Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)


Dosen :
Tuti Suprapti,S.Kp.,M.Kep

Disusun Oleh:

ATIPAH ARIYANTI
AKX18004

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH
1. Konsep penyakit
A. Definisi
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
B. Etiologi
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat
adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu


pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

C. Patofisiologi

Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya


disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan
leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor.Secara garis besar,detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis,sedang trigonum,leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis.Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat
dan detrusor menjadi lebih tebal.Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi
(buli-buli balok).Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).

D. Manifestasi klinik

1. Gejala iritatif, meliputi:

a.Peningkaan frekuensi berkemih.

b. Nocturia (terbangun di malam hari untuk miksi)

c.Perasaan untuk ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat di tunda


(urgensi).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

2. Gejala obstruktif, meliputi:

a.Pancaran urin melemah.

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik.

c.Jika ingin miksi harus menunggu lama.

d. Volume urin menurundan harus mengedan saat berkemih.

e.Aliran urin tidak lancar/terputus-putus


Derajat BPH

Menurut Sjamsuhidajat tahun 2005 benigna prostat hiperplasia dibagi menjadi


empat derajat yaitu:

Stadium I

Terjadi obstruksi namun bladder/vesika urinari masih mampu mengeluarkan


atau mensekresikan urin sampai habis.

Stadium II

Pada stadium ini terjadi retensi urin namun vesika urinari masih mampu
mengeluarkan urin walau tidak sampai habis, masih tersisa sekitar 60-150 cc
dan pada stadium ini terjadi disuria dan nocturia.

Stadium III

Pada stadium ini urin setiap berkemih urin tersisa dalam vesika urinari sekitar
≥ 150 cc.

Stadium IV

Pada stadium ini terjadi retensi urin total, vesika urinari penuh sehingga
pasien terlihat kesakitan dan pada stadium ini urin menetes secara periodik
( over flow inkontinen ).

Komlikasi BPH

Urinary traktusinfection

Retensi urin akut

Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal.

Bila operasi bisa terjadi:

Impotensi (kerusakan nervus pudenden)


Hemoragic pasca bedah

Fistula

Striktur pasca bedah

Inkontinensi urin

E. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium

a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan

a. Foto polos abdomen


Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
F. Penatalaksanaan

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari : phitoterapi (misalnya :
hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi:

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut

b. Dengan residual urin >100 ml

c. Klien dengan pengulit

d. Terapi medika mentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan dapat dilakukan dengan:

a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).

b. Retropubic atau extravesical prostatectomy.

c. Perianal prostatectomy.

d. Suprapubic atau tranvesical prostatectomy.

2. Konsep asuhan keperawatan


1. Pengkajian
1. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
 Keadaan umum
 Kesadaran
 TTV
 TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
5. Data psikologis
a. pendidikan
b. hubungan siosial
c. gaya hidup
d. peran dalam keluarga
6. Data penunjang
7. Pengobatan
2. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
2. Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
3. Intervensi
Diagnosa I: Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TURP.
1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang
atau hilang, dengan kriteria hasil:
a. Klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
b. Ekspresi wajah klien tenang
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal

2. NIC
a. Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
b. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
c. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.

Diagnosa II: Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.


1. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi adanya
tanda-tanda infeksi, dengan kriteria hasil:
a. Klien tidak mengalami infeksi.
b. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda shock.

2. NIC
a. Monitor tanda dan gejala infeksi
R/ mengetahui tanda dan gejala infeksi.
b. Ajarkan intake cairan yang cukup sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.

4. Evaluasi
1. Pasien dapat bergerak dengan baik.
2. Kebutuhan pasien terpenuhi.
3. Tingkat pengetahuan pasien bertambah.

G.
DAFTAR PUSTAKA

Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika.
TAMBAHAN

 Teknik pembedahan
o . Insisi transurethral prostat (TUIP)

Ini adalah prosedur endoskopi. Hal ini dilakukan dengan memasukkan endoskopi
melalui uretra ke prostat. Kemudian sayatan kecil dibuat di jaringan prostat untuk
memperbesar lubang uretra dan kandung kemih. TUIP adalah prosedur yang cukup aman
dan tidak ada luka eksterior setelah operasi. Prosedur memakan waktu sekitar 40-50
menit.

o Reseksi transurethral prostat (TURP)

Hal ini dilakukan dengan memasukkan endoskopi melalui penis dan


mengeluarkan bagian prostat yang menghalangi secara berurutan dengan arus listrik.
Panas arus listrik bisa menghentikan pendarahan dengan cepat juga. Prosedur ini
memakan waktu sekitar 60-90 menit dan dapat dilakukan dengan anestesi umum atau
regional.

o Buka prostatektomi

Ini adalah operasi yang lebih tradisional. Insisi dibuat di perut bagian bawah
untuk menghilangkan jaringan prostat. Hal ini umumnya dilakukan saat prostat sangat
besar

 Lain-lain
o Trial Without Catheterization (TWOC)

TWOC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta
dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.

o Clean Intermittent Catheterization (CIC)

CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandirimaupun dengan bantuan.

o Sistostomi

Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara pemasangan kateter
khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.

 Memonitor cairan
1. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan
2. Perhatikan keluaran100-200 ml
3. Pantau masukan dan haluan cairan
4. Awasi tandatanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernafasan, penurunan tekanan
darah, diaphoresis, pucat
5. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
6. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan labolatorium sesuai indikasi

Anda mungkin juga menyukai