Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ANTHROPOLOGI

Peran Perawat Dalam Adaptasi Budaya Jepang

Dosen :
Rossyana Septyaningsih, SKp., M.Pd.

Oleh Kelompok 8:
1. Nabila Khoirotul Ummah (P17211201008)
2. Olyvia Nur Azizah (P17211201013)
3. Ratih Citra Maharani (P17211201016)
4. Azza Shofiya N. (P17211201017)
5. Mutzammilatus Sholeha (P17211203037)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
1A
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahhirobbilalamin, puji syukur kami anjurkan kepada Allah


SWT atas rahmat dan karunia-nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah
psikologi ini. Syukur serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar kita
Muhammad SAW. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen antropologi ibu
Rossyana Septyaningsih, S.Kp., M.Pd. selaku dosen pembimbing dalam
membantu kelancaran pembuatan makalah ini. Semoga apa yang kami kerjakan
ini menjadi manfaat untuk banyak orang, aamiin.
Dalam rangka memenuhi tugas antropologi maka makalah ini dibuat
dengan judul Peran Perawat Dalam Adaptasi Budaya Jepang.

Dengan penuh syukur, kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam
proses pembuatan makalah dan kesalahan dalam mengetik makalah ini. kami
mengaharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Selain itu, kami
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan tercapainya
tujuan dari penulisan makalah ini.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Malang, 04 Maret 2021

Tim Penyusum

i
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan 3
1.4. Manfaat 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Adaptasi Budaya 5
2.2. Berkomunikasi 7
2.3. Kebersihan 9
2.4. Hubungan Antara Junior dan Senior 10
2.5. Hubungan Antar Gender 10
BAB 3 PEMBAHASAN 12
BAB 4 PENUTUP
4.1. Kesimpulan 16
4.2. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
DAFTAR RUJUKAN 17

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menjadi seorang perawat bukanlah tugas yang mudah. Perawat terus
ditantang oleh perubahan-perubahan yang ada, baik dari lingkungan maupun
klien. Dari segi lingkungan, perawat selalu dipertemukan dengan globalisasi.
Sebuah globalisasi sangat memengaruhi perubahan dunia, khususnya di

i
bidang kesehatan. Terjadinya perpindahan penduduk menuntut perawat agar
dapat menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Semakin banyak terjadi
perpindahan penduduk, semakin beragam pula budaya di suatu negara.
Tuntutan itulah yang memaksa perawat agar dapat melakukan asuhan
keperawatan yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat. Peran perawat
sangat komprehensif dalam menangani klien karena peran perawat adalah
memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien.
Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek
spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose
harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut. Menurut
Dadang Hawari (1977) “orang yang mengalami penyakit terminal dan
menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis
spiritual, dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien
menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus.”
Selain itu peranan sakit dan peranan pasien sangatlah di pengaruhgi oleh
faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya, maka
ancaman kesehatan yang sama tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda dari kalangan pasien.Tingkah laku sakit
adalah cara-cara dimana gejala di tanggapi, di evaluasi dan di perankan oleh
seseorang yang mengalami sakit.
Adanya budaya stress dan penyakit dapat di alami individu atau kelompok
dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara
langsung atau tidak langsung. Seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan
serta sanksi yang membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak
memungkinkan penganutnya untuk bertindak diluar from baku yang telah di
tetapkan. Oleh karena itu, kita patut dan wajib mempelajari dan memahaminya
di dalam kehidupan sehari-hari, dengan tujun mudah dipahami.

Salah satu contoh peran perawat dalam budaya adalah, ketika seoarang
perawat Indonesia yang menangani atau merawat pasien dari Jepang. Saat ini
sudah banyak perawat Indonesia yang bekerja di Jepang. Hal itu dilatar
belakangi oleh ketika tahun 2018 merupakan tahun ke-60 hubungan
diplomatik Jepang-Indonesia, sekaligus tahun ke-11 pemilihan dan

i
pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia sektor Perawat dan Carewokers
ke Jepang melalui kerjasama EPA (Economy Partnership Agreement)
Jepang- Indonesia (Handayani, 2015). Menurut BNP2TKI (2018), hingga
saat ini, sebanyak 2116 perawat dan careworker telah bekerja di Jepang dan
sukses di bidangnya. Tahun 2018 ini sebanyak 331 Pekerja Migran
Indonesia (PMI) sektor Perawat dan Careworker yang diberangkatkan ke
Jepang melalui program EPA Jepang-Indonesia. Diawali dari tahun 2008,
pemerintah Indonesia mengirim 208 perawat; 2009 mengirim 362
perawat , 2010 mengirim 149 perawat. Di tahun 2016 lebih dari 1000 orang
perawat Indonesia yang bekerja di Jepang (Handayani, 2015).

EPA Jepang-Indonesia atau IJEPA (Indonesia-Japan Economy


Partnership Agreement) merupakan perjanjian antar pemerintah Jepang dan
pemerintah Indonesia yang meliputi tidak hanya perdagangan saja,
melainkan juga jasa, tenaga kerja, perluasan investasi serta
peningkatan kemampuan industri. Dengan perjanjian tersebut, diharapkan
industri di Indonesia bisa menjadi lebih efisien dalam produktifitasn dan
mengalami peningkatan nilai investasi. Oleh karena itu, program ini disebut
EPA (Economy Partnership Agreement) atau Perjanjian Kemitraan
Ekonomi.
Sejak 2008, dalam rangka program EPA, pemerintah Jepang telah
membuka jalan. bagi perawat Indonesia untuk mendapatkan lisensi perawat
atau careworker sesuai dengan jenjang karir profesinya di Jepang. Jepang
hanya menerima tenaga luar negeri melalui program EPA. Oleh karena
itu melalui program EPA, perawat Indonesia mempunyai kesempatan
bekerja di Jepang.
Maka dari itu penyusuna makalah ini untuk mengetahui sejauh mana
culture shock yang dihadapi oleh perawat Indonesia yang bekerja di Jepang
dan bagaimana budaya pasien di Jepang. Selain itu juga untuk memahami
lebih dalam mengenai cara adaptasi antarbudaya menghadapi culture shock
Jepang pada perawat Indonesia yang bekerja di Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana peran perawat dalam budaya Jepang ?

i
 Bagaimana cara adaptasi perawat dalam budaya Jepang ?
 Bagaimana Peran Perawat dalam menerapkan transcultural nursing
dalam menangani pasien Jepang?

1.3 Tujuan

 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Anthropologi.

 Untuk mengetahui bagaimana peran perawat dalam budaya Jepang.

 Untuk mengetahui cara adaptasi perawat dalam budaya Jepang.

 Untuk mengetahui bagaimana peran perawat dalam menerapkan


transcultural nursing dalam menangani pasien Jepang.

1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan bisa bermanfaat baik dari segi praktis
maupun teoritis mengenai transcultural nursing di bidang Anthropologi.
 Manfaat Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada
masyarakat dalam hal ilmu Anthropology mengenai peran perawat dalam
transcultural nursing di Jepang .
 Manfaat Praktis
Bagi Instansi
Untuk menambah koleksi isi perpustakaan yang nantinya berguna bagi
jurusan keperawatan untuk menambah pengetahuan mengenai ilmu
Anthropology mengenai peran perawat dalam transcultural nursing di
Jepang.
Bagi Masyarakat
Untuk memberikan pengetahuan dan informasi mengenai seberapa besar
peran perawat dalam mengenai ilmu Anthropology mengenai peran
perawat dalam transcultural nursing di Jepang.

Bagi Tim Penulis


Untuk menambah pengetahuan dan wawasan untuk menerapkan ilmu
Anthropology mengenai peran perawat dalam transcultural nursing di

i
Jepang dan dibudaya lainnya yang wajib menerapkan adaptasi bagi
seorang perawat.

i
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Adaptasi Budaya


Jepang merupakan negara maju yang terletak di Asia Timur. Meskipun
terletak di Asia, Jepang memiliki bahasa, budaya, norma, dan aturan yang
berbeda dengan Indonesia. Perawat Indonesia yang datang ke Jepang melalui
program EPA menghadapi hal-hal baru tersebut di lingkungan barunya di
Jepang. Ketika seseorang berpindah ke tempat yang baru, maka lingkungan
familiarnya berubah menjadi asing, hal ini memicu terjadinya culture shock
(gegar budaya).
Menurut Bolen dalam Kirkeguard (2011), culture shock merupakan
reaksi emosional individu dan juga mengenai kesulitan yang dialaminya
selama berada di lingkungan baru. Menurut Samovar dalam Prayusti (2017),
culture shock merupakan hal umum yang dialami oleh setiap individu ketika
berada di lingkungan baru. Menurut Shiraev dan Levy (2012),
Pendatang di lingkungan baru mengalami kecemasan, kawatir pesimis
dan putus asa. Hal ini disebabkan karena bahasa, aturan dan konsekwensi
yang berbeda dari seharihari yang digunakan oleh pendatang di tanah airnya.
Culture shock atau gegar budaya menurut Samovat et.al dalam Prayusti
(2017) merupakan hal umum yang dialami oleh setiap individu ketika berada
di lingkungan baru karena culture shock merupakan bagian dari proses untuk
menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan budaya baru. Selain itu menurut
Bolen dalam Kirkegaard (2011), culture shock meliputi pada reaksi
emosional dan juga kesulitasn yang dialami individu selama berada di
lingkungan baru. Gejala-gejala culture shock yang tampak pada
perawatbiasanya, merasa rindu keluarga, kawan dan lain-lain yang biasanya
familiar.
Beberapa fase culture shock yang biasa di alami oleh perawat yang ada
di negara jepang adalah fase optimistic, yaitu menurut Samovar, Richard dan
Edwin dalam Prayusti (2017) adalah fase pertama yang berisi kegembiraan,
rasa penuh harapan sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya

i
baru. Hal ini terlihat pada tekad yang ada pada keempat perawat tersebut
untuk pergi dan bekerja di Jepang, meskipun memiliki rasa cemas mengetahui
kurangnya kemampuan bahasa Jepang dengan harapan kemampuan bahasa
Jepang dapat berkembang seiring adanya pelatihan bahasa Jepang yang
mereka ikuti selama enam bulan di Jepang.
Fase berikutnya dari fase culture shock adalah fase cultural, yakni fase
kedua, yaitu masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Biasanya
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Orang menjadi bingung dan
tercengang dan dapat menjadi frustasi dan mudah marah. (Samovar, Richard
dan Edwin dalam Prayusti, 2017). Pada fase ini tampak pada
Fase recovery, menurut Samovar, Richard dan Edwin dalam Prayusti
(2017) adalah fase ketiga, yaitu orang mulai mengerti budaya barunya. Pada
tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuain dan perubahan dalam
caranya menaggulangi budaya baru. Fase terakhir adalah fase penyesuaian,
Mereka merasa nyaman dengan kebiasaan, aturan, cara hidup dan nilai-nilai
yang ada di Jepang, termasuk di dalamnya adalah penggunaan bahasa Jepang.
Hal ini terjadi saat mereka sudah lulus dari ujian negara, mereka tidak lagi
tertekan dengan usaha belajar yang terus menurs dilakukan tiap hari untuk
mencapai target mereka yaitu lulus ujian negara, karena target tersebut sudah
tercapai. Situasi menjadi nyaman dan mereka sudah merasa terbiasa dengan
lingkungan barunya.
Menurut Ward dan Kennedy dalam Dakyaksini (2012) terdapat dua
bentuk adaptasi. Yaitu adaptasi sosiokultural dan adaptasi psikologis.
Adaptasi sosiokultural merupakan adaptasi yang menunjukkan kemampuan
untuk melakukan negosiasi interaksi dengan anggota budaya tuan rumah yang
baru. Pada keempat perawat tersebut, untuk mencapai fase terakhir dari gejala
culurre shock, yaitu fase penyeseuaian, telah melakukan adaptasi
sosiokultural.
Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya kemampuan bahasa Jepang
mereka yang mempermudah mereka untuk mampu berinterakasi dengan
anggota masyarakat di lingkungan kerja dan sekitar mereka. Bentuk adaptasi
yang kedua, adalah adaptasi psikologis, yakni adaptasi yang dipengaruhi oleh

i
pusat kendali internal, beberapa perubahan kehidupan, kontak dengan teman
sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan dukungan social dan
kesulitan lebih rendah dalam pengelolaan kontak social sehari-hari. (Ward
dan Kennedy dalam Dakyaksini, 2012).
Hal ini terlihat dari keterikatan yang kuat antara perawat dengan
anggota keluarga di tanah airnya, yang merupakan pusat kendali internal
mereka, sehingga menjadikan anggota keluarga sebagai salah satu motivasi
mereka untuk tetap bertahan dan menjadi sukses di Jepang.
2.2 Berkomunikasi
Jepang adalah negara yang mementingkan tata krama. Jika kamu
berencana untuk bekerja ke Jepang, ada baiknya mempelajari tata krama
untuk berkomunikasi di Jepang supaya tidak menimbulkan rasa salah paham,
terutama sewaktu berbicara dengan senior, atasan teman, dan lawan bicara
lainnya.
1. Tidak Memonopoli Pembicaraan
Pengendalian diri merupakan etika dalam percakapan. Misalnya
saat berbicara dengan orang asing  atau orang yang belum terlalu akrab,
sebaiknya tidak memonopoli pembicaraan dan memberikan kesempatan
pada orang lain untuk berbicara. Selain itu, juga dianjurkan untuk menjadi
pendengar yang baik dan tidak memotong pembicaraan orang.
2. Memperkenalkan Diri
Dalam pertemuan formal (misalnya: bisnis) dengan orang Jepang,
perkenalkanlah diri dengan sopan. Bisa dimulai dengan nama, universitas,
jenjang studi, jurusan dan hal yang ingin dibicarakan. Jika untuk
pertemuan bisnis, bisa menjelaskan tentang perusahaan dan jabatan yang
dipegang serta bisnis yang ingin dibicarakan.
3. Memberi Salam Secara Langsung
Dalam budaya Jepang, jika ada pertemuan yang sifatnya formal
atau penting, sebaiknya memberi salam secara langsung tanpa diwakilkan.
Dengan demikian, lawan bicara akan lebih mengingatnya. Tips ini penting
sewakmu menghadiri acara networking atau pekan karir.

i
4. Membungkuk
Berbeda dengan budaya barat, dimana jabat tangan adalah sapaan
yang umum, orang Jepang tidak menyentuh orang yang tidak dikenalnya,
sehingga jabat tangan tidaklah disarankan.
Membungkuk (atau dikenal dengan ‘ojigi’) merupakan hal formal
yang umum di Jepang. Pria dan wanita melakukan ‘ojigi’ dengan cara
berbeda: pria meletakkan tangan di samping paha sambil membungkuk,
sementara wanita meletakkan tangan di atas paha sewaktu
5. Terimakasih dan Minta Maaf
Dalam percakapan bahasa Jepang, terimakasih dan minta maaf
harus di ucapkan dengan tulus dan dibarengi dengan gerakan
membungkuk. Untuk permintaan maaf, ada beberapa kosa kata yang
digunakan yang digunakan dalam permintaan maaf. Kita pun harus hati-
hati memilih kata tepat untuk digunakan membungkuk.
Dalam komunikasi, kita terkadang menemukan konflik yang tidak
terhindarkan. Untuk mencegah hal itu terjadi, orang Jepang
memanfaatkan "tatemae", yang berarti "berperilaku sesuai norma sosial".
Pada dasarnya, "tatemae" adalah tindakan yang dilakukan hanya untuk
terkesan "baik". Jadi, orang Jepang berusaha untuk berbicara dan
bertindak sebaik mungkin agar terhindar dari masalah dengan cara apa
pun, meski terkadang mereka harus berbohong demi menjaga hubungan
antarpribadi. Pada artikel ini, penulis akan mengulas tentang "tatemae"
sambil menjelaskan dan menganalisis keadaan masyarakat, serta
karakteristik orang Jepang yang sesungguhnya, dari perspektif penulis
(orang Jepang) yang lahir dan besar di negara tersebut. Orang Jepang
lebih memprioritaskan bertindak sebagai sebuah kelompok daripada
bertindak secara individu. Contohnya, ketika menghadapi situasi tertentu,
jika sebagian besar orang merespon dengan cara yang sama, maka respon
itu dianggap tepat. Hal itu terjadi karena sejak dulu pendidikan Jepang
selalu menganjurkan untuk berperilaku berdasarkan kelompok. Artinya,

i
siapa pun yang bertindak berbeda dari kebanyakan orang, sering kali
dipandang rendah.
Meskipun informasi atau tindakan tersebut salah, semua
tetap dianggap benar jika mayoritas orang menganggapnya
demikian. Memang perlu waktu, tetapi kebenaran pada akhirnya pasti
akan terungkap. Namun, orang-orang yang dibesarkan dengan ideologi
seperti itu sering meyakini bahwa mayoritas-lah yang benar dan minoritas
salah. Seiring berkembangnya era globalisasi, ideologi ini perlahan mulai
dipertimbangkan kembali dalam beberapa tahun terakhir, tetapi konsep
"berbeda dari yang lain" masih belum tersebar luas di Jepang.
Di sisi lain, ada konsep "migi e narae" yang melahirkan kebiasaan
luar biasa, yaitu mematuhi peraturan di tempat umum. Berbaris rapi saat
menunggu kereta dan mendahulukan penumpang yang turun sudah
merupakan hal yang wajar bagi orang Jepang. Bahkan, ketika naik
eskalator, mereka membiarkan satu sisi kosong untuk digunakan orang
yang sedang terburu-buru. Mengantre di restoran atau saat membayar di
mini market juga bukanlah pemandangan yang aneh di negara ini, karena
orang Jepang selalu mengikuti aturan di mana pun mereka berada untuk
menciptakan lingkungan yang nyaman bagi berbagai pihak. Dengan
demikian, ideologi untuk bertindak secara berkelompok yang dibahas
sebelumnya tidak hanya memiliki sisi negatif, tetapi juga sisi positif.
2.3 Kebersihan
Kepedulian pada masyarakat, pada kasus Jepang, menjadi sangat
menular hingga ke taraf pragmatis, seperti memungut sampah sendiri.
Contoh ritual pemurnian bisa ditemukan dalam keseharian. Sebelum
memasuki kuil Shinto, pemuja harus mencuci tangan dan mulut pada wastafel
batu di gerbang.
Banyak orang Jepang membawa mobil baru mereka ke kuil untuk
dimurnikan oleh pemuka agama. Dia kemudian menggunakan semacam
kemoceng bernama onusa yang dilambaikan ke sekitar mobil. Pintu, kap,
hingga bagasi mobil lantas dibuka agar ruang dalam mobil dimurnikan. Sang
pemuka agama juga menyucikan orang dengan melambaikan manusia dengan

i
melambaikan onusa di sisi mereka. Dia bahkan menggunakannya untuk
menyucikan tanah tempat proyek gedung baru akan dimulai. Jika Anda
tinggal di Jepang, Anda akan mulai menerapkan gaya hidup yang bersih.
Anda akan berhenti menyemprotkan isi hidung di depan umum,
menggunakan pembersih tangan yang tersedia untuk umum di toko dan
kantor, serta memilah sampah rumah tangga ke 10 jenis sampah guna
memudahkan daur ulang.
2.4 Hubungan Antara Junior dan Senior
Hubungan vertikal ini di dalam kelompok masyarakat Jepang dijadikan
sebagai prinsip penyatuan anggota masyarakat. Karena itu, meskipun
seseorang memiliki jabatan atau kemampuan yang sama, namun kalau sudah
dipengaruhi oleh hubungan vertikal maka akan melahirkan perbedaan.
Budaya yang demikian menghasilkan kesadaran dari setiap individu berkaitan
dengan posisinya dalam berbagai hubungan sosial. Hubungan antara senior-
yunior (senpai-kohai) menduduki posisi yang sangat penting dalam
komunikasi orang Jepang, dan salah satu bentuk penghargaan yunior kepada
seniornya ditunjukkan melalui penggunaan bahasa sopan atau ragam hormat.
Secara konkrit, budaya senior-yunior ini tercermin di antaranya di lingkungan
pendidikan, grup atau organisasi, pekerjaan dan keluarga. Selain lingkungan
keluarga, hubungan senpai-kohai ditunjukkan melalui sikap dan tindakan
seorang senior untuk membantu, menjaga, dan membimbing juniornya.
Sebaliknya, junior juga harus mematuhi bimbingan, instruksi, dan
perintah dari senior mereka. Selain itu, junior juga harus menghormati dan
menghargai senior mereka melalui penggunaan bahasa yang sopan, yaitu
teineigo dan keigo, serta dan berhati-hati dalam bertutur kata.
2.5 Hubungan Antar Gender
Penggambaran representasi yang berbeda antara tokoh perempuan dan
tokoh laki-laki terkait masalah gender yang mencakup perbedaan ruang
aktivitas, penggambaran karakter, serta peran/tanggung jawab. Pada ruang
aktivitas, diperoleh penggambaran bahwa tokoh perempuan beraktivitas di
lingkungan rumah tangga (domestik) dengan melakukan kegiatan seperti
menenun, memasak, membersihkan rumah, membesarkan dan mendidik anak.

i
Pada beberapa cerita, kegiatan luar rumah yang dilakukan oleh tokoh
perempuan terbatas pada pekerjaan di ladang. Sedangkan para tokoh laki-laki
dikisahkan beraktivitas di lingkungan publik, seperti menebang kayu, menjual
barang ke kota, merantau, dan mengolah sawah/ladang. Kemudian pada
tataran karakter, tokoh perempuan tergambar sebagai sosok yang cenderung
pasif, patuh, dan eksistensinya tergantung pada tokoh lain. Selain itu, tokoh
perempuan tidak memiliki keberanian serta keleluasaan dalam mengutarakan
pendapat, opini, serta perasaan pribadinya secara terbuka. Sedangkan pada
tokoh laki-laki, secara umum tergambar sebagai sosok yang aktif dan terbuka
dalam menyampaikan pandangan dan keinginannya.
Dalam lingkup keluarga, tokoh laki-laki memiliki peran sebagai kepala
keluarga yang berkedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh
perempuan. Tokoh laki-laki digambarkan memiliki otoritas dalam mengambil
keputusan bagi seluruh anggota keluarga. Sedangkan peran dan tanggung
jawab perempuan ada pada lingkup pengurusan rumah tangga, mendidik,
membesarkan anak, serta mengabdikan diri mereka pada tokoh laki-laki
sebagai bagian dari nilai kepatutan.

i
BAB 3
PEMBAHASAN

Pemerintah Jepang telah membuka kesempatan tenaga kerja kepada warga


negara Indonesia yang ingin bekerja di negara tersebut. Seiring dengan tingginya
kebutuhan pengasuh usia lanjut (careworker) di Jepang, pada tahun 2013 terdapat
sekitar 1.800.000 careworker berkualifikasi untuk lansia. Selain itu sejak tahun
2008 dalam rangka program EPA, pemerintah jepang telah membuka jalan bagi
perawat Indonesia untuk mendapatkan lisensi perawat atau careworker sesuai
dengan jenjang karir profesinya di Jepang.
Salah satu hal menarik bagi perawat Indonesia untuk bekerja di Jepang
adalah, gaji perawat maupun careworker dibayar setara dengan gaji orang Jepang
yang status pekerjaannya sama, dan juga mendapat support dari fasilitas penerima
agar dapat lulus dalam mengikuti ujian negara yang dilakukan di Jepang. Namun
terdapat tantangan bagi peserta EPA atau yang disebut calon perawat atau calon
Kaigofukushishi yaitu, harus berusaha keras agar lulus ujian negara keperawatan
sambil bekerja di fasilitas penerima sebagai asisten perawat atau careworker.
Sedangkan jika tidak ujian negara dalam kurun waktu tiga tahun (perawat) atau
empat tahun (careworker), maka peserta tersebut harus pulang ke Indonesia dan
tidak dapat kembali ke Jepang dengan mengikuti program EPA lagi.
Jepang merupakan negara maju yang terletak di Asia Timur. Meskipun
terletak di Asia, Jepang juga memiliki bahasa, norma, budaya, dan aturan yang
berbeda debfab Indonesia. Perawat Indonesia yang bekerja di Jepang mengalami
hal-hal baru di lingkungan barunya yaitu, di Jepang. Setiap individu di lingkungan
baru tentunya dituntut untuk bisa berusaha dalam menyesuaikan dri di lingkungan
baru. Jika pendatang yang telah familiar dengan budaya baru, misalnya seperti
telah mengetahui dari media atau sebelumnya pernah berinteraksi, maka hal
tersebut akan mempermudah dalam beradaptasi, karena setidaknya telah memiliki
gambaran tentang lingkungan barunya.

i
Ketika pertama kali perawat Indonesia tiba di Jepang tantangan yang
paling mendasar adalah bahasa, diantara mereka ada yang sudah belajar bahasa
Jepang sebelum berangkat ke Jepang dan ada yang belum sama sekali. Hal
tersebut yang menjadi kendala mereka dalam berkomunikasi sehari-hari,
menyusun catatan keperawatan atau asuhan keperawatan, dan lulus ujian negara,
sehingga mereka merasa resah dengan kemampuan berbahasanya. Sehingga
beberapa dari mereka mengikuti pelatihan bahasa Jepang, dan setelah 6 bulan
ditempatkan di rumah sakit. Namun setelah mengikuti pelatihan mereka hanya
bisa mengerti sedikit bahasa Jepang. Teman-teman, senior-senior, dan sensie
saling mendukung agar mereka dapat langsung lulus pada ujian negara yang
pertama kali. Sehingga di sana mereka bekerja dan belajar, di tempat kerja mereka
mendapat kesempatan belajar sekitar satu jam. Selain itu dalam berkomunikasi
negara Jepang memuliki budaya yang juga harus di lakukan perawat Indonesia
yang bekerja di Jepang yang merupakan tata krama agar tidak terjadi
kesalahpahaman ketika berkimunikasi. Diantara budayanya adalah tidak
memonopoli pembicaraan, memperkenalkan diri sebelum berkomunikasi dengan
orang yang baru dikenal, memberi salam, membungkuk seperti halnya di
Indonesia yaitu berjabat tangan, sekaligus mengucapkan terima kasih atau
meminta maaf.
Masyarakat Jepang menganggap bahwa Agama merupakan suatu hal yang
sangat pribadi, jadi menanyakan agama bagi kepada orang Jepang menyebabkan
mereka berfikir bahwa seseorang tersebut sangat selektif dalam memilih teman.
Akan tetapi apabila perawat Indonesia akan melaksanakan ibadah mereka maka
pasien, teman, senior mereka sangat menghargai hal tersebut, memberikan
kesempatan untuk beribadah, bahkan mereka juga mengingatkan perawat
Indonesia bahwa sudah memasuki waktu beribadah.
Jepang terkenal dengan makanan yang segar dengan cita rasa masih asli,
mungkin orang Indonesia menyebutnya dengan mentah atau setengah matang.
Akan tetapi makan Jepang disebut sebagai The Healthy food in The World karena
kesegarannya. Dari semua masakan Jepang yang paling sulit ditemukan adalah ke
Halalan, karena kebanyakan komposisinya menggunakan bahan dari daging babi.
Oleh karena itu kebanyakan perawat Indonesia yang bekerja di Jepang terutama

i
yang muslim mereka lebih suka memasak sendiri, selain terjamin kehalalannya
mereka juga bisa meminimalisir pengeluaran.

Budaya ketika makan hal yang kurang sopan dan tidak boleh dilakukan
adalah bersendawa, menancapkan sumpit di nasi, menjilat sumpit, meletakkan
sumpit secara silang, mengaduk sup dengan sumpit, menerima makanan dari
orang lain, menggali makanan, menggunakan untuk menunjuk orang dan
memotong makanan. Hal yang mungkin berbeda dengan budaya Indonesia adalah
mengeluarkan suara saat makan sup merupakan bentuk rasa senang dan
menikmati makanan, jika di Indonesia mungkin itu adalah hal yang kurang sopan.
Dan ketika makan tidak banyak berbicara, mereka fokus untuk makan, sehingga
tempat makan sangat hening, hal ini berbeda sangat jauh dengan di Indonesia
Jepang sebagai megara industri maju, gaya hidup yang jauh berbeda
dengan Indonesia. Budaya kerja orang Jepang yang selalu mengedepankan
klualitas profesionalisme dan kerjasama tim dengan semangat tinggi, disiplin dan
tepat waktu. Sehingga bagi perawat yang bekerja di Jepang mereka harus bisa
menyesuaikan diri, tepat waktu dan cekatan dalam berbagai hal, saat bekerja tidak
boleh bersantia-santai, dan saat waktunya istirahat maka harus benar-benar
istirahat.
Negara Jepang merupakan salah satu negara yang sangat bersih, bahkan
tong sampah dan penyapu jalanan sangat jarang dijumpai. Orang-rang Jepang
secara rutin membersihkan lingkungan disekitar mereka, hal tersebut sudah
dibiasakan sejak masih anak-anak. Sehingga ketika perawat Indonesia bekerja di
Jepang maka mereka juga terbiasa membiasakan hidup bersih, lingkungan bersih.
Baik ketika berada di rumah sakit, di jalan, maupun di rumah atau di asrama
mereka. Selain itu ketika masih baru di Jepang mereka menganggap bahwa salah
satu karakter orang Jepang adalah, mereka tidak ramah. Namun, seiring
berjalannya waktu akhirnya mereka mengetahui karakter orang jepang, bahwa
orang jepang sangat ramah, baik, dan peduli kepada mereka ketika sudah
mempercayainya.
Hubungan antara senior-yunior (senpai-kohai) menduduki posisi yang
sangat penting dalam adaptasi sebagai perawat indonesia yang bekerja di Jepang.

i
Dalam berkomunikasi salah satu bentuk penghargaan yunior kepada seniornya
ditunjukkan melalui penggunaan bahasa sopan atau ragam hormat. Mereka saling
menghargai satu sama lain, tidak semena-mena terhadap juniornya. Dan mereka
juka saling mendukung dalam pekerjaannya sebagai sesama perawat. Sedangkan
hubungan antar gender perawat di Jepang mereka saling meghargai dan
menghormati satu sama lain, dan mampu bekerjasama dengan baik dalam
pekerjaannya. Perawat di Jepang tidak membeda-bedakan dan tidak terjadi
kesenjangan antar gender.
Banyak perbedaan antara budaya Indonesia dan budaya Jepang, maka dari
itu mau tidak mau perawat Indonesia yang bekerja di Jepang harus beradaptasi
dengan budaya baru, lingkungan baru, dan kebiasaan baru yang ada di Jepang.

BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Jepang merupakan negara maju yang terletak di Asia Timur. Meskipun
terletak di Asia, Jepang juga memiliki bahasa, norma, budaya, dan aturan
yang berbeda jauh dari Indonesia. Perawat Indonesia yang bekerja di Jepang
mengalami hal-hal baru di lingkungan barunya.
Setiap individu di lingkungan baru tentunya dituntut untuk bisa berusaha
dalam menyesuaikan dri di lingkungan baru. Ketika pertama kali perawat
Indonesia tiba di Jepang tantangan yang paling mendasar adalah bahasa,
diantara mereka ada yang sudah belajar bahasa Jepang sebelum berangkat ke
Jepang dan ada yang belum sama sekali. Hal tersebut yang menjadi kendala
mereka dalam berkomunikasi sehari-hari, menyusun catatan keperawatan atau
asuhan keperawatan, dan lulus ujian negara, sehingga mereka merasa resah
dengan kemampuan berbahasanya. Sehingga beberapa dari mereka mengikuti
pelatihan bahasa Jepang, dan setelah 6 bulan ditempatkan di rumah sakit.
Selain itu dalam berkomunikasi negara Jepang memuliki budaya yang juga
harus di lakukan perawat Indonesia yang bekerja di Jepang yang merupakan
tata krama agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika berkimunikasi. Diantara
budayanya adalah tidak memonopoli pembicaraan, memperkenalkan diri

i
sebelum berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, memberi salam,
membungkuk seperti halnya di Indonesia yaitu berjabat tangan, sekaligus
mengucapkan terima kasih atau meminta maaf.
4.2. Saran
Dari masalah di atas ketika seorang perawat Indonesia berada di
jepang dan titik masalah dari mereka adalah kebahasaan mereka yang awal
menggunakan Bahasa Indonesia jadi harus menggunakan Bahasa jepang juga
nah menurut semua itu akan lebih baik atau lebih mudah jika kita mengikuti
Bahasa mereka yang sedikit lebih mudah di pahami oleh para perawat
Indonesia ketika belajar jadi, proses bersosialisasi mereka akan sedikit lebih
mudah dan tidak membebani prioritas utama mereka sebagai perawat di sana.

i
DAFTAR RUJUKAN

 Inazo, Nitobe. 2015. Bushido. The Soul of Samurai. Jakarta. Daras


BOOKS Lawanda, Ike Iswary. 2009. Matsuri dan Kebudayaan Korporasi
Jepang. ILUNI Kajian Wilayah Jepang Press. Jakarta.
 HC Indonesia. 2019. Tata Krama di Jepang,
(https://www.hotcourses.co.id/study-in-japan/destination-guides/tata-
krama-di-jepang/), diakses pada 02 Maret 2021
 Tribunneews. 2019. Pengalaman Perawat dan Caregiver Bekerja di
Jepang, (https://wartakota-tribunnews-
com.cdn.ampproject.org/v/s/wartakota.tribunnews.com/amp/2019/03/19/p
engalaman-perawat-dan-caregiver-bekerja-di-jepang?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D
%3D#aoh=16141609998457&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https
%3A%2F%2Fwartakota.tribunnews.com
%2F2019%2F03%2F19%2Fpengalaman-perawat-dan-caregiver-bekerja-
di-jepang), diakses pada 28 Februari 2021
 Nugraha, S. 2018. Perawat Migran Indonesia di Jepang Gajinya Tinggi,
Apakah Mereka Bahagia, (https://theconversation-
com.cdn.ampproject.org/v/s/theconversation.com/amp/perawat-migran-
indonesia-di-jepang-gajinya-tinggi-apakah-mereka-bahagia-90841?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D
%3D#aoh=16141613059554&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https
%3A%2F%2Ftheconversation.com%2Fperawat-migran-indonesia-di-
jepang-gajinya-tinggi-apakah-mereka-bahagia-90841), diakses pada 28
Februari 2021
 Powell, S. J. & Cabello, A. M. 2019. Hal-hal yang Bisa Diajarkan Jepang
Soal Kebersihan Pada Khalayak Dunia,
(https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-49956017#:~:text=Shinto
%20mengajarkan%20kebersihan%20adalah%20ketuhanan,ketidaksucian
%20atau%20kotoran%2C%20lawannya%20kesucian), diakses pada 02
Maret 2021
 Handayani, Ratna. T. 2018. Adaptasi Antar Budaya Menghadapi Culture
Shock di Jepang. Universitas Bina Nusantara. 19 (10) : (26 – 33).

i
 Handoko, Kurnia. T. 2014. Transkultural Nursing.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahU
KEwjc_rKtvJDvAhV4ILcAHS42A_QQFjABegQIARAD&url=https%3A
%2F%2Fdocplayer.info%2F72940804-Tugas-kelompok-ikd-1-
transcultural-nursing.html&usg=AOvVaw2Od9JCtkdQaA34hRmWiszj.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Al – Irsyad Al – Islamiyyah. 2014 : 18
(3).
 Andriansyah. T. 2012. Keragaman Budaya dan Perpespektif Transkultural
dalam Keperawatan. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahU
KEwjc_rKtvJDvAhV4ILcAHS42A_QQFjADegQIBxAD&url=https%3A
%2F%2Fwww.slideshare.net%2FAdiAdriansyah1%2Fmakalah-
transkultural-komplit&usg=AOvVaw3fI4enAoWvowaAAvgZu-HL.
Diakse 26 Februari 2012.

Anda mungkin juga menyukai