Istilah Ahlussunnah wal Jamaah bukan dibuat oleh para Sahabat Nabi, Tabiin, ataupun
Ulama-ulama pengikut Tabiin akan tetapi berasal dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Thabrani, Yaitu:
Berdasarkan hadis tersebut, Ahlussunnah wal Jamaah adalah satu-satunya kelompok atau
golongan umat islam yang akan selamat di akhirat nanti. Sedangkan golongan selainnya masuk
neraka. Lalu apa dan siapakah Ahlussunnah wal Jamaah itu?
.َعظَ ِم ِ َّ ِ فَِإ َذا رأَيتم إِختِاَل فًا َفعلَي ُكم ب،إِ َّن أ َُّميِت اَل جَت ت ِمع علَى ضاَل لٍَة
ْ الس َواد اأْل ْ َْ ْ ْ ُْ َ َ َ ُ َْ ْ
Artinya: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, jika kalian melihat
adanya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”
Kesimpulan dari Arti kata Jamaah secara istilah adalah kelompok kaum muslimin mulai dari
Sahabat, Tabiin, dan Tabiut Tabiin serta orang-orang yang menetapi ajaran mereka sampai hari
kiamat. Mereka berkumpul dan bersepakat berdasarkan Alquran dan Sunnah. Mereka juga
menjalani hidup sebagaimana jalan hidup Rasulullah SAW.
K.H. Hasyim Asy’ari kemudian memperinci golongan Ahlussunnah wal Jamaah di dalam
kitabnya, beliau menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok ahli Tafsir, ahli
Hadits, dan ahli Fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan
Khulafaurrasyidin. Menurut para Ulama kelompok tersebut terhimpun dalam madzhab empat, yaitu
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Maka setiap orang yang mengikuti keempat madzhab tersebut
tentunya termasuk golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Jika tidak mau bermadzhab, maka bukan
termasuk Ahlussunnah. Karena kita tidak memiliki kapasitas sebagai mufassir maupun mujtahid,
sehingga tidak mungkin kita dapat memahami Alquran dan Hadits tanpa mengikuti ajaran para
ulama penerus ajaran Nabi Muhammad SAW.
Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Yaman di sebuah desa
yang didiami suku Qahthan. Imam Asy’ari hidup pada masa setelah Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri
madzhab Hanbali. Di zaman al-Asy’ari aliran Mu’tazilah benar-benar sangat berkembang pesat
karena dukungan pemerintah saat itu. Mu’tazilah sangat memuja kemampuan akal (ekstrimis
rasionalis), mengesampingkan keberadaan al-Quran dan as-Sunnah. Demikian dapat dimaklumi
karena sejak zaman Khalifah al-Ma’mun Dinasti Abbasiyah terjadi penerjemahan buku-buku filsafat.
Sehingga filsafat tumbuh pesat dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran ilmuwan di masa itu.
Pera pengikut aqidah Asy’ariyah sangat banyak sekali, diantaranya mereka yang turut
berjasa mengembangkan teologi Asy’ariyah seperti: Imam al-Baqillani, Imam al-Juwaini, Imam al-
Ghazali dan lain-lain. Mereka turut berjasa menumbangkan hegemoni Mu’tazilah yang disemai oleh
penguasa-penguasa bani Abbasiyah.
Meski hidup pada zaman ketenaran Mu’tazilah dan pernah belajar ajaran-ajaran Mu’tazilah,
Imam Asy’ari nyatanya adalah golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Terhadap aliran yang satu ini
beliau sangat frontal menolak dan mampu mematahkan argumen-argumen Aqli yang ditawarkan
Mu’tazilah. Namun bukan berarti Aqidah yang dibangun oleh Imam Asy’ari meniadakan peranan akal
(Ilmu Logika dan Filsafat). Akal ditempatkan sesuai porsinya, tidak diagungkan sebagai satu-satunya
kebenaran melainkan digunakan sebagai media atau alat memahami al-Quran dan as-Sunnah.