Anda di halaman 1dari 22

TUGAS PENGGANTI SGD

SGD 4 LBM 1 Modul 5.3

“Duhh, gusiku bengkak dan sakit…”

Disusun Oleh :
Yufa Sekar Arum Yunanto (31101800097)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
DAFTAR ISI

Lembar pengesahan
Daftar isi
BAB I Pendahuluan
A. Skenario
B. Identifikasi masalah
BAB II Tinjauan Pustaka
BAB III Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario
Pasien perempuan usia 20 tahun datang keluhan sakit saat makan dan
bengkak pada langit-langit sejak 4 hari lalu. Hasil anamnesis diketahui tiga
tahun yang lalu pasien pernah jatuh dari sepeda motor dan gigi depan
terbentur keras. Saat itu pasien tidak datang ke dokter gigi karena tidak ada
keluhan sakit. Pemeriksaan obyektif menunjukan pembengkakan ukuran 2x2
cm pada mukosa palatal gigi 13. Gigi 13 mengalami diskolorisasi warna,
fraktur mahkota pada incisal edge, CE (-), perkusi (+), mobilitas (+). Setelah
pemeriksaan radiografis, dokter gigi mendiagnosis pasien tersebut mengalami
fraktur Ellis
B. Identifikasi Masalah
1. Klasifikasi fraktur Ellis
2. Interpretasi hasil pemeriksaan objektif
3. Interpretasi hasil pemeriksaan radiografi
4. Mekanisme nyeri dan bengkak pada scenario
5. Korelasi riwayat lesi dengan kasus pada scenario
6. Pathogenesis diskolorisasi pada scenario
7. Pathogenesis lesi periapical pada scenario
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Klasifikasi fraktur ellis
Merupakan klasifikasi yang disederhanakan, yang berisi banyak jenis
fraktur dan memungkinkan interpretasi subjektif dengan menyertakan
istilah luas seperti fraktur sederhana atau frakyur yang luas.
A. Fraktur Ellis kelas 1
Di kelas ini biasanya hanya enamel bagian gigi yang terkelupas. Ini
sering terjadi di bagian tengah atau sudut proksimal insisal. Bahaya
besar dalam fraktur yang tampaknya jinak ini adalah kemungkinan
merusak yang ditimbulkan dari pulpa.
Tujuan menangani fraktur enamel adalah :
 Menghilangkan ketidaknyamanan
 Mempertahankan vitalitas pulpa
 Pemulihan mahkota retak
Gambaran klinis dari tipe ini gigi biasanya asimptomatik dan sedikit
diantaranya yang menimbulkan rasa sensitivitas.
Penatalaksanaan tipe I :
1) Reattachment dari segmen gigi yang retak  Segmen yang retak
dapat dipulihkan secara estetis, dokter dapat menatanya kembali
dengan bantuan agen bonding dentin dan resin komposit.
2) Rekontur enamel retak  Tepi yang tajam dari gigi yang retak
dibulatkan sebagai tindakan profilaksis untuk mengurangi stress
(tekanan) dan membantu mencegah lagi patah atau keretakan pada
gigi. Hal ini dapat dicapai dengan memperpendek gigi incisivus
sentral yang berdekatan dan membentuk kembali gigi menjadi garis
simetris.
3) Fluoride dapat diaplikasikan untuk mencegah sensitivitas akibat
dentin yang terbuka.
4) Struktur gigi yang hilang dapat dipulihkan dengan menggunakan
teknik etsa asam dengan resin komposit, jika struktur yang hilang
lebih banyak.
Selain itu dokter harus mengecek vitalitas pulpa dan diulang setiap 6-
10 minggu sekali, ketika terjadi diskolorisasi maka dapat diindikasikan
gigi mengalami devitalisasi pulpa. Kemudian radiografi juga dapat
dilakukan untuk melihat perkembangan dari patologi periapical.

B. Fraktur Ellis Tipe 2


Pada tipe ini, terdapat garis fraktur horizontal atau diagonal yang
melibatkan sejumlah besar dentin dan sudut proksimal insisal tanpa
paparan pulpa. Perawatan darurat diperlukan untuk melindungi pulpa
yang sudah trauma dari kerusakan lebih lanjut dengan menempatkan
lapisan stimulasi dentin. Untuk memastikan bahwa kalsium hidroksida
dipertahankan sampai pulpa telah menjauh dari fraktur dan lapisan
sekunder yang memadai telah terbentuk.

Setelah pembentukan dentin sekunder, restorasi komposit atau


restorasi estetik permanen dapat dilakukan.
C. Fraktur Ellis Tipe 3
Diagnosis klinis yang cermat dengan bantuan gejala nyeri subjektif
dan radiograf harus dibuat untuk menentukan paparan pulpa.
Perawatan fraktur Ellis Kelas III bergantung pada beberapa faktor
seperti :
 Ukuran dan lokasi paparan pulp
 Kontaminasi pulp tergantung pada durasi paparan pulp
 Vitalitas pulp
 Tahapan perkembangan akar
Dalam kasus pulpa yang terekspos, terapi pulpa yang dapat dilakukan
adalah capping pulp langsung melalui Ca(OH)2 dan MTA, pulpotomy
dan apexogenesis melalui Ca (OH)2 dan MTA serta apexifikasi
melalui Ca(OH)2 dan MTA.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan :
a) Capping pulp direct  Dressing pulp yang terbuka melibatkan
penempatan semen kalsium hidroksida dan pengaturan anhidrat
keras di atas pulp yang terbuka.
Capping pulp direct diindikasikan dalam kondisi beriku :
 Ukuran paparan pulp kurang dari 1 mm
 Durasi paparan pulp kurang dari 24 jam
 Pulp menunjukkan pendarahan minimal
 Apex akar terbuka lebar atau apex normal.
b) Pulpotomi  merupakan pengangkatan pulpa koronal yang
terinflamasi, kemudian pulpa radikular yang sehat membantu
dalam pengembangan dan pembentukan ujung akar fisiologis.
Hal ini dikenal sebagai apexogenesis. Indikasi pulpotomi adalah :
 Paparan pulpa yang relatif besar
 Durasi paparan pulp dalam waktu 72 jam
 Pulpa menunjukkan pendarahan sedang
Gigi seri dengan akar yang tidak lengkap adalah indikasi yang baik
untuk prosedur di atas karena potensi reparatif pulpa muda yang
lebih baik dan tingkatan kesulitan yang lebih mudah dalam
melakukan prosedur endodontik konvensional.
D. Fraktur Ellis Tipe 4
Fraktur Ellis Kelas IV ditandai dengan fraktur mahkota dengan
pulp nonvital. Manajemen terapeutik kelas ini dilakukan dengan
perawatan saluran akar konvensional atau pulpektomi (apex akar
tertutup), apexifikasi (pulp nonvital dengan apex akar terbuka) dan
perawatan restoratif mahkota diperkuat, porselen veneer mahkota emas
penuh, dimodifikasi tiga mahkota seperempat dan mahkota akrilik atau
porselen penuh.
E. Fraktur Ellis Tipe 5
Pada tipe ini terdapat kehilangan gigi total sebagai hasil dari
trauma/injuri dan akar yang diindikasikan untuk ekstraksi. Perawatan
Jika soket gigi sembuh, dapat dilakukan bridge fabrication atau space
maintainer.
F. Fraktur Ellis Tipe 6
Merupakan jenis fraktur gigi yang relatif jarang. Fraktur dapat
melibatkan akar apical, tengah atau 1/3 koronal.
Pemeriksaan dan manajemen fraktur ini :
 Pulp vitalitas test
 Radiografi untuk memeriksa lokasi situs fraktur. Setelah
penilaian radiografi dan klinis, gigi ini biasanya mengalami
pengurangan digital di bawah anestesi lokal. Setelah
pengurangan, periksa oklusi dan retak gigi stabil dengan
splinting. Fungsi splinting  (Periode splinting 2 hingga 3
bulan untuk fraktur akar). Melumpuhkan gigi longgar, pegang
gigi yang stabil dalam oklusi yang mapan, melindungi jaringan
yang rusak dari kekuatan oklusal.
G. Fraktur Ellis Tipe 7
Fraktur Ellis tipe ini ditandai dengan perpindahan gigi tanpa fraktur
mahkota atau akar. Cedera perpindahan gigi dapat diklasifikasikan
dengan cara-cara berikut.

a. Subluxasi dan penatalaksanannya


 Tidak diperlukan perawatan, jika gigi sedikit bergerak
 Pasien disarankan untuk melakukan diet makanan lunak
selama beberapa minggu
 Penyembuhan biasanya terjadi dalam 1 hingga 2 minggu
b. Perpindahan Lateral dan penatalaksanaanya
 Gigi yang kemudian terlantar harus diposisikan kembali ke
dalam oklusi dengan bantuan jari depan dan ibu jari di
bawah efek anestesi lokal
 Jika apex akar terkunci di tulang, gigi harus diekstrusi
sedikit sebelum diposisikan ulang dan dapat dilaut selama 2
hingga 3 minggu
 Jika fraktur alveolar dikaitkan, splinting harus disimpan
selama 4 hingga 8 minggu
 Splinting dapat diperbaiki atau dilepas, dan memberikan
stabilitas pada gigi terlantar ke oklusi.
c. Ekstruksi
Gigi yang telah keluar dari soketnya harus didorong dengan lembut
tetapi kuat ke posisi aslinya, periksa oklusi dan splinching selama 2
hingga 3 minggu.
d. Instruksi
Gigi permanen muda yang mengalami trauma memiliki potensi
untuk reerupsi, sehingga mereka harus dibiarkan selama 3 bulan
untuk melihat apakah itu erupsi.
2. Interpretasi hasil pemeriksaan objektif
a. Pada scenario dilakukan pemeriksaan secara visual
yaitu terdapat pembengkakan pada mukosa palatal gigi
13 berukuran 2x2 cm.
b. Pemeriksaan Perkusi dimana respon pasien (+) yang
artinya terdapat inflamasi periapical, pemeriksaan
dapat menggunakan ujung hand instrument yang
diketukan pada bagian incisal atau oklusal gigi.
c. Pemeriksaan Mobilitas pasien memberikan respon (+)
yang artinya terjadi kegoyangan gigi yang menandakan
adanya perubahan pada jaringan pengikat gigi/ligament
periodontal, pemeriksaan dapat menggunakan dua
ujung hand instrument.
d. Pemeriksaan Vitalitas pada scenario respon nya (-)
yang menandakan gigi dalam keadaan nonvital dimana
saraf sensori sudah tidak terangsang, pemeriksaan
dengan cara menyemprotkan CE pada cotton pellet
kemudian dapat ditempelkan pada bagian CEJ atau
pada servikal gigi.

3. Interpretasi hasil pemeriksaan radiografis


Kualitas mutu : Diagnostically acceptable
a. Kontras : baik, dimana tingkat perbedaan kepadatan antara dua
area radiograf terlihat jelas sehingga kita dapat melihat anatomi
jaringan lunak dan jaringan keras dengan baik(radiolusen dan
radioopak)
b. Densitas : baik, dimana densitas merujuk pada derajat gradasi
kehitaman dari radiograf. Daerah yang sedikit terkena sinar-x
akan terlihat abu-abu, pada foto di scenario terdapat densitas
yang baik karena klinisi dapat membedakan daerah hitam (ruang
udara), daerah putih (email,dentin, dan tulang) dan daerah abu-
abu(jaringan lunak) dengan baik
c. Sharpness : baik, dimana pada foto radiografi terlihat jelas garis
batas dari ojek-objek yang berbeda dengan baik
d. Distorsi : baik, dimana gambar di foto memiliki ukuran dan
bentuk yang sama dari obek asli
e. Resolusi : baik, karena dalam foto radiografi klinisi dapat dengan
mudah membeda-bedakan objek satu dengan yang lainnya

Radiografi pada Skenario

a. Pada pemeriksaan radiografi, radiolusensi berbatas tegas


dengan ukuran 2x2 cm yang merupakan abses terlihat
melibatkan akar gigi caninus dan gigi incisivus lateral.
b. Pada gigi 13 tipe fraktur horizontal, ektensi lengkap, lokasi
fraktur pada sepertiga apikal, jumlah fraktur multiple,
posisi fragmen akar terjadi pergeseran.
c. Pergeseran sedikit akar juga terlihat.
d. Ukuran pulpa -> pada gigi 12 normal sedangkan pada gigi
13 pulpa terlihat lebih besar
e. Ruang ligamen periodontal -> terlihat penebalan dan
radiolusensi berbatas diffuse sepanjang ligamen periodontal
pada gigi 13 bagian mesial.
f. Fraktur mahkota/fraktur akar -> fraktur mahkota incisal
pada gigi 13/ fraktur pada sepertiga apikal gigi 13
g. Patologi periapikal -> radiolusensi pada tulang alveolar
diatas gigi 12 dan 13, lesi tersebut berbentuk bulat berbatas
jelas terletak di apikal gigi 12 dan 13 yang cukup luas yaitu
±15 mm, diduga gambaran radiolusen tersebut adalah abses
periapikal.
h. Fraktur alveolar -> tidak ada
i. Objek asing -> tidak ada
4. Mekanisme nyeri dan bengkak pada scenario
Mekanisme yang terjadi di scenario disebabkan karena adanya
iritasi yang terus-menerus terjadi pada jaringan periapikal sehingga
membentuk suatu rongga yang berisi eksudat/pus/nanah dan tidak
segera dilakukan drainase. Adanya eksudat atau pus ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan dari jaringan periapikal dan
menekan serabut saraf C. Serabut saraf C ini tidak bermielin,
memiliki kecepatan konduksi yang lebih lambat serta berhubungan
dengan sensasi tumpul, nyeri, atau terbakar. Persepsi nyerinya lambat
dan menurunkan ambang batas nyeri. Dalam jaringan pulpa serabut
saraf C lebih terpusat dalam merespon terhadap rangsangan thermal,
mekanis, dan kimiawi sehingga emnajdi lebih peka ketika ada
inflamasi.
Kista radikuler dapat berkembang dan menyebabkan terjadinya
suatu pembengkakan. Pembengkakan disini disebabkan oleh tekanan
osmotic dan adanya akumulasi produk metabolism untuk membentuk
suatu tekanan intrakistik yang menyebabkan pembesaran kista. Pada
lumen dari kista ini terdapat suatu jaringan nekrotik yang akan
menarik granulosit neutrofilik yang akan mengekstravasasi lapisan
epitel ke dalam kista sehingga produk litik dari sel di lumen kista
akan melepaskan lebih banyak molekul dan menyebabkan tekanan
osmotic cairan kista lebih tinggi daripada cairan jaringan. Adanya
proses difusi ke dalam rongga kista yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan hisrostatik intraluminal, tekanan yang meningkat
ini dapat menyebabkan resorpsi tulang dan perluasan kista.

5. Hubungan antara riwayat pada scenario dengan lesi periapical

Pada scenario pasien mengalami trauma 3 tahun yang dan tidak


langsung ke dokter gigi karena merasa baik-baik saja dan tidak
mengeluhkan rasa sakit. Setelah beberapa pasien mengeluhkan sakit
gigi ketika makan dan mengalami pembengkakan pada palatal gigi
13, maka pasien memeriksakan diri ke dokter gigi. Ketika dilakukan
pemeriksaan subjektif dan objektif.
Pada pemeriksaan objektif pada gigi 13 terdapat CE (-) yang
menandakan gigi nonvital dan juga terjadi diskolorisasi. Maka dokter
mendiagnosis bahwa pasien mengalami fraktur Ellis dan Davey kelas
IV, dimana fraktur kelas IV adalah suatu trauma yang menyebabkan
gigi nonvital, dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota yang
menyebabkan perubahan warna/diskolorisasi yang merupakan ciri
utama dari fraktur kelas IV.

6. Pathogenesis diskolorisasi pada scenario


Cedera traumatis pada gigi dapat menyebabkan pecahnya
pembuluh darah di pulpa, dengan difusi darah ke dalam tubulus
dentinalis. Gigi yang trauma tersebut berwarna rona merah muda
gelap segera setelah kecelakaan dan berubah menjadi merah muda
coklat beberapa hari sesudahnya.

Perubahan warna tetap ada bahkan setelah pulpa dihilangkan atau jika
pulpa pulih. Khususnya pada pasien muda, pigmen yang dihasilkan dari
kerusakan eritrosit di tubulus dentinalis tetap ada, menyebabkan
perubahan warna pada mahkota. Biasanya pulpa akan menjadi nekrotik,
akibatnya hemoglobin rusak
Dengan pembentukan berbagai senyawa berwarna seperti hemin,
hematin, hematoidin, hematoporfirin, dan hemosiderin. Di sisi lain,
hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri bergabung dengan
hemoglobin untuk menggelapkan gigi.
 Coronal Discoloration
Akibat trauma, kapiler di pulpa pecah meninggalkan pigmen darah yang
tersimpan di tubulus dentin.
 Dalam kasus ringan; darah diserap kembali dan terjadi sedikit
perubahan warna, atau perubahan warna menjadi lebih ringan
dalam beberapa minggu.
 Pada kasus yang parah, perubahan warna berlangsung selama umur
gigi.
Berbagai perubahan warna setelah cedera traumatis adalah:
 Perubahan warna merah muda yang diamati segera setelah cedera
mungkin menunjukkan perdarahan intrapulpal (pecahnya
pembuluh darah di pulpa).
 Warna kemerahan terlihat lama setelah cedera biasanya
disebabkan oleh resorpsi internal di ruang pulpa.
 Perubahan warna kuning dapat dilihat saat dentin menebal dan
ruang pulpa lebih sempit dari biasanya; kondisi ini disebut
obliterasi saluran pulpa.
Pengobatan ketiga perubahan warna di atas hanyalah tindak lanjut
- Perubahan Warna Gelap (Warna Hitam, Abu-abu, Coklat dan
Menengah): Jika pulp kehilangan vitalitasnya dan tidak dapat
menghilangkan molekul yang mengandung besi; gigi mungkin
tetap berubah warna.
- Diagnosis Nekrosis Pulp: Jika terdapat gigi yang berubah
warna menjadi gelap dengan tanda tambahan seperti
pembengkakan, fistula, atau defek radiolusen periapikal;
diagnosis nekrosis pulpa mudah.
 Penyebab Diskolorasi
Perubahan warna gigi terjadi selama atau setelah pembentukan
enamel dan dentin. Kadang-kadang terjadi akibat kerusakan email atau
cedera traumatis.
- Nekrosis Pulp
Iritasi bakteri, mekanis, atau kimiawi pada pulpa dapat
menyebabkan nekrosis. Produk sampingan disintegrasi jaringan
kemudian dilepaskan, dan senyawa berwarna ini dapat menembus
tubulus untuk menodai dentin di sekitarnya. Tingkat perubahan
warna berhubungan langsung dengan berapa lama pulpa telah
nekrotik. Semakin lama senyawa perubahan warna berada di ruang
pulpa, semakin besar perubahan warnanya. Jenis perubahan warna
ini dapat diputihkan secara internal, biasanya dengan keberhasilan
jangka pendek dan jangka panjang (Gambar 22-1).

- Perdarahan intrapulpal
Umumnya, perdarahan intrapulpal dikaitkan dengan cedera
benturan pada gigi yang mengakibatkan gangguan pembuluh darah
koronal, perdarahan, dan lisis eritrosit. Telah berteori bahwa produk
sampingan disintegrasi darah tertentu, mungkin besi sulfi des,
menembus tubulus untuk menodai dentin sekitarnya. Perubahan
warna cenderung meningkat seiring waktu.
Jika pulpa menjadi nekrotik, perubahan warna biasanya tetap
ada. Jika pulpa bertahan, perubahan warna dapat hilang dan gigi
mendapatkan kembali warna aslinya. Kadang-kadang, terutama
pada individu muda, gigi tetap berubah warna meskipun pulpa
merespons tes vitalitas
7. Pathogenesis lesi periapical pada scenario
Kista periapical adalah kista rahang inflamasi yang muncul di
apikal gigi yang terinfeksi dengan pulpa nekrotik. Berdasarkan
pembukaan atau koneksi saluran akar ke rongga berlapis epitel, kista
periapical dikategorikan ke dalam kista apical.
Rongga kista dengan lapisan epitel yang terbuka untuk saluran akar
dianggap sebagai kista apikal, yang disebut sebagai "perapikal cyst
pocket" karena kesamaannya dengan kantong periodontal marginal,
sedangkan rongga kista dengan epitelisasi lengkap tetapi tidak ada
pembukaan ke dalam foramen apical dan akar kanal dianggap sebagai
kista apikal. Saat ini disebut sebagai kista radicular.
Patogenesis kista radicular dimulai dari :

a. Terdapat gigi yang menunjukkan adanya lesi periapical


b. Fase inisiasi
c. Fase proliferasi
d. Fase pembentukan kista
e. Gigi menjadi non vital dengan adanya kista radicular
Pada tahap inisiasi, sel epitel sisa (Malassez) yang berada di
ligament periodontal dirangsang untuk berkembang biak sebagai
akibat dari trauma atau infeksi. Kemudian, kavitas dibentuk oleh
nekrosis likueaktif epitel odontogenic, setelah itu pada fase ketiga.
Studi di masa lalu telah memberikan bukti untuk hipotesis bahwa
tekanan osmosis memiliki peran untuk pembesaran kista. Produk lytic
dari sel epitel dan inflamasi memberikan kontribusi terhadap
perubahan tekanan osmotik di berbagai area, yang menyebabkan
peningkatan ukuran kista. Ukuran kista radicular rata-rata dapat
berkisar antara 0,5 hingga 1,5 cm.
Fase inisiasi dikaitkan dengan peran berbagai sitokin dan kemokin.
Infeksi dari karies menyebar ke daerah periapical, di mana endotoksin
bakteri memicu sel epitel malasez untuk berkembang biak atau
erproliferasi. Akibatnya terjadi proses infamasi dan mengakibatkan
pelepasan sitokin.
Kemokin seperti Regulated upon Activation, sel T, interferon
gamma-induced protein, dan monocyte chemoattractant protein sering
ditemui dalam kista radicular dan memiliki peran dalam patogenesis
pembentukan kista. Selain itu, sekresi faktor pertumbuhan endotel
vaskular (faktor pertumbuhan angiogenik) telah diidentifikasi, yang
tampaknya meningkatkan permeabilitas vaskular, yang mengarah
pada perluasan kista. Selain itu terdapat faktor bone resorbing yang di
ekspresikan dalam kista radicular seperti reseptor activator faktor
nuklir kappa-B ligand dan osteoprotegerins, yang dapat memiliki
peran dalam memfasilitasi ekspansi/perluasan kista.
Kista poket periapikal berisi rongga patologis yang dilapisi epitel
yang terbuka ke saluran akar gigi yang terkena. Lesi seperti itu
awalnya digambarkan sebagai kista apikal. Secara biologis, kantong
kista merupakan perpanjangan dari saluran akar yang terinfeksi ke
ruang periapikal. Ruang mikroluminal menjadi tertutup dalam epitel
skuamosa stratified yang berproliferasi dan membentuk kerah epitel
di sekitar ujung akar.
Kehadiran mikroorganisme di foramen apikal menarik granulosit
neutrofilik berkemotaksis ke dalam mikrolumen. Namun, lumen yang
menyerupai kantong secara biologis di luar lingkungan tubuh
bertindak sebagai 'jebakan' ke neutrofil eksternal. Sebagian produk
nekrotik jaringan dan mikroba menumpuk, kemudian kantung lumen
membesar untuk menampung sisa sisa dari sel, dan membentuk
divertikulum volumetrik dari ruang saluran akar ke dalam daerah
periapical.
Cairan kista berperan penting dalam diagnosis kista odontogenik.
Kandungan kista dapat bervariasi dari cairan bening berwarna kuning
hingga benjolan padat. Kandungan protein total yang terdapat
didalamnya biasanya antara 5 dan 11g/100 ml. Ini lebih besar
dibandingkan dengan kandungan protein dari kista odontogenik
lainnya seperti keratokista odontogenik dan kista dentigerous.
Konsentrasi globulin (baik α1 dan β) telah diamati pada kista ini lebih
tinggi daripada yang diamati pada kista odontogenik lainnya.
Secara histologis, kavitas kista dilapisi oleh epitel skuamosa
bertingkat tak berkeratin, yang terputus-putus, terutama di area
infiltrasi sel inflamasi yang intens. Pada tahap awal, sel-sel lapisan
epitel berproliferatif dan menunjukkan pola lengkung dengan sel sel
infiltrat inflamasi kronis yang intens. Jarang sekali sel penghasil
mukus dapat diamati di dalam lapisan epitel. Kehadiran sel mukosa
ini diduga karena transformasi metaplastik dari sel skuamosa.
Dinding jaringan ikat yang berada di dasar sudah mature dan
berkolagen, serta diselingi oleh sel-sel inflamasi kronis, sebagian
besar terdiri dari limfosit dan sel plasma. Lumen kista berisi cairan
dengan berbagai konsentrasi protein dan mengandung banyak
kolesterol. Dalam bebeapa kasus yang jarang terjadi, keratin dalam
jumlah terbatas juga dapat ditemukan.
B. Kerangka Konsep
Nyeri ketika makan dan terjadi
bengkak

Pemeriksaan Trauma

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Subjektif Pemeriksaan Objektif
(Radiografi)

Penegakan Diagnosis

Fraktur Ellis Kelas IV

Diskolorisasi Gigi
Nekrosis Pulpa
Gigi Non-Vital

Inflamasi Periapikal

Kista Radikular
BAB III
KESIMPULAN

Kista periapical adalah kista rahang inflamasi yang muncul di apical gigi
yang terinfeksi dengan pulpa nekrotik. Berdasarkan pembukaan atau koneksi
saluran akar ke rongga berlapis epitel, kista peripaikaldikategorikan kedalam kista
apical. Kista radikuler juga dikenal sebagai kista periapical, kista periodontal,
kista ujung akar atau kista gigi, yang berasal dari sel epota mallasez di ligament
periodontal sebagai akibat dari peradangan akibat nekrosis pulpa atau trauma.
DAFTAR PUSTAKA

Garg, N., & Garg, A. (2019). Text Book of Endodontics (4th ed.). JAYPEE.

Hargreaves, K. M., & Berman, L. H. (2011). Cohen’s Pathways of The Pulp (I. Rotstein
(ed.)). Elsevier.

Marwah, N. (n.d.). Text Book of Pediatric Dentistry (3rd ed.). JAYPEE.

Muthu, M., & Sivakumar, N. (2011). Pediatric Dentistry; Principles and Practice (2nd
ed.). Elsevier.

Sood, N., Maheswari, N., & Sood, N. (2015). Treatment of Large Periapical Cyst Like
Lesion: A Noninvasive Approach: A Report of Two Cases. International Journal of
Clinical Pediatric Dentistry, 8(2), 133–137.

Anda mungkin juga menyukai