Anda di halaman 1dari 20

1

PERAN PERAWAT DALAM MENGATASI DAMPAK HOSPITALISASI

PADA ANAK

A. Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan keadaan dimana orang sakit berada pada lingkungan

rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dalam perawatan atau pengobatan

sehingga dapat mengatasi atau meringankan penyakitnya (Wong, 2000).

Sedangkan menurut Supartini, (2004) hospitalisasi merupakan suatu proses yang

mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit untuk menjalani terapi dan

perawatan yang sampai pemulangan kembali ke rumah.

Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress (Nursalam,

2005). Hospitalisasi juga dapat menimbulkan ketegangan dan ketakutan serta

dapat menimbulkan gangguan emosi atau tingkah laku yang mempengaruhi

kesembuhan dan perjalan penyakit anak selama dirawat di rumah sakit (Posted,

2009). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan

belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan nyaman, perasaan

kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu yang dirasakan

menyakitkan (Supartini, 2004).

Dampak hospitalisasi pada anak berbeda-beda tergantung oleh

perkembangaan usia, pengalaman sakit dan dirawat di rumah sakit, support

system, serta keterampilan koping dalam menangani stress. Kecemasan dan

ketakutan sangat mempengaruhi proses pengobatan anak. Menurut Laili (2006)


2

apabila anak mengalami kecemasan tinggi saat dirawat di rumah sakit maka besar

sekali kemungkinanan anak akan mengalami disfungsi perkembangan. Anak akan

mengalami gangguan, seperti gangguan somatik, emosional dan psikomotor.

Reaksi terhadap penyakit atau masalah diri yang dialami anak seperti perpisahan,

tidak mengenal lingkungan atau lingkungan yang asing, hilangnya kasih sayang,

body image maka akan bereaksi seperti regresi yaitu hilangnya control, agresi,

menarik diri, tingkah laku protes, serta lebih peka dan pasif seperti menolak

makanan dan lain-lain (Alimul, 2005).

Reaksi hospitalisasi dan dampak yang ditimbulkan seringkali menjadi

permasalahan pokok yang dihadapi dalam dunia kesehatan. Sebagaimana

komitmen dalam mengatasi hal tersebut baik secara individual maupun secara

sosial yaitu upaya meminimalisirkan dampak serta memaksimalkan manfaat dari

hospitalisasi (Hawari,2006).

Ketakutan dan kecemasan anak sangat dipengaruhi oleh peran perawat, dalam

hal ini perawat harus dapat memberikan pelayanan keperawatan , dan mampu

menfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan baik berupa

pemberian tindakan keperaatan langsung maupun pendidikan kesehatan pada

anak. Selain itu perawat dapat memberikan kenyamanan dan dukungan pada anak

baik dengan mempertahankan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi keluarga

yang dapat menentukan pola kehidupan anak.

Perawat dapat memberikan penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua

anak atau dengan menolong orang tua/anak dalam memahami pengobatan dan
3

perawatan anaknya. Ketika anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan

psikologis berupa dukungan atau motivasi maka, sebagai konselor, perawat dapat

memberikan konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan,

dengan cara mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara

fisik, perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak

tentang masalah anak dan keluarganya, dan membantu mencari alternatif

pemecahannya (Supartini, 2004).

Wong (2001) mengatakan bahwa populasi anak yang dirawat di rumah sakit

mengalami peningkatan yang sangat dramatis. Persentase anak yang dirawat di

rumah sakit saat ini mengalami masalah yang lebih serius dan kompleks

dibandingkan kejadian hospitalisasi pada tahun- tahun sebelumnya. Mc. Cherty

dan Kozak mengatakan hampir 40 juta anak dalam setahun mengalami

hospitalisasi (Hikmawati, 2000).

B. Tinjauna Pustaka

1. Anak

a) Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak

merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi

(0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia

sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada

antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda.
4

Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan

yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak

memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial.

Ciri fisik adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang sama

akan tetapi mempunyai perbedaan dan pertumbuhannya. Demikian juga

halnya perkembangan kognitif juga mengalami perkembangan yang tidak

sama. Adakalanya anak dengan perkembangan kognitif yang cepat dan

juga adakalanya perkembangan kognitif yang lambat. Hal tersebut juga

dapat dipengaruhi oleh latar belakang anak. Perkembangan konsep diri ini

sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan

akan mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada

anak. Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hamper sama dengan

konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping pada anak juga sudah

terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat pada saat bayi anak

menangis.Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis

seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain

sebagainya. Kemudian perilaku sosial pada anak juga mengalami

perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada masa bayi perilaku social

pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang

lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan. Hal tersebut

sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku social yang seiring

dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku social juga dapat berubah


5

sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau

bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005).

Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks

yang terjadi di setiap tahap masa kanak- kanak dan masa remaja. Lebih

jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa,

dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang memengaruhi pemahaman

dan persepsi mereka mengenai dunia. Awitan penyakit bagi mereka

seringkali mendadak, dan penurunan dapat berlangsung dengan cepat.

Faktor kontribusinya adalah sistem pernapasan dan kardiovaskular yang

belum matang, yang memiliki cadangan lebih sedikit dibandingkan orang

dewasa, serta memiliki tingkat metabolisme yang lebih cepat, yang

memerlukan curah jantung lebih tinggi, pertukaran gas yang lebih besar

dan asupan cairan serta asupan kalori yang lebih tinggi per kilogram berat

badan dibandingkan orang dewasa. Kerentanan terhadap ketidak

seimbangan cairan pada anak adalah akibat jumlah dan distribusi cairan

tubuh. Tubuh anak terdiri dari 70-75% cairan, dibandingkan dengan 57-

60% cairan pada orang dewasa. Pada anak-anak, sebagian besar cairan ini

berada di kompartemen cairan ekstrasel dan oleh karena itu cairan ini

lebih dapat diakses. Oleh karena itu kehilangan cairan yang relatif sedang

dapat mengurangi volume darah, menyebabkan syok, asidosis dan

kematian (Slepin, 2006).

b) Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


6

Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah salah satu aspek

yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut

merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan

seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang

tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat

pendidikan dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap

bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah

kesehatan termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sering kali para

orang tua mempunyai pemahaman bahwa pertumbuhan dan

perkembangan mempunyai pengertian yang sama ( Nursalam, 2005).

1) Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh

dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel

tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi

dan pertambahan ukuran sel berarti ada pertambahan secara kuantitatif

dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya konsepsi, yaitu bertemunya sel

telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Jadi, pertumbuhan

lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu

menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti

bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala.

Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang

bervariasisesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum,


7

pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki. Kematangan

pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu,

kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah.

Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan

masa setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total panjang badan.

Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara

teratur. Pada usia dua tahun, besar kepala kurang dari seperempat

panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah

lebih dari seperempatnya.

2) Perkembangan

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur

fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat

diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel,

jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI,

2000). Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif,

yaitu pertambahan kematangan fungsi dari masing-masing bagian

tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk

memompakan darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan

anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda-benda di

sekelilingnya serta kematangan emosi dan sosial anak.\

c) Prinsip-prinsip Keperawatan Anak

Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak yang dijadikan


8

sebagai pedoman dalam memahami filosofi keperawatan anak. Perawat

harus memahaminya, mengingat ada beberapa prinsip yang berbeda dalam

penerapan asuhan. Di antara prinsip dalam asuhan keperawatan anak

tersebut adalah:

Pertama, anak bukan miniature orang dewasa tetapi sebagai individu

yang unik. Prinsip dan pandangan ini mengandung arti bahwa tidak boleh

memandang anak dari ukuran fisik saja sebagaimana orang dewasa

melainkan anak sebagai individu yang unik yang mempunyai pola

pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan. Pola-pola

inilah yang harus dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk fisiknya saja

tetapi kemampuan dan kematangannya.

Kedua, anak adalah sebagai individu yang unik dan mempunyai

kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangan. Sebagai individu yang

unik anak memiliki berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan yang

lain sesuai dengan usia tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut dapat

meliputi kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi dan cairan,

aktivitas, eliminasi, istirahat, tidur, dan lain-lain. Selain kebutuhan

fisiologis tersebut, anak juga sebagai individu yang juga membutuhkan

kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual. Hal tersebut dapat terlihat pada

tahap usia tumbuh kembang anak. Pada saat yang bersamaan perlu

memandang tingkat kebutuhan khusus yang dialami oleh anak.

Ketiga, pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya


9

pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan, bukan hanya

mengobati anak yang sakit. Upaya pencegahan penyakit dan peningkatan

derajat kesehatan bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian pada anak, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa.

Keempat, keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang

berfokus pada kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab

secara komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak.

Kelima, praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan

keluarga untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi, dan meningkatkan

kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang

sesuai dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal).

Keenam, tujuan keperawatan anak dan remaja adalah untuk

meningkatkan maturasi atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja

sebagai mahluk biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan

masyarakat.

Ketujuh, pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan

anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang sebab ilmu tumbuh kembang

ini yang akan mempelajari aspek kehidupan anak (Azis, 2005).

d) Peran Perawat

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat

yang sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu pola

sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan diri seseorang


10

berdasarkan posisinya dimasyarakat (Hidayat, 2006). Sedangkan menurut

Kozier dan Barbara (1995) yang dikutip dari Mubarak (2006),

mendefinisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan

oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu

system.Peran dipengaruhi oleh keadaan social dari dalam maupun dari

luar dan bersifat stabil.Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan

dari seseorang pada situasi social tertentu (Mubarak, 2006).

Peran perawat adalah cara untuk mengatasi aktifitas perawat dalam

praktik,dimana telah menyelesaikan pendidiksan formalnya yang diakui

dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan

tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik

profesionalnya.Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah

demi untuk kejelasan (Mubarak, 2006).Sedangkan menurut supartini

(2004) Perawat adalah salah satu tim kesehatan yang bekerja dengan anak

dan orang tua. Beberapa peran penting seorang perawat anak, yaitu:

sebagai pembela, pendidik, konselor, kordinator, pembuat keputusan etik,

perencana kesehatan, dan peneliti

Sebagai pembela, perawat dituntut sebagai pembela bagi keluarganya

pada saat mereka membutuhkan pertolongan tidak dapat mengambil

keputusan/ menentukan pilihan, dan menyakinkan keluarga untuk

menyadari pelayanan yang tersendiri, pengobatan/ dan prosedur yang

dilakukan dengan cara melibatkan keluarga.


11

Sebagai pendidik, perawat berperan sebagai pendidik baik secara

langsung dengan memberikan penyuluhan/ pendidikan kesehatan pada

orangtua anak maupun secara tidak langsung dengan menolong orangtua/

anak memahami pengobatan dan perawatan anaknya. Sebagai konselor,

perawat dapat member konseling keperawatan ketika anak dan

orangtuanya membutuhkan. Sebagai kordinator, perawat berada pada

posisi kunci untuk menjadi kordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam

berada di samping pasien.

Sebagai pembuat keputusan etik, perawat dituntut untuk dapat

berperan sebagai pembuat keputusan etik dengan berdasarkan pada nilai

moral yang diyakini dengan menekankan pada hak pasien untuk mendapat

otonomi, menghadapi hal-hal yang merugikan pasien, dan keuntungan

asuhan keperawatan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai perencana kesehatan, perawat harus bias merumuskan rencana

pelayanan kesehatan di tingkat kebijakan (Supartini, 2004).

2. Hospitalisasi

a) Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit

menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah.

Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai

kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan


12

pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah,

sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000). Perasaan tersebut dapat

timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami

sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan

sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakannya

menyakitkan. Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua

menjadi stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat stres anak

semakin meningkat (Supartini, 2000).

b) Dampak Hospitalisasi Pada Anak

Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada

semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyaknya

faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan

lainnya), lingkungan baru, maupun lingkungan keluarga yang

mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan

perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.

Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara

fisiklogis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang

mendampingi selama perawatan (Marks, 1998). Anak menjadi semakin

stres dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu

menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Ader

(1885) bahwa pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah


13

terserang penyakit, karena pada kondisi stress akan terjadi penekanan

system imun (Subowo, 1992). Pasien anak akan merasa nyaman selama

perawatan dengan adanya dukungan social keluarga, lingkungan

perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh dengan

perhatian akan mempercepat proses penyembuhan. Berdasarkan hasil

pengamatan penulis, pasien anak yang dirawat di rumah sakit masih sering

mengalami stres hospitalisasi yang berat, khususnya takut terhadap

pengobatan, asing dengan lingkungan baru, dan takut terhadap petugas

kesehatan. Fakta tersebut merupakan masalah penting yang harus

mendapatkan perhatian perawat dalam pengelolah asuhan keperawatan

(Nursalam, 2005)

c) Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

Seperti telah dikemukakan di atas, anak akan menunjukkan berbagai

perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reksi tersebut

bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia

perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem

pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada

umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena

perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi

anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan

perkembangan anak.\

1) Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)


14

Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan

dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya

dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi

stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang yang

tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering

muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak

melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan

ibunya, bayi akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku

yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respons terhadap

nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan

tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.

2) Masa Todler (2 sampai 3 tahun)

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan

sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat

perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya,yaitu

tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes,

perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil

orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada

tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis

berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain

dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang

ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan,


15

membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai

lingkungannya. Oleh karena adanya pembatasan terhadap

pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk

mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya.

Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya

atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang

dirasakan karena mendapatkan tindakan invasive, seperti injeksi, infus,

pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan

memukul.Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa

nyeri dan mengomunikasikan rasa nyerinya.

3) Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari

lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan

menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman

sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak

usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya,

menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap

petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak

kehilangan control terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit

mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak

merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali


16

dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan

merasa malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan

muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya

mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan

reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan

mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan

perawat, dan ketergantungan pada orang tua.

4) Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah

dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama

kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan control

juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan

aktivitas. Kehilangan control tersebut berdampak pada perubahan

peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia

biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan

takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan

atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal

maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya.

Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa

nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan/atau menggigit dan memegang

sesuatu dengan erat.

5) Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)


17

Anak usia remaja memersepsikan perawatan di rumah sakit

menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan

teman sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan

merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan

tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak

kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada

keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering

muncul terhadap pembatasan aktivitias ini adalah dengan menolak

perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau

kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga,

sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena

perlukaan atau pembedahan menimbulkan respons anak bertanya-

tanya, menarik diri dari lingkungan, dan/atau menolak kehadiran orang

lain (Supartini,2004) .

d) Pencegahan Dampak Hospitalisasi

Dirawat di rumah sakit bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan

pengalaman yang mengerikan bagi anak-anak. Anak seringkali mengalami

hal-hal yang tidak menyenangkan selama di rumah sakit, mulai dari

lingkungan rumah sakit yang asing, serta pengobatan maupun

pemeriksaan yang kadang kala menyakitkan bagi si anak. Oleh karena itu,

peran perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dampak

tersebut.
18

1) Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga

Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan

psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang,

gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.

2) Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol

perawatan pada anak

Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan

anak mampu mandiri dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-

hati dalam melakukan aktivitas sehari-hari, selalu bersikap waspada

dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap kemampuan dan

keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak.

3) Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak

psikologis)

Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan

dalam keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak

bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui

berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary. Apabila

tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan

berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan anak.

4) Tidak melakukan kekerasan pada anak


19

Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis

yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada

saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan

pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan

kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat

kondisi anak.

5) Modifikasi Lingkungan Fisik

DAFTAR PUSTAKA

Bafford, Dkk, (2006), Teori & Praktek Keperawatan, Pendekatan Integral Pada
Asuhan Pasien, Jakarta EGC

Dadang. (2006). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Universitas


Indonesia/Gaya Baru

Dorothy (1999), Dasar Dasar Riset Keperawatan, Jakarta : EGC

Hidayat, A.A 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Edisi 1, Salemba Medika,
Jakarta

Hidayat.A.A (2000), Pengantar Ilmu Keperawatan, Edisi 1, Jakarta. Salemba Medika

Hidayat, A.A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 2. Jakarta:


Salemba Medica

Mubarak, W. H. (2006). Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Sagung Seto

Nursalam, (2005), Asuhan Keperawatan Bayi & Anak (Untuk Perawat Dan Bidan),

Potter &Perry, 2005, Fundamental Keperawatan, Volume 1, edisi , EGC


20

Rahmat. J. (2005). Psikologi Komunikasi, Rineka Cipta, Jakarta. Roper. N (2002).


Prinsip-prinsip keperawatan. Yogyakarta : Essentia.

Setiadi. (2007). Konsep dan Penuisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Supartini, Yupi, (2004), Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak, Jakarta: EGC

Wong and Whaley’s, 2001, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Remaja
Rosda Karya, Bandung Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika

Zaidin. A (2002), Dasar Dasar Keperawatan Propesional, Jakarta: Widia Medika

Anda mungkin juga menyukai