Anda di halaman 1dari 75

PERCOBAAN KE-I

PENYEDIAAN SAMPEL MATRIKS BIOLOGIS

I. TUJUAN
Untuk mengambil contoh plasma dan serum dalam kajian ketersediaan
hayati
II. LANDASAN TEORI
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat yang dibutuhkan
oleh tubuh organisme tersebut. Selain itu, darah juga berfungsi untuk
mempertahankan tubuh terhadap virus dan bakteri. Pada dasarnya, darah
merupakan cairan yang ada didalam tubuh manusia atau hewan yang berperan
sebagai alat transportasi zat-zat dalam tubuh. Darah pada hewan digunakan untuk
mengangkut oksigen dari paru-paru menuju jaringan tubuh. Pada sebagian hewan
kecil yang tak bertulang belakang atau sering disebut invertebrata, oksigen
langsung meresap kedalam plasma darah karena protein pembawa oksigennya
terlarut secara bebas (Sundaryono,2011).
Menurut Poedjiadi (1994), darah merupakan sampel biologis yang paling
umum digunakan dan mengandung berbagai komponen seluler sebagai berikut:
a. Plasma darah
Plasma darah merupakan cairan yang berada diantara sel-sel darah yang
bebas. Plasma diperoleh dengan penambahan antikoagulan pada darah yang
diambil dan supernatant yang diperoleh setelah sentrifugasi merupakan
plasma.
b. Serum
Serum diperoleh dengan membiarkan darah untuk menggumpal dan
supernatant yan dikumpulkan setelah sentrifugasi adalah serum
c. Sel-sel darah
Sel darah terdiri atas darah merah ( red blood cell/ eritrosit), darah putih
( white blood cell/ leukosit), keping-keping darah (trombosit).
Pengambilan darah ( venesectio) merupakan salah satu hal yang terpenting
dalam analisis ketersediaan hayati. Tujuan pengambilan darah yaitu untuk
mengetahui tingkat kadar suatu zat yang terkandung dalam darah. Pengambilan
sampel darah juga digunakan untuk mengidentifikasi suatu penyakit yang

1
menyerang. Dalam pengambilan sampel darah dapat digunakan motode vacuum
tube dan dengan menggunakan suntikan (Shargel dan Yu, 2005).
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik secara keseluruhan menunjukkan kinetik dan perbandingan zat
aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan.
Ketersediaan hayati obat yang diformulasikan menjadi sediaan farmasi merupakan
bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan untuk ketersediaan
obat. Pengkajian terhadap ketersediaan hayati tergantung pada absorbsi obat ke
dalam sirkulasi umum serta pengucuran dari obat yang terabsorbsi tersebut
(Aiache,1982).
Menurut Rohayati et al (2015), ketersediaan hayati digunakan untuk
menentukan :
1. Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan
2. Kecepatan obat diabsorbsi
3. Kecepatan massa kerja obat berada di dalam cairan biologis atau jaringan bila
dihubungkan dengan respon pasien
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektifitas terapi atau efek
toksik
Data darah dan data urine lazim digunakan untuk menilai ketersediaan
hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara
dan validitasnya. Jika cara validitas analisis belum diketahui dapat digunakan data
farmakologi dengan syarat efek farmakologik yang timbul dapat diurut secara
kuantitatif, seperti efek pada kecepatan denyut jantung atau tekanan darah yang
dapat digunakan sebagai indeks dari ketersediaan hayati obat (Poedjiadi, 1994).
Menurut Aiache (1982), faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan
hayati obat adalah sebagai berikut :
1. Sifat fisiko kimia zat aktif
a. Bentuk Isomer
Alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam beberapa bentuk isomer
d dan l
b. Polimorfose
Bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat
terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil
c. Ukuran partikel

2
Bila ukuran partikel lebih kecil luas permukaan akan lebih besar sehingga
obat akan cepat melarut dan diabsorbsi
d. Hidrate dan solvate
e. Bentuk garam, Ester dan Lainnya
Gugus estolat dari eritromisin ertolat dapat menyebabkan hepatotoksik,
sedangkan strearatnya tidak. Tapi sifat fisik eritromicin strearat
mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup kedalam capsul berukura
wajar. Pemadatan yang tidak tepat atas bahan baku ini sebaliknya dapat
menimbulkan persoalan disolusi dan ketersediaan hayati.
f. Kemurnian
Bahan baku yang tidak murni bisa mengandung mikrokontaminan berupa
hasil degradasinya sendiri. Namun, meskipun telah menggunakan bahan
baku murni, jika cara dan kondisi produksi dalam hal kebersihan,
temperatur dan kelembapan kurang baik juga dapat menimbulkan efek
samping.
2. Bahan-bahan Pembantu
Banyak obat-obatan dimana pengaruh bahan pembantu dapat merubah secara
drastis pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga
berpengaruh.

3
III. PROSEDUR KERJA
3.1 Alat dan Bahan
A. Alat
- Tabung Reaksi
- Pinset
- Gelas Ukur
- Vial
- Kapas
- Botol untuk menyimpan kapas yang telah dibulatkan dan diberi
alkohol
- Pipet Tetes
- Spet 1cc
- Botol tempat sisa dari buangan cairan

B. Bahan
- Heparin
- Ca Oksalat
- Na Citras
- Na EDTA 10%
- NaCl Fisiologis
- Alkohol 70%
- Aquadest
- Ayam / Hewan uji lain

4
3.2 Cara Kerja

Na EDTA

Di siapkan alat dan bahan


Di bilas tabung reaksi dengan Na EDTA
Di keringkan
Di sterilkan jarum suntik dengan alkohol 70%
Kemudian di bilas dengan Na EDTA
Di siapkan 5ml heparin 100/ml dalam NaCl
Fisiologis
Di masukan 1 tetes heparin kedalam tabung
Reaksi yang telah di bilas dengan Na EDTA

Hewan uji Di siapkan ayam yang akan di ambil darahnya


Di ambil darah sebanyak 1cc dari vena margin
nalis
Dimasukan kedalam tabung reaksi yang berisi
antikoagulan
Di bolak-balik tabung sebanyak 5 kali
Di sentrifuge selama 15 menit dengan kecepa
tan 4000 RPM
Di ambil bagian bening ( bagian atas tabung
reaksi)
Di masukan kedalam tabung reaksi
Di tutup
Di beri label
Di simpan pada suhu minus 20 c

Hasil

5
IV. HASIL

No Perlakuan Gambar
1. Proses pengambilan darah ayam pada
vena marginalis (dibagian bawah sayap
ayam) dengan menggunakan spet 3 cc

2. Hasil pengambilan darah ayam


dipindahkan kedalam tabung reaksi.

3. Proses sentrifuge selama 15 menit dengan


kecepatan 4000 rpm

4. Hasil dari sentrifuge, terdapat bagian


yang terpisah. Bagian bawah plasma dan
bagian atas serum.

5. Proses pengambilan serum (bagian yang


bening).

6
6. Hasil dari pengambilan serum yang
dipindahkan ke dalam vial.

7
V. PEMBAHASAN
Pada percobaan yang telah dilakukan, dilakukan pengambilan sampel darah
ayam kampung. Pada saat pengambilan sampel darah, posisi hewan harus dalam
posisi nyaman dan kondisi tenang. Selain akan mempermudah dalam pengambilan
sampel darah, juga akan meminimalisir rasa sakit pada hewan dan hal tersebut
merupakan salah satu kaidah animal walfere atau biasa disebut kesejahteraan
hewan. Untuk sebagian hewan yang ukuran tubuhnya agak besar sehingga susah
untuk diposisikan dalam posisi yang tepat, maka bias digunakan penjepit atau
kerangka. Namun, untuk hewan yang berukuran tubuhnya kecil, maka cukup
dipegang oleh paramedic pada bagian tertentu.
Dalam pengambilan darah, pertama-tama dicari titik pada tubuh hewan
yang banyak mempunyai pembuluh darah. Dalam percobaan ini, darah diambl
melalui vena marginalis ayam kampung, sehingga akan mempermudah dalam
pengambilan darah. Bagian tersebut dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol.
Pembersihan ini dilakukan untuk menghindarkan adanya bakteri atau disebut juga
dengan sterilisasi. Selain untuk mensterilkan hewan, pembersihan dengan alcohol
dapat meminimalisir terjadinya infeksi setelah dilakukan pengambilan sampel
darah (Mushawir dan Latipudin, 2011).
Alat suntik yang digunakan dalam pengambilan sampel darah harus
diposisikan secara tepat. Bagian jarum yang runcing berada dibawah (posisi jarum
mengadah keatas) sehingga fungsinya berjalan dengan baik, yaitu baik untuk
mengambil darah supaya terhisap oleh jarum suntik. Selain itu, ujung jarum
diusahakan masuk atau tertutupi sehingga darah akan mudah masuk pada jarum.
Jarum suntik disuntikkan berlawanan arah dengan pembuluh darah. Pada saat
pengambilan darah, jarum dimasukkan dengan lurus tidak keluar dari pembuluh
darah. Jarum suntuk yang telah dimasukkan ke pembuluh darah jangan
digerakkan karena dapat merusak pembuluh darah dan menyebabkan
pembengkakan pada bagian tersebut. Pecahnya pembuluh darah dapat
membahayakan kondisi hewan uji. Namun, pada percobaan yang dilakukan,
pembuluh darah hewan uji pecah sehingga terjadi sedikit pendarahan dan
pembengkakan. Hal ini terjadi karena praktikan terlalu dalam memasukkan jarum
kedalam bagian pembuluh vena marginalis dan pada saat jarum masuk, praktikan
menggerakkan jarum sehingga merobek pembuluh darah hewan uji.
Pada pengambilan darah ayam yang telah dilakukan, darah diambil melalui
vena marginalis. Digunakan darah vena karena lokasi tusukan lebih mudah

8
dijangkau sehingga mengurangi resiko terjadinya pecah pembuluh darah arteri.
Pembuluh darah arteri memiliki posisi untuk tusukan lebih dalam dari vena dan
darah dari arteri akan mengalir dengan sendirinya ke dalam spuit. Warna darah
yang dihasilkan dari vena dan arteripun berbeda. Dimana darah vena cenderung
lebih gelap dibandingkan dengan darah arteri yang berwarna merah terang.
Antikoagulan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah
dengan cara menghambat pemberian fibrin. Antikoagulan diperlukan untuk
mencegah terbentuknya dan meluasnya thrombus dan emboli pada pembuluh
darah. Antikoagulan juga dapat bekerja untuk mencegah bekunya darah diluar
tubuh pada pemeriksaan laboratorium atau transfuse. Adapun contoh-contoh obat
antikoagulan adalah sebagai berikut:
Warfarin
Warfarin termasuk golongan obat antikoagulan kumarin yang berkerja
dengan menghambat kerja vitamin K didalam darah. Vitamin K berperan penting
dalam pembekuan darah, terutama untuk mengaktifkan beberapa faktor
pembekuan darah. Jika kerja vitamin K dihambat oleh warfarin, maka darah akan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat membeku.
Fandaporinux ; Rivaroxoban ; dan Apixaban
Termasuk kedalam golongan obat antikoagulan penghambat faktor Xa, yang
berkerja menghambat faktor Xa dalam proses pembekuan darah, baik pada darah
yang sudah menggumpal maupun yang belum menggumpal.
Heparin
Heparin merupakan obat antikoagulan yang berperan dalam menghambat
thrombin sekaligus menghambat faktor Xa yang berperan dalam pembekuan darah.
Heparin terbagi menjadi dua jenis, yaitu high molecular weight atau unfractioned
heparin (UFH) dan low molecular weight heparin (LMWH). UFH biasa disebut
dengan heparin saja, sedangkan obat LMWH antara lain enoxaparin, nadroparin,
parnaparin.
Penghambat Trombin (dabigratan)
Penghambat thrombin merupakan obat antikoagulan yang berfungsi
mencegah aktivasi thrombin yang berperan dalam pembekuan darah.
Pada percobaan yang telah dilakukan, digunakan heparin sebagai obat
antikoagulan. Heparin adalah asam mucopolysaccharide atau glucosaminoglicants
(GAGs) yang terdiri dari residu asam glukoronat dan glukosamin yang disterifikasi
dengan asam sulfat yang banayk digunakan sebagai antikoagulan injeksi, dan

9
mempunyai kepadatan muatan positis yang tertinggi diantara semua molekul
biologis. Heparin bekerja dengan meningkatkan pelepasan protein spesifik, seperti
tissue plasminogen activator dan tissue factor pathway inhibitor (TFPI), kedalam
darah untuk menghambat pembekuan darah. Hal ini juga dapat meningkatkan
aktivitas dari protein. Heparin menambah aktivitas antitrombin III, yaitu senyawa
alami yang menghambat aktivasi faktor pembekuan darah. Selanjutnya, heparin
juga menghambat zat yang dapat menyebabkan angiotensis, yakni pembentukan
darah baru, termasuk faktor pertumbuhan endotel vascular, faktor jaringan, dan
platelet activating (Marzoeki, 1993)
Darah yang relah diambil kemudian disentrifuge selama lebih kurang 15
menit dengan kecepatan 4000 rpm. Sentrifugasi ini dilakukan untuk memisahkan
bagian-bagian dari darah. Dari sentrifugasi yang dilakukan, dihasilkan serum,
plasma, dan sel-sel darah.
Serum merupakan bagian yang ada didalam darah serta memiliki komposisi
pembuatnya sama dengan pembuat plasma darah. Namun, serum darah ini tidak
termasuk memiliki fungsi dalam pembekuan darah. Hal ini membuat serum tidak
menggumpal seperti plasma darah. Apabila ingin melihat keberadaan dari serum
darah bias dilakukan dengan cara membekukan semua agen yang ada didalam
darah. Kemudian agen tersebut dilakukan pemutaran progresif atau juga bias
dilakukan dengan cara mengambil sampel darah dan bagian darah yang
menggumpal. Bagian yang tidak diambil dinamakan serum darah. Zat yang ada
didalam serum darah mencakup elektrolit termasuk protein.
Berbeda dengan serum darah, plasma darah merupakan bagian diatas
darah yang berair. Pada percobaan kali ni, bagian yang mengendap antara bagian
sel darah merah dan sel darah putih terdapat cairan seperti jerami. Cairan inilah
yang disebut dengan plasma darah. Plasma darah mengandung zat fibrinogen yang
berfungsi sebagai faktor pembekuan darah. Jadi, bentuk dari plasma darah
cenderung menggumpal sedangkan zat lain seperti protein akan mengendap
dibawahnya.
Berdasarkan bentuknya, serum merupakan bagian dalam darah yang tidak
mengandung zat pembekuan darah namun terdapat protein. Sedangkan palsma
merupakan bagian dalam darah yang cair namun cenderung menggumpal karena
mengandung nutrisi, hormon dan zat pembeku darah. Berdasarkan komposisinya,
serumdarah mengandung zat protein, hormone, elektrolit, antibody, antigen dan
partikel tertentu. Zat yang ada didalam serum hamper sama dengan zat yang ada

10
didalam plasma darah, hanya saja tanpa asa faktor pembekuan darah, sedangkan
zat yang ada didalam plasma tidak jauh berbeda dengan zat yang ada didalam
serum darah. Hanya saja plasma mengandung zat yang berfungsi sebagai zat
pembeku darah. Berdasarkan volumenya, serum darah memiliki volume yang lebih
kurang dari plasma darah, sedangkan plasma darah memiliki berat sekitar 5% dari
keseluruhan volume darah. Plasma darah terdiri dari 93% air dan 7% sel darah.
Plasma darah memiliki kerapatan 1,025 kg per meter kulit.
Menurut Poedjiadi (2005), terdapat beberapa alasan mengapa serum dperlu
disimpan pada suhu yang sejuk atau dibawah -25 derajat, diantaranya adalah:
1. Masuknya oksigen kedalam wadah sehingga perlu dihindari karena dapat
mengurangi manfaat atau khasiat dari pada serum.
2. Apabila terpancar dengan sinar matahari, serum darpat mengalami
penurunan kualitas ataupun memperburuk manfaat yang ingin dibentuk.
3. Dengan disimpan pada suhu yang dingin akan membuat molekul serta
kandungan didalamnya akan lebih mudah diserap.
4. Apabila tidak disimpan pada suhu yang dingin, serum yang terpancar oleh
panas dapat mengalami perubahan warna yang signifikan.
5. Menjaga kualitas dan stabilitas serum itu sendiri.
Darah merupakan suatu suspense sel dan fragmen sitoplasma didalam
cairan yang disebudengan plasma. Secara keseluruhan, darah dapat dianggap
sebagai jaringan pengikat dalam arti luas, karena pada dasarnya terdiri dari unsur-
unsur sel dan substansi intraseluler yang berbentuk plasma. Secara fungsional
pun, darah merupakan jaringan pengikat yang menghubungkan seluruh bagian-
bagian dalam tubuh maka segera terjadi bekuan yang terdiri atas unsur berbentuk
dan cairan kuning jernih yang disebut serum. Serum sebenarnya merupakan
plasma tanpa fibrinogen (Poedjiadi, 2005).
Darah merupakan jaringan yang cukup peka terhadap kondisi
lingkungannya. Dimana, apabila darah berada didalam lingkungan yang hiptonis,
maka darah akan mengalami hidrolisis, sedangkan apabila darah berada dalam
lingsungan yang hipertonis, maka darah akan mengalami krenasi atau perpecahan
(rusak). Dalam keadaan tertentu, darah dapat mengalami berbagai proses
perubahan kimiawi (Shargel, 2005).
Pada percobaan yang telah dilakukan, praktikan mengalami kesulitan
dalam mengambil sampel darah dan pembuluh darah hewan yang digunakan
pecah sehingga terjadi sedikit pendarahan dan terjadi pembengkakakn pada bagian

11
tersebut. Hasil serum yang didapatkan cukup baik, namun kurang membentuk
warna yang cukup bening akibat pada saat proses pengambilan darah, terjadi
kesalahan yang telah disebutkan sebelumnya.

12
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakuan dapat disimpulkan,
Antikoagulan merupakan zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan
cara menghambat pembentukkan fibrin. Heparin merupakan obat antikoagulan
yang berperan menghambat trombin sekaligus menghambat faktor yang berperan
dalam pembekuan darah. Serum darah merupakan bagian darah yang idak
menggumpal yang terdapat pada bagian atas dan warnanya bening. Plasma darah
merupakan bagian yang mengendap diantara sel darah merah dan sel darah putih
berupa cairan seperti jerami.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, JM. 1982. Biofarmasetika. Jakarta : Airlangga.

Marzoeki,DJ. 1993. Ilmu Bedah : Luka Dan Perawatannya (Luka,Aseptis/Antiseptis,


Disinfektan Dan Luka Bakar). Surabaya : Airlangga University Press.

Musshawwir, A Dan D. Latipudin.2011. Beberapa Parameter Biokimia Darah Ayam


Ras Petelur Fase Grower Dan Layer Dalam Lingkungan “Upper Zona
Thermoneural”. Jurnal Peternakan Indonesia.Vol 13 (No.5).

Poedjiaji.1994. Dasar-Dasar Biokimia.Jakarta : Ui Press.

Rohayati, A., AN, Hasanah., N.M, Sapharini Dan AD. Aryanti.2015. Optimasi
Kondisi Pemisahan Glibenklamid Kombinasi Metformin Dalam Plasma
Darah Menggunakan KCKT. Indonesian Journal Of Pharmaceutical
Science and Technology.Vol 2(No.3).

Shargel,L Dan Yu.2005. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya:


Airlangga University Press.

Sundaryono, A. 2011. Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari Gynura segetam
Terhadap Peningkatan Eritrosit Dan Penutupan Leukosit Pada Mencit
(Mus musculus). Jurnal Exacta. Vol 9 (No.2).

14
LAPORAN SEMENTARA
No Perlakuan Gambar
1. Proses pengambilan darah ayam pada
vena marginalis (dibagian bawah sayap
ayam) dengan menggunakan spet 3 cc

2. Hasil pengambilan darah ayam


dipindahkan kedalam tabung reaksi.

3. Proses sentrifuge selama 15 menit dengan


kecepatan 4000 rpm

4. Hasil dari sentrifuge, terdapat bagian


yang terpisah. Bagian bawah plasma dan
bagian atas serum.

5. Proses pengambilan serum (bagian yang


bening).

15
6. Hasil dari pengambilan serum yang
dipindahkan ke dalam vial.

16
DOKUMENTASI

Dibilas spet dengan NaEDTA Diambil darah


ayam

Dipindahkan darah ke tabung reaksi Disentrifuge darah

Terbentuk pemisahan serum dan plasma Diambil cairan


serum

Diletakkan cairan serum selama 24 jam Dilakukan evaluasi


17
PERCOBAAN KE II
DIFUSI SALEP DAN KRIM RESORSINOL KEDALAM AGAR

I. TUJUAN
Mengetahui dan mengamati proses difusi zat aktif dari sediaan semi
kuantitatif.
II. DASAR TEORI
Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan
luar organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh dan lingkungan luar.
Adapun fungsi kulit yaitu sebagai pelindung terhadap kerusakan jaringan secara
kimia dan fisika mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, dengan keluarnya
keringat menunjang kerja ginjal, dan bertindak sebagai alat pengindra dengan
reseptor yang dimilikinya. Kulit terdiri dari bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit
luar) dan kelengkapannya (kelenjar, rambut, kuku) bagian jaringan ikat, yaitu
korium (kulit jangat). (Underwood,1998)
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu startum corneum (lapisan
tanduk) startum lucidum (lapisan kertohialin) dan stratum garminativum (lapisan
yang tumbuh). Bagian atas kulit yang disebut stratum korneum terdiri atas sel tak
berinti yang disusun oleh brick (komponen selnya/korneosit) dan mortasr
(kandungan lipid intraseluler). Startum korneum dapat ditembus oleh senyawa
obat zat kimia yang diaplikasikan kepermukaannya disebut pemberian obat secara
perkutan. Tujuan pengobatan obat secara perkutan dapat ditunjukkan untuk
pengobatan local hanya pada permukaan kulit atau pada jaringan yang lebih dalam
seperti otot dan dapat pula ditujukan untuk pengobatan sistemik(Agoes, 1993)
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutan harus mampu
berpenetrasi kedalam kulit melalui stratum korneum sehingga terjadi proses difusi
pasif. Difusi dapat terjadi melalui stratum korneum (jalur transdermal) atau dapat
juga melalui kelenjar keringat, minyak, atau folikel rambut. Difusi pasif merupakan
proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ketempat yang
berkonsentrasi rendah. Kecepatan penetrasi kulit melalui mekanisme difusi
sehingga terjadi sesuai dengan hokum Fick:

( K . D)
J= ( Cs-C )
h

18
Dimana:
J = fluks persatuan luas
K = koefisien partisi dalam membrane dan pembawa
h = tebal membrane
D = koefisien difusi obat
Cs= konsentrasi obat dalam pembawa
C = konsentrasi obat dalam medium reseptor

Maka dari itu factor yang mempengaruhi difusi zat melalui kulit yaitu sifat
fisikokimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koefisien partisi), karakteristik
sediaan, karakteristik basis, zat-zat tambahan dalam sediaan dan zat tambahan
yang perlu ditambahkan adalah zat untuk meningkatkan penembusan zat aktif
(penetrant enhancer) contohnya golongan sulfoksid (DMSO), alcohol, asam lemak,
dan surfaktan (Tjay dan Kirana, 2007).
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,
viskositas difusi, dan viskositas ketebalan membrane. Disamping itu difusi pasif
dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka
semakin cepat difusi obat. Setelah satu metode yang digunakan dalam uji difusi
adalah metode flow through. Adapun prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltic
menghisap cairan reseptor dan gelas kimia kemudian dipompakan ke sel difusi
melewati membrane penghilang gelombang sehingga aliran terjadi secara
hidrodinami, kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil dari
cairan reseptor dalam gelas kimia dalam rentang waktu tertentu dan diencerkan
dalam pelarut campur kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya pada
panjang gelombang maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung berdasarkan
hukum Fick(Mutschler,1991).
Absorbs perkutan suatu obat pada umumnua disebabkan oleh penetrasi
obat melalui stratum korneum yang terdiri dari kurang lebih 40% protein yang
pada umumya keratin dan 40%air dengan lemak berupa trigliserida asam lemak
bebas,kolestrol, dan fosfat lemak. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan
berlaku samt pai membrane buatan yang semi permeable, dan molekul obat
penetrasi lapisan kulit tergantung pada kosnentrasi obat. Bahan-bahan yang
mempunyai sifat larut dalam air dan minyak, merupakan bahan yang baik untuk
difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan lapisan

19
kulit. Prinsip absorbs obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana
suatu substansi bergerak dari daerah suatu system ke daerah lain dan terjadi
penurunan kadar gradient diikuti bergeraknya molekul( Shargel, 1988).
Formula dasar krim antara lain fase minyak dan fase air fase minyak, yaitu
bahan obat dalam minyak, bersifat asam. Contoh: asam asetat, paraffin liq,
octaceum, cera, vaselin, dll.
Kemudian fase air: yaitu bahan obat yang larut dalam air dan bersifat
basa( nahr, tetraborat (borax, na, babiturat), TEA, NaOH, KOH, gliserin,dll. Adapun
bahan penyusun krim yaitu zat berkhasiat minyak, air, dan pengemulsi( Watson,
2009).
Resorsinol adalah obat yang bekerja dengan menghancurkan kulit kasar,
bersisik, atau mengeras. Resorsinol juga membasmi kuman dikulit untuk
membantu melawan kuman infeksi. Resorsinol topical digunakan untuk mengobati
rasa sakit dan luka serta gatal yang disebabkan oleh luka ringan atau goresan.
Resorsinol topical juga digunakan untuk mengobati jerawat, kapalan kutil, dan
gangguan kulit lainnya( Agoes,1993).

20
III. Prosedur Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
A. Alat
- Cawan Petri
- Pipet Tetes
- Kertas Saring
- Tisue Atau Serbet

B. Bahan
- Salep Sagestam
- Krim Sagestam
- 2 Bungkus Agar Swallow
- FeCl3

21
3.2 Cara Kerja

Agar

Disiapkan 8 cawan petri yang telah berisi media agar


yang telah dibandingkan

Ditambahkan 2 ml larutan FeCl3 kedalam masing


masing cawan petri sampai menutupi semua
permukaan

Didiamkan selama 2 menit, kemudian sisa larutan Fecl 3


dituang dan dikeringkan agar dengan kertas saring

dibuat 4 lubang pada masing masing cawan petri yang


berisi agar

Sampel

diletakkan dengan jumlah yang sama pada 4 lubang


dengan salep dank rim gentamicin sulfate

disimpan cawan petri dalam kulkas selama 30 menit


dan diamati perubahan dan dibiarkan pada suhu
kamar dan diamati perubahan terjadi

Hasil

22
IV. HASIL

t (waktu) Difusi krim Difusi salep Foto


pengamatan
0 menit a = 0,7 cm a = 0,8 cm
b = 0,9 cm b = 0,9 cm
c = 0,8 cm c = 0,7 cm
d = 0,9 cm d = 0,8 cm
30 menit a = 0,7 cm a = 0,8 cm
b = 0,9 cm b = 0,8 cm
c = 0,8 cm c = 0,7 cm
d = 0,8 cm d = 0,8 cm
2 jam a = 0,8 cm a = 1,0 cm
b = 1,1 cm b = 1,2 cm
c = 0,9 cm c = 0,8 cm
d = 1,0 cm d = 1,0 cm
a = 1,2 cm a = 1,0 cm
b = 1,3 cm b = 1,1 cm
c = 1,3 cm c = 0,9 cm
d = 1,1 cm d = 1,0 cm

23
V. PEMBAHASAN

Pada pratikum kali ini, dilakukan percobaan difusi salep dan krim
resorsinol kedalam agar. Percobaan ini bertujuan unyuk mengetahui dan
mengamati proses difusi zat aktif dan sedian secara semi kuantitatif. Dimana
menurut Mutscher (1991) difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul
suatu zat yang dibawa oleh ayakan molekuler secara acak dan berhubungan
dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas,
mislanya membran polimer.
Salep yang digunakan pada pratikum kali ini adalah salep Gentamisin
Sulfat, dimana gentamisin sulfat berkhasiat sebagai antibakteri. Salep adalah
sediaan setengah padat yang digunakan untuk pemakaian topikal. Sedangkan krim
adalah sediaan setengah padat yang berupa emulsi yang mengandung air dengan
konsentrasi tidak kurang dari 60%. Dalam penggunaannya salep dan krim
digunakan untuk pemakaian topikal. Sediaan topikal perlu diperhatikan agar dapat
mencapai aktivitas maksimum mengenai struktur kulit dan formulasi sediaan
seperti pemilihan bahan (Watson, 2009).
Pada percobaan ini perlakuan yang harus dilakukan yaitu dengan
menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan, setelah disiapkan alat kemudian
dipanaskan aquades dalam gelas ukur dengan tujuan untuk melarutkan agar
(media) didalam air panas dengan suhu yang sudah ditetapkan. Lalu dimasukkan
agar (media) sedikit demi-sedikit semua agar larut dengan sempurna, kemudian
dibiartka atau didinginkan media sampai terbentuk agar yang agak mengeras yang
telah dimasukkan kedalam cawan petri.
Setelah agar mengeras didalam cawan petri, harus dibasahi dahulu dengan
FeCl3. Penambahan FeCl 3 berfungsi untuk mempercepat suatu penyerapan dalam
pengamatan difusi dan disaring dengan menggunakan kerts saring sampai kering.
Setelah kering agar dilubangu menjadi 4 bagian lobang yaitu dengan nama bagian
a,b,c dan d. Bertujuan untuk membandingkan pross difusi yang terjadi pada krim
atau salep pada masing-masing bagian. Setelah agar dilubangi, dimasukkan salep
Gentamisin Sulfat kedalam masing-masing lubang agar. Setelah itu dibiarkan atau
didiamkan agar terjadi perubahan difusi pada waktu 30 menit, 2 jam, dan 3 jam.
Telah dijelaskan sebelumnya, difusi adalah proses perpindahan massa
molekul zat yang dibawa oleh gerakan aliran molekul. Molekul seperti batas seperti
membran polimer yang digunakan pada percobaan ini, yaitu media agar. Difusi
juga dapat dikatakan peristiwa mengalirnya atau perpindahan suatu zat dalam

24
pelarut dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah. Dimana
perbedaan konsentrasi terletak pada larutan yang disebut dengan gradian
konsentrasi (Shargel, etal , 2005).
Pengamatan yang dilakukan merupakan metode yang menggunakan metode
agar. Yang biasanya difusi agar digunakan untuk menentukan aktivitas agensi
mikroba. Media agar yang tidak ditanami mikroba diletakkan agen antimikroba
yang akan berdifusi pada media tersebut. Dalam pengamatan area jernih
menunjukkan besar hambatan media agar berdifusi atau bertambah mikroba.
Dalam percobaan ini yang diuji adalah, kecepatan media salep pada media tersebut
pada waktu 20 menit, 2 jam dan 3 jam, sehingga tidak perlu ditambahkan atau
diberi mikroba. Dimana sebelum diletakkannya sampel uji yang berupa salep dan
krim dibuat dengankonsentrasi tidak terlalu cair dan tiak terlalu keras. Hal ini
dikarenakan akan mempengaruhi kemampuan sampel berdifusi dalam media agar.
Hasil yang diperoleh dari agar dengan salep dan krim setelah 30 menit,
tidak terjadi perubahan pada krim bagian D, terjadi pengurangan diameter yang
awalnya berdiameter 0,9 cm menjadi 0,8 cm, hal tersebut bisa terjadi karena
kesalahan praktikan dalam melakukan pengukuran. Pada waktu pengamatan 2
jam, laju difusinya bertambah pada setiap bagian, yaiu dari bagia A-D denga
diameter A= 0,7 menjadi 0,8, B= 0,9 menjadi 1,1, C= 0,8 menjadi 0,9, D= 0,8
menjadi 1,0 untuk difusi krim, sedangkan pada difusi salep diperoleh hasil A= 0,8
menjadi 1,0, B= 0,9 menjadi 1,2, C= 0,7 menjadi 0,8, D= 0,8 menjadi 1,0 cm. Pada
waktu 3 jam tidak erjadi perubahan yang terlalu jauh pada masing-masing bagian.
Area difusi pada krim lebih meningkat daripada area pada difusi salep. Hal ini
menunjukkan laju difusi dari krim lebih tinggi.
Adapun tujuan utama penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah
untuk menghasilkan efek terapeutik pada tempa-tempat spesifik dijaringan
epidermis. Absorpsi perkutan didefinisikan sebaga difusi absorpsi menembus
stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan dibawahnya
dan akhirnya masuk kedalam sirkulasi darah. Penetrasi obat ke kulit
dimungkinkan melalui dinding polikel rambut, kelenjar keringat, lemak atau
antara sel-sel selaput tanduk stratum korneum. Epidermis yang utuh dan dermis
merupakan lapisan penghalang penetrasi obat ke kulit. Penetrasi kedalam kulit
inilah yang mepakan peran difusi melalui penetrasi transeluler (menyebrangi sel),
penetrasi intra seluler (antar seluler), penetrasi transpenda gea (melalui fokilel
rambut, keringat, kelenjar lemak dari perlengkapan polisebaseus) (Mitscler.1991).

25
Adapun proses absorpsi menurut Barker (2002) dapat dilihat dari skema
berikut :

Disolusi obat dalam pembawa difusi oba

melalui pembawa ke permukaan kulit

rute transpidermal rute folikuler

partisi kedalam stratum korneum partisi kedalam sebum

difusi melintasi matriks protein difusi melintasi lipid didalam pori

lipid dari stratum korneum sebasea

partisi kedalam epidermis

masuk ke kapiler dan difusi sistemik

26
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


difusi salep kedalam agar membutuhkan waku yang lebih lama dibandingkan
dengan difusi krim kedalam agar. Hal ini terjadi karena semakin lama waku yang
diperlukan, maka semakin besar diameter difusi, baik salep maupun krim.
Sehingga daya geser antara krim dan salep merupakan daya geser yang kurang
baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. D. 1993. Teknologi Farmasi Likuida dan Semi Solida. Bandung:


Pusat antar Universitas Bidang Ilmu Hayati IPB.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: ITB Bandung.

Shargel, A. 1991. Dinamika Obat. Bandung: ITB.

Tjay,T dan Kirana, H. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.

Underwood, A.L. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi IV. Jakarta:


Erlangga.

Watson,D.G. 2009. Analisis Farmasi edisi 2. Jakarta: EGC.

28
PERCOBAAN KE-III
PROFIL EKSRESI OBAT MELALU URINE DAN SALIVA
SECARA SEMI KUANTITATIF

I. TUJUAN
Agar mahasiswa memahami eksresi obat melalui urin dan saliva secara
semikuantitatif.

II. LANDASAN TEORI


Dalam mempelajari farmakologi, hendaknya kita mengetahui istilah-istilah
yang berhubungan dengan hal ini. Adapun farmakologi itu sendiri adalah ilmu
yang sangat luas cakupannya. Namun, untuk seorang tenaga kesehatan, ilmu ini
dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat dengan maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Akan tetapi, apa
yang terjadi pada obat tersebut setelah masuk ke dalam tubuh manusia tidak
diketahui secara pasti oleh setiap orang. Farmakokinetik adalah aspek farmakologi
yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresinya. Sedangkan farmakodinamik adalah mempelajari efek obat
terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya
(Sihabuddin, et al., 2011).
Obat merupakan sediaan yang akan dikonsumsi oleh sebagian besar orang
yang sedang sakit. Dalam arti luas obat adalah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup. Sedangkan dalam arti sempit obat adalah setiap zat
kimia yang bertujuan untuk menghilangkan penyakit. Masing-masing obat
memiliki kecepatan absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berbeda-
beda serta rangkaian proses pengikatan oleh reseptor sehingga menimbulkan efek.
Pada akhirnya sisa obat akan diekskresikan didalam tubuh. Proses ini akan
berjalan secara bersama yang disebut farmakokinetik (Putri dan Taofik, 2013).
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asal-nya. Obat metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui
paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan
resultan dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,

29
dan reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Selain itu ekskresi obat juga
melalui empedu yang diekskresikan ke urine, keringat, liur, air mata, air susu, dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat (Katzung, 1989).
Filtrasi glomeruli, kapiler-kapiler glomeruli akan menyaring plasma darah
sedemikian rupa sehingga setiap molekul obat yang berat molekulnya dibawah
20.000 akan melewati glomeruli sehingga obat bebas dalam plasma. Obat-obat
yang terikat pada albumin plasma tidak dapat melewati glomeruli. Misalnya,
fenilbutazon terikat 98% pada albumin maka kadar dalam filtrat glomeruli hanya
1/50 dari konsentrasinya dalam plasma. Sekresi tubuli dan reabsorpsi, filtrasi
glomeruli hanya menghasilkan paling banyak 20% dari jumlah keseluruhan obat
yang terdapat dalam darah yang bisa mencapai ginjal. Sisanya 80% akan
dikeluarkan ke lumen tubuli oleh suatu mekanisme transport aktif yang bergerak
melawan gradient konsentrasi sehingga akan mengurangi jumlah obat dalam
plasma. Oleh karena itu, sekresi tubuli ini merupakan mekanisme eliminasi obat
yang paling cepat melalui ginjal. Berbeda dengan filtrasi glomeruli, sistem
transportasi aktif ini dapat dicapai bersihan maksimal walaupun obat terikat pada
protein plasma (Indardaya dan Jaya, 2015).
Difusi melalui tubuli ginjal bersamaan dengan lewatnya filtrasi melalui
tubuli ginjal, air akan diabsorpsi kembali secara progresif sehingga volume urine
yang terbentuk hanyalah kira-kira 1% dari volume filtrate glomeruli. Obat-obat
yang mempunyai kelarutan dalam lipid yang tinggi akan berdifusi secara pasif
masuk kembali melewati sel-sel epitel tubuli sehingga terjadi reabsorpsi obat secara
pasif. Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam lipid akan
diekskresikan secara lambat sekali. Sebaliknya, obat-obat yang polar akan tetap
tinggal dalam filtrate sebab membran tubuli tidak permeable untuk obat-obat yang
terionisasi dan kurang larut dalam lipid. Dengan terjadinya reab-
sorpsi alir dari filtrate, konsentrasi obat polar sangat meningkat didalam urine
sampai kira-kira 100 kali dibandingkan konsentrasi obat di dalam plasma
(Katzung, 1989).
Ekskresi obat dinyatakan sebagai bersihan (clearance). Bersihan ginjal (CL)
adalah jumlah plasma (volume) yang dari obat atau substansi oleh kerja ginjal
secara komplet dalam satuan waktu.
Cu∙ V
CL=
Cp

30
Dimana, Cp = konsentrasi obat dalam plasma, Cu = konsentrasi obat dalam urine,
dan V = kecepatan terbentuknya urine. Urine memiliki komponen organik dan
anorganik. Urea, asam urat dan kreatinin merupakan beberapa komponen organik
dari urine. Ion-ion seperti Na, K, Ca, serta anion Cl merupakan komponen
anorganik dari urine. Warna kuning pada urine disebabkan oleh urokrom, yaitu
family zat empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin. Bila dibiarkan
dalam udara terbuka, urokrom dapat teroksidasi sehingga urine menjadi berwarna
kuning tua. Pergeseran konsentrasi komponen-kompone fisiologik urine dan
munculnya komponen-komponen urine yang patologik dapat membantu diagnosa
penyakit (Setiawati, 2000).
Volume urine normal perhari adalah 900-1200 ml, volume tersebut
dipengaruhi banyak faktor diantaranya suhu, zat-zat diuretika (teh, alkohol, dan
kopi), jumlah air minum, hormon ADH, dan emosi. Interpretasi warna urine dapat
menggambarkan kondisi kesehatan organ dalam seseorang. Bersama-sama dengan
urine diekskresikan juga air dan senyawa-senyawa yang larut dalam air. Jumlah
dan komposisi urine sangat berubah-ubah dan tergantung pemasukan bahan
makanan, berat badan, usia, jenis kelamin, lingkungan hidup seperti temperature,
kelembaban aktivitas tubuh dan keadaan kesehatan, karena ekskresi urine dan
komposisinya kebanyakan dihubungkan dengan waktu 24 jam (Sihabuddin, et al.,
2011).

31
III. PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
A. Alat
- Tabung reaksi
- Pipet tetes
- Plat tetes
- Indikator universal
- Masker
- Sarung tangan

B. Bahan
- Larutan Natrium Nitrit 10%
- Larutan KI 10%
- Larutan H2SO4
- Mucilago amily 1%
- Tablet KI/Kapsul KI 100mg

32
3.2 Cara Kerja

2 gelas air

Diminum oleh sukwan 2 jam sebelum praktikum


Dikosongkan kandung kencing sebelum obat diminum
Ditampung urine untuk control
Diambil saliva, ditampung untuk control
Dilakukan uji urine dengan saliva sebagai berikut:1cc urin /
saliva kontrol ditambah 2 tetes NaNO2 10% dan 2-3 tetes H2SO4
encer dan 1cc mucilage amyli
Diamati warna yang timbul
Diminum 1 obat dengan 250cc air tiap sukwan
Diambil 1 contoh urine tiap 20 menit selama 3 jam dan saliva
diambil tiap 15 menit selama 90 menit
Dilakukan uji kualitatif dan diamati warna
Dicatat hasil dengan tanda (-) dan (+)
Dibuat tabel waktu pengambilan sampel dan hasil uji kualitatif

Hasil

33
IV. HASIL
Hasil yang didapat pada praktikum kali ini ialah:
URINE SALIVA
Hasil
Perlakuan Perlakuan Hasil Pengamatan
pengamatan
1. Urine Kontrol + NaNO2 : 2. Saliva Kontrol + NaNO2 : tidak ada
tidak ada perubahan
perubahan + H2SO4 encer : tidak
+ H2SO4 ada perubahan
encer : muncul + Mucilago amyli :
gelembung – terdapat bagian bening
gelembung pada bagian bawah
+ Mucilago dan gumpalan putih di
amyli : bagian atas
gelembung –
gelembung
menghilang
dan warna
menjadi
bening.
1. Larutan 2. Larutan
+++ +
Garam Garam
++
+
+
- +
+
30 60 +
+
-

1 3 4 6
5 0 5 0

V. PEMBAHASAN

34
Pada praktikum ini dilakukan percobaan mengenai profil ekskresi obat
melalui urine dan saliva secara semi kuantitatif. Sistem ekskresi merupakan
pengeluaran limbah hasil metabolism pada organism hidup. Zat sisa metabolism
yang harus dikeluarkan antara lain karbondioksida, urea, air, amoniak, kelebihan
vitamin, dan zat warna empedu. Organ pengeluaran zat sisa pada manusia berupa
ginjal, kulit, paru-paru dan hati (Katzung,1989).
Menurut Katzung(1989), ada beberapa organ ekskresi yang terdiri dari:
1. Ginjal
Alat pengeluaran (ekskresi) utama padaa manusia adalah ginjal, ginjal
berperan dalam proses pembentukan urine yang terjadi melalui serangkaian
proses, yaitu:
a. Penyaringan ( Filtrasi )
Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di
kapiler glomerulus. Hasil penyaringan diglomerulusdiebut filtrate glomerulus
atau urin primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium dan
garam lainnya.
b. Penyerapan kembali ( Reabsorpsi )
Bahan-bahan yang masih diperlukan didalam urine primer akan diserap
kembali ditubulus kontortus proksimal. Sedangkan di tubulus kontortus distal
terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea. Setelah terjadi reabsorpsi maka
tubulus akan menghasilkan urine sekunder, zat-zat yang masih diperlikan tidak
akan ditemukan lagi.
c. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di
tubulus kontortus distal. Dari tubulus-tubulus ginjal, urine akan menuju
rongga ginjal, selanjutnya menuju kantong kemih melalui saluran ginjal. Urine
akan keluar melalui uretra.
2. Kulit
Zat sisa yang dikeluarkan melalui kulit air dan garam-garaman. Proses
pembentukan keringat yaitu: bila suhu tubuh meningkat atau suhu udara
dilingkungan udara tinggi, pembuluh-pembuluh darah dikulit akan melebar. Hal
ini mengakibatkan banyak darah yang mengalir ke daerah tersebut. Pangkal
kelenjar keringat berhubungan Dengan pembuluh darah maka terjadilah
penyerapan air, garam dan sedikit urea oleh kelenjar keringat. Keringat yang keluar

35
membawa panas tubuh, sehingga sangat penting untuk menjaga agar suhu tubuh
tetap normal.
3. Hati
Hati merupakan tempat mengubah berbagai zat, termasuk racun.hati
menerima kelebihan asam amino yang akan diubah menjadi urea yang bersifat
racun. Hati merubah sel darah yang rusak menjadi empedu. Empedu yang
dihasilkan akan disimpan dalam kandung empedu ( bilirubin ).
4. Paru-paru
Paru-paru berada didalam rongga dada manusia sebelah kanan dan kiri
dilindungi oleh tulang rusuk. Paru-paru berfungsi untuk mengeluarkan karbon
dioksida dan uap air. Karbondioksida diangkut oleh darah menuju paru-paru.
Didalam alveolus, berdifusi keudara. Udara yang banyak karbon dioksida akan
dihembuskan keluar melalui fase ekspirasi.
Menurut Setiawati (2000), factor-faktor yang mempengaruhi ekskresi obat
yaitu:
1. Sifat fisikokimia
 Bobot Molekul
 Pka
 Kelarutan
 Tekanan uap
2. pH urine
3. Kondisi patologi
4. Aliran darah
5. Usia
Garam adalah termasuk elektrolit kuat, maka jika dilarutkan dalam air akan
mmengalami penguraian menjadi kation dan anion.

NaCl(S) + H2O(L) → NaCl(AQ) + H2O(L) → Na+(AQ) + Cl-(AQ) + H2O(L)

Menurut Setiawati (2000), reaksi hidrolisis dadalah reaksi penguraian garam


oleh air atau reaksi ion-ion garam Dengan air. Dalam penguraian garam dapat
terjadi beberapa kemungkinan:
1. Ion garam bereaksi Dengan air menghasilkan ion H +, sehingga menyebabkan H+
dalam air bertambah dan larutan menjadi asam.
2. Ion garam bereaksi Dengan air menghasilkan ion OH-, sehingga menyebabkan
larutan bersifat basa.

36
3. Ion garam tidak bereaksi dengan air sehingga larutan akan tetap netral.
Menurut Indriati et al (2015), angka kecukupan iodium yang dianjurkan
yaitu:

Kelompok Umur Kebutuhan (mg/hr)

Bayi 0-6 bulan 90


Bayi 7-11 bulan 120
Anak 1-12 tahun 120
13-64 tahu 150
≥65 tahun 150
Ibu hamil +50
Ibu menyusui +50

Kecepatan metabolism dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari waktu
paruhnya. Waktu paruh adalah waktu jumlah obat dalam darah tinggal
separuhnya. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan barapa sering
obatdigunakan. Waktu paruh dari iodium adalah 13 jam. Iodin 123 untuk
mendeteksi penyakit otak atau mengetahui gangguan ginjal. Sedangkan
iodiumdengan radioisotope 131 memiliki waktu paruh 8 hari, iodine 131 untuk
mempelajari keseimbangan dinamis( Indriati, et al, 2015).
dengan menambahkan 2 tetes NaNO2 10 % sebagai katalisator yang dapat
mempercepat terjadinya reaki enzimatis lalu, di tambah 2-3 tetes H 2SO4 encer yang
berfungsi untuk mempercepat terjadinya reaksi dan memberikan suasana asam
sehingga proses tersebut berlangsung sempurna. Kemudian di tambah 1 CC
mucilago amyli sebagai pemberi warna. Hasil yang di dapatkan negatif dikarenakan
probandus belum meminum obat sehingga kandungan iodium di dalam sampel
tidak di temukan (Katzung,1989).

Probandus diminta meminum obat yang garam (iodium) dengan 250 CC air.
Probandus diminta menampung urine pada menit ke 30 dan 60,sedangkan saliva
di tampung pada menit ke 15, 30, 45, dan 60. Urine dan saliva yang di tampung di
uji secara kualitatif. Setekah diuji hasil yang di dapatkan tetap negatif.

37
Menurut Setiawati (2000), pada keadaan tertentu bisa saja hasil data semi
kuantitatif pada sampel urine didapatkan hasil negatif, hal seperti itu biasanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

1. Waktu absorbansi dan eksresi dari setiap orang berbeda-beda. Perbedaan daya
absorbsi dan ekskresi individu dipengaruhi oleh:
 pH saluran cerna dan fungsi empedu
 kecepatan pengosongan lambung
 waktu transit saluran cerna
 metabolisme dalam lumen saluran cerna
 kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna
 kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna
2. Adanya kemungkinan terjadinya gangguan dalam tubuh probandus yang
mempengaruhi hasil absorbsi dan ekskresi obat. Gangguan ini terjadi pada
saluran cerna, hati dan ginjal.

38
VI. KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa obat yang
dikeluarkan dari tubuh melalui organ ekskresi dalam bentuk hasil metabolit
biotransformasi atau dalam bentuk asamnya. Metode uji semi kuatitatif yang di
lakukan menggunakan reagen spesifik NaNO2 (oksidator),H2SO4 encer (reduktor)
dan mucilago amyli (deteksi warna). Hasil pada urin dan saliva adalah negatif
karna sampel yang digunakan tidak tepat. Saat di uji sampel tidak menunjukkan
iodium dari reaksi pendeteksian warna.

39
DAFTAR PUSTAKA

Indardaya,A.,dan Azan,J.2015.Kadar Asam Salisilat Dari Hasil Ekskresi Dua Orang


Probandus Dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri.Jurnal
Ilmu Kefarmasian.4(2):23-30.

Indriati,G.,Rina,W.,dan Irwen,E.2015.Deteksi Iodium Dengan Ekskresi Urin ( EIU)


Pada Siswa SDN 8 Kecamatan Tanjung Gadang Si Junjung.Jurnal
Kesehatan.6(2):87-96.

Katzung,B.G.1989.Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi 3.Jakarta:EGC.

Putri,Y.K.,dan Taofik,R.2013.Perbandingan Berbagai Interaksi Obat Dengan


Herbal:Article Review.Junal Farmaka.14(1):203-207.

Setiawati,A.2000.Pengantar Farmakologi Dalam Farmakologi Dan


Terapi.Jakarta:FFUI.

Suhabuddin,M.,Maria,A.,Flourisa,J.S.,Pramesti,B.,Musta’ina.,Radjaram,A.,Aucky,H.
,dan Bambang,P.E.W.2011.Pharmakokinetic Parameters
Determination Of Gendarusin A In Men Subject Urine After
Administration Of Ethanol Extract Of Justicia gendarussa
Burm.F.Leaf Lethno Medicine Research).Jurnal Medika
Planta.1(4):59-65.

40
PERCOBAAN KE-IV
PROFIL DISTRIBUSI DAN EKSKRESI OBAT TETES MATA
KLORAMFENIKOL

I.TUJUAN
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami distribusi dan ekskresi obat
yang diberikan atau dipakai secara topikal (tetes mata).

II. LANDASAN TEORI


Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversible
meninggalkan aliran darah dan masuk keintestinum (cairan ekstrases) dan ke sel-
sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma keintestinum tergantung pada aliran
darah,permeabilitas kapiler derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma
atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut (Katzung,1989).
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya didalam
tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu keorgan
yang prefusinya baik. Distribusi fase kedua jauh lebih luas, yaitu mencakup
jaringan yang prefusinya tidak sebaik organ pada fase pertama. Obat yang mudah
larut dalam lemakakan melintasi membran sel dan terdistribusi kedalam sel.
Sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terutama dicairan ekstra sel (Setiawati,2000).
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, derajat ikatan
obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein. Kadar
obat dan kadar proteinnya sendiri obat bersifat asam terutama akan terikat pada
asam α-glikoprotein (Setiawati,2000).
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat metabolit polar
diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak,kecuali pada ekskresi melalui
paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi ini meerupakan
resultan dari 3 proses yakni filtrasi diglomerulus, sekresi aktif ditubuli proksimal,
dan diabsorbsi pasif ditubuli proksimal dan distal. Selain itu ekskresi obat juga
melalui empedu yang diekskresikan keurine,keringat,liur/saliva,air mata,susu dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat (Setiawati,2000).

41
Yang dimaksud dengan alat tetes mata adalah alat tetes mata ( guttae
opthalemicae) adalah suatu sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang
digunakan untuk terapi atau pengobatan mata dengan cara meneteskan obat pada
selaput lendir mata disekitar kelopak dan tok mata. Sedangkan yang dimasukkan
kedalam mata harus diformulasi dan disiapkan dengan pertimbangan yang
diberikan untuk tonisitas. PHm stabilitasmm viskositas dan sterilisasi. Sterilisasi
ini diinginkan karena kamea dan jaringan bening ruang anterior adalah media yang
bagus untuk mikeoorganisme dan masuknya sediaa tetes mata yang
terkontaminasi kedalam mata yang trauma karena kecelakaan atau pembedahan
menyebabkan kehilangan penglihatan(kartika et. All, 2015).
Menurut mark, G (2003) faktor-faktor penting dalam pembuatan sediaan
obat tetes adalah :
a. Ketelitian dan kebersihan dalam penyiapan larutan
b. Sterilisasi sediaan dan adanya bahan pengawet untuk mencegah
kontaminasi mikroorganisme pada saat digunakan (untuk dosis ganda)
c. PH optimum lebih diutamakan untuk menjamin kestabilan sediaan
d. Adanya air mata dapat mempersingkat waktu untuk ontak dengan zat aktif
dengan mata maka ditambahkanbahan pengental
Sediaan obat mata biasanya dipakai untuk menghasilkan efek
setempat pada bagian dalamnya. Bentuk sediaan obat mata selain larutan
dapat berupa suspensi atau salep. Namun dari beberapa peneliotian terbaru
telah banayk dikembangkan sediaan gel mata. Yaitu sediaan gel mata yang
banyak memberikan berbagai keuntungan dibandingkan sediaan salep mata
diantaranya dapat mengikatkan permeabilitas kornea dengan mata,
konsentrasi obat yang optimal, direseptor sehingga bisa didapatkan
bioavaliabilitas yang baik. Karena sediaan mata konvensional biasanya
memiliki bioavalibilitas yang rendah dibandingkan dengan sediaan yang
diformulasi menggunakan alat yang modern dan adanya penambahan
beberapa zat penambah yang dapat meningkatkan bioavaibilitas ( abdassah,
et. All, 2016).
Kloramfonikal merupakan antibiotik spektum luas yang dapat
mengetasi konjungtivitis akit pada mata, yang disebabkna oleh
mikroorganisme. Dalam pembuktian sediaan steril perlu juga diperhatikan
bebrapa hal seperti persiapan bahan aktif utam, tambahan air yang

42
digunakan, prosespengepakan, lingkungan kerja dan peralatan, serta
personel yang terlibat (siswandono, 2000)
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotic yang memiliki mekanisme kerja
menhambat sintesis protein pada tingkat ribosom, obat ini mengikatkan dirinya
pada situasi terdekat pada sub unit dan ribosom. RNS berkolekten fenikol
meningkatkan ikatan persenyawaan amino, dan molekul tRNA yang bermuatan ke
situs aseptor-aseptor mRNA ribosom, mengahmbat transpeptidose yang dikatalis
oleh peptidase fengfunge, peptide yang ada pada situs dote pada kepala ribosom,
sehingga sintesa protein dapat terhenti (Katzung,2004).

43
III. PROSEDUR KERJA

3.1 Alat dan Bahan

A. Alat

- Pipet Tetes

- Pipet Volum

- Masker dan Sarung Tangan

B. Bahan

- Tetes Mata Chloramfenikol 5%

- Etanol 95%

- H2SO4 2N

- NaNO2 1 P FI IV 0,5 Ml

- NaOH 10 N

- Kertas Saring

- Es Batu

- Serbuk Zn

- Urea

44
3.2 Cara Kerja

Sukarelawan

Di pilih 2 orang

Diberi 2 tetes obat pada kloramfenikol

Dikosongkan kandung kemih

Ditampung urine kontrol

Diuji kuantitatif urine dan saliva

Dilarutkan 10 mg dalam 1 ml etanol 95% p,


ditambahkan 3 ml dan 1 bagian KCL dan 9
bagian air + 50 mg serbuk Zn, dipanaskan
selama 10 menit enap tuangkan + 10 mg Na
Asetat anhidrat dan 2 tetes Benzol Klorida,
kocok selama 10 menit, tambahakan 0,5 ml
larutan FeCl3, jika perlu tambahkan HCl ener
secukupnya hingga larutan jernih, terjadi
warna violet merah sampai ungu, ulangi
pengujian tanpa penambahan serbuk Zn,
tidak terjadi warna violet merah sampai
ungu

Dikumpulkan contoh saliva setiap 2 menit


selama 20 menit, dan sampel urin
dikumpulkan pada menit ke 5,30,60,90, dan
120 menit setelah minum obat

Hasil

45
V. PEMBAHASAN
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan
aliran darah dan masuk ke intestinum (cairan eksternal) dan sel-sel jaringan.
Pengeriman obat dari plasma ke intestinum tergantung pada aliran darah,
permaebiliitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma atau
jaringan dan hodrofobisitas dari obat tersebut.
Ekskresi adalah pengeluaran obat dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi
dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat
polar akan diekskresikan lebih cepat dari pada obat larut lemak, kecuali pada
ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang penting, ekskresi ini
merupakan resultan dari 3 proses yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif ditobuli
proksimal dan diabsorpsi pasif ditubuli proksimal dan distal, selain itu ekskresi
obat juga melalui empedu yang diekskresikan ke urin, keringat, liur/ saliva, air
mata, susu dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak
berarti dalam pengakhiran efek.
Pada percobaan ini dilakukan pengujian absorbsi dan ekskresi obat tetes
mata kloramfenikol. Menerut Siswandono (2000), kloramfenikol merupakan
antiseptik spektrum luas yang dapat mengatasi konjungtivitas akut pada mata
yang disebabkan oleh mikroorganisme. Saliva dan urin yang digunakan sebagai
hasil ekskresi dari obat tetes mata kloramfenikol, mula-mula urin dan saliva diuji
dengan penambahan etanol dan KCl, terbentuk hasil saliiva yang bening dan urin
berwarna kuning bening, kemudian reaksi yang terbentuk antara etanol KCl adalah
sebagai berikut :

C2H5OH + KCl C2H5Cl + KOH


Kemudian perlakuan kedua untuk uji kontrol dari urin dan saliva yakni dengan
memanaskan urin/saliva yang ditambahkan dengan Zn serbuk, tujuan dari
pemanasan serbuk Zn adalah warna Zn berbentuk serbuk amorf, sangat halus,
putih atau putih kekuningan, tidan berbau dan tidak berasa. Kemudian Zn praktis
tidak larut dalam air biasa dan etanol (95%) P, larut dalam asam mineral dan
dalam larutan alkali hidroksida, setelah dilakukan pemanasan terhadap Zn dan
urin/saliva, kemudian hasil yang diperoleh adalah Zn mengendap pada bagian
bawah tabung, setelah itu ditambahkan urin/saliva dengan Natrium Asetat yang
berfungsi sebagai larutan penyangga. Kemudian ditambahkan dengan benzeldehid
dan FeCl3. FeCl3 berfungsi sebagai indikator. Setelah seluruhnya dimasukkan ke

46
dalam tabung yang berisi saliva, hasil yang terbentuk adalah urin berwarna merah
kecoklatan dan terdapat endapan berwarna coklat tua. Endapan ini terbentuk
karena adanya Zn yang sudah dipanaskan sebelumnya. Kemudian setelah itu pada
tabung yang berisi urin juga Zinc yang sudah dipanaskan tadi ditambahkan juga
dengan Na asetat + benzeldehid dan FeCl3. Namun setelah dilakukan pengamatan,
hasil dari uji ini membentuk 3 lapisan yang meliputi lapisan atas: sedikit bening,
lapisan tengah: sedikit keruh, dan lapisan bawah: terdapat endapan orange.
Lapisan di atas terbentuk atas adanya FeCl 3 yang berfungsi sebagai indikator pada
warna orange di lapisan bawah, endapan yang terbentuk juga terjadi karena
adanya Zn yang dipanaskan. Kemudian pada uji ini reaksi yang terbentuk adalah
sebagai berikut :
Zn + CH3COONa → Zn (CH3COO)2 + Na
C6H5CHO + FeCl3 → C6H5Cl + FeO3 + CH

Setelah dilakukan uji kontrol terhadap urin dan saliva, selanjutnya


dilakukan uji organoleptis terhadap urin dan saliva. Pertama dilakukan uji
terhadap urin, uji organoleptis ini meliputi uji warna, bau, dan berat jenis. Namun,
pada percobaan ini, tidak dilakukan uji berat jenis terhadap urin. Hasil dari uji
organoleptis pada urin setelah dilakukan pengamatan adalah berbau menyengat
seperti amoniak pada menit ke 5, 30, dan 60. Setelah penggunaan obat tetes mata
pada menit ke 5, 30, dan 60 adalah kuning muda, tetapi setelah menggunakan
tetes mata, warna urin pada menit ke 5 menjadi kuning kehijauan. Pada menit ke
30 yakni warna menjadi kuning kemerahan dan pada menit ke 60 urin berwarna
kuning pucat. Artinya obat kloramfenikol telah diekskresikan secara sempurna
melalui urin.
Menurut Uliyah (2008), secara umum urin normal berwarna kuning. Urin yang
didiamkan agak lama akan berwarna keruh dan urin juga akan berbau seperti
ammoniak. Pada urin normal memiliki pH antara 4,8-7,5 dan berat jenis pada urin
normal adalah 1,002-1,035 g/mL.
Selanjutnya dilakukan pengamatan organoleptis untuk saliva. Terlebih dahulu
praktikan meneteskan obat tetes mata di kedua mata kemudian dilihat perubahan
yang terjadi selama 20 menit ke depan dan diamati setiap 2 menit dari saliva
tersebut. Pada menit ke 2 atau waktu pertama saliva berwarna merah tua dan
terdapat endapan. Kemudian pada menit ke 4 berwarna merah tua, kemudian pada
menit ke 6 saliva berwarna orange tua kemerahan, kemudian pada menit ke 8 dan

47
10 saliva berwarna orange jernih dan pekat saliva hanya berwarna kuning pada
waktu-waktu terakhir yakni pada menit ke 12, 14, 16, dan 18.
Menurut Ninis (2012), farmakokinetika dari obat tetes mata meliputi
didalam tubuh adalah :
a. Absorbsi
Ukuran obat. Semakin kecil ukuran suatu obat, semakin besar
kemungkinan tersebut melintasi membran sel. Bentuk molekul obat
sebagian besar obat. Mempunyai kanal atau protein tertentu yang
memfasilitasinya melintasi membran, bentuk kloramfenikol diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai
setelah 2 jam.
b. Distribusi
Kloramfenikol tetesmata didistribusikan secara luas, kadarnya dalam cairan
serebruspinal 60%, kadar dalam plasma 45-90%. Obat yang diberikan
secara topikal dapat diditribusikan sistemik terutama melalui absorbsi
mukosa hidung dan dapat juga terjadi pada distribusi okular lokal melalui
absorbsi obat transkornea/ transkonjungtiva.
c. Metabolisme
Biotransformasi enzimatik obat-obat mata, terjadi keragaman enzim :
esterase, oksidereduktase, enzim lisosom, peptidase, glukuronik, dan sulfat
transferase, enzim penkonjugasi, glutation.
d. Ekskresi
Kloramfenikol dan metabolitnya diekskresikan melalui urin dengan cara
filtrasi glomerulus dan sekresi dalam waktu 24 jam. 75-90% dosis oral
diekskresi dalam bentuk metabolit dari 5-10% dalam bentuk asal. Waktu
paruh pada orang dewasa kira-kira 4 jam. Pada pasien yang mengalami
gangguan hati waktu paruh lebih panjang menjadi 5-6 jam karena
metabolitnya terlambat. Pada pasien gagal ginjal waktu paruh kloramfenikol
tidak berubah, tetapi metabolitnya berakumulasi.

48
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka didapatlah kesimpulan
bahwa distribusi Kloramfenikol tets mata didistribusikan secara luas, kadarnya
dalam cairan serbrospiral 60% kadar dalam plasma 45-90% obat secara topical
dapat didistribusikan secara sistemik.
Kloramfenikol dan metabolitnya di eksresi melalui urin dengan cara filtrasi
glomerulus, dan sekresi dalam waktu 24 jam 75-90% dosis oral di eksresi dalam
bentuk metabolit dan 5-10% dalam bentuk asal.

49
DAFTAR PUSTAKA

Abassah, M., Ilyas, P., dan Shidarta, P. 2016. Profil Permeasi In Vitro Gel
Mata Kloramfenikol Pada Membran Kornea Mata Kelinci Dengan
Metode Sel Difusi Franz. Jurnal Farmaka. Vol : 13 (4)

Kartika, P., Delviana, S., dan Mudwiyah, S. 2015. Uji Stabilitas Obat Tetes Mata
Kloramfenikol Menggunakan Dafar Fospat Dengan Efek Terapi Anti
Peradangan. Jurnal Farmasi Klinis. Vol : 6 (2)

Katzung, G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinis. Jakarta : EGC

Mark, G.2003. Farmakologi Ulasan. Jakarta : Widya Medika

Milanda, M., Zuhry, P., dan Karmelia, S. 2014. Deteksi Gen Resistensi
Kloramfenikol (Cat) pada Pseutidomonas aeruginosia secara Klinik
dengan Metode Polimerase Chain Reaction. Jurnal Farmasi Klinis
Indonesia. Vol : 3 (4)

Ninis, Y. 2012. Distribusi Hasil Penetapan Kadar Kloramfenikol Dalam Tetes.


Mata Pada Sediaan Generik. Jurnal Farmasi Klinis Indonesi. Vol
: 7 (2)

Setiawati. 2002. Pengantar Farmakologi Terapan. Jakarta : UI Press

Siswandono. 2002. Kimia Medisinal Edisi II. Surabaya : UNAIR Press

Uliyah. 2008. Biokimia Dasar. Jakarta : UI Press

50
DOKUMENTASI

Saliva + Hasil urine obat & Hasil urin


etanol saliva obat

Sampel + benzonil
Pemanasan Hasil urine Sampel + benzonil klorida
klorida
kontrol

51
PERCOBAAN KE-V
SISTEM DISPERSI PADAT

I. TUJUAN
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami teknik pembuatan dispersi
padat dengan metoda dan evaluasi sifat-sifat fisikokimia.

II. LANDASAN TEORI


Senyawa obat yang sukar larut dalam air seringkali mengalami masalah
absorbsi dalam medium saluran cerna. Hampir 40% lebih senyawa aktif obat
memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan lebih kurang 80-90% kandidat
bahan aktif obat, baik yang berasal dari alam maupun sintetis yang sedang dalam
tahap riset dan pengembangan di industri farmasi juga mengalami permassalahan
kelarutan dalam air yang rendah. Kelarutan dan laju disolusi senyawa obat akan
mempengaruhi proses absorbsi dalam medium saluran cerna dan pada akhirnya
akan menyebabkan ketersediaan hayati molekul obat dalam sirkulasi sistemik
akan menurun. Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk meningkatkan
kelajuran dan laju disolusi diantaranya modifikasi sifat padatan sifat senyawa obat
padat dengan teknik sistem dispersi padat. Pada sistem dispersi padat fase kristalin
obat akan dirubah menjadi fase amorf atau amorf sebagian. Fase amorf suatu
senyawa padat merupakan bentuk yang kaya energi (high energy form), yang
memiliki kelarutan dan laju disolusi yang lebih tinggi dari fase kristalinnya (Zaini et
al., 2017).
Banyak yang digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, salah satunya
adalah dengan menggunakan metode dispersi padat. Dispersi padat merupakan
metode yang menggunakan suatu polimer yang mudah larut akan menghasilkan
ukuran partikel lebih kecil yang dapat meningkatkan kelarutannya. Secara klinis,
cara terbaik pemberian obat adaalah obat mencapai omset yang tepat, hal ini
biasanya dilakukan dengan pemberian secara iv (intravena), namun obat mencapai
omset yang cepat tidak selalu diperlakukan hanya pada saat kondisi kritis. Secara
umum pemberian obat yang paling umum dan mudah dilakukan adalah secara
peroral, namun peroral ini juga memiliki bioavailibilitas dan kelarutan yang rendah,
sehingga dibuat strategi untuk mengatasi masalah ini adalah pembetukan produk,

52
kompleksasi, mikrokapsulasi, penggunaan surfaktan, lemak, mikronisasi
pembentukan garam, nanopartikel, dan dispersi padat (Halim et al., 2013).
Sistem dispersi padat adalah suatu sistem dispersi satu atau lebih zat aktif
dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat yang dibuat dengan
metode pelarutan (solvent method) dan metode campuran (melthing solvent-melthing
method). Sistem dispersi padat merupakan teknologi dengan metode sederhana
yang dapat meningkatkan kecepatan melarut zat. Zat yang sukar larut,
peningkatan laju disolusi dan bioavailibilitasnya (Voight, 1994).
Mekanisme peningkatan laju disolusi obat yang dibuat dengan teknologi
sistem dispersi padat disebaabkan oleh sebagai berikut : pengurangan ukuran
partikel obat ke tingkat minimum, pengaruh solubilitas pembawa, peningkatan
daya keterbatasan, dan pembentukan sistem dispersi yang menstabil. Salah satu
bahan obat yang kelarutannya sangat kecil adalah ibuprofen, dimana ibuprofen ini
praktis tidak larut dalam air. Ibuprofen tergolong obat anti inflamasi non steroid
merupakan derivat asam proplonat yang mempunyai efek analgetik anti radang
yang cukup kuat dan banyak ditandai atau dikenal di berbagai negara. Karena
ibuprofen ini sedikit larut dalam medium saluran cerna, maka dilakukan suatu
cara untuk meningkatkan kelarutannya dengan mendispersikan pada suatu
pembawa yang bersifat mudah larut dalam air sehingga konsentrasi zat yang larut
dalam medium saluran cerna dapat ditingkatkan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat yang dalam bentuk sediaan padat membutuhkan perhatian dalam
proses pembuatannya dimana harus memperhatikan berbagai aspek, salah
satunya sifat fisika kimia obat dari suatu molekul obat, terutama kelarutannya
agar obat tersebut menghasilkan efek terapeutik obat tersebut harus dalam bentuk
larutan dalam saluran cerna masuk ke sirkulasi darah sehingga bekerja pada
reseptor yang diuji (Ansel, 1898).
Absorbsi obat merupakan faktor yang sangat penting memilih cara
pemberian obat yang tepat dan dalam merancang bentuk sedian yang paling bagus
dan menentukan keberhasilan terapi obat. Obat-obat yang memiliki kelarutan
jenis ke dalam air akan menyebabkan jumlah obat yang di absorbsi menjadi kecil.
Oleh karena itu perlu adanya suatu metode yang dapat meningkatkan kelarutan
dan laju disolusi senyawa obat di dalam tubuh, salah satu di antaranya adalah
dengan menggunakan teknologi sistem dispersi padat (Wahyuni et al., 2016).
Pada hasil DTA serbuk sistem dispersi padat membutuhkan energi panas
yang lebih rendah dari bahan baku ibuprofen, hal ini mengidentifikasikan terjadi

53
amorfisme pada serbuk sistem dispersi padat yang memiliki sifat lebih mudah larut
dalam saluran cerna (Halim et al., 2013).
Menurut Voight (1994), keuntungan sistem dispersi padat antara lain :

1. Hasil dari dispersi padat adalah mengurangi ukuran partikel, meningkatkan


luas permukaan dan meningkatkan luas disolusi sehingga menghasilkan
produk yang memiliki bioavailibilitas yang tinggi.
2. Dapat meningkatkan kemampuan adhesi selama proses produksi dispersi
padat, pemingkatan kemampuan keterbataan dibantu dengan pembawa
yang digunakan dalam dispersi padat.
3. Partikel pada dispersi padat memiliki porositas yang tinggi, sehingga akan
mempercepat profil pelepasam obat peningkatan porosita tergantung pada
sifat pembawa yang digunakan dalam dispersi padat.
4. Obat dalam dispersi padat dapat ditingkatkan kelarutannya.

54
III. PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan

A. Alat

-Pipet Tetes

-Objek Glass

-Skala Pentas

-Cawan Penguap

-Hotplate

-Ayakan 425 µm

-Lumpang dan Stamper

-Mikroskop Okuler

-Erlenmeyer Bertutup

-Beker Glas

-Magnetic Stirrer

-Spektofotometer UV

B. Bahan

-Glibenklamid

-Polietilenglikol 6000

-Etanol

-Dapar fosfat pH 7,2

-Es dan wadah es

55
3.2 Cara kerja
a. Pembuatan serbuk sistem dispersi padat dengan metoda
peleburan
PEG 6000

Dilebur PEG 6000 dalam cawan penguap di atas


hot plate dan ditambahakan glibenklamid

Didinginkan dalam wadah es sampai terbentuk


padatan

digerus masa yang telah berbentuk padatan dan


dilewatkan pada ayakan 425 µm

dilakukan evaluasi terhadap serbuk sistem


dispersi padat tersebut

Hasil

b. Evaluasi serbuk sistem dispersi padat

1. Penentuan panjang gelombang maksimum glibenklamid dalam


dapar fosfat pH 7,2

Glibenklamid

diukur serapan larutan glibenklamid dengan


kadar 50 g/ml dalam dapar posfat pH 7,2

dilakukan pada panjang gelombang 220-350 nm

dibuat kurva serapan terhadap panang


gelombang

dibuat kurva kalibrasi dari panjang gelombang


maksimum dengan satu seri konsentrasi larutan
glibenklamid

40 ;100 ; 200 ; 300 ; 400 g/ml.

56
Hasil

2. Bentuk mikroskopis (metoda mikroskopis)


Serbuk

didispersikan dalam parafin cair dan di teteskan


pada gelas objek
diamati dibawah mikroskop bentuk partikel dari
serbuk sistem disperse padat dan glibenklamid
diamati perbedaannya

Hasil

3. Uji kelarutan
Serbuk

dilarutkan dengan 10 ml larutan dapar posfat pH


7,2 dalm erlenmeyer tertutup

dilarutkan dengan bantuan magnetic stirrer


selama 1,5 jam sampai larutan

Sampel yang terlarut

diambil sampel yang terlarut

disaring dengan kertas saring

ditentukan kadar glibenklamid dengan


spektrofotometer UV pada panjang gelombang
serapan maksimum 300 nm.

Hasil

57
IV. HASIL

Evaluasi Serbuk Sistem Dispersi Gambar


Padat

Bentuk Mikroskopik sulfamerazin/


glibenklamid

Bentuk mikroskopis sulfamerazin +


PEG 4000

Kesimpulan :

Bentuk mikroskopis sulfamerazin + paraffin liquidum adalah sulmamerazin


tampak jelas berupa serbuk dan paraffin berupa molekul bulat dan seperti
gelembung, sedangkan pada hasil pengamatan bentuk mikroskopis sulfamerazin
yang ditambah PEG 4000 dapat dilihat bahwa sulfamerazin menjadi lebihnterlarut
menyebar tidak lagi berupa partikel bulat. Dengan demikian dapat disimpulkan
penambahan pembawa PEG 4000 meningkatkan kelarutan sulfamerazin secara
signifikan.

58
V. PEMBAHASAN
Pada percobaan yang telah dilakukan yaitu sistem disperse padat telah
diperolh hasil yang terter pada tabel. Adapun tujuan dari percobaan ini adalah agar
mahasiswa mengetahui dan memahami teknik pembuatan dispersi padat dengan
metode dan evaluasi sifat fisiskokimia.

Sampel yang digunakan oleh praktikan adalah sulfamerazin yang berfungsi


sebagai zat aktif. Dimana sulfamerazin merupakan obat golongan antibiotik.
Sulfonamida yang digunakan untuk menangani infeksi akibat bakteri pada sistem
pernafasan , saluran kemih, dan daerah THT. Selanjutnya juga digunakan PEG
4000 dalam bentuk padatan yang berfungsi sebagai pembawa . selain itu
digunakan es batu sebagai pembeku campuran dan paraffin liquid untuk
melelehkan endapan agar dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Hal ini
telah sesuai dengan teori menurut Depkes RI (1979), yang menyatakan bahwa
sulfamerazin berkhasiat sebagai antibiotic golongan sulfonamide nama lainnya
adalah 4-amino N- (4 metyl 2-pyrimidinyl) benzene sulfenamida dan rumus
molekul C11 H12 N4 02 S. pemeriannya kuning- putih atau merah muda – putih,
bubuk Kristal atau Kristal (serbuk) meleleh pada 237°C . PEG 4000 berupa serbuk
licin putih atau potongan putih kuning gading tidak berasa dan tidak berbau
berkhasiat sebagai basis atau pembawa. paraffin liquid berupa cairan kental,
transparan tidak berfloresensi, tidak berwarna, khasiat sebagai laksativa atau
dalam pengamatan sebagai pelumas endapan sehingga tampak saat diamati
dimikroskop.

Menurut Tjay dan Rahardja (2017) ada beberapa detail klinis sulfamerazin
yaitu :

1. Area aplikasinya pada sistem pernapasan, saluran kemih, THT


2. Interaksi obat, efek nefrotoksik, sikloporin A dapat ditingkatkan
3. Efek samping adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, hilang nafsu, kulit
snsitif cahaya, alergi
4. Mekanisme kerja sulfamerazin, efeknya didasarkan pada penghambatan
enzim kompetitif dalam bakteri dalam bentukan asam folat dihidro.

Sulfamerazin bertindak sebagai antagonis asam P-aminobenzoid, sebagai


bakteri yastatik yaitu penghambat pertumbuhan bakteri

59
Pada praktikum juga digunakan zat aktif lainnya yaitu glibenklamida.
Menurut Depkes RI (1979), khasiat glibenklamid adalah sebagai anti bakteri. Yakni
untuk diabetes tipe II, yang mana cara kerjanya glibenklamid akan memicu sekresi
insulin dari sel beta pancreas, sehingga dapat dikendslikan kadar glukosa dalam
darah.
Pada praktikum mula-mula praktikan menimbang semua bahan, kemudian
dilakukan uji pertama sulfamerazin dan PEG dilelehkan pada penangas air
tujuannya supaya kedua bahan tersebut tercampur homogeny dengan mudah.
Selanjutnya wadah campuran tadi dimasukkan kedalam es batu, tujunnya adalah
supaya campuran menjadi padatan sehingga dapat digerus menjadi serbuk.
Selanjutnya padatan ditambah paraffin liquidum. Pada objek gelas tujuannya
supayan serbuk terlumasi dan menjadi transparan sehingga mudah diamati pada
mikroskop. Sementara pada perlakuan lain, dilakukan hal yang sama namun tanpa
PEG 4000. Tujuannya hasilnya akan diamati dimikroskop. Tujuan kedua
praktikum tersebut adalah untuk membandingkan morfologi dan betuk Kristal
tanpa penambahan pembawa PEG 4000 dan dengan penamban pembawa.
Hal tersebut telah sesuai dengan teori menurut Abdou (1989) pemakaian
pembawa akan memberi pada obat dalam sistem dispersi. Untuk membuktikan hal
tersebut dapat dilakukan pengujian yaitu dengan memelehkan zat aktif dan
pembawa inert lalu dibekukan dengan es batu kemudian digerus, diletakkan pada
gelas objek ditambah paraffin liquid supaya transparan lalu diamati pada
mikroskop, lalu dibuat perlakuan yang sama tanpa tambahan pembawa lagi dan
bandingkan bentuk hasil mikroskopik keduanya.

Metode pembuatan dispersi padat yang digunakan praktikan adalah cara


peleburan dimana obat dan, pembawa dilebur dengan cara pemanasan,masa lebur
didinginkan sehingga memadat dengan cepat dalam tangas es dengan cara
pengadukan .Masa padat yang dihasilkan digerus,diserbukkan dan diamati secara
mikroskopik. Menurut Abdou(1989),metode ini tidak dapat digunakan untuk obat
yang dapat terurai saat peleburan dan bahan obat yang mudah
menguap.Sementara metode lainnya dalam system disperse padat adalah metode
pelarutan dan metode gabungan keduanya.

Pada saat pelarutan,obat dan pembawa paraffin dilarutkan dalam pembawa


yang sama.Diikuti penguapan pelarut dan mendapatkan perolehan kembali
disperse solid.Keuntungan cara ini adalah menghindari penguraian akibat panas

60
bahan obat dan pembawa saat dilelehkan.Hal ini sesuai dengan teori menurut
Tuty,et al (2010) yang menyatakan bahwa cara peleburan digunakan untuk
senyawa obat yang mudah terurai dan menguap pada pemanasan,sehingga pada
metode dengan bahan demikian dibutuhkan suhu yang rendah.

Sementara pada metode gabungan pelarutan dan peleburan,dibagi menjadi


dua cara,yaitu:

1.Menggunakan obat dalam larutan .Misal PEG 300-400 dalam jumlah lebih kecil
dari10% dari masa PEG padat yang dilebur pada temperatur <70% tanpa
menghilangkan PEG 300-400.

2.Pembawa yang digunakan PVP dan PEG 6000 dan karbohidrat.

Adapun hasil yang didapat praktikan selanjutnya pada evaluasi


adalah,praktikan mengamati dari segi mikroskopisnya,terlihat pada tabel hasil
bahwa,Kristal bubuk sulfamerazin tidak begitu jelas,hal ini karena mikroskop yang
digunakan keadaannya tidak terlalu baik.Namun dari hasil telah dapat terlihat
bahwa sulfamerazin tanpa penambahan PEG berbentuk Kristal bubuk yang utuh
dan lebih jelas,sedangkan dengan penambahan pembawa PEG,Kristal menjadi lebih
larut/leleh tersebar bersama PEG sehingga bentuk kristalnya tak jelas lagi,jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa penambahan PEG dapat meningkatkan kelarutan
obat sulfamerazin.Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Abdou91989)yang
menyatakan bahwa,pemakaian pembawa dalam sistem disperse padat memberikan
pengaruh pada obat yang terdispersi,sehingga obat lebih tinggi tingkat
kelarutannya,hal ini berdampak pada efek terapi yaitu semakin tinggi kelarutan
obat maka absorpsi obat akan semakin cepat sehingga obat cepat didistribusikan
ketubuh dan berikatan dengan reseptor dan efek sampai lebih baik dan
cepat(sesuai dosis).

61
VI. KESIMPULAN

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa teknik dispersi padat


merupakan metode yang paling banyak dilakukan pada peningkatan laju disolusi
obat yang sukar larut.Sistem dispersi padat merupakan disperisi zat padat dengan
satu atau lebih zat aktif dalam pembawa inert pada keadaan padat.Sistem dispersi
padat yang sukar larut dengan pembawa yang mudah larut akan meningkatkan
kelarutan,disolusi dan biovaibilitas.Sistem dispersi padat dibuat dengan 3 cara
yaitu:

1.Metode pelarutan

2.Metode Peleburan

3.Metode gabungan keduanya

62
DAFTAR PUSTAKA

Abdou,H.1989.Disolusi Bioavailibilitas dan Bioequivalen.Resinul Vania:


Publishing Easton.

Ansel,H.1985.Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Ed 4.Jakarta:UI Press.

Chiou dan Rielgeman.1971.Pharmaceutical Applications of Solid Dispersion

System.New York :Academy Press.

Depkes RI.1979.Farmakope Indonesia Ed 3.Jakarta:Depkes RI.

Retnowati,D.Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan Sistem Dispersi Padat


Ibuprofen PVP K90.Jurnal Farmasi.Vol:8(2).

Ronny,M. Farmakologi dan Terapi.2005.Jakarta:UI Press.

Sugita,M;Nadia,S;dan Maulan,B.2015.Penetapan Kadar Parasetamol dalam


Media Pembawa Inert.Jurnal Farmasi.Vol:1(2).

Tuty,T;Halim,A dan Suardi,M.Studi Sistem Dispersi Padat Isoxsuprine Hcl

Povidon.Jurnal Sains Dan Teknologi Farmasi.Vol

63
PERCOBAAN KE-VI
ANALISIS OBAT DALAM MATRIK

I. TUJUAN
Untuk mengambil contoh plasma dan serum dalam kajian ketersediaan
hayati

II. LANDASAN TEORI


Dapat diketahui parameter farmakokinetik adalah besaran yang di
turunkan secara matematis dari model berdasarkan hasil pengukuran kadar utuh
atau metaboliatnya dalam tubuh. Program farmakokinetik di rancang untuk
mengolah data konsentrasi obat yang di peroleh dari sampel darah menjadi
paameter farmakokinetik secara otomatis pada rute pemberian intravena dan oral
dengan permodelan satu dan dua kompartemen terbuka. Pengukuran konsentrasi
obat di darah. Serum atau plasma adalah pendekatan secara langsung yang paling
baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah mengandung elemen
seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein
seperti albumin dan globulin. Pada umumnya globulin pada serum atau plasma di
gunakan untuk pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah di bekukan
dan serum di ambil dari supernatan setelah disintegrasi. Plasma di peroleh dari
supernatan darah yang di sentrifugasi dengan di tambahkan antikoagulan seperti
heparin. Oleh karena itu serum dan plasma tidak sama. Plasma mengalir
keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan
bersumsi bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan,
perubahan konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi obat di
jaringan ( Siswandono, 1998).
Konsentrasi obat adalah elemen paling penting untuk mnentukan
farmakokinetik suatu individu maupun populasi, konsentrasi obat di ukur dalan
sampel biologi seperti air susu, saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi dan
presisi dari metode anaisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat
dalam matrik biologis.untuk itu metode penetapan kadar secara umum perlu di
validasi sehingga informasi yang akurat di dapatkan untuk monitoring
farmakokinetik dan klinik ( Shargel, 1999).

64
Menurut shargel (2005), faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik
adalah :
1. Sistem kompartemen dalam cairan tubh, seperti : cairan intrasel, eksternal
( plasma darah, cairan interstisial, cairan cerebrospinal) dan berbagai fasa
lipofil dalam tubuh
2. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin
dapat mengikat obat
3. Distribusi obat dalam berbagai sistem dalam kompartemen biologis, terutama
hubungan waku dan kadar obat dalam berbagai sistem tesebut, yang sangat
menentukan kinetika obat
4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorbs.
Bioaktivasi, biodegradasi dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam
tubuh
Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum atau plasma adalah
pendekatan secara langsung yang paling baik untuk mediasi farmakokinetik obat
tubuh. Darah mengandung lembaran baru elemen seluler mencakup sel darah
merah, sel darah putih, keping darah dan protein, seperti albumin dan globulin.
Pada umunya serum atau plasma di gunakan untuk pengukuran obat. Untuk
mendapat serum, darah dibekukan dan serum atau plasma di gunakan untuk
pengukuran obat. Plasma mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua
elemen seluler darah. Dengan berasumsi bahwa obat di plasma dalam
kesetimbangan dengan jaringan. Perubahan konsetrasi oba di jaringan yang ada di
dalam tubuh ( Wenas, 1999).
Uji stabilitas bertujuan untuk menentukan batas waktu yang harus di
perhatikan terhada kestabilab fase gerak larutan standar maupun sampel,
sehingga diharapkan tidak terdapat kesalahan dalam analisis yang sebenarnya di
sebabkan oleh ketidaksetabilan dapat dilihat dari profil kromatogram dan nilai %
diff. Hasil uji stabilitas larutan standar menunjukkan kromatogram yang cukup
stabil dari hari pertama sampai dengan hari ke-30 dengan nilai % diff yaitu -7,35
sampai dengan -0,10%. Hasil uji stabilitas beku dan cair menunjukkan
kromatogram yang cukup stabil dengan nilai 15.00%. konsentrasi rendah -0,46
sampai dengan 5,0% dan konsentrasi tinggi -5,31 sampai dengan 12,39%. Dapat
disimpulkan bahwa metode penetapan kadar dehidrovastin dalam plasma invitro
dengan KCKT memenuhi persyaratan standar sebagai suatu metode yang valid di
dalam percobaan ini ( Hariyanto, et a, 2013).

65
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus
berinteraksi dengan reseptor, tempat sakit atau sel target dengan kadar yang
cukup tinggi. Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui
proses farmakokinetik. Fase farmakokinetik meliputi fasa II dan fasa III. Fasa III
adalah proses absorbsi molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat,
yaitu senyawa aktif dalam cairan darah yang akan di distribusikan ke jaringan
atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada
kompartemen tempa reseptor berada ( Siswandono, 1998 ).
Dalam penanganan matriks biologis, ayam dapat digunakan sebagai sampel.
Diamati dengan parameter berupa albumin globulin di dalam plasma darah.
Pengambilan sampel darah di lakukan saat ayam berumur 3 dan 6 minggu, sampel
darah di ambil sebanyak 3cc menggunakan splet yang berisi antikoagulan EDTA
melalui vena akseloris, kemudian plasma di pisahkan untuk analisis selanjutnya
( Damayanti, 2015).

66
III. PROSEDUR KERJA
3.1. Alat dan Bahan
A. Alat
- labu ukur 100 ml
- vol pipet 0,1 : 0,2 dan 2 ml
- ph meter
- alat suntik
- vial
- sentrifus
- pipet ukur 1 dan 5 ml
- kuvet
- spectrophotometer
- kalkulator FX 3600
- stopwatch
- kertas semilog dan numeric

B. Bahan
- larutan parasetamol dalam propilenglikol 40 % atau dalam
tilose 1 % HCL 6 N , Natrium Nitrit 0,1 % rp
- asam sulfamat 15 %
- NaOH 10 %
- asam trikorasetat 10 %
- darah kelinci / manusia / ayam

67
3.2. Cara kerja
a. Penetapan panjang gelombang absorpsi maksimum

Parasetamol

dibuat larutan seperti pada penetapan kadar masing-


masing dengan kadar : 50,100,150,200, 300,400 mcg/ml

diukur serapan dari pangjang 300 nm – 500 nm

dibuat spectrum serapan

ditetapkan panjang gelombang absorpsi maksimum


parasetamol
Hasil

b. Pembuatan kurva baku

Larutan Parasetamol

diukur serapan dengan kadar masing-masing : 50, 100,


150, 200, 300, 400 mcg/ml

dibuat kurva resapan versus kadar masing- masing


larutan

Hasil

c. Penetapan jangka waktu tetap


Parasetamol

dibuat larutan dan seperti penetapan kadar dengan 2


jenis kadar

diukur serapan larutan tiap 5 menit selama 1 jam

dibuat kurva serapan versus waktu dan ditetapakan


jangka waktu respon

Hasil

68
d. penetapan kadar

Plasma

dipipet 1 ml dan ditambah 1 ml larutan TCA 10 %


didalam tabung sentrifuge

dipusingkan campuran selama 10 menit dengan


kecepatan 2000 rpm

dituangkan beningankedalam tabung reaksi

ditambahkan HCL 6 N sebanyak 0,5 ml dan Natrium


Nitrit 10 % sebanyak 1ml, di campur baik baik dan
diidiamkan 5 menit

ditambahkan asam sulfamat 15 % sebanyak 1 ml

ditambah secara hati-hati dan 2,5 NAOH 10 %


didiamkan 3 menit ditempa dingin
diukur intensitas warna pada spektrofotomeer UV-VIS
pada panjang gelombang maksimum (435 nm)

Hasil

e. perolehan kembali dan kesalahan

Parasetamol

dibuat larutan dalam darah dengan 3 jenis kadar


berbeda

ditetapkan kadar masing-masing larutan dengan 3 kali


ulangan

dihitung kadar dan simpangan bakunya.

Hasil

69
IV. PEMBAHASAN

Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi


cahaya oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002).
Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200- 400 nm, dan
sinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm.
Spektrofotometri digunakan untuk mengukur besarnya energi yang diabsorbsi
atau diteruskan. Sinar radiasi monokromatik akan melewati larutan yang
mengandung zat yang dapat menyerap sinar radiasi tersebut (Harmita, 2006).
Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis
kuantitatif dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis sangat berguna untuk
pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa
ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu
dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linearitas antara absorban


dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.
Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan (Rohman,
2007) yaitu:

a. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis

b. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai


penampang yang sama

c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap


yang lain dalam larutan tersebut

d. Tidak terjadi fluorensensi atau fosforisensi

e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan

Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan (Rohman, 2007):

A = a.b.c (1)

Keterangan:

A = absorban

a = Absorpsivitas molar b = tebal kuvet (cm)

70
c = konsentrasi

Salah satu syarat senyawa dianalisis dengan spektrofotometri adalah


karena senyawa tersebut mengandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus
fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh
gugus ausokrom. Hampir semua kromofor mempunyai ikatan rangkap
berkonjugasi (diena(C=C-C=C), dienon (C=C-C=O), benzen dan lain-lain. Ausokrom
adalah gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas, seperti –OH, N , N , -X
(Harmita, 2006).

2. Instrument Spektrofotometri Uv-Vis

Menurut Khopkar (2003) Instrument Spektrofotometri Uv-Vis

adalah:

a. Sumber Cahaya

Sumber yang biasa digunakan pada spektroskopi absorbsi adalah lampu


wolfram. Pada daerah UV digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium.
Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi
pada berbagai panjang gelombang.

b. Monokromator

Monokromator adalah alat yang akan memecah cahaya polikromatis


menjadi cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang gelombang
tertentu. Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromator
dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis. Monokromator
terdiri dari susunan: celah (slit) masuk – filter – prisma – kisi (grating) – celah
(slit) keluar.

c. Wadah sampel (kuvet)

Kuvet merupakan wadah sampel yang akan dianalisis. Kuvet dari leburan
silika (kuarsa) dipakai untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada daerah
pengukuran 190 – 1100 nm, dan kuvet dari bahan gelas dipakai pada daerah
pengukuran 380 – 1100 nm karena bahan dari gelas mengabsorbsi radiasi UV.

d. Detektor

Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar


kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder akan

71
ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).

e. Visual Display/Recorder

Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik,


menyatakan dalam bentuk % transmitan maupun Absorbansi.

3. Prinsip Kerja Spektrofotometri

Cahaya yang berasal dari lampu deuterium maupun wolfram yang


bersifat polikromatis di teruskan melalui lensa menuju ke monokromator pada
spektrofotometer dan filter cahaya pada fotometer. Monokromator kemudian
akan mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya monokromatis (tunggal).
Berkas-berkas cahaya dengan panjang tertentu kemudian akan dilewatkan pada
sampel yang mengandung suatu zat dalam konsentrasi tertentu. Oleh karena
itu, terdapat cahaya yang diserap (diabsorbsi) dan ada pula yang dilewatkan.
Cahaya yang dilewatkan ini kemudian di terima oleh detector. Detektor
kemudian akan menghitung cahaya yang diterima dan mengetahui cahaya yang
diserap oleh sampel. Cahaya yang diserap sebanding dengan konsentrasi zat
yang terkandung dalam sampel sehingga akan diketahui konsentrasi zat dalam
sampel secara kuantitatif (Triyati, 1985).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam analisis Spektrofotometri Uv- Vis


menurut Rohman (2007):

1) Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar Uv-Vis

Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap
pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi
senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu.

2) Waktu Operasional (operating time)

Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau


pembentukan warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran
yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara
waktu pengukuran dengan absorbansi larutan.

3) Pemilihan Panjang Gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah


panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih

72
panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan
antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada
konsentrasi tertentu.

B. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap


parameter tertentu berdasarkan percobaan dari laboratorium, untuk
membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk
penggunaanya (Harmita, 2004).

Beberapa parameter yang dipertimbangkan dalam validasi metode analisis


meliputi:

1. Linearitas

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon


yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004).
Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi
yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil
uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Sebagai parameter
dengan adanya hubungan yang linier digunakan koefisien korelasi (r) pada
analisis regresi linear dengan persamaan y=bx+a. Hubungan linear yang ideal
dicapai jika nilai a=0 dan r=+1 atau -1 tergantung pada arah garis. Nilai b
menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan (Harmita,
2004). Nilai r hitung yang dibandingkan dengan r tabel pada taraf kepercayaan
dan derajat kebebasan tertentu yang menunjukkan r hitung > r tabel dapat
dikatakan linearitasnya baik, dan dapat digunakan untuk perhitungan (De
Muth, Cit Utami, 2006).

Koefisien korelasi yang positif menunjukkan bahwa hubungan yang


terjadi adalah searah, yaitu besarnya skor pada satu variabel terjadi bersamaan
dengan besarnya skor pada variabel yang lain dan rendahnya skor pada satu
variabel terjadi bersamaan dengan kecilnya skor pada variabel yang lain dan
rendahnya skor pada variabel yang satu terjadi bersamaan dengan tingginya
skor pada variabel yang lain (Azwar, 2007).

73
Gambar 1. Mekanisme Kerja Spektrofotometer UV-Vis

74
VI. KESIMPULAN
Analisis obat dalam matriks biologis bertujuan untuk menentukan kadar
obat dalam tubuh. Matriks biologis dapat berupa darah, saliva, urin. Analisis obat
dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif menggunakan
spektrofotometri UV-VIS yang akan membaca absorbansi sampel dengan panjang
gelombang tertentu.

75

Anda mungkin juga menyukai