Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 013 Tahun 2015 pengertian Inspeksi Kesehatan Lingkungan adalah kegiatan pemeriksaan dan pengamatan secara langsung terhadap media lingkungan dalam rangka pengawasan berdasarkan standar, norma dan baku mutu yang berlaku untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat. Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilaksanakan berdasarkan hasil Konseling terhadap Pasien dan/atau kecenderungan berkembang atau meluasnya penyakit dan/atau kejadian kesakitan akibat Faktor Risiko Lingkungan. Inspeksi Kesehatan Lingkungan juga dilakukan secara berkala, dalam rangka investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan program kesehatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BEE MAU NAMBAHI DARI JURNAL LAIN MONGGO B. Pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 13 Tahun 2015, pelaksanaan inspeksi Kesehatan lingkungan dapat dilakukan, sebagai berikut : 1. Petugas inspeksi Kesehatan lingkungan Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan Lingkungan (sanitarian, entomolog dan mikrobiolog) yang membawa surat tugas dari Kepala Puskesmas dengan rincian tugas yang lengkap. Dalam pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan Tenaga Kesehatan Lingkungan sedapat mungkin mengikutsertakan petugas Puskesmas yang menangani program terkait atau mengajak serta petugas dari Puskesmas Pembantu, Poskesdes, atau Bidan di desa. Terkait hal ini Lintas Program Puskesmas berperan dalam: a. Melakukan sinergisme dan kerja sama sehingga upaya promotif, preventif dan kuratif dapat terintegrasi. b. Membantu melakukan Konseling dan pada waktu kunjungan rumah dan lingkungan. c. Apabila di lapangan menemukan penderita penyakit karena Faktor Risiko Lingkungan, harus melaporkan pada waktu lokakarya mini Puskesmas, untuk diketahui dan ditindaklanjuti. 2. Waktu pelaksanaan inspeksi Kesehatan lingkungan Waktu pelaksanaan Inspeksi Kesehatan Lingkungan sebagai tindak lanjut hasil Konseling sesuai dengan kesepakatan antara Tenaga Kesehatan Lingkungan dengan Pasien, yang diupayakan dilakukan paling lambat 24 (dua puluh empat) jam setelah Konseling. 3. Metode inspeksi Kesehatan lingkungan Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilakukan dengan cara/metode sebagai berikut ini : a. Pengamatan fisik media lingkungan; Secara garis besar, pengamatan fisik terhadap media lingkungan dilakukan sebagai berikut: 1) Air a) Mengamati sarana (jenis dan kondisi) penyediaan air minum dan air untuk keperluan higiene sanitasi (sumur gali/sumur pompa tangan/KU/perpipaan/penampungan air hujan). b) Mengamati kualitas air secara fisik, apakah berasa, berwarna, atau berbau. c) Mengetahui kepemilikan sarana penyediaan air minum dan air untuk keperluan higiene sanitasi, apakah milik sendiri atau bersama. 2) Udara a) Mengamati ketersediaan dan kondisi kebersihan ventilasi. b) Mengukur luas ventilasi permanen (minimal 10% dari luas lantai), khusus ventilasi dapur minimal 20% dari luas lantai dapur, asap harus keluar dengan sempurna atau dengan ada exhaust fan atau peralatan lain. 3) Tanah Mengamati kondisi kualitas tanah yang berpotensi sebagai media penularan penyakit, antara lain tanah bekas Tempat Pembuangan Akhir/TPA Sampah, terletak di daerah banjir, bantaran sungai/aliran sungai/longsor, dan bekas lokasi pertambangan. 4) Pangan Mengamati kondisi kualitas media pangan, yang memenuhi prinsip-prinsip higiene sanitasi dalam pengelolaan pangan mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan masak, pengangkutan makanan, dan penyajian makanan. 5) Sarana dan bangunan Mengamati dan memeriksa kondisi kualitas bangunan dan sarana pada rumah/tempat tinggal Pasien, seperti atap, langit-langit, dinding, lantai, jendela, pencahayaan, jamban, sarana pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan sampah. 6) Vector dan binatang pembawa penyakit Mengamati adanya tanda-tanda kehidupan vektor dan binatang pembawa penyakit, antara lain tempat berkembang biaknya jentik, nyamuk, dan jejak tikus. b. Pengukuran media lingkungan di tempat; Pengukuran media lingkungan di tempat dilakukan dengan menggunakan alat in situ untuk mengetahui kualitas media lingkungan yang hasilnya langsung diketahui di lapangan. Pada saat pengukuran media lingkungan, jika diperlukan juga dapat dilakukan pengambilan sampel yang diperuntukkan untuk pemeriksaan lanjutan di laboratorium. c. Uji laboratorium; dan/atau Apabila hasil pengukuran in situ memerlukan penegasan lebih lanjut, dilakukan uji laboratorium. Uji laboratorium dilaksanakan di laboratorium yang terakreditasi sesuai parameternya. Apabila diperlukan, uji laboratorium dapat dilengkapi dengan pengambilan spesimen biomarker pada manusia, fauna, dan flora. d. Analisis risiko kesehatan lingkungan. Analisis risiko kesehatan lingkungan merupakan pendekatan dengan mengkaji atau menelaah secara mendalam untuk mengenal, memahami dan memprediksi kondisi dan karakterisktik lingkungan yang berpotensi terhadap timbulnya risiko kesehatan, dengan mengembangkan tata laksana terhadap sumber perubahan media lingkungan, masyarakat terpajan dan dampak kesehatan yang terjadi. Analisis risiko kesehatan lingkungan juga dilakukan untuk mencermati besarnya risiko yang dimulai dengan mendiskrisikan masalah kesehatan lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah kesehatan lingkungan yang bersangkutan. Analisis risiko kesehatan lingkungan dilakukan melalui: 1) Identifikasi bahaya Mengenal dampak buruk kesehatan yang disebabkan oleh pemajanan suatu bahan dan memastikan mutu serta kekuatan bukti yang mendukungnya. 2) Evaluasi dosis respon Melihat daya racun yang terkandung dalam suatu bahan atau untuk menjelaskan bagaimana suatu kondisi pemajanan (cara, dosis, frekuensi, dan durasi) oleh suatu bahan yang berdampak terhadap kesehatan. 3) Pengukuran pemajanan Perkiraan besaran, frekuensi dan lamanya pemajanan pada manusia oleh suatu bahan melalui semua jalur dan menghasilkan perkiraan pemajanan. 4) Penetapan Risiko. Mengintegrasikan daya racun dan pemajanan kedalam “perkiraan batas atas” risiko kesehatan yang terkandung dalam suatu bahan. Hasil analisis risiko kesehatan lingkungan ditindaklanjuti dengan komunikasi risiko dan pengelolaan risiko dalam rencana tindak lanjut yang berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan.
Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilakukan terhadap media air, udara,
tanah, pangan, sarana dan bangunan, serta vektor dan binatang pembawa penyakit. Dalam pelaksanaannya mengacu pada pedoman pengawasan kualitas media lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Langkah-langkah inspeksi Kesehatan lingkungan a. Persiapan 1) Mempelajari hasil Konseling. 2) Tenaga Kesehatan Lingkungan membuat janji kunjungan rumah dan lingkungannya dengan Pasien dan keluarganya. 3) Menyiapkan dan membawa berbagai peralatan dan kelengkapan lapangan yang diperlukan (formulir Inspeksi Kesehatan Lingkungan, formulir pencatatan status kesehatan lingkungan, media penyuluhan, alat pengukur parameter kualitas lingkungan) 4) Melakukan koordinasi dengan perangkat desa/kelurahan (kepala desa/lurah, sekretaris, kepala dusun atau ketua RW/RT) dan petugas kesehatan/bidan di desa. b. Pelaksanaan 1) Melakukan pengamatan media lingkungan dan perilaku masyarakat. 2) Melakukan pengukuran media lingkungan di tempat, uji laboratorium, dan analisis risiko sesuai kebutuhan. 3) Melakukan penemuan penderita lainnya. 4) Melakukan pemetaan populasi berisiko. 5) Memberikan saran tindak lanjut kepada sasaran (keluarga pasien dan keluarga sekitar). Saran tindak lanjut dapat berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan yang bersifat segera. Saran tindak lanjut disertai dengan pertimbangan tingkat kesulitan, efektifitas dan biaya.
C. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan
Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan morfologi suatu organ atau jaringan tubuh. (Achmadi’05). Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta suasana yg terbentuk karena terjadi interaksi antara elemen-elemen di alam tersebut. (Sumirat’96). Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi penyakit. Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Menurut Pedoman Arah Kebijakan Program Kesehatan Lingkungan Pada Tahun 2008 menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki penyakit menular yang berbasis lingkungan yang masih menonjol seperti DBD, TB paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, HIV/AIDS, Filariasis, Cacingan, Penyakit Kulit, Keracunan dan Keluhan akibat Lingkungan Kerja yang buruk. Pada tahun 2006, sekitar 55 kasus yang terkonfirmasi dan 45 meninggal (CFR 81,8%), sedangkan tahun 2007 - 12 Februari dinyatakan 9 kasus yang terkonfirmasi dan diantaranya 6 meninggal (CFR 66,7%). Adapun hal - hal yang masih dijadikan tantangan yang perlu ditangani lebih baik oleh pemerintah yaitu terutama dalam hal survailans, penanganan pasien/penderita, penyediaan obat, sarana dan prasarana rumah sakit. Berbagai faktor dapat berperan dalam timbulnya penyakit lingkungan berbasis wilayah seperti water borne deseases, air borne deseases, vector borne deseases, food borne deseases, antara lain dukungan ekosistem sebagai habitat dari pelbagai vektor, peningkatan iklim global (global warming) yang meningkatkan akselerasi perkembangbiakan nyamuk, peningkatan kepadatan populasi penduduk yang dijadikan hamparan kultur biakan bagi berbagai macam penyakit serta dijadikan persemaian subur bagi virus sekaligus sarana eksperimen rekayasa Genetika. Mobilisasi penduduk yang memungkinkan ’ekspor-import’ penyakit yang tidak lagi mengenal batas administrasi wilayah, kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah sifat dirinya dari waktu ke waktu, misalnya mutasi yang menimbulkan perubahan sifat, resistensi terhadap obat-obatan dan lain sebagainya, kurangnya kesadaran masyarakat dalam membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat atau perubahan perilaku yang mendukung aksesbilitas agent menginfeksi host serta pencemaran lingkungan yang cukup intens sebagai konsekuensi oleh eksplorasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap lingkungan biologis, kimiawi, fisis dan sosial. Berbagai kegiatan pembangunan manusia yang dikerjakan secara sendiri-sendiri berkelompok maupun yang diprogramkan karena kepentingan negara, bahkan dunia sekalipun akan menimbulkan dampak, faktor-faktor ini bisa menyebabkan kerentanan terhadap kemampuan tubuh dalam menangkal penyakit sehingga melahirkan pelbagai penyakit menular berbasis lingkungan yang melengkapi koleksi penyakit di tanah air (Hasyim, 2008). D. Penyakit Malaria Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme (Prabowo, 2008). Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh protozoa terdiri dari empat jenis spesies yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae menyebabkan malaria quartana, Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika dan Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale. Menurut Achmadi (2010) di Indonesia terdapat empat spesies Plasmodium, yaitu: 1. Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, mulai dari wilayah beriklim dingin, subtropik hingga daerah tropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari ketiga, pada siang atau sore. Masa inkubasi Plasmodium vivax antara 12 sampai 17 hari dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali. 2. Plasmodium falciparum, plasmodium ini merupakan penyebab malaria tropika, secara klinik berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria celebral dan fatal. Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala, pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal ginjal. 3. Plasmodium ovale, masa inkubasi malaria dengan penyebab Plasmodium ovale adalah 12 sampai 17 hari, dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan sembuh sendiri. 4. Plasmodium malariae, merupakan penyebab malaria quartana yang memberikan gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah gunung, dataran rendah pada daerah tropik, biasanya berlangsung tanpa gejala, dan ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria jenis ini sering mengalami kekambuhan (Achmadi, 2010).
E. Factor Resiko Penyakit Malaria
1. Sinar matahari Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan jentik (larva) nyamuk malaria berbeda- beda. Ada Anopheles yang menyukai tempat terbuka (kena sinar matahari langsung), misalnya An. hyrcanus spp dan An. pinctutatus spp dan ada pula yang menyukai tempat teduh An. Sundaicus sedangkan yang dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari adalah An. Barbirostis. 2. Kawat kasa Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia 3. Arus air/genangan air Ada nyamuk malaria yang menyukai air tenang (tergenang) seperti Anopheles Letifer dan ada juga nyamuk yang menyukai air mengalir lambat seperti Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat serta ada pula yang menyukai air yang berarus deras seperti Anopheles Minimus. 4. Lingkungan biologi Lingkugan biologi yang dimaksud adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk malaria. Adanya tumbuhan bakau, lumut, ganggang ditepi rawa yang dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk malaria karena menghalangi sinar matahari langsung sehingga tempat perindukan nyamuk menjadi teduh dan juga melindungi serangan dari mahluk hidup lainnya. Begitu pula dengan keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah seperti sapi, kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, sebab nyamuk akan banyak menggigit hewan tersebut. 5. Keadaan selokan Keberadaan selokan di sekitar lingkungan dapay meningkakan risiko 6,6 kali lebih besar terjadinya penyakit malaria. Hal ini disebabkan saluran air yang digunakan untuk pembuangan air hujan, limbah rumah tangga menggenang dan dapat digunakan sebagai tempat berkembang biak nyamuk. Nyamuk betina akan bertelur di dalam air yang tergenang. 6. Penyimpanan pakaian Kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar merupakan faktor risiko terjadinya malaria. Dilihat dari karakteristik nyamuk, terdapat beberapa golongan yang mempunyai sifat suka menempel di tempat lembab di dalam rumah setelah menghisap darah, misalkan tembok. Bila terdapat banyak pakaian yang menggantung dapat digunakan sebagai tempat sembunyi bagi nyamuk. Hal ini tentu saja meningkatkan potensi kontak antara nyamuk dan manusia. 7. Kebiasaan menggunakan kelambu Kelambunisasi adalah strategi yang utama untuk pencegahan malaria, oleh karena itu perluasan cakupan pemakaian kelambu mutlak perlu dilakukan dengan segera demi tercapainya upaya pemberantasan yang berkesinambungan. Penggunaan kelambu akan menghindari terjadinya kontak langsung antara nyamuk dengan manusia, dan dengan kelambu tersebut diharapkan mass killing dari nyamuk malaria dapat dicegah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kelambu
F. Panduan Inspeksi Kesehatan Penyakit Malaria
Dalam melaksanakan Inspeksi Kesehatan Lingkungan, Tenaga Kesehatan Lingkungan menggunakan panduan Inspeksi Kesehatan Lingkungan berupa bagan dan daftar pertanyaan untuk setiap penyakit sebagaimana contoh daftar pertanyaan terlampir. Tenaga Kesehatan Lingkungan dapat mengembangkan daftar pertanyaan tersebut sesuai kebutuhan. Hasil Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilanjutkan dengan rencana tindak lanjut berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan.
(ssin seng padang dong gais)
G. Penyakit Kulit (Scabies) Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis (Gandahusada dkk, 2004). Skabies merupakan salah satu kondisi dermatologis yang paling umum dan negara iklim tropis, kepadatan penduduk tinggi dan sosial ekonomi rendah (WHO, 2015). Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita skabies dan secara tidak langsung melalui barang pribadi seperti selimut, handuk dan baju yang terkontaminasi tungau Sarcoptes scabiei (Krishna, 2015). Tungau Sarcoptes scabiei var. hominis hidup pada permukaan kulit manusia. Tungau menimbulkan liang/terowongan pada tempat predileksi di kulit manusia dan menimbulkan gatal. Tempat predileksi biasanya pada tempat yang mempunyai stratum korneum tipis, yaitu sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak depan, areola mamae (wanita), umbiculus, bokong, genetalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Skabies merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Walaupun tidak sampai membahayakan jiwa, skabies perlu mendapat perhatian karena tingkat penularan yang tinggi dan dapat mengganggu ketenangan istirahat, terutama pada waktu tidur malam hari.
H. Faktor Resiko Penyakit Kulit (Scabies)
1. Tempat penyediaan air bersih Penyediaan air bersih adalah kunci utama sanitasi kamar mandi yang berperan dalam penularan skabies, karena penyakit skabies termasuk penyakit yang berkaitan dengan persyaratan air bersih (water washed disease) yang digunakan untuk membasuh anggota badan saat mandi (Azwar, 1995). Tempat penyediaan air bersih berhubungan dengan air sebagai media penularan penyakit. bak air kolah yang digunakan bersama-sama lebih berpotensi menularkan skabies yang dapat terjadi apabila air yang masuk ke tubuh melalui kulit tercemar oleh kotoran, termasuk tungau yang dapat memicu terjadinya skabies. 2. Kebiasaan mandi Pada seseorang yang praktik mandinya buruk infestasi sarcoptes scabiei lebih mudah terjadi, frekuensi mandi yang jarang dapat memudahkan kuman untuk datang dan berkembang biak kerena pada dasarnya kuman sangat menyukai daerah lembab dan bau yang disebabkan oleh keringat. Untuk itu diharapkan kepada santri untuk menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2x sehari agar dapat mencegah terjadinya scabies. 3. Kebersihan tangan dan kuku Seseorang yang tidak memperhatikan kebersihan tangan dan kuku mereka dapat dengan mudah timbulnya penyakit Scabies. Untuk itu diharapkan selalu menjaga kebersihan tangan dan kuku sehingga dapat mencegah penularan penyakit scabies. 4. Kebersihan pakaian dan kebersihan handuk Menurut Handoko (2007), menjaga kebersihan pakaian dengan baik, dapat menurunkan risiko santri untuk terjangkit skabies. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pakaian berperan dalam transmisi tungau skabies melalui kontak tak langsung sehingga mempengaruhi kejadian skabies. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hygiene perorangan atau kebersihan pribadi merupakan faktor risiko penyakit Scabies. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukanan oleh Notoatmodjo (2012) bahwa perilaku manusia dalam menjaga kebersihan pribadi seperti kebersihan pakaian juga ikut mempengaruhi penyebaran penyakit Scabies. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati (2010) menunjukkan bahwa bergantian handuk mempunyai risiko terkenapenyakit skabies sebesar 2,719 kali bila dibandingkan dengan yang tidak bergantian handuk 5. Tempat mandi 6. Kebiasaan buang air besar I. Panduan Inspeksi Kesehatan Penyakit Dalam melaksanakan Inspeksi Kesehatan Lingkungan, Tenaga Kesehatan Lingkungan menggunakan panduan Inspeksi Kesehatan Lingkungan berupa bagan dan daftar pertanyaan untuk setiap penyakit sebagaimana contoh daftar pertanyaan terlampir. Tenaga Kesehatan Lingkungan dapat mengembangkan daftar pertanyaan tersebut sesuai kebutuhan. Hasil Inspeksi Kesehatan Lingkungan dilanjutkan dengan rencana tindak lanjut berupa Intervensi Kesehatan Lingkungan. KURANG SS IN DAFTAR PERTANYAAN DONG GAIS Dapus Santy, Fitriangga, A. Natalia, D. 2014. Hubungan Faktor Individi dan Lingkungan Dengan Kejadian Malaria di Desa Sungai Ayak 3 Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau. Pontianak: FK Universitas Tanjungpura Vol. 2 No. 1, April 2014: 265-272. Wiwoho, Fadjar Harry. Hadisaputro, Suharyo. Suwondo, Ari. 2016. Faktor Risiko Kejadian Malaria di Puskesmas Cluwak dan Puskesmas Dukuhseti Kabupten Pati. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas 1 (1), 2016, 1-8 Nurbayani, Lara. 2013. FAKTOR RISIKO KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYONG I KABUPATEN JEPARA. Universitas Diponegoro : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013, Volume 2, Nomor 1, Januari 2013 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Purnama, Sang Gede. 2016. BUKU AJAR PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN. Bali : Universitas Udayana Yuni Wijayanti, Hasty Widyastari. 2018. DASA WISMA BEBAS PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN MELALUI HOME ENVIRONMENTAL HEALTH AND SAFETY. Semarang : Universitas Negeri Semarang Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 tahun 2015 tentang Kesehatan Lingkungan di Puskesmas, (2015).