Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

SLE ( SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS )

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5 ( Tingkat II B )

TATA EKA APRILIA (P07120419067)


TITIN FEBRIANTI (P07120419068)
WAFIQ AZIZAH (P07120419069)
WULAN PURNAMA SARI H. (P07120419070)
ZURIYATUN TOYYIBAH ( P07120419072 )

KEMENTRIAN KESEHATAN REBUBLIK INDONESIA

POLTEKNIK KESEHATAN MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PROGAM PROFESI

TAHUN AJARAN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat dan taufiq-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Konsep Asuhan keperawatan SLE
( Systemic Lupus Erythematosus ) ” tepat pada waktunya.

Dalam penyelesaian tugas kelompok ini, penulis banyak mendapat ini dari berbagai
pihak, antara lain dosen pembimbing, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu
persatu namanya yang telah banyak memberikan sumbangan, masukan, dukungan, dalam
menyelesaian tugas makalah ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas kelompok ini belumlah sempurna.Untuk


itu segala saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari semua
pihak demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Semoga dengan adanya tugas kelompok ini akan dapat memberikan manfaat besar
bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca semua pada umumnya.

Mataram, 3 Februari 2021

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3

A. PengertianSLE............................................................................................3
B. Etiologi........................................................................................................3
C. Klasifikasi...................................................................................................4
D. Patofisiologi................................................................................................5
E. Kriteria SLE................................................................................................6
F. Manifestasi Klinis.......................................................................................7
G. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................8
H. Pengobatan SLE..........................................................................................9
I. Pencegahan ...............................................................................................11
J. Komplikasi ...............................................................................................12
K. Asuhan Keperawatan SLE........................................................................13

BAB III PENUTUP..........................................................................................18

A. Kesimpulan...............................................................................................18
B. Kritik dan Saran........................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................19

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-
vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal,
kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga
diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-
vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya
penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi
yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke
dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel
darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat,
dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil
penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan
Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus
erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat
diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal,
kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B. RUMUSAN MASALAH

1
1. Apa definisi dari SLE ?
2. Bagaimana etiologi, klasifikasi dan patofisiologinya ?
3. Bagaimana kriteria dan manifestasi klinisnya ?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilalui pasien SLE ?
5. Apa saja pengobatan SLE ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari SLE
2. Untuk mengetahui etilogi,klasifikasi dan patofisiologi dari SLE
3. Untuk mengetahui kriteria dan manifestasi klinis SLE
4. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang dilalui pasien SLE
5. Untuk mengetahui apa saja pengobatan SLE

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI
1. DEFINISI
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan
tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan
peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui
secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik,
terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh terdapatnya berbagai macam autoantibody
dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus,
sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu
disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ
tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi,
paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan
SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya
mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT
(lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik
Lupus /SLE).
2. ETIOLOGI
Faktor Resiko terjadinya SLE
a) Faktor Genetik
1) Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada
pria dewasa
2) Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
3) Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam
keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
b) Faktor Resiko Hormon

3
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi
resiko ini.
c) Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
d) Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
e) Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced
Lupus Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus
Obat adalah :
1) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin,
dan kuinidin
3) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
f) Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi
g) Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.

3. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a) Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di
kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat

4
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
b) Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan
produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler,
sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
c) Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

4. PATOFISIOLOGI
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-
faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar
termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ),
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Patofisiologi SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal berupa :
1. Aktivasi system imun bawaan ( sel deindritik, monosit,/makrofag ) oleh DNA
dari kompleks imun, DNA dan RNA virus dan RNA dari protein self- antigen
2. Ambang batas aktivasi sel imun adaftif ( limfosit T dan limfosit B ) yang lebih
rendah dan jarak aktivasi yang abnormal

5
3. Regulasi sel T CD4 + CD8+, Sel B dan sel supresor yang tidak efektif
4. Penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis

5. PATHWAY

Genetic, kuman,virus,lingkungan,obat-obatan tertentu

Gangguan imunoregulasi

Meningkatnya antibody yang berlebihan

Meningkatnya sel T sepresor yang abnormal

Antibodi menyerang organ – organ tubuh ( sel, jaringan )

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Penyakit SLE

Mencetus penyakit inflamasi pada organ

6. MANIFESTASI KLINIS
a). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai LES/SLE
Menurut American College Of Rheumatology(ACR) ada 11 krieria SLE jika
terdapat 4 kriteria maka diagnosis LES dapat ditegakkan:
1) Ruam malar
2) Ruam discoid
3) Fotosensitifitas
4) Ulserasi dimulut atau nasofaring
5) Arthritis
6) Serosis :yaitu pleuritis atau perikarditis

6
7) Kelainan ginjal,yaitu proteinuria persisten >0,5gr/hari, atau adalah silinder
sel
8) Kelainan neurologic ,yaitu kejang -kejang atau psikosis
9) Kelainan hematologic, yaitu anemia hematolik atau lekepenia atau
limfopenia atau trombositopenia
10) Kelainan imonologic, yaitu sel LES positif atau DNA positif, atau anti Sm
positif atau tes serologic atau sifilis yang positif palsu
11) Antibody antinuclear positif

b). Kecurigaan akan penyakit LES bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ
seperti:

1) Muskoloskletal : nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia), miositis


2) Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rsh, fotosensitivitas,
membran mukosa, alopesia, fonomena raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis
3) Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal
4) Jantung : pericarditis, miokarditis, endokarditis
5) Ginajl : hematuria, protenuria, sindrom nefrotik
6) Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen
7) Retikulo-endo organomegali (limfdenopati, splenomegali, hepatomegali)
8) Hematologi : anemia leucopenia, dan trombositopenia
9) Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielietis
transfera, neuropati cranial dan perifer
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a). Pemeriksaan darah
Leukopenia / limfopenia, anemia, trombositopenia, LED meningkat

b). Imunologi

1) ANA (antibody anti nuklear)


2) Anti body DNA unati ganda (ds DNA) meningkat
3) Kadar komplemen C3 dan C4 menurun
4) Tes CPR (C-reactive protein) positif

7
c). Fungsi ginjal

1) Kreatinin serum meningkat


2) Penurunan GFR
3) Protein uri (>0,5 gr/24 jam)
4) Ditemukan sel darah dan atau sedimen granular
d). Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulan lupus
 APTT memanjang yang tidak membaik pada pemberian plasma normal
e). Serologi VDRL (sifilis)
 Memberikan hasil positif palsu
f). Tes vital lupus
 Adanya pita Fg 6 yang khas dan atau deposit Ig M pada sambungan
dermo – epidermis pada kulit yang terlibat dan yang tidak

8. PENGOBATAN SLE
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000).
a) Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah
sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari
kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari
merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan
minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and
500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti
IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA
(Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan
untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari
ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
b) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem
imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung

8
dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta
manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
1) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan
termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002).
NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik
(Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX
inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari
mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor
necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang
berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung,
sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal
(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah
perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,
dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2
yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi
kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50%
(Neal, 2002).
2) Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau
sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak
menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran
lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
3) Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID

9
atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien
yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau
subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal
atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja
sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak
terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien,
prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel
yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu
siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari
makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α,
metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002).
4) Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan
obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan
mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan
fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan
dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi
sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring
secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang
perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute
pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi
remisi penyakit.
5) Terapi hormon

10
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria
yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah
dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7
tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring
bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah.
6) Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun
sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.
Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster,
Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998).

9. PENCEGAHAN
a) Untuk menghindari penyakit lupus, ada kiat –kiat tertentu untuk
mencegahnya, salah satunya dengan pola hidup sehat seperti yang dipaparkan
Ketua Divisi Alergi Imunologi, Departemen Imu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia(FKUI) Dr.dr. Iris Rengganis,Sp. PD-KAI,
dalam konfrensi pers, Rabu (9/5)
1) Pola makan
Makanan tinggi kalori terbukti membuat sel-sel imun terkait lupus menjadi
lebih aktif . Gluten, senyawa protein dari gandum,terbukti mencetuskan
beberapa sindrom autoimunitas. Toksin, bahan kimia, pengawet, dan
pewarna yang terkandung dalam makananan olahan diduga merusak DNA
terkait AI. “ Bahan dari gluten, yakni tepung terigu atau gandum, oatmeal
kurangi ya. Bisa merusak usus bakteri mudah masuk ke dalam usus. Maka
jika orang dengan lupus (odapus) sudah tidak boleh sama sekali makanan
olahan, tak boleh pakai vetsin atau pengawet,” kata Iris
2) Jauhi rokok
Untuk mencegah penyakit lupus adalah dengan tidak merokok. Sebab
lupus rentn paparan racun atau toksin dari asap rokok
3) Cukup tidur
Banyan pasien lupus mengeluh kelelahan dan nyeri sendi, maka tidur 7
jam setiap malam wajib dipenuhi untuk mencegah penyakit lupus
4) Sinar UV

11
Jangan terlalu sering berada dibawah paparan sinar matahari. Paling jahat
ada di rentang pukul 10 hingga 16. Gunakan tabir surya SPF 30 saat keluar
rumah
5) Hindari infeksi
Pasien lupus biasanya demam. Demama adalah kondisi tubuh ketika
melawan infeksi. Maka untuk mencegah lupus tentu hindari infeksi. Obat-
obatan tertentu biasanya membuat pasien rentan infeksi. Rajin pula cuci
tangan
6) Kelola stres
Jauhi stres. Sebab stres merupakan kunci datangnya penyakit. Apalagi
pada pasien, stress justru memperburuk kondisi kualitas hidup
7) Olahraga
Tentu berolahraga secara teratur baik untuk membuat tubuh selalu aktif
bergerak. Jangan sampai mengalami nyeri sendi yang biasanya dikeluhkan
pasien lupus pada tahap awal

10. KOMPLIKASI
a) Masalah ginjal
Satu dari setiap tiga penderita SLE akan mengalami penyakit ginjal lupus
nefritis yang berpotensi menjadi serius dan disebabkan oleh peradanga dalam
jangka waktu yang lama pada ginjal. Lupus nefritis seringkali terjadi di awal
keberadaan penyakit SLE, biasanya dalam jangka waktu yang lima tahun dari
sejak diagnosis lupus. Gejala dari penyakit ini dapat dideteksi dari adanya
pembengkakan pada kaki atau oedem, gejala sakit kepala, pusing, campuran
darah dalam urin, hingga dorongan ingin berkemih secara lebih sering. Mereka
yang menderita komplikasi ginjal ini biasanya juga akan mengalami kondidi
hipertensi yang dapat mengakibatkan serangan jantung maupun stroke.
Penderitanya harus melakukan cek darah secara rutin untuk memonitor
kondisi ginjal dan harus minum obat pengontrol seperti immunosuppressants
seperti mycophenolate mofetil atau cyclophosphamide. Cusi darah ginajl atau
transplantasi gnjal hanya akan diperlukan pada kondisi lupus nephritis yang
terlampau parah.
b) Penyakit jantung

12
Penderita lupus SLE biasanya cenderung akan mengalami penyakit jantung
yang dpat menyebabkan jantung dan arteri meradang dan rusak. Penderuta
lupus dapat resiko mengalami penyakit jantung dengan beradaptasi gaya hidup
yang lebih sehat, seperti berhenti meroko, mengkonsumsi makanan sehat dan
seimbang, rendah lemak, gula dan garam, mengkonsumsi buah dan sayuran,
menjaga keseimbangan berat badan, rajin olahraga serta mengurangi konsumsi
alkohol.
c) Komplikasi kehamilan
Lupus pada wanita biasanya tidak akan menyebabkan kondisi tidak subur,
namun jelas dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi ketika
kehamilan. Berbagai komplikasi kehamlan meliputi pre-eklamsia, kelahiran
prematur, keguguran, hingga kematian bayi baru lahi. Bayi yang lahir dari
penderita lupus terkadang juga mengalami kondisi penyumbatan pada jantung
yang menyebabkan adanya gangguan pada detak jantung, serta mengalami
ruam pada kulit. Kondisi ini dikenal sebagai sindrom neonatal lupus.Pada
penderita lupus yang ingin memiliki keturunan perlu merencanakan kehamilan
dengan saksama bersama dokter kandungan. Saat gejala lupus sedang ada
dalam kondisi serius, kehamilan menjadi lebih beresiko sehingga sebaiknya
ditunda dulu sampai kondisi membaik dan gejala lupus menjadi lebih
terkontrol. Jika kehamilan terjadi, kehamilan penderita lupus harus benar-
benar dimonitor oleh spesialis dan dokter kandungan agar masalah apapun
yang terjadi pada kandungan dapat dideteksi dini.

B. ASUHAN KEPERAWATAN SLE ( Systemic Lupus Erythematosus )


1. PENGKAJIAN
a) Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
b) Kulit : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c) Kardiovaskuler : Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan
efusi pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis

13
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki
dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d) Sistem Muskuloskeletal : Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
e) Sistem integumen : Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f) Sistem pernafasan : Pleuritis atau efusi pleura.
g) Sistem vaskuler : Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
h) Sistem Renal : Edema dan hematuria.
i) Sistem saraf : Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Nyeri kronis b.d ketidakmampuan fisik-psikososial kronis ( metastase, kanker,
injuri neurologis, arthritis )
2) Peningkatan suhu tubuh b.d inflasi
3) Kelelahan b.d kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
4) Kerusakan integritas kulit b.d deficit imunologi

3. INTERVENSI
a) Nyeri kronis b.d ketidakmampuan fisik-psikososial kronis ( metastase, kanker,
injuri neurologis, arthritis )
1. Tujuan : Nyeri kronis pasien berkurang
2. Kriteria hasil :
 Tidak ada gangguan tidur
 Tidak ada gangguan konsentrasi
 Tidak ada gangguan interpersonal
 Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan secara verbal
 Tidak ada tegangan otot

14
3. Intervensi :
 Monitor kepuasan pasien terhadap managemen nyeri
 Tingkat istirahat dan tidur yang adekuat
 Kelola antianalgesik
 Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
 Lakukan tehnik nonfarmakologis ( relaksasi masase punggung )
b) Peningkatan suhu tubuh b.d inflasi
1. Tujuan : Suhu tubuh normal
2. Kriteria hasil :
 Suhu tubuh dalam batas normal
 Nadi dan RR dalam rentang normal
 Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, pasien merasa
nyaman
3. Intervensi
 Monitor suhu sesering mungkin
 Monitor TD, Nadi, dan RR
 Monitor WBC, Hb, HCT
 Monitor intake dan output
 Berikan antipiuretik sesuai advis dokter
 Selimuti pasien
 Berikan cairan intravena
 Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
 Tingkatan sirkulasi udara
 Tingkatan intake cairan dan nutrisi
 Monitor hidrasi dan turgor kulit, kelembaban mukosa
c) Kelelahan b.d kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
1. Tujuan : Kelelahan pasien teratasi
2. Kriteria hasil :
 Kemampuan aktivitas adekuat
 Mempertahankan nutria adekuat
 Keseimbangan aktivitas dan istirahat
 Menggunakan tehnik energy konservasi

15
 Mempertahankan interaksi social
 Mengidentifikasi factor fisik dan psikologis yang menyebabkan kelelahan
 Mempertahankan kemampuan untuk konsentrasi

3. Intervensi :
 Monitor respond kardiorespirasi terhadap aktivitas ( takikardia , disritmia,
dyspnea, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik, dan jumlah respirasi )
 Monitor dan catat pola dan jumlah tidur pasien
 Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama bergerak dan aktivitas
 Monitor intake nutrisi
 Monitor pemberian dan efek samping obat depresi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan intake makanan
tinggi energy
 Monitor pemberian dan efeksamping obat depresi
 Instruksikan pada pasien untuk mencatat tanda dan gejala kelelahan
 Jelas pada pasien berhubungan kelelahan dengan proses penyakit
 Dorong pasien dan keluarga mengekspresikan perasaaannya
 Catat aktivitas yang dapat meningkatkan relaksasi
 Tingkatkan pembatasan bedrest dan aktivitas
 Batasi stimulasi lingkungan untuk memfasilitasi relaksasi
d) Kerusakan integritas kulit b.d deficit imunologi
1. Tujuan : Kerusakan integritas kulit berkurang
2. Kriteria hasil :
 Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan ( sensai, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi )
 Tidak ada luka atau lesi pada kulit
 Perfusi jaringan baik
 Menujukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
 Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
 Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka

16
3. Intervensi :
 Anjurkan pasien menggunakan pakaian yang longgar
 Hindari kerutan pada tempat tidur
 Jaga kebersihan dan kering
 Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Mobilisasi pasien ( ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali )
 Oleskan lotion atau minyak pada daerah yang tertekan
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
 Kaji lingkungan dan pralatan yang menyebabkan tekanan
 Observasi luka lokasi, dimensi, kedalaman luka , karakteristik , warna
cairan, geranulasi, jaringan nekrotik, tanda infeksi local, formasi traktus
 Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
 Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKT, vitamin, cegah kontaminasi fases
dan urin
 Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
 Berikan tekanan pada luka
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan
5. EVALUASI
Berdasarkan kriteria hasil

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas. SLE dapat menyerang berbagai sistem organ
dan keparahannya berkisar dari sangat ringan sampai berat. Etiologi belum dipastikan,
secara garis besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan
genetik. Pencetus fungsi imun abnormal mengakibatkan pembentukan antibodi yang
ditujukan terhadap berbagai komponen tubuh. Tidak ada suatu tes laboratorium tunggal
yang dapat memastikan diagnosis SLE. Masalah yang paling sering dirasakan pasien
adalah keletihan, gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh dan kurang pengetahuan
untuk mengambil keputusan mengenai penatalaksanaan mandiri.

B. Kritik dan Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunanya, besar harapan kami kepada para
pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah
ini menjadi lebih sempurna.

18
DAFTAR PUSTAKA

https.//id.scribd.com/doc/169992979/makalah-Sle

Systemic Lupus Erythematous.NEngl J Med.Roviati, E. ( 2012 )

K.Butcher,Howard dkk. 2018. Nursing intervention classification ( NIC ) Edisi


ketujuh.Edisi bahasa Indonesia

http://images.app.goo.gl/q6nZ1ZfkyHX7YJA38

http://www.alomedica.com/penyakit/alergi-dan-imunologi/lupus-eritetosus-
sistemik/patofisiologi#

19

Anda mungkin juga menyukai