Anda di halaman 1dari 16

BAB II

ISI

A. Pengertian Inspeksi Kesehatan Lingkungan


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 013 Tahun 2015 pengertian Inspeksi
Kesehatan Lingkungan adalah kegiatan pemeriksaan dan pengamatan secara langsung
terhadap media lingkungan dalam rangka pengawasan berdasarkan standar, norma dan
baku mutu yang berlaku untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat.
Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilaksanakan berdasarkan hasil Konseling
terhadap Pasien dan/atau kecenderungan berkembang atau meluasnya penyakit dan/atau
kejadian kesakitan akibat Faktor Risiko Lingkungan. Inspeksi Kesehatan Lingkungan
juga dilakukan secara berkala, dalam rangka investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
program kesehatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BEE MAU NAMBAHI DARI JURNAL LAIN MONGGO
B. Pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 13 Tahun 2015, pelaksanaan inspeksi
Kesehatan lingkungan dapat dilakukan, sebagai berikut :
1. Petugas inspeksi Kesehatan lingkungan
Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan
Lingkungan (sanitarian, entomolog dan mikrobiolog) yang membawa surat tugas
dari Kepala Puskesmas dengan rincian tugas yang lengkap.
Dalam pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan Tenaga Kesehatan
Lingkungan sedapat mungkin mengikutsertakan petugas Puskesmas yang
menangani program terkait atau mengajak serta petugas dari Puskesmas
Pembantu, Poskesdes, atau Bidan di desa. Terkait hal ini Lintas Program
Puskesmas berperan dalam:
a. Melakukan sinergisme dan kerja sama sehingga upaya promotif,
preventif dan kuratif dapat terintegrasi.
b. Membantu melakukan Konseling dan pada waktu kunjungan
rumah dan lingkungan.
c. Apabila di lapangan menemukan penderita penyakit karena Faktor
Risiko Lingkungan, harus melaporkan pada waktu lokakarya mini
Puskesmas, untuk diketahui dan ditindaklanjuti.
2. Waktu pelaksanaan inspeksi Kesehatan lingkungan
Waktu pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan sebagai tindak lanjut
hasil Konseling sesuai dengan kesepakatan antara Tenaga Kesehatan Lingkungan
dengan Pasien, yang diupayakan dilakukan paling lambat 24 (dua puluh empat)
jam setelah Konseling.
3. Metode inspeksi Kesehatan lingkungan
Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilakukan dengan cara/metode sebagai
berikut ini :
a. Pengamatan fisik media lingkungan;
Secara garis besar, pengamatan fisik terhadap media
lingkungan dilakukan sebagai berikut:
1) Air
a) Mengamati sarana (jenis dan kondisi)
penyediaan air minum dan air untuk
keperluan higiene sanitasi (sumur gali/sumur
pompa tangan/KU/perpipaan/penampungan
air hujan).
b) Mengamati kualitas air secara fisik, apakah
berasa, berwarna, atau berbau.
c) Mengetahui kepemilikan sarana penyediaan
air minum dan air untuk keperluan higiene
sanitasi, apakah milik sendiri atau bersama.
2) Udara
a) Mengamati ketersediaan dan kondisi
kebersihan ventilasi.
b) Mengukur luas ventilasi permanen (minimal
10% dari luas lantai), khusus ventilasi dapur
minimal 20% dari luas lantai dapur, asap
harus keluar dengan sempurna atau dengan
ada exhaust fan atau peralatan lain.
3) Tanah
Mengamati kondisi kualitas tanah yang berpotensi
sebagai media penularan penyakit, antara lain tanah
bekas Tempat Pembuangan Akhir/TPA Sampah,
terletak di daerah banjir, bantaran sungai/aliran
sungai/longsor, dan bekas lokasi pertambangan.
4) Pangan
Mengamati kondisi kualitas media pangan, yang
memenuhi prinsip-prinsip higiene sanitasi dalam
pengelolaan pangan mulai dari pemilihan dan
penyimpanan bahan makanan, pengolahan
makanan, penyimpanan makanan masak,
pengangkutan makanan, dan penyajian makanan.
5) Sarana dan bangunan
Mengamati dan memeriksa kondisi kualitas
bangunan dan sarana pada rumah/tempat tinggal
Pasien, seperti atap, langit-langit, dinding, lantai,
jendela, pencahayaan, jamban, sarana pembuangan
air limbah, dan sarana pembuangan sampah.
6) Vector dan binatang pembawa penyakit
Mengamati adanya tanda-tanda kehidupan vektor
dan binatang pembawa penyakit, antara lain tempat
berkembang biaknya jentik, nyamuk, dan jejak
tikus.
b. Pengukuran media lingkungan di tempat;
Pengukuran media lingkungan di tempat dilakukan dengan
menggunakan alat in situ untuk mengetahui kualitas media
lingkungan yang hasilnya langsung diketahui di lapangan. Pada
saat pengukuran media lingkungan, jika diperlukan juga dapat
dilakukan pengambilan sampel yang diperuntukkan untuk
pemeriksaan lanjutan di laboratorium.
c. Uji laboratorium; dan/atau
Apabila hasil pengukuran in situ memerlukan penegasan
lebih lanjut, dilakukan uji laboratorium. Uji laboratorium
dilaksanakan di laboratorium yang terakreditasi sesuai
parameternya. Apabila diperlukan, uji laboratorium dapat
dilengkapi dengan pengambilan spesimen biomarker pada
manusia, fauna, dan flora.
d. Analisis risiko kesehatan lingkungan.
Analisis risiko kesehatan lingkungan merupakan
pendekatan dengan mengkaji atau menelaah secara mendalam
untuk mengenal, memahami dan memprediksi kondisi dan
karakterisktik lingkungan yang berpotensi terhadap timbulnya
risiko kesehatan, dengan mengembangkan tata laksana terhadap
sumber perubahan media lingkungan, masyarakat terpajan dan
dampak kesehatan yang terjadi.
Analisis risiko kesehatan lingkungan juga dilakukan untuk
mencermati besarnya risiko yang dimulai dengan mendiskrisikan
masalah kesehatan lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan
penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan
masalah kesehatan lingkungan yang bersangkutan.
Analisis risiko kesehatan lingkungan dilakukan melalui:
1) Identifikasi bahaya
Mengenal dampak buruk kesehatan yang
disebabkan oleh pemajanan suatu bahan dan
memastikan mutu serta kekuatan bukti yang
mendukungnya.
2) Evaluasi dosis respon
Melihat daya racun yang terkandung dalam suatu
bahan atau untuk menjelaskan bagaimana suatu
kondisi pemajanan (cara, dosis, frekuensi, dan
durasi) oleh suatu bahan yang berdampak terhadap
kesehatan.
3) Pengukuran pemajanan
Perkiraan besaran, frekuensi dan lamanya
pemajanan pada manusia oleh suatu bahan melalui
semua jalur dan menghasilkan perkiraan pemajanan.
4) Penetapan Risiko.
Mengintegrasikan daya racun dan pemajanan
kedalam “perkiraan batas atas” risiko kesehatan
yang terkandung dalam suatu bahan.
Hasil analisis risiko kesehatan lingkungan ditindaklanjuti
dengan komunikasi risiko dan pengelolaan risiko dalam rencana
tindak lanjut yang berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan.

Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilakukan terhadap media air, udara,


tanah, pangan, sarana dan bangunan, serta vektor dan binatang pembawa
penyakit. Dalam pelaksanaannya mengacu pada pedoman pengawasan kualitas
media lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Langkah-langkah inspeksi Kesehatan lingkungan
a. Persiapan
1) Mempelajari hasil Konseling.
2) Tenaga Kesehatan Lingkungan membuat janji kunjungan rumah dan
lingkungannya dengan Pasien dan keluarganya.
3) Menyiapkan dan membawa berbagai peralatan dan kelengkapan lapangan
yang diperlukan (formulir Inspeksi Kesehatan Lingkungan, formulir
pencatatan status kesehatan lingkungan, media penyuluhan, alat pengukur
parameter kualitas lingkungan)
4) Melakukan koordinasi dengan perangkat desa/kelurahan (kepala
desa/lurah, sekretaris, kepala dusun atau ketua RW/RT) dan petugas
kesehatan/bidan di desa.
b. Pelaksanaan
1) Melakukan pengamatan media lingkungan dan perilaku masyarakat.
2) Melakukan pengukuran media lingkungan di tempat, uji laboratorium,
dan analisis risiko sesuai kebutuhan.
3) Melakukan penemuan penderita lainnya.
4) Melakukan pemetaan populasi berisiko.
5) Memberikan saran tindak lanjut kepada sasaran (keluarga pasien dan
keluarga sekitar). Saran tindak lanjut dapat berupa Intervensi
Kesehatan Lingkungan yang bersifat segera. Saran tindak lanjut
disertai dengan pertimbangan tingkat kesulitan, efektifitas dan biaya.

C. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan


Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan morfologi suatu
organ atau jaringan tubuh. (Achmadi’05). Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada disekitarnya
(benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta suasana yg terbentuk karena terjadi interaksi antara
elemen-elemen di alam tersebut. (Sumirat’96). Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu
kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh
interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi penyakit.
Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Menurut
Pedoman Arah Kebijakan Program Kesehatan Lingkungan Pada Tahun 2008 menyatakan bahwa
Indonesia masih memiliki penyakit menular yang berbasis lingkungan yang masih menonjol
seperti DBD, TB paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, HIV/AIDS, Filariasis, Cacingan,
Penyakit Kulit, Keracunan dan Keluhan akibat Lingkungan Kerja yang buruk. Pada tahun 2006,
sekitar 55 kasus yang terkonfirmasi dan 45 meninggal (CFR 81,8%), sedangkan tahun 2007 - 12
Februari dinyatakan 9 kasus yang terkonfirmasi dan diantaranya 6 meninggal (CFR 66,7%).
Adapun hal - hal yang masih dijadikan tantangan yang perlu ditangani lebih baik oleh
pemerintah yaitu terutama dalam hal survailans, penanganan pasien/penderita, penyediaan
obat, sarana dan prasarana rumah sakit.
Berbagai faktor dapat berperan dalam timbulnya penyakit lingkungan berbasis wilayah
seperti water borne deseases, air borne deseases, vector borne deseases, food borne deseases,
antara lain dukungan ekosistem sebagai habitat dari pelbagai vektor, peningkatan iklim global
(global warming) yang meningkatkan akselerasi perkembangbiakan nyamuk, peningkatan
kepadatan populasi penduduk yang dijadikan hamparan kultur biakan bagi berbagai macam
penyakit serta dijadikan persemaian subur bagi virus sekaligus sarana eksperimen rekayasa
Genetika. Mobilisasi penduduk yang memungkinkan ’ekspor-import’ penyakit yang tidak lagi
mengenal batas administrasi wilayah, kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah sifat
dirinya dari waktu ke waktu, misalnya mutasi yang menimbulkan perubahan sifat, resistensi
terhadap obat-obatan dan lain sebagainya, kurangnya kesadaran masyarakat dalam
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat atau perubahan perilaku yang mendukung
aksesbilitas agent menginfeksi host serta pencemaran lingkungan yang cukup intens sebagai
konsekuensi oleh eksplorasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap lingkungan biologis, kimiawi,
fisis dan sosial. Berbagai kegiatan pembangunan manusia yang dikerjakan secara sendiri-sendiri
berkelompok maupun yang diprogramkan karena kepentingan negara, bahkan dunia sekalipun
akan menimbulkan dampak, faktor-faktor ini bisa menyebabkan kerentanan terhadap
kemampuan tubuh dalam menangkal penyakit sehingga melahirkan pelbagai penyakit menular
berbasis lingkungan yang melengkapi koleksi penyakit di tanah air (Hasyim, 2008).
D. Penyakit Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus
Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah malaria diambil
dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu
banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga
mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai,
demam charges, demam kura dan paludisme (Prabowo, 2008).
Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh protozoa terdiri dari empat
jenis spesies yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae
menyebabkan malaria quartana, Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika dan
Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.
Menurut Achmadi (2010) di Indonesia terdapat empat spesies Plasmodium, yaitu:
1. Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, mulai dari wilayah beriklim
dingin, subtropik hingga daerah tropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari
ketiga, pada siang atau sore. Masa inkubasi Plasmodium vivax antara 12 sampai 17 hari
dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.
2. Plasmodium falciparum, plasmodium ini merupakan penyebab malaria tropika, secara
klinik berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria celebral dan fatal. Masa
inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala, pegal linu,
demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal ginjal.
3. Plasmodium ovale, masa inkubasi malaria dengan penyebab Plasmodium ovale adalah
12 sampai 17 hari, dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan sembuh
sendiri.
4. Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang memberikan gejala
demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah gunung, dataran
rendah pada daerah tropik, biasanya berlangsung tanpa gejala, dan ditemukan secara
tidak sengaja. Namun malaria jenis ini sering mengalami kekambuhan (Achmadi, 2010).

E. Factor Resiko Penyakit Malaria


1. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan jentik (larva) nyamuk malaria
berbeda- beda. Ada Anopheles yang menyukai tempat terbuka (kena sinar matahari
langsung), misalnya An. hyrcanus spp dan An. pinctutatus spp dan ada pula yang
menyukai tempat teduh An. Sundaicus sedangkan yang dapat hidup baik di tempat
teduh maupun kena sinar matahari adalah An. Barbirostis.
2. Kawat kasa
Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya
kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk
tidak dapat masuk ke dalam rumah. Penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi
kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia
3. Arus air/genangan air
Ada nyamuk malaria yang menyukai air tenang (tergenang) seperti Anopheles
Letifer dan ada juga nyamuk yang menyukai air mengalir lambat seperti Anopheles
barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat serta ada pula
yang menyukai air yang berarus deras seperti Anopheles Minimus.
4. Lingkungan biologi
Lingkugan biologi yang dimaksud adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk malaria. Adanya tumbuhan bakau,
lumut, ganggang ditepi rawa yang dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk
malaria karena menghalangi sinar matahari langsung sehingga tempat perindukan
nyamuk menjadi teduh dan juga melindungi serangan dari mahluk hidup lainnya.
Begitu pula dengan keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah seperti sapi,
kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, sebab
nyamuk akan banyak menggigit hewan tersebut.
5. Keadaan selokan
Keberadaan selokan di sekitar lingkungan dapay meningkakan risiko 6,6 kali lebih besar
terjadinya penyakit malaria. Hal ini disebabkan saluran air yang digunakan untuk
pembuangan air hujan, limbah rumah tangga menggenang dan dapat digunakan sebagai
tempat berkembang biak nyamuk. Nyamuk betina akan bertelur di dalam air yang
tergenang.
6. Penyimpanan pakaian
Kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar merupakan faktor risiko
terjadinya malaria. Dilihat dari karakteristik nyamuk, terdapat beberapa golongan yang
mempunyai sifat suka menempel di tempat lembab di dalam rumah setelah menghisap
darah, misalkan tembok. Bila terdapat banyak pakaian yang menggantung dapat
digunakan sebagai tempat sembunyi bagi nyamuk. Hal ini tentu saja meningkatkan
potensi kontak antara nyamuk dan manusia.
7. Kebiasaan menggunakan kelambu
Kelambunisasi adalah strategi yang utama untuk pencegahan malaria, oleh
karena itu perluasan cakupan pemakaian kelambu mutlak perlu dilakukan dengan
segera demi tercapainya upaya pemberantasan yang berkesinambungan.
Penggunaan kelambu akan menghindari terjadinya kontak langsung antara
nyamuk dengan manusia, dan dengan kelambu tersebut diharapkan mass killing dari
nyamuk malaria dapat dicegah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kelambu

F. Panduan Inspeksi Kesehatan Penyakit Malaria


Dalam melaksanakan Inspeksi Kesehatan Lingkungan, Tenaga Kesehatan
Lingkungan menggunakan panduan Inspeksi Kesehatan Lingkungan berupa bagan dan
daftar pertanyaan untuk setiap penyakit sebagaimana contoh daftar pertanyaan terlampir.
Tenaga Kesehatan Lingkungan dapat mengembangkan daftar pertanyaan tersebut sesuai
kebutuhan. Hasil Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilanjutkan dengan rencana tindak
lanjut berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan.

(ssin seng padang dong gais)


G. Penyakit Kulit (Scabies)
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau
Sarcoptes scabiei varietas hominis (Gandahusada dkk, 2004). Skabies merupakan salah satu
kondisi dermatologis yang paling umum dan negara iklim tropis, kepadatan penduduk tinggi dan
sosial ekonomi rendah (WHO, 2015).
Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita skabies dan secara
tidak langsung melalui barang pribadi seperti selimut, handuk dan baju yang terkontaminasi
tungau Sarcoptes scabiei (Krishna, 2015). Tungau Sarcoptes scabiei var. hominis hidup pada
permukaan kulit manusia. Tungau menimbulkan liang/terowongan pada tempat predileksi di
kulit manusia dan menimbulkan gatal. Tempat predileksi biasanya pada tempat yang
mempunyai stratum korneum tipis, yaitu sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku
bagian luar, lipat ketiak depan, areola mamae (wanita), umbiculus, bokong, genetalia eksterna
(pria) dan perut bagian bawah.
Skabies merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian. Walaupun tidak sampai membahayakan jiwa, skabies perlu mendapat perhatian
karena tingkat penularan yang tinggi dan dapat mengganggu ketenangan istirahat, terutama
pada waktu tidur malam hari.

H. Faktor Resiko Penyakit Kulit (Scabies)


1. Tempat penyediaan air bersih
Penyediaan air bersih adalah kunci utama sanitasi kamar mandi yang berperan
dalam penularan skabies, karena penyakit skabies termasuk penyakit yang berkaitan
dengan persyaratan air bersih (water washed disease) yang digunakan untuk membasuh
anggota badan saat mandi (Azwar, 1995).
Tempat penyediaan air bersih berhubungan dengan air sebagai media
penularan penyakit. bak air kolah yang digunakan bersama-sama lebih berpotensi
menularkan skabies yang dapat terjadi apabila air yang masuk ke tubuh melalui kulit
tercemar oleh kotoran, termasuk tungau yang dapat memicu terjadinya skabies.
2. Kebiasaan mandi
Pada seseorang yang praktik mandinya buruk infestasi sarcoptes scabiei lebih
mudah terjadi, frekuensi mandi yang jarang dapat memudahkan kuman untuk datang
dan berkembang biak kerena pada dasarnya kuman sangat menyukai daerah lembab
dan bau yang disebabkan oleh keringat. Untuk itu diharapkan kepada santri untuk
menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2x sehari agar dapat mencegah terjadinya
scabies.
3. Kebersihan tangan dan kuku
Seseorang yang tidak memperhatikan kebersihan tangan dan kuku mereka dapat
dengan mudah timbulnya penyakit Scabies. Untuk itu diharapkan selalu menjaga
kebersihan tangan dan kuku sehingga dapat mencegah penularan penyakit scabies.
4. Kebersihan pakaian dan kebersihan handuk
Menurut Handoko (2007), menjaga kebersihan pakaian dengan baik, dapat
menurunkan risiko santri untuk terjangkit skabies. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa pakaian berperan dalam transmisi tungau skabies melalui kontak
tak langsung sehingga mempengaruhi kejadian skabies. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa hygiene perorangan atau kebersihan pribadi merupakan faktor
risiko penyakit Scabies. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukanan oleh Notoatmodjo
(2012) bahwa perilaku manusia dalam menjaga kebersihan pribadi seperti kebersihan
pakaian juga ikut mempengaruhi penyebaran penyakit Scabies.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati (2010) menunjukkan bahwa
bergantian handuk mempunyai risiko terkenapenyakit skabies sebesar 2,719 kali bila
dibandingkan dengan yang tidak bergantian handuk
5. Tempat mandi
6. Kebiasaan buang air besar
I. Panduan Inspeksi Kesehatan Penyakit
Dalam melaksanakan Inspeksi Kesehatan Lingkungan, Tenaga Kesehatan
Lingkungan menggunakan panduan Inspeksi Kesehatan Lingkungan berupa bagan dan
daftar pertanyaan untuk setiap penyakit sebagaimana contoh daftar pertanyaan terlampir.
Tenaga Kesehatan Lingkungan dapat mengembangkan daftar pertanyaan tersebut sesuai
kebutuhan. Hasil Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilanjutkan dengan rencana tindak
lanjut berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan.
KURANG SS IN DAFTAR PERTANYAAN DONG GAIS
Dapus
Santy, Fitriangga, A. Natalia, D. 2014. Hubungan Faktor Individi dan Lingkungan Dengan Kejadian
Malaria di Desa Sungai Ayak 3 Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau. Pontianak: FK
Universitas Tanjungpura Vol. 2 No. 1, April 2014: 265-272.
Wiwoho, Fadjar Harry. Hadisaputro, Suharyo. Suwondo, Ari. 2016. Faktor Risiko Kejadian
Malaria di Puskesmas Cluwak dan Puskesmas Dukuhseti Kabupten Pati. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas 1 (1), 2016, 1-8
Nurbayani, Lara. 2013. FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
MAYONG I KABUPATEN JEPARA. Universitas Diponegoro : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Januari
2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.
Purnama, Sang Gede. 2016. BUKU AJAR PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN. Bali : Universitas
Udayana
Yuni Wijayanti, Hasty Widyastari. 2018. DASA WISMA BEBAS PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN
MELALUI HOME ENVIRONMENTAL HEALTH AND SAFETY. Semarang : Universitas Negeri
Semarang
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 tahun 2015 tentang Kesehatan Lingkungan di
Puskesmas, (2015).

Anda mungkin juga menyukai