arus sungai, dengan tujuan utama:
- Mengatur arus sungai
- Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang tebing sungai, mempercepat
sedimentasi dan menjamin keamanan tanggul atau tebing sungai terhadap
gerusan.
- Mempertahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai
- Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.
Secara garis besar ada 3 jenis konstruksi krib yaitu: tipe permeabel, tipe
impermeabel, dan tipe semi-permeabel. Ambang atau drempel (groundsill)
adalah bangunan yang dibuat menyilang sungai untuk menjaga agar dasar
sungai tidak turun secara berlebihan. Penurunan yang berlebihan dapat
disebabkan oleh turunnya suplai sedimen dari hulu karena dibangunnya waduk
atau check dam atau oleh penambangan batu atau pasir yang berlebihan.
Penurunan dasar sungai juga dapat disebabkan oleh bangunan sudetan yang
memendekkan alur sungai dan kemiringan dasar sunagi menjadi lebih tinggi.
1.4 Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan konservasi secara agronomis?
2. Sebutkan fungsi konservasi secara mekanis?
3. Apa yang dimaksud dengan pengolahan tanah?
1.5 Rangkuman
Kegiatan konservasi DAS dan tata ruang meliputi :
1. Pengaruh tata ruang pada banjir.
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan
dengan yang lainnya. Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi
dominan kepada aliran permukaan (run-off). Suatu kawasan hutan bila diubah
menjadi permukiman maka yang terjadi adalah bahwa hutan yang bisa
menahan run-off cukup besar diganti menjadi pemukiman dengan resitensi run-
off yang kecil. Akibatnya ada peningkatan aliran permukaan tanah yang menuju
sungai dan hal ini berakibat adanya peningkatan debit sungai yang besar.
2. Jenis kegiatan konservasi DAS:
Secara garis besar metode konservasi tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan utama, yaitu (1) secara agronomis, (2) secara mekanis, dan (3)
secara kimia. Metode agronomis atau biologi adalah memanfaatkan vegetasi
untuk membantu menurunkan erosi lahan. Metode mekanis atau fisik adalah
konservasi yang berkonsentrasi pada penyiapan tanah supaya dapat ditumbuhi
vegetasi yang lebat, dan cara memanipulasi topografi mikro untuk
mengendalikan aliran air dan angin. Sedangkan metode kimia adalah usaha
konservasi yang ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga lebih
tahan terhadap erosi. Atau secara singkat dapat dikatakan metode agronomis
ini merupakan usaha untuk melindungi tanah, mekanis untuk mengendalikan
energi aliran permukaan yang erosif, dan metode kimia untuk meningkatkan
daya tahan tanah.
Dalam kegiatan konservasi DAS juga ada yang namanya pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini menempatkan manusia sebagai
subjek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut
kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan
pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan
peranannya dalam perlindungan sumber daya air di sekitarnya. Karena itu,
salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam
pengelolaan sumber daya air termasuk pengelolaan sumber daya air adalah
dengan meningkatkan pengetahuan keterampilan dan kesadaran masyarakat
untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya air. Pengetahuan dan
keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya
penanggulangan masalah kerusakan sumber daya air tetapi juga hal-hal yang
berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali
masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak
lingungan.
3. Pengendalian erosi dan sedimentasi.
Pengendalian erosi tebing sungai memerlukan pengetahuan tentang kondisi
fisik baik DAS maupun alur sungai. Disamping pendalaman tentang
karakteristik penampang sungai dan aliran. Pemilihan metode perlindungan
tebing sungai memerlukan pertimbangan yang hati-hati menyangkut kondisi
hidraulik pada lokasi, perencanaan dan pemasangannnya stuktur yang dipakai.
Pengendalian erosi dan sedimentasi meliputi: pencegahan erosi alur, dan
membangun bangunan pengatur sungai.
PENUTUP
A. Simpulan
Modul ini menjelaskan mengenai konservasi DAS dan tata ruang. Adapun kegiatan
konservasi DAS dan tata ruang meliputi :
Pengaruh tata ruang pada banjir.
Kegiatan konservasi DAS secara agronomis, secara mekanis, secara kimia serta
pemberdayaan masyarakat terkait kegiatan konservasi DAS.
Pengendalian erosi dan sedimentasi meliputi: pencegahan erosi alur, dan
membangun bangunan pengatur sungai.
B. Tindak Lanjut
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini, peserta diharapkan mengikuti kelas lanjutan
untuk dapat memahami detail pengendalian banjir dan ketentuan pendukung terkait
lainnya, sehingga memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai
pengendalian banjir.
EVALUASI FORMATIF
A. Soal
1. Penyebab utama banjir adalah...
a. Drainase
b. Tata guna lahan
c. Rob
d. Hujan terus-menerus
e. Tidak adanya bendungan
2. Berikut ini jenis-jenis konservasi DAS, kecuali...
a. Agronomis
b. Mekanis
c. Kimiawi
d. Pemberdayaan masyarakat dalam konservasi
e. Fisik
3. Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi berikut, kecuali...
a. Memperlambat aliran permukaan
b. Menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak
c. Mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh
dan jumlah daya rusak aliran permukaan.
d. Memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi
tanah
e. Menyediakan air bagi tanaman.
4. Tujuan utama pengolahan tanah adalah seperti berikut, kecuali...
a. Mengganti tanaman sesuai musimnya
b. Menyiapkan tempat tumbuh bagi benih
c. Menggemburkan tanah pada daerah perakaran
d. Membalikkan tanah sehingga sisa-sisa tanaman terbenam didalam tanah
e. Memberantas gulma
5. Yang dimaksud dengan konsolidasi pondasi adalah sebagai berikut, kecuali...
a. Bangunan yang ditempatkan di depan bagian atas pondasi atau pelindung
kaki perkuatan lereng
b. Mencegah sedimentasi di depan perkuatan lereng
c. Mengurangi kecepatan arus air di depan perkuatan lereng
d. Mencegah gerusan dasar sungai di depan perkuatan lereng
e. Melindungi perkuatan lereng secara keseluruhan
Diharapkan dengan materi yang diberikan dalam modul ini, peserta dapat
memahami konservasi DAS dan tata ruang. Proses berbagi dan diskusi dalam kelas
dapat menjadi pengayaan akan materi konservasi DAS dan tata ruang. Untuk
memperdalam pemahaman terkait materi konservasi DAS dan tata ruang,
diperlukan pengamatan pada beberapa modul-modul mata pelatihan terkait atau
pada modul-modul yang pernah Anda dapatkan serta melihat variasi-variasi modul-
modul yang ada pada media internet. Sehingga terbentuklah pemahaman yang utuh
akan pengendalian banjir.
DAFTAR PUSTAKA
Kodoatie, Robert J., 2012. Tata Ruang Air Tanah. xxvi + 514 = 540 Halaman.
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kodoatie, Robert J., 2013. Rekayasa Manajemen Banjir Kota. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Kodoatie R. J. dan Syarief R. 2013. Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu. Andy,
Yogyakarta.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 Tahun 2015
tentang Penetapan Wilayah Sungai.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 26 Tahun 2015
tentang Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruas Bekas Sungai.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 27 Tahun 2015
tentang Bendungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 28 Tahun 2015
tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, dan Garis Sempadan Danau.
Suripin, 2001. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi Offset, Yogyakarta.
GLOSARIUM
KUNCI JAWABAN
Berikut ini merupakan kumpulan jawaban atau kata kunci dari setiap butir
pertanyaan yang terdapat di dalam modul. Kunci jawaban ini diberikan dengan
maksud agar peserta pelatihan dapat mengukur kemampuan diri sendiri.
Adapun kunci jawaban dari soal latihan pada setiap materi pokok, sebagai berikut :
Latihan Materi Pokok 1
1. Konservasi tanah dan air secara agronomis adalah penggunaan tanaman
atau tumbuhan dan sisa tanaman dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh
dan jumlah daya rusak aliran permukaan.
2. Konservasi secara mekanis mempunyai fungsi:
memperlambat aliran permukaan
menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak
memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi
tanah
menyediakan air bagi tanaman.
3. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
ditujukan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan utama pengolahan tanah adalah menyiapkan tempat
tumbuh bagi benih, menggemburkan tanah pada daerah perakaran,
membalikkan tanah sehingga sisa-sisa tanaman terbenam didalam tanah,
dan memberantas gulma.