Anda di halaman 1dari 8

Rangkuman

AUTISME dan TUNALARAS


Pemahaman ABK

TUGAS INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH PEMAHAMAN ABK

Disusun Oleh :
RETNO DIAN PUSPANINGRUM
18862012006
Prodi : BK

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL-GHAZALI
CILACAP
2019
AUTISME
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang
kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak
bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih
dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan
seumur hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat
terapi Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana
dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama
bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak
memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara.
Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah
kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi
serta perasaan orang lain.
Autisme dapat dideteksi sejak dini, diperlukan pengetahuan memiliki perkembangan anak
normal pada umumnya, Oleh dari itu, tanda autisme pada anak dapat dibagi berdasarkan
usianya. Berikut tanda-tanda autisme pada anak menurut usianya.
Ciri-ciri autisme pada bayi usia kurang dari 12 bulan
 Tidak ada kontak mata ketika diajak berbicara.
 Tidak tersenyum kembali kepada anda ketika Anda mengajaknya berbicara atau
tersenyum
 Tidak berespon terhadap suara.
 Tidak tertarik ketika diajak bermain bersama.
 Anak tidak menoleh ketika namanya dipanggil.
Gejala autisme pada anak usia 12 sampai 24 bulan
 Tidak dapat menggunakan peralatan sehari-hari seperti sikat gigi, sisir, atau mainan.
 Tidak mengeluarkan kata-kata untuk mulai berbicara. Pada usia 16 bulan, biasanya
anak dapat mulai berbicara satu kata dan pada usia 24 bulan, anak dapat berbicara dua
kata.
 Tidak mampu untuk mengikuti perintah.
Gejala autisme pada anak usia 2 tahun ke atas
 Menghindari kontak mata.
 Kemampuan berbahasa yang terlambat. Anak sulit untuk memberi tahu apa yang ia
butuhkan. Beberapa anak bahkan tidak mampu berbicara sama sekali.
 Memiliki pola berbicara yang aneh. Intonasi berbicara anak tidak sesuai atau
terdengar datar. Anak sering mengulang kata yang sama.
 Tidak memiliki ketertarikan untuk bermain dengan orang lain.
 Tidak bisa meniru bentuk suatu benda misalnya menggambar bentuk bola.
 Mengalami masalah dalam tingkah laku. Anak menjadi hiperaktif, impulsif atau
agresif.

1
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua
dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan
berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif
terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya, Perilaku-perilaku repetitive
juga dapat ditemukan Perilaku dapat menjadi agresif.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10
tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang
keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv
(Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih
dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial –
Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening
yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
 Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-
kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada
pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi
berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
 The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme
pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan,
dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
 The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi dan sosial mereka
 The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3
bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui
secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesis
mengenai penyebab autisme.
Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme:

2
- faktor genetik (keturunan)
- faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, tetapi persoalan-
persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih
dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan
persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor
dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak
dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin
kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan
hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak
selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika
anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang
dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai
gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan
layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh
wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah.
Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para
penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena
hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan
inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik
secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik
(Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah
autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang
besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, tetapi secara etis tentunya tidak
ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu
metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan
pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi
anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah
maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-
pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan
masalah autisme di Indonesia.
Beberapa jenis Terapi yang dapat dijalani oleh penderita autisme :
 Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis
(ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering
disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
 Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai
Floortime.
 TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication –
Handicapped Children).

3
 Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan
pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas,
hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
 Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada
usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
 Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange
Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam
berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
 Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang
memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
 Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational
Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).

4
TUNA LARAS
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi
dan kontrol sosial. Seorang tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya.
William M.C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial
1. The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat
mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu.
Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari
lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma
tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Anak
menjadi selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar
kelompoknya.
1. Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada
kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau
tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah
mendapat bimbingan ke arah sikap sosial yang benar dan telantar dari
pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal
ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang
mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh
dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat
memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
2. Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini
tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap
sosial. Hal ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak
pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan
ini banyak bersikap apatis dan egois.
2. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
1. Neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang
lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu
diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati,
perasaan cemas, marah, agresif, dan perasaan bersalah. Di samping itu,
terkadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan.
Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor.
Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak
atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu
karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2. Children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami
gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih
khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak
memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya
ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem saraf sebagai akibat
dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.

5
Faktor-Faktor Penyebab Tuna Laras:
 Faktor internal
- Kondisi atau Keadaan fisik
- Masalah Perkembangan
- Keturunan
- Faktor Psikologis
- Faktor Biologis
 Faktor Eksternal
- Faktor Psikososial
- Lingkungan Keluarga :
a. Kasih sayang dan perhatian.
b. Keharmonisan Keluarga
c. Kondisi Ekonomi
- Lingkungan Sekolah
- Lingkungan Masyarakat
Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffmann (1986), berdasarkan
dimensi tingkah laku anak tunalaras adalah sebagai berikut:
1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku memeperlihatkan ciri-ciri: suka
berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak
milik sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja
sama, tidak mau memperahtikan, memecah belah, ribut, tidak bisa diam, menolak
arahan, cepat arah, menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka
bersoal jawab, mencuri, mengejek, menyangkal berbuat salah, egois, dan mudah
terpengaruh untuk berbuat salah.
2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas,
ketakutan, kaku, pemalu, segan, menarik diri, terasing, tak berteman, rasa tertekan,
sedih, terganggu, rendah diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang,
sering menangis, pendiam, suka berahasia.
3. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan,
pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.
4. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat,
mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan
geng, suka di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
Jenis-jenis Layanan Anak Tunalaras
Dalam jenis-jenis layanan ini akan dikemukakan beberapa hal, seperti berikut.
1. Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang
menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku
Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut.
1. Lingkungan fisik yang kurang memenuhi persyaratan, seperti bangunan sekolah dan
fasilitas yang tidak memadai, seperti ukuran kelas yang kecil dan sanitasi yang buruk.
Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan dan tidak betah berada di
sekolah.

6
2. Disiplin sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan sekolah yang
memberi hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa.
Keadaan ini akan membuat anak merasa tidak puas terhadap sekolah.
3. Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya, murid
sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jam-jam belajar, kadang-kadang
digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4. Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya, anak harus
mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan bakatnya.
Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa jenuh, dan
melelahkan.
5. Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat mengakibatkan
anak bosan dan merasa lelah.

Anda mungkin juga menyukai