Disusun Oleh
NIM : P1813010
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. SKIZOFRENIA PARANOID
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997;
46).
Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya delusi
(paham) karja atau kebesaran dan halusinasi pendengaran , kadang-kadang
individu tetrtekan, menjadi korban dan beanggapan diawasi, dimusuhi, dan
agresif. (Townsend, 2005)
Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang
absurd (tidak ada pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti.
Sering diikuti halusinasi dengan akibat kelemahan penilaian kritis (critical
judgement)nya dan aneh tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-
kadang berperilaku yang berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini memiliki
halusinasi dan delusi yang sangat mencolok,yang melibatkan tema-tema
tentang penyiksaan dan kebesaran (toernry, 1995, Susan Nolen Hoeksema,
2004).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik
yang ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku
menarik diri dari interaksi social serta disorganisasi dan fragmentasi dalam
hal persepsi, pikiran dan kognisi (Carson dan Butcher, 1992).
Menurut MAramis:1982 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari
jenis-jenis yang lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering
lama-kelamaan Hebrefenia dan Katatonia bercampuran. Tidal demikian
dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala yang
mencolok ialah waham primer , disertai waham-waham skunder, dan
Halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan
proses berfikir dan adanya gangguan afek berfikir.
2. Etiologi
a. Faktor Biologis
1) Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)
Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi
melengkapi bukti-bukti bahwa gen terlibat dalam transmisi
(penyebaran) skizofrenia (Liohtermann, Karbe & Maier, 2000).
Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak gen (polygenic) model
tambahan, yang membentuk jumlah dan konfigurasi gen abnormal
untuk membentuk skizofrenia (Gottensman, 1991, Gottansman &
Erlenmyer-kimling, 2001). Adanya lebih banyak gen yang terganggu
meningkatkan kemungkinan berkembangnya skizofrenia dan
menungkatakan kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir
dengan beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-
simtom bertaraf sedang atau ringan skizofrenia, seperti keganjilan
dalam pola bicara atau proses berpikir dan keyakinan-keyakinan yang
aneh.
Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita
skizofrenia dan anak-anak kembar identik atau dari satu zigot
(monozigot) dari orangtua dengan skizofrenia, mendapat sejumlah besar
gen skizofrenia, memiliki resiko sangat besar mendapatkan skizofrenia.
Sebaliknya penurunan kesamaan gen dengan orang-orang skizofrenia,
menurunkan resiko individu mengembangkan gangguan ini.
Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan gangguan
ini, tidak berarti bahwa hal itu dikirimkan atau diwariskan secara genetic.
Tumbuh bersama orangtua skizofrenia dan secara khusus bersama
dengan kedua orangtua dengan gangguan tersebut, kemungkinan besar
berarri tumbuh berkembang dalam suasana yang penuh stress. Jika
orangtua psikotik, anak dapa terbuka untuk pemikiran-pemikiran yang
tidak logis, perubahan suasana hati dan perilaku yang kacau.
Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-sisa simtom
negative akut skizofrenia, kurangnya motivasi, dan disorganisasi
mungkin mengganggu kamampuan orangtua untuk peduli terhadap
anak. Studi adopsi yang dilakukan Leonard Heston di Amerika Serikat
dan Kanada menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup bersama
orangtua skizofrenia yang diadopsi jauh dari ibu, mempunyai tingkat
pengembangan skizofrenia yang lebih rendah.
2) Pembesaran Ventrikel
Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan skizofrenia
adalah pembesaran ventrikel. Ventrikel adalah ruang besar yang berisi
cairan dalam otak. Perluasan mendukung atropi (berhentinya
pertumbuhan), deteriorasi di jaringan otak lainnya. Orang-orang
skizofrenia dengan pembesaran ventricular cenderung menunjukkan
penirinan secara social, ekonomi, perilaku, lama sebelum mereka
mengembangkan simtom utama atau inti dati skizofrenia. Mereka juga
cenderung untuk memiliki simtom yang lebih kuat dari pada orang
skizofrenialainnya dan kurang responsive terhadap pengobatan karena
dianggap sebagai pergantian yang buruk dalam pemfungsian otak, yang
sulit untuk ditangani/dikurangi melalui treatment. Perbedaan jenis
kelamin mungkin juga berhubungan dengan ukuran ventricular.
Beberapa studi menemukan bahwa laki-laki dengan skizofrenia memiliki
pelebaran ventrikel yang lebih kuat.
3) Faktor Anatomis Neuron
Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia memiliki
beberapa penyebab, termasuk abnormalitas gen yang spesifik (khas),
cedera otak berkaitan dengan cedera waktu kelahiran, cedera kepala,
infeksi virus defisiensi (penurunan) dalam nutrisi dan defisiensi dalam
stimulus kognitif (Conklin & Lacono, 2002).
4) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-masalah
berkaitan dengan kandungan pada saat kelahiran merupakan hal yang
lebih sering dalam sejarah orang-orang dengan skizofrenia dan mungkin
berperan dalam membuat kesulitan-kesulitan secara neurologist.
Komplikasi dalam pelepasan berkombinasi dengan keluarga beresiko
terhadap terjadinya karena menambah derajad pembesaran ventricle.
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan angka yang tinggi dari
skizofrenia dikalangan orang-orang yang memiliki ibu terjangkit virus
influenza ketika hamil.
Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan otak janin
selama kehamilan(epigenetic faktor), maka interaksi antara gen yang
abnormal yang sudah ada sebelumnya dengan faktor epigenetik
tersebut dapat memunculkan gejala skizofrenia.( Dadang Hawari,2007)
5) Neurotransmiter
Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran dalam
skizpfrenia ( Coklin & Lacono, 2002 ). Teori awal dari dopamine
menyatakan bahwa simtom-simton skizofrenia disebabkan oleh
kelebihan jumlah dopamine di otak, khususnya di frontal labus dan
system limbic. Aktivitas dopamine yang berlebihan / tinggi dalam system
mesolimbik dapat memunculkan simtom positif skizofrenia : halusinasi,
delusi, dan gangguan berfikir. Karena atipikal antipsikotis bekerja
mereduksi simtom-simtom skizofrenia dengan mengikat kepada
reseptor D4 dalam system mesolimbik. Sebaliknya jika aktivitas
dopamine yang rendah dapat mendorong lahirnya simtom negative
seperti hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada diri sendiri
dalam aktivitas sehari-hari. Dan tidak adanya responsivitas emosional.
Hal ini menjelaskan bahwa phenothiazines, yang mereduksi aktivitas
dopamine, tidak meredakan atau mengurangi simtom.
Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas nuotansmiter
glutamate dan gamma aminobutyric acid ( GABA ) tampak pada orang-
orang dengan skizofrenia (Goff & Coyle, 2001, Tsai & Coyle,2002 ).
Glutamate dan GABA terbesar di otak manusia dan defisiensi pada
neurotransmitter akan memberikan kontribusi terhadap simtom-simtom
kognitif dan emosioanal. Neuro glutamate merupakan pembangkit jalan
kecil yang menghubungkan kekortek, system limbic dan thalamus
bagian otak yang membangkitkan tingkah laku abnormal pada orang-
orang dengan skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
1) Teori Psikodinamika
Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika berpendapat
bahwa skizofrenia merupakan hasil dari paksaan atau tekanan kekuetan
biologis yang mencegah atau menghalangi individu untuk
mengembangkan dan mengintegrasikan persaan atau pemahaman atas
dirinya. Freud(1942) berargumen bahwa jika ibu secara ekstrim atau
berlebihan kasar dan terus-menerus mendominasi, anak akan
mengalami taraf regresi dan kembali ke taraf perkembangan bayi dalam
hal pemfungsiannya, sehingga ego akan kehilangan kemampuannya
dalam membedakan realita.
Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-deskriptif,
diuraikan gambaran gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yang
menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan atau homeostatis pada
diri seorang, sebelum dan seseudah terjadinya gangguan jiwa tersebut.
Sedangkan dalam teori Fasilitatif etiologik, diuraikan faktor yang
memudahkan penyebab suatu penyakit itu muncul, bagaimana
perjalanan mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan.
Sebagai contoh misalnya menurut Melanie Klein (1926),bahwa
skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada fase paranoid-schizoid
pada awal perkembangan masa bayi.
2) Pola-Pola Komunikasi
Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua
(khususnya ibu) pada anak-anak sklizofrenia menempatkan anak
mereka dalam situasi ikatan ganda (double binds) yang secara terus
menerus mengkomunikasikan pesan-pesan yang bertentangan pada
anak-anak. Yang dimaksud ikatan ganda adalah pemberian pendidikan
dan informasi yang nilainya saling bertentangan. Dalam teori doble-bind
tentang pola-pola komunikasi dalam keluarga orang-orang dengan
skizofrenia, menampakkan keganjilan. Keganjilan-keganjilan itu
membentuk lingkungan yang penuh ketegangan yang membuat lebih
besar kemungkinan seorang anak memiliki kerawanan secara biologis
terhadap skizofrenia.
Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak mneyambung atau
kacau atau tidak jelas arah pembicaraan, serta dalm berbicara disertai
emosi yang tinggi dan suara yang keras.
3) Stres dan Kekambuhan
Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress (stresfull)
mungkin tidak menyebabkan seseorang terjangkit skizofrenia, tetapi
keadaan tersebut dapat memicu episode baru pada orang-orang yang
mudah terkena serangan atau rawan terhadap skizofrenia. Berdasarkan
penelitian bahwa lebih dari 50 % orang yang mengalami kekambuhan
skizofrenia adalah mereka yang dalam kehidupannya telah mengalami
kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.
Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan stres atau
kekambuhan skizofrenia paranoid adalah perkawinan, masalah orang
tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan
dan hukum.
4) Faktor Kesalahan Belajar
Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak tepatnya
mempelajari yang benar atau dengan tepat mempelajari yang tidak
benar. Dalam hal ini penderita mempelajari dengan baik perilaku orang-
orang skizofrenia atau perilaku yang baik dengan cara yang tidak baik
( Wiramaharja,2005)
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua
aspek ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive)
4) Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut
berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan
yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan
orang yang dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain.
Stress
Cemas
Marah
Depresi/psikosomatik Agresi/Amuk
Gambar 2. Proses terjadinya marah (Rawlins and Beck, 1986 dalam Keliat dkk,
2001)
4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Keperawatan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan
keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Berteriak, menjerit, memukul
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul
barang yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2) Cari gara-gara
3) Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga.
Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan
nafas.
4) Bantu melalui humor
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang
yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
b. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi,
ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia,
manik depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa
masa kecil. Cara pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per
oral atau suntikan intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100
mg dan diikuti peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari.
Dosis ini dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat
dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali
sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara
perlahan-lahan sampai 600 – 900 mg perhari. Kontra indikasi
sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping yang sering
terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut
kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,
hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku yang berat pada anak-anak. Dosis oral untuk
dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk
keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler
setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi
sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang sering adalah
mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala ekstrapiramidal
atau pseudo parkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea
diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik.
Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.
Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis
terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor,
hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa
khususnya gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis
awal sebaiknya rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek
samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian
diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan, tergantung dari respon
klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya
peningkatan perlahan-lahan. Kontra indikasinya pada depresi susunan
saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada
riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi
gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan
over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi
hipotensi dengan levarterenol hindari menggunakan ephineprine.
4) Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan
ego antara lain : displacement, sublimasi, proyeksi, represi, denial,
reaksi formasi.
b. Diagnosa Keperawatan
Dari data yang dikumpulkan dengan format pengkajian, perawat langsung
merumuskan masalah keperawatan pada setiap kelompok data yang
terkumpul dan setelah diagnosa keperawatan tersusun kemudian perawat
menentukan masalah utama dari diagnosa keperawatan. Dimana
masalah utama adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah
yang dimiliki oleh klien. Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan
maslah utama klien atau ekluhan utama, alasan klien saat masuk rumah
sakit dan mengancam integritas diri sendiri, orang lain dan lingkungan
( keliat, 1998 ). Perawat kesehatan jiwa menganalisa data pengkajian
dalam menentukan diagnosa yang didukung oleh data serta pendapat
ilmiah terbaru. Dimana komponen rumusan pernyataan diagnosa
keperawatan meliputi : masalah dan pengkajian subyektif dan obyektif
( SAK, 2006 )
Menurut Keliat (2002) diagnosa yang lazim muncul pada pasien dengan
perilaku kekerasan adalah :
a) Risiko mencederai orang lain berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
b) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Menurut Keliat dan kawan-kawan, (1998), menyatakan dignosa yang lazim
muncul pada klien dengan perilaku kekerasan adalah
a) Resiko tinggi kekerasan
b) Koping individu tidak efektif\
c) Harga diri rendah kronis
d) Intoleransi aktifitas
e) Koping keluarga tidak efektif
f) Ketegangan pemberi perawatan
Sedangkan diagnosa keperawatan yang lazim muncul (Carpenito, 1995
dalam Depkes, 2000) adalah :
a) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan.
b) Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi.
c) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
d) Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping individu tidak efektif.
c. Perencanaan Keperawatan
Keliat (2002) mengemukakan perencanaan tindakan keperawatan
pada klien dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
Tujuan umum (TUM) : Klien tidak menciderai dengan melakukan
manajemen kekerasan.
Tujuan khusus (TUK) 1: klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria hasil : klien mau membalas salam, mau menjabat tangan, mau
menyebutkan nama, mau tersenyum, mau kontak mata, mau
mengetahui nama perawat.
Intervensi : bina hubungan saling percaya dengan menggunakan
prinsip komunikasi terapeutik.
1) Beri salam/panggil nama.
2) Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan.
3) Jelaskan maksud hubungan interaksi.
4) Jelaskan tentang kontak yang akan dibuat.
5) Beri rasa aman dan sikap empati.
6) Lakukan kontak singkat tapi sering.
Rasional : sikap ramah, kejujuran, menepati janji, memperkenalkan
diri, dan menunjukkan sikap terbuka akan meningkatkan kepercayaan
antara klien dan perawat.
Tujuan khusus (TUK) 2 : klien dapat mendefinisikan penyebab perilaku
kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaannya, dapat
mengungkapkan perasaan jengkel atau kesal dari diri sendiri, orang
lain, atau lingkungan.
Intervensi :
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional : ungkapan perasaan sebagai bukti kepercayaan klien
terhadap perawat.
2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel
(kesal).
Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan perasaannya.
Tujuan khusus (TUK) 3 : klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda
perilaku kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau
jengkel, dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang
dialami.
Intervensi :
1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel atau kesal.
Rasional : ungkapan perasaan dapat menjelaskan dan
menyerahkan perasaannya.
2) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : dapat diketahui perilaku yang berhubungan dengan
kekerasan.
3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel (kesal) yang dialami
klien.
Rasional : klien belajar mengekspresikan perasaannya.
Tujuan khusus (TUK) 4 : klien dapat mengungkapkan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan, dapat bermain peran dengan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan, dapat dilakukan cara yang biasa
dapat menyelesaikan masalah atau tidak.
Intervensi :
1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan klien.
Rasional : mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan perasaannya.
3) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
Rasional : klien dapat memilih cara yang dapat dilakukan.
Tujuan khusus (TUK) 5 : klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku
kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang
digunakannya.
Intervensi :
1) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
2) Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan oleh
klien.
Rasional : menunjukkan perhatian.
3) Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat ?”.
Rasional : klien dapat menentukan pilihan.
Tujuan khusus (TUK) 6 : klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif
dalam berespon terhadap kemarahan.
Kriteria hasil : klien dapat melakukan cara berespon terhadap
kemarahan secara konstruktif.
Intervensi :
1) Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat”.
Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang cara
menyalurkan marah yang konstruktif.
2) Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
3) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat, misalnya secara fisik,
tarik nafas dalam, jika sedang kesal/memukul bantal (kasur) atau
olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga, secara verbal :
katakan bahwa anda sedang kesal atau tersinggung atau jengkel.
Secara sosial : lakukan kelompok cara-cara marah yang sehat,
latihan asertif. Secara spiritual : anjurkan klien sembahyang,
berdoa/ibadah lain : meminta pada Tuhan untuk diberi kesabaran.
Rasional : mengajak klien berfikir tentang cara menyalurkan marah.
Tujuan khusus (TUK) 7 : klien dapat memdemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan.
Kriteria hasil : klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol
perilaku kekerasan, misalnya dengan nafas dalam, olah raga, pukul
kasur maupun bantal, mengatakan secara langsung dengan tidak
menyakiti, sembahyang, berdoa atau ibadah lain.
Intervensi :
1) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : klien mungkin mengalami kesulitan dalam menentukan
cara yang paling sesuai yang dapat dilakukan.
2) Bantu klien mengindentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
Rasional : klien perlu belajar mengidentifikasi manfaat dari cara
yang dipilih.
3) Bantu klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : klien perlu belajar melakukan cara yang telah dipilih.
4) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat
jengkel atau marah.
Rasional : klien mungkin kesulitan dalam melakukan cara yang
telah ia pilih.
5) Susun jadwal melakukan cara yang telah dicapai.
Rasional : mengetahui perkembangan latihan klien.
Atmojo, Wahyu Tri. (2017). Komunikasi Personal pada Studi Pendahuluan. (Novitri
A, Interviewer). Erawati E, Keliat, B, A., & Daulima, N. (2014). The validation of the
Indonesian version of psychotic symptoms rating scale (PSYRATS). the cognitive
bias questionnaire for psychosis (CBQP) and metacognitive ability queationnaire
(MAQ). International Journal Advancd of Nursing Sains (IJANS), 3 (online),
http://www.sciencepubco.com/index.php /IJANS/article/view/3132. diakses pada
tanggal 5 Januari 2018 Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori
dan Aplikasi). Yogyakarta: Andi. O’Brien, Patricia G, Winifred Z. Kennedy, Karen A.
Ballard. (2014). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatri : Teori & Praktik. Jakarta:
EGC.