Anda di halaman 1dari 9

SIDAK LDKS

Bulan Oktober merupakan agenda pelaksaanan LDKS OSIS Periode


2015/2016. Rapat pembagian tugas bersama pembina telah dilakukan. Semua
pengurus OSIS sibuk dengan tugasnya masing-masing. Harapan kami sebagai OSIS
periode 2014/2015 adalah LDKS kali ini akan memberikan kesan yang mendalam
bagi calon pengurus OSIS di masa yang akan datang, bukan hanya sebagai sarana
pelatihan jiwa kepemimpinan mereka, tetapi mengajarkan mereka untuk berbagi ,
sabar, dan saling percaya bahwa sebuah tim akan sukses apabila mereka jujur, bekerja
keras, dan saling menopang satu sama lain.

Hari ini aku sebagai seksi dokumentasi diberi tugas untuk menemani dan
mengabadikan kegiatan hari ini bersama Wafa, ketua OSIS dan juga seksi outbond.
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah meminta surat perizinan keluar area
pesantren kepada ustadzah keamanan. Tetapi aku tahu bahwa hal ini akan menjadi
rintangan karena surat perizinan tidak akan semudah itu diberikan melihat hampir
seluruh pengurus OSIS sudah meminta perizinan terlebih dahulu seusai sarapan pagi
dengan urusannya masing-masing. Aku dan Wafa mencoba untuk bernegosiasi
dengan ketua ustadzah bagian keamanan, Kak Putty Melisa. Semua santriwati
pesantrenku tahu bahwa bernegosiasi perihal perizinan keluar pesantren dengan Kak
Putty adalah hal yang mustahil. Karena jika Kak Putty tidak mengizinkan, maka
seluruh ustadzah pengabdian maupun ustadzah pusat pun tidak akan memberikannya.
Setelah beberapa menit kami berdiskusi dengan alot bahkan Kak Putty tetap teguh
terhadap keputusan awal yaitu tidak akan memberikan surat perizinan walaupun ini
demi kepentingan acara kami. Bahkan Kak Putty sempat mengabaikan kami ketika
Wafa memanggil ia yang sedang berjalan kembali ke ruangan ustadzah. Aku tahu
akhirnya ini akan seperti.

Setelah berdiskusi, kami sepakat memakai surat yang ditulis tangan oleh
pembina OSIS, Bu Maya yang memang sebelumnya sudah kita antisipasi. Surat
tersebut bisa dipakai dengan syarat ada salah seorang ustadzah yang akan
mendampingi kami selama sidak lapangan arena outbond yang akan dilalui.
Kemudian kami menuju kantor ustadzah pusat dan berbicara langsung dengan Ummu
Umayyah. Walaupun sebelumnya Kak Putty yang dengan tegas tidak memberikan
izin, berbeda dengan Ummu Umayyah yang memang dikenal mengerti akan
kebutuhan dan keluh kesah para santriwati pesantrenku. Waffa berbicara mengenai
surat yang diberikan oleh Bu Maya untuk memberikan kami izin melakukan sidak
lapangan. Setelah mempertimbangkannya, akhirnya Ummu Umayyah memberikan
izin dengana ketentuan kami harus kembali ke pesantren pukul 3 sore. Ummu
Umayyah pun tak lupa memberikan kami nasihat untuk berhati-hati selama
perjalanan karena Ummu Umayyah tah bahwa kami berdua tidak terlalu mengenal
kawasan sekitar pesantren kami. Memang keluar dari area pesantren adalah hal yang
paling sulit bahkan kita harus melewati tahap-tahap yang cukup rumit dan juga harus
disertai alasan yang cukup masuk akal dan disertai bukti pendamping.

Ummu Umayyah kemudian mengantar kami ke kantor ustadzah 2 untuk


mencari ustadzah yang akan mendampingi kami. Tetapi saat sampai di sana, tidak ada
seorang pun di kantor itu.

“Ummu, sepengetahuan kami ustadzah pengabdian sedang ada rapat dengan mudir
SMA di kantor ikhwan. Tapi ustadzah bagian ruang tamu ada di kamarnya, Ummu.
Mungkin Kak Agnia bisa diminta nememin kita.”

“Oh iya, benar. Ummu juga harus hadir di rapat itu. Kalau gitu tunggu sebentar,
Ummu buat suratnya dulu nanti kalian ke Kak Agnia sendiri, gak apa-apa?”

“Gak apa-apa Um.”

Ummu Umayyah kemudian kembali ke kantor ustadzah pusat dan kami menunggu di
teras kantor ustadzah 2. Tidak lama kemudian, Ummu Umayyah kembali dengan
surat perizinan dan memberikannya kepada kami.
“Hati-hati ya, ini nanti kasih ke satpam dan titip salam ke Ustadzah Agnia!”

“Um, kalo kita pergi lewat gerbang belakang boleh? Soalnya biar lebih cepet.”

“Oh iya boleh, tapi kalo urusannya udah selesai harus segera kembali ke ma’had ya.”

Kami tersenyum tanda mengiyakan permintaannya.

Alhamdulillah, akhirnya kami dapat izin juga.

Kami pergi menemui Kak Agnia perihal amanat Ummu Umayyah dengan
meminta Kak Agnia menemani kami sidak lapangan arena outbond. Kak Agnia
menyanggupi amanat tersebut, tetapi Kak Agnia mengatakan bahwa dia tidak akan
menemani kami hingga selesai karena mengingat Kak Agnia adalah pembina halaqoh
tahfidz kelas 7 dan kegiatan tahfidz dilaksanakan pada siang hari setelah shalat
dzuhur dan ashar. Kami pun tak mempermasalahkan hal itu, karena sudah tugasnya
untuk tetap mengajar halaqoh tahfidz yang merupakan pekerjaannya.

Setelah proses perizinan kesantrian terlewati, aku, Wafa, dan Kak Agnia
mulai menelusuri arena outbond yang dimulai dari area perbukitan di belakang
pesantrenku. Kami menaiki bukit tersebut yang sebelumnya memang sudah menjadi
langganan area outbond pesantrenku. Bukit ini cocok karena pada game pertama
nanti setiap kelompok diberi 3 balon yang berisi gas helium. Mereka diberi tugas
untuk menjaga ketiga balon tersebut agar sampai di tujuan terakhir acara outbond.
Setiap balon yang meletus di perjalanan nant akan dikenakan hukuman di area
berikutnya. Sedangkan untuk mengawali sebuah permainan, mereka diminta untuk
memakan 3 buah permen karet dengan tujuan mengisi energi yang berasal dari
glukosa permen karet tersebut. Nantinya satu permen karet akan diberikan ke anggota
paling belakang barisan kemudian dikunyah sebanyak 3 kali dan dioper ke anggota
yang ada di depannya. Dua permen karet akan menyusul diberikan setelah 2 anggota
atau 3 anggota regu mengunyah permen karet yang sebelumnya diberikan tanpa harus
membuangnya. Kami berdiskusi berapa anggota yang akan ada di setiap area outbond
agar tidak terjadi penumpukkan panitia di setiap arenanya.

Setelah berdiskusi, kami mengikat pita kuning ke salah satu pohon sebagai
tanda untuk memudahkan anggota seksi outbond menata area tersebut. Selanjutnya
kami melanjutkan perjalanan ke berbagai tempat yang memang sudah kami pikirkan,
seperti saluran air yang berada di belakang musholla permukiman warga, atap rumah
kosong yang sudah kami mintai izin kepada pemilik rumahnya, jalan setapak dekat
kuburan yang memang sering dipakai pada acara LDKS sebelumnya, dan dibelakang
kandang ayam milik pesantrenku. Semua tempat yang sudah kami pilih lokasinya
memang dekat dengan pesantren. Mungkin hanya sekitar 10 menit untuk berjalan
kaki.

Waktu tak terasa berlalu, sudah 2 jam kami berjalan dan menandai area yang
memang sudah kami rencanakan sebelumnya agar dapat menghemat waktu yang
diberikan. Ketika siang hari dan terdengar suara adzan berkumandang, kami bertiga
segera bergegas mencari mushollah terdekat untuk melaksanakan sholat dzuhur.

Setelah melaksanakan sholat dzuhur, Kak Agnia berpamitan untuk kembali ke


pesantren. Aku dan Waffa berterima kasih kepada Kak Agnia karena telah
menyempatkan waktunya untuk menemani kami. Dalam perjalanan pun Kak Agnia
banyak membantu dengan memberi saran dan bercerita tentang masa lalunya yang
juga pernah menjadi anggota OSIS. Rasanya seperti dapat pencerahan tentang
kegiatan outbond yang memang dirasa agak gamang.

Kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri area di belakan mall Asia Plaza.
Memang kawasan pesantrenku cukup strategis karena berada di tengah kota. Dengan
begitu para orangtua santri yang ingin menjenguk anaknya bisa sekaligus berlibur
dengan mengunjungi pusat perbelanjaan, tempat rekreasi air, dan juga bisa menikmati
pemandangan dari atas Gunung Galunggung. Wisata Gunung Galunggung pun
mudah untuk diakses karena hanya perlu menaiki sepuluh ribu anak tangga. Lokasi
anak tangganya pun dapat diakses menggunakan motor atau mobil pribadi. Tidak
hanya itu, akses menuju rumah sakit umum daerah maupun swasta sangatlah dekat.
Banyak rumah makan tersebar di pusat kota yang menyajikan makanan khas sunda,
seafood, masakan padang, bahkan makanan benua Eropa serta Korea yang saat ini
digemari oleh para remaja. Rumah makan masakan Korea-lah yang paling dicari,
karena rasa yang disajikan tidak terlalu banyak perbedaan oleh lidah orang Indonesia.
Terlebih lagi remaja zaman sekarang rasanya sudah terhipnotis oleh korea wave.

Langit terlihat mendung. Karena sudah mulai memasuki musim hujan, kami
memang membawa payung untuk berjaga-jaga. Merasa bahwa arena yang sudah kami
tandai mungkin terlalu dekat dari kawasan pesantren. Akhirnya kami memutuskan
untuk berjalan tak tentu arah. Melewati sekitar 3 komplek perumahan kecil. Agak
sulit untuk mencari permukiman warga biasa di luar area sebelumnya. Walaupun
berada di pusat kota, di sekitar pesantren masih banyak area persawahan yang
terbentang sangat luas. Berbeda sekali nuansanya dibanding dengan pusat ibukota
Jakarta yang rasanya seperti sudah tidak ada lagi ruang gerak hanya untuk
membangun sebuah taman kecil sebagai tempat bermain anak-anak. Mungkin anak-
anak Jakarta hanya bisa bermain di area sekolahnya saja dan belum tentu setiap
sekolah punya taman yang bisa digunakan bermain selain lapangan sekolah mereka.
Bahkan bangunan rumah banyak didirikan di pinggir sungai karena mahalnya harga
tanah di Jakarta.

Setelah berjalan kira-kira 15 menit, kami sepakat untuk mencari daerah


persawahan terdekat dari tempat kami berada.

“ Permisi bu, mau numpang nanya, tempat sawah dimana ya, bu? ” tanyaku kepada
salah seorang penjaga warung.

“ Wah neng, kalo mau ke sawah jalannya harus muter, lewat jalan raya. ”

“ Ada jalan pintasnya gak, bu? ”


“ Ada neng, tapi lewat belakang rumah warga. ”

Pemilik warung tersebut menunjukkan arah jalan yang harus kami lewati. Kemudian
kami berterima kasih kepadanya dan melanjutkan perjalanan menuju area
persawahan.

Untuk pertama kalinya aku memasuki area persawahan yang membentang


begitu luasnya. Tak lupa aku mengabadikan pemandangan ini dengan kamera yang
kubawa sambil tetap melanjutkan perjalanan menapaki jalan setapak di pinggir
sawah.

“ Qoth, kita ke daerah sana yuk! Kayaknya cocok buat arena ‘icip-icip saladaku’. ”
kata Wafa sambil menunjuk sebuah gubuk yang berada di tengah sawah sebelah kiri
tempatku berdiri.

“ Lewat mana, Waf? Ga ada jalan kesana. ”

Aku menolak gagasan Wafa itu. Memang mustahil melihat tidak ada jalan setapak
menuju gubuk sederhana itu.

“ Kita coba dulu. ”

Aku mengalah dan mengikuti langkah Wafa menuju gubuk. Dan benar saja, gubuk itu
memang tidak bisa dijangkau.

Ketika kami memutuskan untuk menaiki bukit di dekat sana dan sepakat
untuk menandai bukit tersebut untuk area outbond tiba-tiba hujan turun deras.

“ Waf, kita harus pulang. ” kataku saat melihat arloji milikku menunjukkan pukul 1
siang.

“ Qonitha, bahaya kalau kita berjalan di tengah sawah saat hujan deras kayak gini.
Apalagi anginnya kencang begini. Lebih baik kita tunggu sampai gak terlalu deras. ”
Aku dan Wafa berteduh di bawah pohon di dekat bukit yang sebelumnya kami
singgahi. Setelah 15 menit, hujan mulai reda kami memakai payung untuk
melanjutkan perjalanan kembali ke pesantren.

Karena hujan deras menyebabkan jalan setapak yang kami lalui menjadi licin.
Byuuurrrr, aku terpeleset jatuh memasuki saluran air saat mencoba melintasi batang
pohon yang dijadikan jembatan penghubung jalan. Seluruh pakaianku basah dan
kotor akibat tanah sawah. Kemudian Wafa menolongku.

“ Qoth, kamu gak apa-apa? Perhatikan langkahmu.”

Mendengar perkataan Wafa, aku menyadari kakiku terluka dan mengeluarkan darah
yang cukup banyak. Wafa langsung mengeluarkan sapu tangan dari kantong baju
miliknya lalu melilitkannya tepat di atas lukaku.

“ Masih kuat jalan? Tahan sebentar, nanti kita beli betadine di warung.”

Aku menganggukkan kepalaku dan menangis menahan perih. Perut terasa lapar,
badan lelah, dan juga pakaianku yang benar-benar kotor dan basah membuatku sangat
kesal dibuatnya.

“Waf, kita harus pulang.”

Aku terus menangis dan merengek kepada Wafa.

“Qoth, jangan panik. Aku juga pengen cepetan pulang. Makanya jalannya cepetan,
tahan sakitnya.”

Aku kesal dengan perkataan Wafa. Tetapi aku tahu bahwa aku harus menghilangkan
rasa ego dalam diriku.

Aku terus memperhatikan langkah kakiku. Berdzikir di dalam hati dan berdoa
semoga kami bisa kembali ke pesantren dengan selamat. Tetapi seketika Wafa
berhenti dan menyadari bahwa jalan yang kita lalui buntu, padahal kita sudah melihat
pemukiman warga berada sekitar 300 meter dari hadapan kami.
“ Waf, kita harus muter jalan lewat sawah sebelah sana, tapi bakal jauh banget kalau
kita muter. Gimana?” tanyaku sambil menahan perih.

“ Ga ada cara lain, kita harus keluar dari sini.”

Kami memutar jalan melewati tempat aku terpeleset tadi. Tetapi, seketika Wafa
berteriak dan berlari memutar arah. Aku mencoba mengejar Wafa semampuku.

“Waf, tunggu! Jangan lari dong!”

Aku terus memanggil Wafa dan berjalan tertatih-tatih mengikutinya. Duuuaaarrrr.


Seketika aku berteriak saat suara petir yang sangat kencang mengagetkanku. Aku
terpaksa berlari, sungguh aku sangat takut di tengah sawah seperti ini.

Ya Allah, kenapa begini banget sih? Batinku.

Aku terus berteriak memanggil Wafa tetapi dia tidak menghiraukanku.

Wafa menerobos tanaman padi di area sawah. Sungguh larinya begitu cepat dan
memaksaku untuk terus mengikutinya dan akhirnya sampai di jalan setapak dekat
rumah warga yang kami lihat sebelumnya.

“ Waf, kamu kenapa sih? Aku capek, kamu gak sadar kalau kakiku sakit, malah lari
kencang banget gitu. Liat tuh, kamu ngerusak sawah orang! ”

Sungguh aku kesal dibuatnya. Aku terduduk lemas di sampingnya sambil melihat
keadaan lukaku. Dan benar, sapu tangan yang melilitnya pun sudah dipenuhi darah.

“ Maaf Qoth, tapi tadi aku lihat ular bergerak ke arah kita. Ularnya besar dan aku
takut. Sekali lagi maaf. ”

Aku membelalakkan mata menatap Wafa tak percaya lalu menghela nafas. Tindakan
Wafa itu benar, tak sepatutnya aku menyalahkannya. Aku mengatur alur nafasku
yang terengah-engah. Wafa berdiri dan membantuku untuk berdiri. Aku melihat ke
area sawah yang tadi kami lewati. Sungguh aku bersyukur bisa keluar dari sana.
Pandanganku terhenti ke arah bukit yang tadi sempat aku singgahi. Ada beberapa
kuburan tepat di belakang bukit tersebut.

“ Waf, aku rasa area ini tidak usah dijadikan arena outbond, terlalu berbahaya pas lagi
musim hujan begini. Dan juga bukit itu. Lihat, ada kuburan di sana.”

“Pantas saja aku merasa kurang nyaman berada di sana.”

Setelah itu Wafa memegang lenganku untuk membantuku berjalan dan


mencari warung terdekat. Tidak terlalu jauh memang lokasi warung, mungkin karena
ini kawasan padat penduduk. Rasanya lega setelah aku mengobati dan menutup
lukaku dengan plester. Dengan tertatih-tatih aku melanjutkan perjalanan pulang ke
pesantrenku.

Saat aku melihat gerbang belakang pesantrenku yang begitu tinggi, aku
mengucapkan kalimat tahmid dan takbir untuk mengungkapkan rasa bersyukurku
kepada Allah subhaanahu wa ta’ala karena telah memberikan pertolongan kepada
kami. Rasanya seperti tidak pernah terbayangkan apabila kami akan terjebak di area
persawahan itu sampai terbenam matahari.

Anda mungkin juga menyukai