Anda di halaman 1dari 50

DETERMINAN SOCIAL EKONOMI TERHADAP PENDERITA

TUBERCULOSIS DI KOTA MAKASSAR

A. Rizki Amelia AP1, Sundari2


1,2
Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia
Email: kikiarizkiamelia@yahoo.co.id1

Corresponding author: kikiarizkiamelia@yahoo.co.id

Abstrak
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberculosis.
Penularan kuman tuberculosis adalah lewat penderita dengan mneyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak. Kuman ini berbentuk batang, tahan terhadap asam pada pewarnaan oleh karena itu disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Proses destruksi dan proses restorasi atau penyembuhan jaringan
paru terjadi secara simulta, sehingga terjadi perubahan structural yang bersifat mentap serta bervariasi
yang mneyebabkan berbagai macam kelainan paru.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Tuberculosis yang ada di wilayah kerja Kaluku
Bodoa. Tehnik pengambilan sampel yaitu total sampling sebanyak 119 populasi penderita Tuberculosis.
Diharapkan pada penelitian ini masyarakat mampu untuk mendeteksi penyebab penularan tuberculosis
berdasarkan determinan social ekonomi.

Kata Kunci : Pengetahuan, sikap, pola makan, akses pelayanan.

suatu penyakit kronis yang dapat menurunkan

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization


(WHO) Tuberculosis atau TB merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis yang pada umumnya
mempengaruhi paru-paru. Tuberkulosis (TB)
merupakan masalah utama kesehatan global
sebagai penyebab utama kematian pada jutaan
orang setiap tahun di seluruh dunia.(1)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
menyebar melalui droplet orang yang telah
terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang
disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan
Case Notification Rate (CNR), prevalensi
(didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis
pada suatu titik waktu tertentu), dan
mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah
kematian akibat tuberkulosis dalam jangka waktu
tertentu). (2)
Tuberculosis paru (TB Paru) merupakan
1
penyakit TB paru yang dipengaruhi lingkungan
daya tahan fisik penderitanya secara serius. fisik rumah. 7 Penelitian Sedar Malem Sembiring
Proses destruksi dan proses restorasi atau juga mengatakan bahwa adanya hubungan
penyembuhan jaringan paru terjadi secara pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap
simultan, sehingga terjadi perubahan structural penularan penyakit TB paru, Sedar berasumsi
yang bersifat menetap serta bervariasi yang bahwa tingkat pengetahuan dan sikap yang baik
menyebabkan berbagai macam kelainan faal tidak menjamin bahwa tindakan akan baik juga.(13)
paru.(3) Tingginya tingkat kasus TB paru di
Indonesia ini menunjukkan bahwa diperlukan Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit
adanya tindakan menurunkan angka penularan. menular yang hingga saat ini masih menjadi
Penelitian Sabar Manullang mengatakan bahwa permasalahan utama masyarakat dunia khususnya
pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat di negara-negara berkembang. (WHO) World
memiliki hubungan terhadap penularan Health Organization (2011) menyatakan bahwa di
tahun 2010 terdapat sekitar 1,4 juta penduduk pelacakan/pencarian kasus baru, pelacakan penderita
dunia yang meninggal karena TB. Sejak TB mangkir dan pemeriksaan kontak.(6)
diumumkan oleh WHO sebagai keadaan darurat di Khusus di Kota Makassar urutan tertinggi
tahun 1993, telah ditemukan 8,9 juta kasus TB penderita Tuberkulosis, berdasarkan data yang
dengan proporsi 80 persenter dapat pada 22 diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit
negara berkembang termasuk Indonesia. (3) dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota
Indonesia menempati peringkat kedua Makassar, angka penemuan penderita baru TB Paru
negara dengan beban TB tertinggi di dunia. WHO BTA (+) di 14 kecamatan kota makassar tahun 2015
pada tahun 2013 menyatakan terdapat 2,9 juta sebanyak 2.361 penderita. Proses penemuan
kasus Tuberkulosis pada tahun 2012 dengan penyakit Tuberkulosis dilakukan oleh pengelola TB
jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 masing-masing puskesmas melalui
kasus (Kemenkes RI, 2014). Jumlah kasus baru pelacakan/pencarian kasus baru, pelacakan penderita
TB Paru BTA positif di Indonesia pada tahun mangkir dan pemeriksaan kontak.(6)
2013 diketahui jumlahnya adalah 196.310 kasus
baru.(4) Pada tahun 2016 ditemukan jumlah kasus
tuberklosis di Indonesia sebanyak 156.723 kasus.
Menurut jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-
laki lebih tinggi dari pada perempuan. Pada
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia
kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan (Kemenkes RI, 2016).
Menurut kelompok umur, kasus tuberkulosis pada
tahun 2016 paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,82%. (5)
Sulawesi selatan menempati peringkat
keenam provinsi dengan beban Tuberkulosis
tertinggi. terdapat 7.139 kasus Tuberkulosis pada
tahun 2016. Menurut jenis kelamin, jumlah kasus
pada laki-laki terdapat 4.277 penderita
tuberculosis sedangkan pada perempuan 2.862
kasus.(5) Khusus di Kota Makassar urutan tertinggi
penderita Tuberkulosis, berdasarkan data yang
diperoleh dari Bidang Bina Pencegahan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan
Kota Makassar, angka penemuan penderita baru
TB Paru BTA (+) di 14 kecamatan kota makassar
tahun 2015 sebanyak 2.361 penderita. Proses
penemuan penyakit Tuberkulosis dilakukan oleh
pengelola TB masing-masing puskesmas melalui

2
Penderita penyakit yang banyak menyerang penderita tuberculosis, Pengumpulan data dengan
paru- paru ini paling tinggi di Kecamatan Tallo menggunakan kuesioner diberikan kepada
wilayah kerja Puskesmas Kaluku Bodoa Kota penderita tuberculosis, serta observasi yang
Makassar. Berdasarkan laporan dari Pusat dilakukan dengan cara pengamatan langsung
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kaluku terhadap responden.
Bodoa, Kecamatan Tallo, tahun 2017 Temuan
penderita Tuberkulosis (TB Paru). Jenis HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
penelitian yang digunakan adalah penelitian Variable yang dipakai dalam penelitian ini adalah
kuantitatif dengan menggunakan pendekatan variable pendidikan, pengetahuan, pendapatan,
deskriptif untuk mengetahui Determinan sosial sikap, status gizi dan akses pelayanan kesehatan.
ekonomi terhadap penderita Tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun Analisis Univariat
2018. Penelitian ini dilakukan oleh peneliti pada
bulan Maret 2018. Populasi dalam penelitian ini Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Terhadap Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
adalah pasien penderita tuberkulosis di wilayah
Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018
kerja Puskesmas Kaluku Bodoa Kota Makassar,
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh
penderita tuberculosis di wilayah kerja
Puskesmas Kaluku Bodoa Kota Makassar yang
berjumlah 119 penderita. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode total sampling. Total Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan
Terhadap Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
sampling adalah pengambilan sampel yang Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018
sama dengan populasi dengan total 119
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pernyataan

Mengenai Pengetahuan Terhadap Penderita Tuberkulosis di


Wilayah Kerja Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan


Terhadap Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap


Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kaluku
Bodoa Tahun 2018

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Akses Pelayanan


Kesehatan Terhadap Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018

Analisis Bivariat
Tabel 7. Pendidikan Terhadap Pengetahuan Pada
Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Kaluku Bodoa Tahun 2018

3
Tabel 8. Pendidikan Terhadap Sikap Pada Penderita
Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kaluku Bodoa
Tahun 2018

Tabel 9. Pendidikan Terhadap Status Gizi Pada Penderita


Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Kaluku Bodoa
Tahun 2018

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan


mengenai Determinan sosial ekonomi terhadap
penderita tuberculosis di Kota Makassar
a. Penderita tuberculosis dengan pendidikan
terendah lebih mendominasi sebanyak 86
Penderita (72,3%)
b. Penderita tuberculosis menunjukan pendapatan
tidak mampu lebih mendominasi sebanyak 118
penderita (99,2%)
c. Penderita tuberculosis lebih mendominasi pada
pengetahuan cukup yaitu sebanyak 93
Penderita (78,2%)
d. Penderita tuberculosis menunjukkan lebih
mendominasi status gizi Buruk sebanyak 106
penderita (89,1%).
e. Penderita tuberculosis menunjukkan akses
pelayanan kesehatan tidak mampu mengakses
sebanyak 85 penderita (71,4%).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Amalaguswan, Junaid, Fachley. A.F. 2017.


Analisis Faktor Resiko Kejadian Penyakit
TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Puuwatu Kota Kendari Tahin 2017.
Jimkesmas 2(7).
[2] Agustina. saflin, dkk (2017). Pengetahuan dan
tindakan pencegahan penularan penyakit
tuberculosis paru pada keluarga kontak
serumah. Jurnal berkala epidemiologi.
Volume 5 Nomor 1.

4
[3] Basrowi, dkk (2010). Analisis
kondisi sosial eonomi dan
tingkat pendidikan
masyarakat desa srigading,
kecamatan labuhan
maringgai kabupaten
lampung timur. Jurnal
ekonomi & pendidikan.
Volume 7 Nomor 1.
[4] Depkes RI, Profil Kesehatan
Indonesia, 2016, Profil
Kesehatan Kota Makassar,
Tahun 2016, Makassar
[5] Dinas Kesehatan Kota Makassar,
2017. Profil Kesehatan Kota
Makassar Tahun 2016,
Makassar.
[6] Farida, dkk (2013), Gambaran
peran keluarga terhadap
penderita TBC di wilayah
kerja puskesmas kota datar
kecamatan hamparan perak
kabupaten deli serdang
provinsi sumatera utara
2013
[7] Hamidi Hermawan (2011).
Hubungan antara
pengetahuan, sikap, dan
perilaku ibu tentang
pencegahan penyakit TB
paru dengan kejadian TB
paru anak usia 0-14 tahun
dib alai pengobatan
penyakit paru- paru kota
salatiga tahun 2010. Ilmu
kesehatan. IUniversitas
negeri semarang.
[8] Juli Soemirat Slamet, 2002.
Kesehatan Lingkungan.
Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
[9] Kementrian Kesehatan RI.
2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta
[10] Masriadi,M.G.S., Asrifuddin A., Kandou,
G.D. 2017. Analisis Faktor
Risiko Kejadian TB Paru di
RSUD Merauke. Fakultas
Kesehatan Masyarakat
Unoversitas Sam Ratulangi.
11(2).
[11] Rohayu, N., Yusran, S.,
Ibrahim K., 2016. Analisis
Faktor Resiko Kejadian TB
Paru BTA POsitif pada
Masayrakat Peissir di
Wilayah Kerja Puskesmas
Kadatua Kabupaten Buton
Selatan Tahun 2016. 1 (3).
[12] Suryo Joko, 2010, Herbal
Penyembuh Gangguan
Sistem Pernafasan, B First,
Yogyakarta
[13] WHO, 2016, Kesehatan dan Lingkungaa
HUBUNGAN FAKTOR KEPADATAN HUNIAN, SOSIAL EKONOMI,
DAN PERILAKU KESEHATAN DENGAN PENDERITA PENYAKIT
KUSTA DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN PEKALONGAN

Budi Santoso

2
ABSTRAK
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabakan oleh mikobakterium
Leprae, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor kepadatan hunian, Sosial
ekonomi, dan Perilaku kesehatan dengan penderita kusta di kecamatan Tirto kabupaten
Pekalongan, menggunakan desain diskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional.
Pengumpulam data terhadap 47 sampel pasien dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian sosial ekonomi dan perilaku kesehatan
dengan penderita kusta memakai analisis statistik dengan menggunakan uji chi square dengan
melihat p value.Hasil uji statistik diskriptif, hampir semua responden kepadatan huniannya
tinggi (83 %), hampir semua responden kategori miskin ( 83 % ), dan perilaku mereka
cenderung negatif (76,6 %). Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji chi square
diketahui bahwa : ” Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
kusta dengan p value sebesar 0,002 (< 0,05), dan ada hubungan yang bermakna antara sosial
ekonomi dan kejadian kusta dengan p value sebesar 0,002(< 0,05) Ada hubungan yang
bermakna antara perilaku kesehatan dengan kejadian kusta dengan nilai p value sebesar 0,000
(< 0,05) ”. Kesimpulannya bahwa, ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian,
faktor sosial ekonomi perilaku kesehatan dengan penyakit kusta di kecamatan Tirto,
kabupaten Pekalongan. Perlu penelitian lebih lanjut, tentang faktor lain yang dapat
mempengaruhi penyakit kusta dikecamatan Tirto, kabupaten Pekalongan sehingga angka
prevalensi kejadian kusta diwilayah ini bisa menurun.

Kata kunci: Kepadatan hunian, sosial ekonomi,perilaku kesehatan , penyakit kusta


PENDAHULUAN

usta berasal dari kata kustha dalam bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun
600 SM, kemudian kuman penyebab penyakit
Kusta, yakni Mycobacterium leprae, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH
Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus
Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab kusta tersebut. Sedangkan Kusta masuk ke
Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang
India ( Sjamsoe S.Emmy, 2003). Suatu kenyataan bahwa penyakit kusta di Indonesia tersebar
secara tidak merata dan prevalensi rate (PR ) sangat bervariasi menurut propinsi, Kabupaten /
Kota / Kecamatan. Sampai akhir Desember 2003, baru 18 dari 30 propinsi dan
325 dari 440 kabupaten, dengan distribusi adalah sebagai berikut: Penderita terdaftar pada
akhir Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 PB dan 15.498 MB
dengan prevalensi Rate 0,86/10.000 penduduk terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur (Depkes, 2005 ).
Untuk kabupaten Pekalongan tahun 2010 kasus kusta yang tercatat sebagai berikut:
Kusta PB 20, MB 142, PR / 10.000 penduduk 1.66%, sedang CDR /
100.000 4,09 % (Data Dinkes Kab. Pekalongan 2010 ).Di kecamatan Tirto termasuk
penyumbang kasus kusta terbanyak dengan prevalensi 11/10.000 penduduk dengan rincian PB
5, MB 38 total 43 sehingga memerlukan tindakan dan penanganan yang serius dari semua
pihak untuk menurunkan Prevalensi kusta, karena permasalahan kusta memang sangat
kompleks.
Upaya pemberantasan penyakit kusta sangat ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi
kusta, perkembangan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan. Upaya pemutusan rantai
penularan dapat dilakukan melalui : 1)Pengobatan MDT pada penderita Kusta, 2).Isolasi
terhadap penderita kusta hal ini tidak dianjurkan karena penderita yang sudah diobati tidak
akan menular, 3).Vaksinasi BCG pada kontak
serumah dengan penderita kusta, menurut penyelidikan dapat memberikan perlindungan
sebesar 50 %. Dengan kemajuan teknologi di bidang kesehatan melalui strategi yang sesuai
dengan endemisitas penyakit kusta, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi semoga
penyakit kusta sedikit demi sedikit bisa dikendalikan. (Depkes, 2007).

METODOLOGI
Rancangan penelitian ini menggunakan desain studi diskriptif korelatif dengan
menggunakan pendekatan cross sectional atau potong lintang, yaitu penelitian yang hanya
dilakukan satu kali saja ( sesaat ) dalam waktu yang bersamaan.Sampel pada penelitian ini
adalah pasien kusta yang masih pengobatan dan masih dalam pengawasan pengobatan di
wilayah kecamatan Tirto., kabupaten Pekalongan sejumlah 47 pasien, dengan menggunakan
tehnik sampling jenuh, yaitu dengan mengambil semua anggota populasi sebagai
sampel,penelitia dilakukan di wilayah kerja puskesmas Tirto I dan Tirto II,alat pengumpul
data dengan kuesioner. Proses penelitian berlangsung dari bulan Oktober 2010 sampai dengan
Maret 2011.Data dianalisis secara univariat, bivariate (chi square).

HASIL
Hasil penelitian diperoleh dari 47 responden dari anlisisis univariat
diketahui bahwa yang lingkungan padat ada 39 responden (83%), yang tidak padat ada 8
responden(17%); yang berperilaku positif ada 11(23,4%), yang berperilaku negatif ada 36
responden(76,6%);kategori miskin ada 39 responden(83%), yang tidak miskin ada 8
responden(17%).Penderita kusta type PB ada 2 responden ; type MB ada 45 responden dari
total 47 responden. Dari analisis bivariat faktor kepadatan hunian diketahui bahwa type MB
dengan lingkungan padat ada 38 responden(84,4%), yang tidak padat ada 7(15,6%) dari 45
responden; type PB yang lingkungan padat ada 1 responden(50%), yang tidak padat ada1
responden (50%) dari 2 responden.Faktor perilaku kesehatan type MB yang berperilaku
positif ada 10 responden (22,3%), yang berperilaku negatif ada 35 responden (77,7%) dari
45 responden; type PB yang berperilaku positif ada 1
responden(50%), yang berperilaku negatif ada 1 responden (50%) dari 2 responden.Faktor
sosial ekonomi type MB yang kategori miskin ada 38 responden(84,4%), yang tidak miskin
ada 7 responden(15,6%); type PB kategori miskin ada 1 responden(50%), yang tidak miskin
ada 1 responden (50%).
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Kepadatan hunian responden, di kecamatan Tirto
kabupatenPekalongan pada tahun 2010.

Kepadatan Hunian Frekuensi Prosentase


1.Padat 39 83,3 %
2.Tidak padat 8 17 %
Total 47 100 %

Tabel 2
Distribusi Frekuensi Perilaku Kesehatan responden, di kecamatan Tirto
kabupaten Pekalongan pada tahun 2010.

Perilaku Kesehatan Frekuensi


Prosentase
1.Perilaku Positif 11 23,4 %
2.Perilaku negatif 36 76,6 %
Total 47 100 %
Tabel 3

Distribusi Frekuensi Sosial Ekonomi responden, di kecamatan Tirto,


kabupaten Pekalongan pada tahun 2010.

Sosial Ekonomi Frekuensi Prosentase


1.Kategori Miskin 39 83 %
2.Mendekati miskin 8 17 %
Total 47 100 %

Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kejadian Kusta, di kecamatan Tirto kabupaten
Pekalongan pada tahun 2010.

Kejadian Kusta Frekuensi Prosentase


1. Multi Basilar(MB) 45 95,7%
2. Pausi basilar (PB ) 2 4,3 %
Total 47 100 %

Tabel 5
Hubungan Kejadian Kusta dengan kepadatan hunian, di kecamatan Tirto
kabupaten Pekalongan pada tahun 2010.

Padat Tidak Padat Total


PValue
Kejadian Kusta

1. Multi Basilar(MB) 38(84,4%) 7(15,6 %) 45


0,002
2. Pausi basilar (PB ) 1(50 %) 1(50 %) 2
Total 39(83 %) 8(17 %) 47
Tabel 6
Hubungan Kejadian Kusta dengan Perilaku Kesehatan, di kecamatan Tirto
kabupaten Pekalongan pada tahun 2010.

Perilaku(+) Perilaku (–) Total pValue


Kejadian Kusta
1. Multi Basilar(MB) 10(22,3%) 35(77,7 %) 45 0,000
2. Pausi basilar (PB )1(50 %) 1(50 %) 2
Total 11(23%) 36(77 %) 47

Tabel 7
Hubungan Kejadian Kusta dengan Sosial Ekonomi, di kecamatan Tirto,
kabupaten Pekalongan pada tahun 2010.

Miskin Mendekati miskin Total pValue


Kejadian Kusta
1. Multi Basilar(MB) 38(84,4%) 7(15,6 %) 45 0,002
2. Pausi basilar (PB ) 1(50 %) 1(50 %) 2
Total 39(83%) 8(17 %) 47

PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 1 dari 47 responden penelitian berdasarkan kepadatan hunian yang
mempengaruhi kejadian kusta diketahui bahwa responden yang menyatakan lingkungan
hunian yang padat, yaitu ada 39 responden ( 83,0 % ) dan yang tidak padat 8 (17 %)
Berdasarkan tabel 2 dari 47 responden penelitian berdasarkan Perilaku kesehatan yang
mempengaruhi kejadian kusta diketahui bahwa responden yang berperilaku positif 11 ( 23,4
%), perilaku negatif 36 (76,6 %).
Berdasarkan tabel 3 dari 47 responden penelitian berdasarkan Sosial ekonomi yang
mempengaruhi kejadian kusta diketahui bahwa responden yang Miskin ada 39 (83 % ),
mendekati miskin8 (17 %).
Berdasarkan tabel 4 dari 47 responden penelitian angka kejadian kusta diketahui bahwa
ada 45 (95,7 % ) responden type MB, dan 2 (4,3 %) responden type PB.
Berdasarkan hasil penelitian dari faktor Kepadatan hunian dari 47 responden sebanyak
39 (83 %), responden kategori padat dan 8 (17 %) responden dengan kategori tidak padat dari
hasil analisis deskriptif hubungan kepadatan hunian dengan penderita kusta seperti pada tabel
5 Pasien MB ada 45 responden yang lingkungannya padat ada 38 (84,4%) responden dan
yang lingkungannya tidak padat ada 7 (15,6%) responden, kemudian untuk Pasien PB ada 2
responden yang lingkungannya padat ada1(50 %), dan yang tidak padat ada1(50 %),
berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji chi square nilai p value sebesar
0,002( < 0,05), maka Ho ditolak artinya ada hubungan bermakna dari faktor kepadatan hunian
dengan penderita kusta di kecamatan Tirto, kabupaten Pekalongan sehingga semakin padat
hunian kemungkinan kearah kusta type MB semakin besar, Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh M.Isa (2009) dan kawan-kawan di Ternate dari faktor
kepadatan hunian mempunyai hubungan yang kuat dengan odds ratio 3,25 ( p value 0,00).
Dari hasil penelitian diketahui dari 47 responden ada 36 yang mempunyai perilaku
negatif(76,6 % ), 11 responden positif (23,4%) hasil analisis deskriptif hubungan perilaku
kesehatan seperti pada tabel 6. Pasien kusta type MB yang perilaku kesehatannya positif ada
10 ( 22,3 %) responden , sedangkan yang perilaku negatif ada 35 ( 77,7 % ) responden dari
total 45 responden, type PB yang perilaku kesehatan negatif ada 1 ( 50 % ) dan yang perilaku
kesehatannya positif ada 1 ( 50 % ), berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji chi
square nilai p value sebesar 0,000 ( < 0,05), maka Ho ditolak artinya ada hubungan bermakna
dari faktor perilaku kesehatan dengan penderita kusta di kecamatan Tirto, kabupaten
Pekalongan sehingga semakin negatif perilaku kesehatan kemungkinan kearah kusta type MB
semakin besar. Menurut teori
yang dikembangkan oleh Lawrence Green ( 1980 ) dalam Sukidjo ( 2010) menganalisa
perilaku manusia dari tingkat kesehatan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu : faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, artinya
bahwa apabila perilaku seseorang positif akan berpengaruh sekali terhadap status
kesehatannya kearah yang positif pula sebaliknya bila berperilaku negatif akan berdampak
kurang baik pada status kesehatannya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 responden ada 39 responden dengan
kategori miskin ( 83 %) dari analisis deskriptif Hubungan Sosial ekonomi dengan kejadian
kusta seperti pada tabel 7. Pasien kusta Type MB yang sosial ekonominya miskin sejumlah 38
( 84,4 % ) responden dan yang tidak miskin 7 ( 15,6 %) responden dari 45 responden,
sedangkan untuk type PB responden yang sosial ekonominya miskin ada 1 ( 50 % ) responden
dan yang tidak miskin ada 1( 50 % ), berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji
chi square nilai p value sebesar 0,002( < 0,05), maka Ho ditolak artinya ada hubungan
bermakna dari faktor sosial ekonomi dengan penderita kusta di kecamatan Tirto, kabupaten
Pekalongan sehingga semakin miskin sosial ekonomi kemungkinan kearah kusta type MB
semakin besar, Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh M. Isa (2009) di
Ternate dengan odd ratio 3,14 (p value 0,00 ) dari 56 responden.
Perlu perbaikan sosial dan ekonomi bagi penderita kusta, Indonesia menempati
urutan ketiga didunia (http:/ suara pembaharuan
.com/news/2004/0/14/kesra/ kes01 diperoleh tanggal 13 September 2010 ) . peneliti
berpendapat bahwa sosial ekonomi sangat berpengaruh dengan penderita kusta, hal ini senada
dengan WHO (2005) bahwa 90 % penyakit kusta menyerang orang-orang dengan sosial
ekonomi lemah atau miskin.
PENUTUP
Hasil penelitian yang dilakukan pada penderita kusta di kecamatan Tirto,
kabupaten Pekalongan diperoleh hasil rata-rata kepadatan huniannya masuk kategori padat39
(83%), perilaku mereka cenderung kearah negatif sebanyak 36 responden (76,6% )dan rata-
rata masuk kategori keluarga miskin sebanyak 39 responden(83%), untuk kejadian kusta
sebagian besar type MB sebanyak 45 responden(95,7%). Hasil uji statistik diperoleh ada
hubungan yang bermakna antara faktor kepadatan hunian, perilaku kesehatan dan sosial
ekonomi dengan penderita kusta.
Mengingat hasil penelitian ini sangat bermakna terhadap penderita kusta maka
perlu memperhatikan faktor kepadatan hunian, perilaku kesehatan dan sosial ekonomi,
sehingga peneliti menyarankan agar Puskesmas lebih menggiatkan penyuluhan dibidang
kesehatan terutama masalah penyakit yang berhubungan dengan lingkungan perilaku
kesehatan seseorang.Diharapkan puskesmas lebih menggalakkan pemberdayaan kader, serta
melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM serta yang lebih penting lagi partisipasi
aktif dan kesadaran dari masyarakat sendiri akan pentingnya masalah kesehatan.Dinkes
kabupaten dapat menetapkan kebijakan terkait pembinaan dan pemantauan upaya promosi
kesehatan dan pendekatan kepada masyarakat serta menjadikan sebagai bagian dari
pengembangan program kerja puskesmas dalam upaya pencegahan terhadap penyakit kusta
sehingga prevalensi atau angka kesakitan penyakit kusta bisa diturunkan .

Budi Santoso: Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes Universitas Muhammadiyah


Semarang.
KEPUSTAKAAN

Marwali .H, (2000), Kusta, dalam, Ilmu Penyakit Kulit, cetakan I, 260-270,
Jakarta, Hipokrates,
Ditjen PPM & PL Depkes R.I, 2001ModulEpidemiologi Penyakit Kusta

dan Program Pemberantasan PenyakitKusta, 1 – 10, Jakarta.


Kosasih A, et al, Kusta, ( 2005 ) dalam: Juanda Adhi, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, FKUI Edisi IV, 73-88 Jakarta.
,(2005), Buku Pedoman
Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta,
cetakan XVII, Jakarta, 4-70.
Ricardo S. Guinto, M . D (2004) , Atlas Kusta, Sasakawa Memorial Health
Foundation, Japan .
, (2006); Buku
Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, cetakan XVIII, Jakarta, 4- 138
Widoyono, (2005), Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasan, hal 38-41.
Sjamsoe.S.Emmy, (2003), Penyakit Kusta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
jakarta,
, ( 2007 ) Buku
Pedoman Pengendalian Penyakit
Kusta, cetakan XIX, Jakarta,
Soekidjo Notoatmodjo, (2002), Ilmu Kesehatan Masyarakat,(Prinsip-prinsip
dasar) cetakan kedua, hal 121-124.
Suharsini Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, ( Edisi
Revisi VI ), cetakan ketigabelas.
Handoko Riwidoko, et al, (2008), Statistik kesehatan, cetakan kelima,
Jogjakarta,Mitra Cendekia .
Sugiono, (2005 ).Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta, bandung.
Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan, Pedoman Skripsi, Tesis, Instrumen Penelitian, Salemba
Medica. Jakarta,
Mansjoer, A., et al (2000). Kapita selekta Kedokteran.FK.UI. Jakarta Hastono,
S.P. ( 2001 ). Modul Analisis Data.FKM.UI. Indonesia.
Alimul, A.A, (2003), Riset Keperawatan dan Tehnik penulisan Ilmiah, Jakarta,
Salemba Medika.
, (2008), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan, edisikedua, Salemba Medica. Jakarta,
Suara Pembaharuan Daily,(2004);Perlu Perbaikan Sosial Ekonomi,Kusta
di Indonesia peringkat ketiga dunia. http: // www.Suara
pembaharuan.com/News 2004/0/14/Kesra/kes01.htm.Diunduh 13
September 2010.

Haikin Rachmat,(2003),Penderita Kusta Tidak Perlu dikucilkan ,Edisi 359.


http:www.perspektifbaru.com/wawancara/359.Diunduh 13 September
2010.
Luhur H,(2005),Masuk tiga Besar Dunia, Penderita Kusta di RI 16 Ribu
Orang,DetikNews,http:www.infoanda.com/id/link.php.Diunduh pada 13
September 2010.
Artikel Penelitian

Analisis Risiko Karakteristik, Sosial Ekonomi, Perilaku dan Kondisi


Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Malaria

The Risk Analysis of Characteristic, Socioeconomics, Behavioral, and Home


Environment Conditions toward Malaria Incidence

Susy Sriwahyuni Sukiswo*, Rinidar**,


Sugito**

*Jurusan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar, **Prodi Magister Kesehatan
Masyarakat Veteriner Universitas Syiah Kuala Unsyiah

Abstrak
research was to analyze the characteristic, socioeconomic, behavioral,
Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global.
home environment conditions to determine of malaria incidence in
Kecamatan Arongan Lambalek merupakan daerah rawan malaria di
Arongan Lambalek Subdistrict, of West Aceh District. This research was
Kabupaten Aceh Barat dengan kategori Medium Incidence Area dengan
analytic ob- servational case control approach with purposive sampling
ni- lai Annual Parasite Incidence (API) 3,67 per 1000 penduduk masih di
method. The number of samples in this study comprised 33 cases and 33
atas target API Nasional pada fase eliminasi API kurang dari 1 per 1000
controls, the cases are people who tested positive for malaria, while the
pen- duduk tahun 2013. Penelitian ini bertujuan menganalisis
control group of people who tested negative by examination
karakteristik, sosial ekonomi, perilaku, dan kondisi lingkungan rumah
microscopic/rapid diagnostic test in 2014. The statistical analysis used
yang berpengaruh terhadap kejadian malaria di Kecamatan Arongan
univariate, bivariate (chi-square), and multivariate (logistic regression).
Lambalek, Kabupaten Aceh Barat. Jenis penelitian ini adalah
The results of the bivariate analysis are five variables known to affect
observasional analitik dengan pen- dekatan kasus kontrol dengan metode
malaria, they are job (p = 0.000, OR = 0.05), knowledge (p = 0.000; OR =
penarikan sampel yaitu purposive sampling. Jumlah sampel dalam
17.5), attitude (p = 0.001; OR = 7.43 ), action (p = 0.000; OR = 9.8), and
penelitian ini terdiri 33 kasus dan 33 kon- trol, kelompok kasus adalah
the environment (p = 0.000; OR = 9.0). Based on the results of the
orang yang dinyatakan positif malaria sedang- kan kelompok kontrol
multivariate analysis (logistic regression) know- ledge is the most dominan
orang yang dinyatakan negatif berdasarkan pe- meriksaan
determinan (p = 0.006; OR = 12.783, 95% CI =
mikroskopis/rapid diagnostic test tahun 2014. Analisis statistik yang
2.045 to 79.893). Intensive counseling regarding malaria is needed, to
digunakan analisis univariat, bivariat (kai kuadrat), dan multivariat (re-
make people know more knowledge and information about malaria.
gresi logistik). Hasil analisis bivariat diketahui ada lima variabel yang
Keywords: Characteristic, environment, malaria, behaviour, socioecono-
berpengaruh, yaitu pekerjaan (p = 0,000, OR = 0,05), pengetahuan (p =
mic
0,000; OR = 17,5), sikap (p = 0,001; OR = 7,43), tindakan (p = 0,000; OR
= 9,8), dan lingkungan (p = 0,000; OR = 9,0). Berdasarkan hasil analisis
multivariat, pengetahuan adalah determinan yang paling berpengaruh (p
= 0,006; OR = 12,783, CI 95% = 2,045–79,893). Penyuluhan yang
Pendahuluan
intensif mengenai malaria perlu dilakukan untuk lebih menambah Malaria adalah penyebab kematian nomor lima dari
pengetahuan dan informasi masyarakat. penyakit infeksi di dunia setelah infeksi pernapasan,
Kata kunci: Karakteristik, lingkungan, malaria, perilaku, sosial ekonomi HIV/AIDS, diare, dan tuberkulosis. Menurut World
Health Organization, terdapat 3,3 milyar penduduk ting-
Abstract gal di daerah yang berisiko transmisi malaria. Malaria
Malaria is an infectious disease of global concern. The Subdistrict of menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahun
Arongan Lambalek in West Aceh which belongs to the Medium Incidence dan menyebabkan kematian sekitar 1 juta pertahun.1
Kasus malaria di Indonesia masih tinggi, sebesar
Area category was a malaria endemic area with Annual Parasite Incidence
(API) 3,67 at 1000 population in 2013. The API was higher than national Korespondensi: tfusy tfriwahyuni tfukiswo, Jurusan Epidemiologi FKM
API on elimination phage less than 1 at 1000 population. The objective of Universitas Teuku Umar. Jl. Alue Peunyareng Aceh Barat, No.Telp: 0655-
7023552, e-mail: susysriwahyuni84@gmail.com
this
15
15
Sukiswo, Rinindar, Sugito, Analisis Risiko Karakteristik, Sosial Ekonomi, Perilaku, dan Kondisi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Malaria

417.819 kasus positif pada tahun 2012. Provinsi Aceh Puskesmas Drien Rampak Kecamatan Arongan
memiliki 23 kabupaten/kota yang umumnya daerah en- Lambalek Kabupaten Aceh Barat. Waktu penelitian di-
demik malaria, dengan nilai annual parasite incidence
(API) mencapai 0,44% pada tahun 2013. Sementara,
API Kabupaten Aceh Barat tahun 2013 adalah 0,92%,
dengan jumlah penderita malaria positif sebanyak 175
kasus. Kecamatan Arongan Lambalek merupakan keca-
matan yang endemis malaria dengan kategori medium in-
cidence area yang berada di kabupaten Aceh Barat den-
gan nilai API 3,67 per 1000 penduduk yang menduduki
peringkat kedua dari 5 kecamatan endemis tahun 2013.2
Selama bertahun-tahun, kasus malaria tetap bertahan tinggi
tanpa diikuti oleh peningkatan upaya pencegahan dan
pengendalian. Banyak interpretasi yang diberikan terhadap
fakta empiris tersebut meliputi resistensi obat antimalaria,
perubahan lingkungan, dan perilaku yang tidak positif.3
Masalah malaria menjadi semakin sulit un- tuk diatasi dan
diperkirakan akan menjadi hambatan ba- gi keberhasilan
pembangunan kesehatan. Kerugian se- makin terasa bila
kelompok usia produktif yang terkena, mengingat mereka
adalah tenaga pembangunan utama. Kerugian ditimbulkan
akibat malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49%
dari Pendapatan Asli Daerah dan akan menyebabkan
gangguan kesehatan ibu dan anak, inteligensia,
produktivitas angkatan kerja, serta
merugikan kegiatan pariwisata.4
Berdasarkan hasil pengamatan awal, kasus malaria di
Kecamatan Arongan Lambalek tinggi karena kasus impor
dari Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat. Kasus
malaria ini meningkat ketika penduduk yang bekerja se-
bagai penambang emas di Kecamatan Woyla kembali ke
Kecamatan Arongan Lambalek dalam keadaan telah ter-
infeksi malaria. Hal ini memberikan kontribusi terjadinya
penularan malaria dari vektor malaria kepada manusia
yang sehat akan lebih tinggi. Berbagai kegiatan manusia
seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, per-
tambangan, dan pembangunan pemukiman baru sering
mengakibatkan perubahan lingkungan yang mengun-
tungkan penularan malaria.5 Kondisi sosial ekonomi pen-
duduk Kecamatan Arongan Lambalek yang sebagian be-
sar bekerja sebagai penambang emas dan didukung de-
ngan keadaan geografis yang masih banyak dikelilingi
oleh rawa-rawa, hutan, dan sungai. Penelitian ini bertu-
juan untuk menganalisis karakteristik, sosial ekonomi,
perilaku masyarakat, dan kondisi lingkungan rumah yang
berpengaruh terhadap kejadian malaria di Kecamatan
Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ob-
servasional analitik menggunakan desain kasus kontrol
atau studi retrospektif. Lokasi penelitian dilaksanakan di
mulai dari 5 Januari sampai 31 Oktober 2014. Populasi kemudian dilakukan pemilihan kan- didat model regresi
penelitian ini adalah semua orang yang sediaan logistik dengan memasukkan semua
darahnya ditemukan Plasmodium berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopis/rapid diagnostic test (RDT) di
Puskesmas Drien Rampak Kecamatan Arongan
Lambalek dari bulan Januari sampai Agustus 2014.
Sampel penelitian diambil melalui buku catatan
puskesmas yang tercatat sebagai malaria positif. Besar
sampel minimal yang dibutuhkan adalah 29 kasus dan
29 kontrol. Penelitian ini menggu- nakan seluruh
penderita malaria dari bulan Januari sam- pai Agustus
tahun 2014 sebanyak 33 kasus dan 33 kon- trol, dengan
perbandingan 1:1 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dengan metode purposive sampling. Kriteria
inklusi subyek penelitian untuk kelompok kasus adalah
responden yang berumur ≥ 15 tahun, bersedia
berpartisipasi dalam penelitian, bertempat tinggal di
Kecamatan Arongan Lambalek, dan tercatat sebagai
malaria positif berdasarkan hasil pemeriksaan
mikroskopis/RDT di Puskesmas Drien Rampak
Kecamatan Arongan Lambalek, sedangkan pada kelom-
pok kontrol yaitu bertempat tinggal di Kecamatan
Arongan Lambalek, memiliki jenis kelamin dan usia
yang sama dengan kelompok kasus dan dinyatakan
negatif malaria. Kriteria ekslusi meliputi pengunjung
puskesmas yang berusia <15 tahun dan tidak bertempat
tinggal di Kecamatan Arongan Lambalek. Sumber data
berasal dari data primer (kuesioner) dan data sekunder
(Laporan Puskesmas dan Dinas Aceh Barat).
Alur penelitian ini terdiri dari dua tahapan. Tahap
pertama yaitu tahap persiapan yang meliputi survei kasus
di Puskesmas Drien Rampak dari bulan Januari sampai
Februari 2014, pengurusan izin penelitian, serta
melakukan uji validitas dan realibilitas kuisioner pada
20 responden. Tahap kedua adalah tahap
pelaksanaan meliputi perolehan data primer dan data
sekunder, sete- lah data terkumpul selanjutnya dilakukan
pengolahan dan analisis data.
Teknik pengumpulan data melalui wawancara, obser-
vasi dan survei dokumen. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah karakteristik, sosial ekonomi, peri-
laku, dan kondisi lingkungan rumah. Teknik pengukuran
variabel independen menggunakan skala likert.6
Prosedur analisis data dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi
frekuensi kejadian malaria, analisis bivariat dilakukan
dengan uji statistik kai kuadrat pada tingkat
kepercayaan 95% dan nilai p < 0,05, dan analisis
multivariat di- lakukan dengan uji statistik regresi
logistik yang terdiri dari tiga tahap. Terdapat berbagai
tahap uji regresi logis- tik, yaitu tahap pertama uji
interaksi yang bertujuan men- geluarkan variabel nilai p
> 0,05, kedua uji confounding pertama dengan melihat
perubahan nilai OR crude dan OR adjusted <10%,
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 2, November 2014

variabel independen yang memenuhi syarat ke dalam


dengan nilai p = 0,611. Pada subvariabel pekerjaan, yang
model.
bekerja (93,9%) lebih tinggi daripada yang tidak beker- ja
Variabel yang tidak signifikan dikeluarkan secara
(6,1%). Kelompok kasus menunjukkan ada hubungan
bertahap dimulai dari variabel yang mempunyai nilai p
pekerjaan dengan malaria (p = 0,000; OR = 0,048).
terbesar sehingga variabel-variabel tersebut ditetapkan
Hasil penelitian sosial ekonomi menunjukkan tidak
sebagai bentuk model (fit model) dengan mempertim-
ada hubungan lokasi tempat tinggal dengan kejadian
bangkan model terbaik dari dua penilaian yaitu signifikan
malaria (p = 0,455) karena proporsi lokasi tempat ting-
ratio Log likelihood (p < 0,05).7
gal baik pada kelompok kasus (51,5%) tidak terlalu
berbeda dengan kelompok kontrol (63,6%). Pada akses
Hasil
pelayanan kesehatan, hasil membuktikan tidak ada
Dari empat variabel, diperoleh persentase tertinggi
hubungan dengan kejadian malaria (p = 0,782), karena
pada kelompok kasus terletak pada subvariabel respon-
proporsi akses pelayanan kesehatan mendukung (69,7%)
den yang bekerja sebesar 93,9%, pengetahuan kurang
tidak terlalu berbeda dengan akses yang tidak men-
baik dan tindakan kurang baik masing-masing sebesar
dukung (30,3%) pada kelompok kasus. Hasil menun-
84,8%, serta kondisi lingkungan yang buruk sebesar
jukkan tidak ada hubungan penghasilan dengan kejadian
81,8% (Tabel 1).
malaria (p = 0,128), karena proporsi penghasilan tinggi
Hasil penelitian pada Tabel 1, variabel karakteristik
lebih tinggi pada kelompok kasus (48,5%) dibandingkan
subvariabel usia menunjukkan tidak ada hubungan
kelompok kontrol (27,3%).
bermakna antara usia dengan kejadian malaria karena
proporsi responden yang berusia muda (51,5%) tidak Variabel perilaku untuk pengetahuan hasil membuk-
terlalu berbeda dengan responden berusia tua (48,5%) tikan ada hubungan dengan kejadian malaria (p = 0,000;
pada kelompok kasus dengan nilai p = 0,455. Sedangkan, OR = 7,50), proporsi pengetahuan kurang lebih banyak
pada subvariabel pendidikan menunjukkan tidak ada pada kelompok kasus (84,8%) dibandingkan kelompok
hubungan bermakna antara pendidikan dengan kejadian kontrol (24,2%). Pada subvariabel sikap juga ada hubun-
malaria karena proporsi responden yang berpendidikan gan dengan kejadian malaria (p = 0,001; OR = 7,429),
menengah lebih banyak pada kelompok kasus (60,6%) proporsi sikap negatif lebih tinggi pada kelompok kasus
dibanding pendidikan rendah (27,3%) dan tinggi (12,1), (78,8%) dibandingkan kelompok kontrol (33,3%). Hasil
membuktikan bahwa tindakan ada hubungan dengan ke-

Tabel 1. Hubungan dan Besar Risiko Variabel Independen terhadap Kejadian Malaria

Kasus Kontrol
Variabel Kategori Nilai p OR CI 95%
N % N %

Karakteristik :
Usia Muda 17 51,5 21 63,6 0,455 0,607 0,227 - 1,625
Tua 16 48,5 12 36,4
Pendidikan Rendah 9 27,3 12 36,4 0,611 - -
Menengah 20 60,6 16 48,5
Tinggi 4 12,1 5 15,2
Pekerjaan Tidak bekerja 2 6,1 19 57,6 0,000 0,048 0,010 - 0,233
Bekerja 31 93,9 14 42,4

Sosial Ekonomi :
Lokasi tempat tinggal Kurang baik 16 48,5 12 36,4 0,455 1,647 0,615 - 4,408
Baik 17 51,5 21 63,6
Akses Pelayanan Kesehatan Tidak mendukung 10 30,3 8 24,2 0,782 1,359 0,457 - 4,035
Mendukung 23 69,7 25 75,8
Penghasilan Rendah 17 51,5 24 72,7 0,128 0,398 0,143 - 1,112
Tinggi 16 48,5 9 27,3

Perilaku Masyarakat:
Pengetahuan Kurang baik 28 84,8 8 24,2 0,000 17,50 5,061 - 60,52
Baik 5 15,2 25 75,8
Sikap Negatif 26 78,8 11 33,3 0,001 7,429 2,461 - 22,42
Positif 7 21,2 22 66,7
Tindakan Kurang baik 28 84,8 12 36,4 0,000 9,800 2,991 - 32,11
Baik 5 15,2 21 63,6

Lingkungan Rumah Buruk 27 81,8 11 33,3 0,000 9,000 2,870 - 28,22


Baik 6 18,2 22 66,7

oleh variabel pekerjaan nilai (p = 0,027; OR = 0,086),


Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antarvariabel Kandidat pengetahuan (p = 0,006; OR = 12,783), tindakan (p =
Kejadian Malaria (Nilai p < 0,05)
0,018; OR = 9,785), dan lingkungan (p = 0,014; OR =
Variabel B Nilai p OR 95% CI 9,182) mempunyai hubungan dengan kejadian malaria di
Tahap 1:
Kecamatan Arongan Lambalek (Tabel 3).
Pekerjaan -2,720 0,032 0,066 0,005 – 0,797 Berdasarkan hasil analisis multivariat diperoleh ada 6
Penghasilan 0,509 0,637 1,664 0,201 – 13,775 variabel yang menjadi kandidat model (p < 0,25), yaitu
Pengetahuan 2,275 0,023 9,731 1,368 – 69,249
Sikap 1,380 0,136 3,977 0,648 – 24,420 penghasilan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, tindakan, dan
Tindakan 2,260 0,029 9,579 1,256 – 73,058 kondisi lingkungan rumah. Model terbaik akan mem-
Lingkungan 2,371 0,021 10,708 1,436 – 79,848
Konstanta -4,233 0,003 0,015
pertimbangkan dua penilaian yaitu signifikan ratio Log
likelihood (p < 0,05). Pemilihan model dilakukan pada
Tahap 2: semua variabel independen yang memenuhi syarat dima-
Pekerjaan -2,493 0,034 0,083 0,008 – 0,832
Pengetahuan 2,207 0,024 9,091 1,334 – 61,969 sukkan dalam model. Variabel yang tidak signifikan
Sikap 1,387 0,135 4,004 0,648 – 24,723 dikeluarkan secara bertahap dimulai dari variabel yang
Tindakan 2,192 0,031 8,957 1,215 – 66,008
Lingkungan 2,539 0,010 12,671 1,829 – 87,792
mempunyai nilai p terbesar. Setelah dilakukan uji inte-
Konstanta -4,020 0,003 0,018 raksi dan penilaian confounding di peroleh empat vari-
abel memiliki nilai p < 0,05, variabel-variabel tersebut
Tahap 3:
Pekerjaan -2,449 0,027 0,086 0,010 – 0,755 ditetapkan sebagai bentuk model (fit model) yaitu penge-
Pengetahuan 2,548 0,006 12,783 2,045 – 79,893 tahuan, tindakan, lingkungan dan pekerjaan, dengan
Tindakan 2,281 0,018 9,785 1,476 – 64,870
Lingkungan 2,217 0,014 9,182 1,563 – 53,922
Persamaan 1.
Konstanta -3,375 0,003 0,034 Persamaan 1.

Ket : -2 Log-Likelihood = 37,006; G = 54,489; nilai p = 0,000 Y = - 3,375 + 2,548 X1 (Pengetahuan) + 2,281 X2 (Tindakan) + 2,217 X3 (Lingkungan)
- 2,449 X4 (Pekerjaan)

Tabel 3. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Variabel Paling Berpengaruh terhadap
Kejadian Malaria Pembahasan
Secara umum, semua golongan usia (bayi, balita, ibu
Variabel B Nilai p OR 95% CI
hamil, dan usia lanjut) berisiko terhadap infeksi parasit
Pekerjaan -2,449 0,027 0,086 0,010 – 0,755 malaria. Perbedaan prevalensi menurut usia berkaitan
Pengetahuan 2,548 0,006 12,783 2,045 – 79,893
Tindakan 2,281 0,018 9,785 1,476 – 64,870 dengan perbedaan derajat kekebalan terhadap malaria.8
Lingkungan 2,217 0,014 9,182 1,563 – 53,922 Faktor usia pada penelitian ini tidak bermakna karena
Konstanta -3,375 0,003 0,034
responden yang diambil dari yang berusia ≥ 15 tahun, se-
hingga tidak ada perbedaan kekebalan terhadap infeksi
jadian malaria (p = 0,000; OR = 9,800), yang proporsi malaria. Bertambah usia membuat kekebalan terhadap
tindakan tidak baik lebih tinggi pada kelompok kasus malaria semakin meningkat. Penelitian ini sejalan yang
(84,8%) dibandingkan kelompok kontrol (36,4%). dilakukan di daerah perbatasan Kabupaten Trenggalek
Pada variabel kondisi lingkungan rumah menun- dan Tulangangung yang menunjukkan tidak ada hubung- an
jukkan ada hubungan dengan kejadian malaria (p = antara usia dengan kejadian malaria (p = 0,235).9
0,000; OR = 9,000), proporsi kondisi lingkungan rumah Tingkat pendidikan memengaruhi kemampuan seseo-
buruk lebih tinggi pada kelompok kasus (81,85%) rang dalam memahami suatu masalah, selanjutnya pema-
dibandingkan kelompok kontrol (33,3%). haman akan membentuk sikap dan dengan pengaruh
Pada Tabel 2, analisis multivariat dilakukan lingkungan menghasilkan perilaku nyata (tindakan) se-
berdasarkan hasil uji kai kuadrat yang memenuhi syarat bagai suatu reaksi.10 Teori tersebut berbeda dengan hasil
(p < 0,25). Untuk tahap pertama uji interaksi, dilakukan penelitian di Kecamatan Arongan Lambalek yang me-
mengeluarkan variabel penghasilan (p = 0,637) dan sikap nunjukkan kejadian malaria dominan terjadi pada yang
(p = 0,135). Dari hasil uji interaksi yang dilakukan, tidak berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
ada interaksi antara variabel satu dengan variabel lain. Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh bahwa
Uji confounding pertama yaitu penghasilan (p = 0,637), responden yang berpendidikan menengah lebih banyak
uji confounding kedua pada variabel sikap (p = 0,135), berpengetahuan yang kurang tentang malaria dengan
dengan melihat perubahan nilai OR crude dan OR ad- persentase (61,1%) dibandingkan dengan yang berpen-
justed < 10 %, maka variabel tersebut dinyatakan bukan didikan rendah (30,6%), dan tinggi (8,3%). Hal ini
confounding dan harus dikeluarkan dalam model. diduga erat karena rendahnya kesadaran masyarakat
Berdasarkan hasil regresi logistik tahap akhir diper- Kecamatan Arongan Lambalek tentang pentingnya upaya
pencegahan malaria. Pencarian informasi yang benar
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 2, November 2014

meliputi penyebab, cara penularan, cara pencegahan, dan dengan jarak tempuh 1–5 km. Semakin jauh jarak tem-
pengobatan dini malaria jarang dilakukan. Rendahnya puh ke sarana pelayanan kesehatan maka semakin besar
pemahaman dan pengetahuan malaria adalah penyebab
perilaku yang salah terhadap malaria. Penelitian ini se-
jalan yang dilakukan di daerah perbatasan Kabupaten
Trenggalek dan Tulangangung yang menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan pendidikan dengan kejadian malaria
(p = 0,444).9 Seseorang yang memiliki pengetahuan dan
perilaku yang baik akan menghindarkan orang tersebut
dari risiko terkena penyakit malaria.10
Beberapa jenis pekerjaan merupakan faktor risiko dan
memberi peluang untuk kontak dengan nyamuk.
Misalnya petani, berkebun, nelayan, dan penambang
emas. 5 Suharjo et al,11 menyatakan bahwa tingkat
mobilitas penduduk dari segi pekerjaan maupun pen-
datang dari daerah endemis memengaruhi penularan
malaria impor di suatu daerah. Risiko kejadian malaria
adalah 0,048 kali lebih besar pada orang yang bekerja
dibandingkan dengan orang tidak bekerja, hal ini dise-
babkan sebagian besar masyarakat Kecamatan Arongan
Lambalek bekerja sebagai petani dan penambang emas.
Penambangan ini dilakukan di area Gunung Ujeun
Kecamatan Woyla dan pekerjanya sebagian besar meru-
pakan penduduk Kecamatan Arongan Lambalek.
Pekerja-pekerja tersebut sering menginap di tempat
kerja tanpa memperhatikan kebersihan tempat tinggal
dan tanpa melindungi diri dari malaria sehingga
memungkinkan terjadinya peningkatan kasus setelah
pekerja tersebut kembali ke Kecamatan Arongan
Lambalek. Bekerja sebagai petani juga harus berada di
hutan sampai sore sehingga akan memberikan kontribusi
positif terhadap transmisi penularan malaria. Hasil
penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
Kecamatan Mandor Kabupaten Landak Propinsi
Kalimantan Barat yang menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara pekerjaan dengan kejadian malaria (ni-
lai p = 0,001; OR = 3,4).12
Berdasarkan persamaan yang diperoleh, pekerjaan
berkontribusi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa se-
makin banyak yang bekerja di luar tanpa ada usaha per-
lindungan diri maka semakin tinggi angka kejadian
malaria di Kecamatan Arongan Lambalek. Sebagian be-
sar penduduk bekerja sebagai petani dan penambang
emas yang merupakan tempat potensial perindukan nya-
muk malaria.
Lokasi tempat tinggal penderita malaria di
Kecamatan Arongan Lambalek jauh dari saluran irigasi
yang merupakan tempat perkembangbiakan dan peristi-
rahatan nyamuk malaria. Akses pelayanan kesehatan di
Kecamatan Arongan Lambalek sudah memadai untuk
menjangkau sarana pelayanan kesehatan, hanya membu-
tuhkan waktu kira-kira 15 menit untuk tiba di puskesmas
risiko menderita penyakit malaria. 13 Kelle et al, 14 kejadian malaria (p = 0,037) dengan risiko 3,05 kali
menyatakan akses pelayanan kesehatan mudah dijangkau lebih besar terkena mala- ria pada orang yang
penduduk Desa Manglusi jika menggunakan kendaraan berpengetahuan rendah diband- ingkan orang yang
roda dua maupun empat. Penelitian ini sejalan dengan berpengetahuan tinggi. 16 Perilaku seseorang
penelitian yang dilakukan Sari et al, 15 di Provinsi dipengaruhi oleh pengetahuan. Kurangnya pengetahuan
Bengkulu yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan berdampak terhadap kesadaran masyarakat yang rendah
antara jarak tempuh pelayanan kesehatan dengan kejadi- terhadap pencegahan malaria, misalnya penyehatan
an malaria. lingkungan.10 Berdasarkan hasil wawancara diperoleh
Mortalitas dan morbiditas ditentukan juga oleh taraf sebagian besar masyarakat Kecamatan Arongan
sosial ekonomi seseorang.4 Walaupun penderita malaria Lambalek tidak mengetahui dengan benar penyebab,
Kecamatan Arongan Lambalek mempunyai penghasilan cara penularan, gejala, bahaya malaria, pen- gobatan,
yang lebih tinggi, angka kejadian malaria tetap tinggi. pencegahan, dan penularan malaria.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum Hasil model akhir diperoleh satu variabel yang paling
menggu- nakan sebagian pendapatannya untuk berpengaruh terhadap kejadian malaria dengan melihat
mengupayakan pencegahan kontak dengan nyamuk, nilai OR yang terbesar yaitu variabel pengetahuan (nilai p
seperti membeli kawat kasa atau obat anti nyamuk. = 0,006) diperoleh OR sebesar 12,783 yang artinya
Status ekonomi akan memengaruhi kejadian malaria tetapi bahwa orang yang mempunyai pengetahuan kurang
tidak mendasari pe- rubahan perilaku kesehatan jika berisiko sebesar 12,783 kali lebih besar terkena malaria
tidak diikuti dengan pelaksanaan tindakan daripada orang yang berpengetahuan baik. Penelitian ini
pencegahan.10 sejalan dengan penelitian Serumpaet et al,17 menyatakan
Pada subvariabel pengetahuan menunjukkan ada bahwa pengetahuan merupakan faktor intrinsik yang
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian malaria. berpengaruh terhadap kejadian malaria.
Subjek yang berpengetahuan kurang memiliki risiko Terdapat hubungan bermakna antara sikap dengan
17,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang kejadian malaria di Kecamatan Arongan Lambalek den-
berpenge- tahuan baik. Penelitian lain dilakukan di gan risiko 7,4 kali lebih besar pada orang yang bersikap
wilayah kerja Puskesmas Kasimbar Kabupaten negatif dibandingkan dengan orang yang bersikap positif.
Parigi Moutong Sulawesi Tengah, menunjukkan Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten
pengetahuan mempunyai hubungan bermakna dengan Parigi Moutong Sulawesi Tengah yaitu sikap berpengaruh
terhadap kejadian malaria (p = 0,04, OR = 8,07).16 kelambu saat tidur malam hari atau saat bermalam di
Didukung juga dengan penelitian yang dilakukan di lokasi pekerjaan, tidak langsung berobat ke puskesmas ji-
Kecamatan Rowokele Kabupaten Kebumen yang me- ka terjadi gejala malaria, tidak mengikuti penyuluhan
nunjukkan dari 269 sampel, 54,3% mempunyai sikap malaria di desa, tidak memasang kawat kawa pada ven-
negatif terhadap pengendalian malaria. 18 Munculnya tilasi rumah, serta tidak mengikuti petunjuk dan aturan
sikap kurang mendukung terhadap usaha pencegahan minum obat dari dokter saat terinfeksi malaria.
malaria di kecamatan Arongan lambalek meliputi sikap Penelitian yang dilakukan oleh Wogu et al,19 pada
penggunaan kelambu insektisida, anti nyamuk oles, tahun 2013 di Negeria Delta menunjukkan bahwa terda-
memakai baju lengan panjang saat keluar malam, dan us- pat hubungan yang bermakna antara ibu hamil yang posi-
aha perlindungan dari gigitan nyamuk di lokasi kerja tif malaria dengan kebiasaan tidak menggunakan kelam-
seperti pertambangan atau persawahan. Sikap yang bu. Penelitian oleh Bhatt et al,20 pada tahun 2012
negatif cenderung membawa masyarakat untuk bertin- menyatakan bahwa penggunaan kelambu berinsektisida
dak lebih buruk dalam mencegah terjadinya penularan efektif dalam mengurangi kepadatan nyamuk. Cara lain
penyakit termasuk malaria.10 untuk mengurangi risiko tergigit oleh nyamuk malaria
Hasil statistik menunjukkan ada hubungan tindakan adalah menggunakan obat anti nyamuk. 21 Tingginya
dengan kejadian malaria di Kecamatan Arongan angka kejadian malaria dipengaruhi oleh kebiasaan tidak
Lambalek. Orang yang memiliki tindakan kurang baik memakai kelambu, tidak memakai obat nyamuk, dan ak-
mempunyai risiko terjangkit malaria 9,8 kali lebih besar tivitas di luar rumah pada malam hari.22
dibandingkan orang yang memiliki tindakan baik. Hal ini Hasil analisis menunjukkan ada hubungan signifikan
sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten antara lingkungan dengan kejadian malaria di
Parigi Moutong Sulawesi Tengah bahwa tindakan mem- Kecamatan Arongan Lambalek dengan risiko terjadinya
punyai hubungan bermakna dengan kejadian malaria (p malaria sebesar 9,0 kali lebih besar pada masyarakat yang
= 0,02; OR = 10).16 Dari hasil pengumpulan data, tinggal di lingkungan buruk dibandingkan dengan
masyarakat Kecamatan Arongan Lambalek tidak masyarakat di lingkungan baik. Hasil penelitian ini se-
mencerminkan perilaku yang mendukung pengendalian jalan dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja
dan pencegahan malaria. Misalnya tidak menggunakan Puskesmas Sarmi Kota Kabupaten Sarmi yang menun-
jukkan bahwa lingkungan yang terdapat genangan air dan (p = 0,000; OR = 6,827).23 Berdasarkan hasil observasi
semak-semak berhubungan dengan kejadian malaria di lokasi penelitian, diketahui terdapat banyak tempat
perkembangbiakan bagi nyamuk malaria. Rumah yang
berjarak kurang dari 100 meter dengan kandang ternak
akan meningkatkan frekuensi gigitan nyamuk dan penu-
laran malaria. Masih banyaknya hutan di dekat rumah
dan keberadaan semak yang rimbun akan mengurangi
sinar matahari masuk atau menembus permukaan tanah,
sehingga lingkungan disekitarnya akan menjadi teduh
dan lembab. Selain itu, adanya genangan air dan saluran
pembuangan air limbah (SPAL) yang tidak tertata rapi
disekitar rumah juga menjadi risiko.24 Tempat perkem-
bangbiakan nyamuk yang potensial adalah genangan air.
Banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk seperti
hutan, semak, sawah, sungai, irigasi, tambak ikan, dan
parit-parit yang tidak terurus, jarak rumah dengan kan-
dang ternak yang terlalu dekat, serta adanya pemeli-
haraan kandang ternak besar dan kecil, membuat kondisi
yang menguntungkan bagi vektor nyamuk malaria untuk
berkembang biak dan melakukan transmisi penularan
malaria. Ini akan berpengaruh terhadap angka kepadatan
jentik.3

Kesimpulan
Variabel pekerjaan, kondisi lingkungan rumah, serta
perilaku masyarakat yang meliputi pengetahuan, sikap
dan tindakan, menunjukkan hubungan yang bermakna
dengan kejadian malaria. Variabel usia, pendidikan, dan
tingkat sosial ekonomi tidak menunjukan hubungan yang
bermakna dengan malaria. Berdasarkan hasil akhir uji
regresi logistik, variabel pengetahuan merupakan vari-
abel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian
malaria di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten
Aceh Barat, dengan OR = 12,78 dan probabilitas risiko
malaria sebesar 95%.

Saran
Pemeritah daerah bekerjasama dengan Dinas
Kesehatan Aceh Barat untuk meningkatkan penyuluhan
dan sosialisasi yang intensif dan terintegrasi dengan baik
kepada petugas kesehatan. Petugas kesehatan diharap-
kan lebih aktif melakukan promosi kesehatan, mem-
berikan pemahaman yang lebih, menekankan pada
pengetahuan malaria, sikap yang diambil terhadap malar- ia,
dan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pengaplikasiannya. Masyarakat di-
harapkan lebih memperhatikan lingkungan sekitar yang
dapat menjadi tempat potensial malaria. Pekerja-pekerja
seperti petani dan penambang emas sebaiknya mampu
memproteksi diri dari gigitan nyamuk malaria pada saat
berada di lokasi pekerjaan

Daftar Pustaka
1. CDC [homepage in internet]. Impact of malaria. 2010[cited 2014 Sept 10].
Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 2, November 2014
Available from: http://www. cdc.gov/ malaria/malaria_ worldwide /im- pact.html.
2. Dinas Kesehatan Aceh Barat. Laporan bulanan penemuan dan pengobatan malaria bidang pengedalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Aceh Barat: Dinas Kesehatan
Aceh Barat; 2013.
3. Hayat F, Kurniatillah N. Situasi malaria di Kabupaten Lebak. Kesmas Jurnal Kesmas Nasional. 2009; 3(6): 259-63.
4. Achmadi UF. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2008.
5. Harijanto PN. Epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan penanganan. Jakarta: Penerbit EGC; 2000.
6. Sasroasmoro S, Ismail S. Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis. Jakarta: Universitas Indonesia; 2002
7. Sugiono. Statistik untuk penelitian. Bandung: Alfabeta; 2011.
8. Anies. Mewaspadai penyakit lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputer; 2006.
9. Notobroto HB, Hidajah AC. Faktor risiko penularan malaria di daerah berbatasan. Jurnal Penelitian Media Eksakta. 2009; 8 (2): 143-151.
10. Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
11. Suharjo, Mardiana. Pengetahuan Masyarakat tentang Malaria di Kabupaten Seribu. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2009; 8 (4): 1077-83.
12. Salim M, Suhartono, Endah N. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ke- jadian malaria di wilayah pertambangan emas tanpa izin (peti) Kecamatan Mandor Kabupaten
Landak Propinsi Kalimantan Barat. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012; 11 (2): 160-5.
13. Untari J, Hasanbasri M. Kemana pemilik kartu sehat mencari pertolongan (Analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001). Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
2007; 10 (1): 20-5.
14. Kelle Y, Arsin AA, Daud A. Perbedaan malaria pada daerah dataran rendah dengan dataran tinggi di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jurnal Masyarakat
Epidemiologi Indonesia. 2013; 2 (1): 71-5.
15. Sari RM, Ambarita LP, Sitorus H. Akses pelayanan kesehatan dan kejadian malaria di Provinsi Bengkulu. Media Litbangkes. 2013; 23 (4): 158-64.
16. Erlan A, Ningsih, Malonda, dan Puryadi. Perilaku Kesehatan Masyarakat Kaitannya dengan Kejadian Malaria di Wilayah Puskesmas Kasimbar Kabupaten Parigi
Moutong Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penelitian. 2008; 2 (1): 25-30.
17. Serumpaet SM, Tarigan R. Faktor Risiko Kejadian Malaria di Kawasan Ekosistem Leuser Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal IKM. 2007; 11 (13): 55-63.
18. Irawan A, dan Pujianto A. Pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat di daerah kejadian luar biasa Desa Wagirpandan Kecamatan Rowokele Kabupaten Kebumen.
Jurnal Vektora. 2011; 4 (2): 65-74.
19. Wogu MN, Nduka FO, Wogu MD. Effectiveness and compliance of long last- ing insecticide nets (LLINs) on malaria parasitemia among pregnant women attending
antenatal clinics in Port Harcourt, Rivers State. British Journal of Medicine & Medical Research. 2013; 3(4): 1233-9.
20. Bhatt RM, Sharma SN, Uragayala S, Dash AP, Kamaraju R. Effectiveness and Durability of Interceptor Long-Lasting Insecticidal Nets in a Malaria Endemic Area of
Central India. Malaria Journal. 2012;11:189.
21. Rubianti I, Wibowo TA, Solikhah. Faktor-Faktor Resiko Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Paruga Kota Bima Nusa Tenggara Barat. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
2009; 3(3): 162-232.
22. Santi, Fitriangga A, Natalia D. Hubungan Faktor Individu dan Lingkungan dengan Kejadian Malaria di Desa Sungai Ayak 3 Kecamatan Belitang Hiling, Kabupaten
Sekadau. JKLI. 2014; 4 (1): 265-75.
23. Imbiri J, Suhartono, dan Nujazulli. Analysis of Malaria Risk Factors in Sarmi Municipal Public Health Service Working Area. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012;
11 (2): 130-7.
24. Ahmadi S, Sulistyani, dan Raharjo M. Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Desa Lubuk Nipis Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 2008;8 (1): 20-5.
KOMPARASI ELASTISITAS PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN
PENYAKIT MENULAR DIREGIONAL JAWA BALI DAN PAPUA
BUDGET ELASTICITY COMPARATION OF INFECTIOUS DISEASE
PREVENTION IN JAVA BALI AND PAPUA

Nuzulul Kusuma Putri1, Herti Maryani2, Thinni Nurul Rochmah1, Ernawaty1


1 Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan

Naskah masuk: 21 Agustus 2017; Perbaikan: 15 Januari 2018; Layak terbit: 2 April 2018
http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v21i2.287.133-140

ABSTRAK
Tingginya laju pertumbuhan dan bervariasinya jenis penyakit menular harus diimbangi dengan upaya penanggulangan yang
responsif. Pembiayaan penanggulangan penyakit menular harus menyesuaikan dengan perkembangan penyakit menular. Di era
desentralisasi, terdapat perbedaan kemampuan tiap daerah dalam pembiayaan kesehatan sehingga menyebabkan adanya disparitas
penyakit antar daerah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan komparasi elastisitas pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerah dalam penanggulangan penyakit menular di regional Jawa Bali dan Papua. Komparasi ini dilakukan sebagai
analisis lanjut Riset Pembiayaan Kesehatan tahun 2015 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Penelitian analitik ini melakukan komparasi elastisitas pembiayaan penanggulangan penyakit menular berdasarkan
perbedaan karakteristik geografi, kemampuan fiskal, dan status kesehatan pada setiap kabupaten/kota yang ada di regional Jawa Bali
dan Papua. Data dikumpulkan secara cross sectional pada Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang ada di regional Jawa Bali dan
Papua. Komparasi elastisitas terhadap setiap indikator yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan independent t-
test. Elastisitas pembiayaan penanggulangan penyakit menular antar Kabupaten/Kota berbeda pada regional Jawa Bali dan Papua
dengan IPKM berbeda. Kondisi pembiayaan penanggulangan penyakit menular yang seharusnya elastis, tidak terjadi pada kedua
regional. Mayoritas Kabupaten/Kota cenderung inelastis dalam membiayai penanggulangan penyakit menular di masing-masing
daerah. Elasitisitas pembiayaan penanggulangan penyakit menular pada Kabupaten/Kota di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan masing-masing daerah. Kondisi ini bertolak belakang dengan asumsi pembiayaan penanggulangan penyakit menular yang
harusnya responsif sesuai dengan masalah penyakit menular yang muncul. Penggunaan asumsi yang juga memperhatikan beberapa
masalah kesehatan lain merupakan hal yang perlu digunakan pada penelitian selanjutnya.

Kata kunci: elastisitas, anggaran, FCI, IPKM, penyakit menular

ABSTRACT
The rapid growth and the various communicable diseases should be compensated with qualified health programs. The
programs’ budget should be able to meet the need of communicable disease intervention. In the era of decentralization, differences
in the ability of each district in handling health problems could triger the disparity between districts. This research analyzes the
difference of budget elasticity that existed in the communicable disease intervention between districts in Java Bali and Papua
region. This is an analytical study which analyze the difference of communicable disease budget elasticity based on the geographic
characteristics, fiscal capacity, and health status in each districts. The data is collected cross sectional in all districts that exist in
Java Bali and Papua as the population. The difference of elasticity based on each indicator used in this study was analysed using
independent t-test. The elasticity of communicable disease prevention financing is different among districts with different public
health index inJava Bali and Papua regional. The majority of communicable disease budget in districts are inelastic, in both
regions. It is different with the assumption

Korespondensi:
Nuzulul Kusuma Putri
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga E-mail:
nuzululkusuma@fkm.unair.ac.id
that budget elasticity of communicable disease should be responsive. The budget elasticity of communicable disease in Indonesia is
influenced by its health condition of each district. This condition is contrast to the ideal budget elasticity that should be elastic in
accordance to the communicable disease problems. The use of economic assumption for further research should be concerns to the
uncertainty of health characteristic.

Keywords: elasticity, budget, FCI, IPKM, communicable disease

PENDAHULUAN dana otonomi khusus yang memungkinkan untuk


Penyakit menular merupakan salah satu masalah menambah pembiayaan penanggulangan penyakit
kesehatan yang masih berkembang di Indonesia. menular tersebut.
Kondisi geografi dan populasi Indonesia yang sangat Banyak penyakit menular baru yang mulai
beragam membuat kejadian penyakit menular di menyerang dunia, selain berbagai penyakit menular
setiap daerah memiliki karakteristik yang bervariasi. lainnya yang sudah umum terjadi di Indonesia.
Perbedaan ini dapat dilihat secara jelas di Jawa Bali Evolusi, seleksi, dan perubahan dari cara manusia
dan Papua. Disparitas pada kedua daerah ini sangat berinteraksi dengan lingkungan menyebabkan
mencolok baik dari segi kesehatan maupun kualitas perkembangan penyakit menular ini (van Doorn
hidup individu (Anggraini & Lisyaningsih 2013). 2017).Perkembangan penyakit menular baik dari
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa Provinsi segi jumlah maupun jenisnya harus diimbangi
Papua dan Papua Barat selalu masuk sebagai lima dengan upaya penanggulangan yang responsif. Hal ini
daerah dengan kasus penyakit menular tertinggi di hanya akan bisa terwujud dengan pembiayaan
Indonesia. Kedua provinsi ini selalu mendominasi kesehatan yang peka terhadap masalah kesehatan.
kejadian penyakit menular yang menjadi concern Penganggaran yang diperuntukkan bagi keseluruhan
pencapaian MDGs yakni ISPA, pneumonia, program tanpa membatasi peruntukan kebutuhannya
tuberkulosis, malaria, diare dan hepatititis. Tingginya namun justru memperhatikan perbedaan karakteristik
angka kejadian kasus menular ini berbeda dengan sasaran akan jauh lebih efektif dalam mencapai
provinsi yang ada di Jawa Bali. Tercatat hanya ada tujuan (Anderson et al., 2012).
dua provinsi di regional Jawa Bali yang muncul pada Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
lima besar penyakit ISPA dan tuberkulosis. Selain perbedaan elastisitas pembiayaan yang telah
tingginya angka penyakit menular yang terjadi, dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
Papua juga menghadapi masalah rendahnya Indeks penanggulangan penyakit menular di Jawa Bali dan
Pembangunan Manusia (IPM). Papua. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
Indonesia memberlakukan desentralisasi untuk bahan evaluasi dalam meningkatkan efektivitas
memeratakan pembangunan termasuk pembangunan di pembiayaan penanggulangan penyakit menular di
bidang kesehatan. Desentralisasi dapat Indonesia.
meningkatkan derajat kesehatan dan pembiayaan
kesehatan sehingga meningkatkan efisiensi METODE
pembiayaan kesehatan (Alves et al., 2013). Dampak
dari desentralisasi pada ekuitas kesehatan dan Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang
pelayanan kesehatan tergantung pada pendapatan mengomparasi kondisi pembiayaan penanggulangan
daerah dan geografi (Sumah et al., 2016). Perbedaan penyakit menular berdasarkan perbedaan
pendapatan suatu daerah di era desentralisasi karakteristik geografi, kemampuan fiskal, dan status
kemungkinan menimbulkan perbedaan kemudahan kesehatan pada setiap kabupaten/kota yang ada di
akses penduduk dalam memanfaatkan pelayanan Jawa Bali dan Papua. Data yang digunakan dalam
kesehatan (Costa-Font & Moscone 2008). Perbedaan penelitian ini merupakan data Riset Pembiayaan
pendapatan daerah antara Jawa Bali dan Papua di era Kesehatan tahun 2015. Data dikumpulkan secara
desentralisasi sebenarnya telah diakomodasi oleh cross sectional pada kabupaten/kota yang menjadi
Pemerintah Pusat. Sesuai dengan amanat Undang- sampel penelitian. Populasi pada penelitian ini
Undang RI Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi adalah semua kabupaten/kota yang ada di Jawa, Bali
Khusus Bagi Provinsi Papua, Provinsi Papua dan dan Papua. Jawa dan Bali dimasukkan dalam satu
Papua Barat setiap tahunnya selalu mendapatkan regional atas dasar kedekatan wilayahnya. Pada
setiap regional dipilih kabupaten/kota secara random komoditi lain yang saling berkaitan. Dengan
sampling. menghitung kepekaan perubahan besaran APBD
Dari 15 sampel kabupaten/kota pada regional dalam membiayai penanggulangan penyakit menular
Jawa Bali yang ada dalam Riset Pembiayaan terhadap perubahan total belanja daerah maka dapat
Kesehatan tahun 2015, hanya dapat dianalisis 12 dianalisis bagaimana perhatian pemerintah daerah
kabupaten/kota pada regional Jawa Bali. Kabupaten/ dalam upaya penanggulangan penyakit menular di
Kota tersebut antara lain Kabupaten Tasikmalaya, daerahnya. Koefisien elastisitas yang tinggi
Kabupaten Bandung, Kabupaten Kebumen, menunjukkan bahwa banyak sedikitnya jumlah
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pekalongan, anggaran untuk penanggulangan penyakit menular
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Nganjuk, sangat tergantung dari banyak sedikitnya belanja
Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, daerah. Koefisien elastisitas ini selanjutnya diuji beda
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bangli, dan untuk melihat pengaruh status kewilayahan, fiscal
Kabupaten Denpasar merupakan sampel terpilih capacity index, dan Indeks Pembangunan Kesehatan
untuk regional Jawa Bali. Kabupaten Boyolali tidak Masyarakat (IPKM) terhadap elastisitas setiap
dapat dianalisis karena data total APBD tahun 2014 kabupaten/kota. Perbedaan elastisitas terhadap
tidak tersedia, sedangan Kabupaten Pasuruan dan setiap indikator yang digunakan dalam penelitian ini
Kepulauan Seribu juga tidak dapat dianalisis karena dianalisis menggunakan independent t-test.
total APBD tahun 2013 tidak tersedia. Untuk regional
Papua ada 5 kabupaten/kota yang menjadi sampel
yakni Kabupaten Fakfak, Kabupaten Sorong, HASIL
Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Asmat, dan Penanggulangan penyakit menular tidak hanya
Kabupaten Mamberamo Tengah. Kabupaten Merauke ditujukan untuk mengobati penderita namun juga
dikeluarkan dari sampel yang tersedia dalam Riset diupayakan untuk membatasi penularan, serta
Pembiayaan Kesehatan 2015 karena data total APBD penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah.
2014 tidak tersedia sehingga tidak dapat dihitung Pembiayaan dalam penanggulangan penyakit menular ini
koefisien elastisitasnya. selalu dianggarkan oleh pemerintah namun kasus
Data pembiayaan penanggulangan penyakit penyakit menular tetap tinggi di Indonesia. Tabel 1
menular pada setiap kabupaten/kota diidentifikasi menunjukkan besaran pembiayaan dan elastisitas
selama tahun 2013 hingga 2014 dengan pembiayaan penanggulangan penyakit menular
menjumlahkan semua pembiayaan pada kode terhadap belanja total APBD di regional Jawa Bali dan
program penanggulangan penyakit menular dengan Papua.
semua kegiatan yang terkait penanggulangan Tabel 1 menunjukkan bahwa secara nominal,
penyakit menular pada APBD Dinas Kesehatan. pembiayaan untuk penanggulangan penyakit
Data pembiayaan ini dihitung elastisitasnya terhadap menular paling banyak dialokasikan oleh pemerintah
perubahan belanja total pada APBD masing-masing daerah yang ada pada regional Jawa dan Bali.
kabupaten/kota. Koefisien elastisitas APBD dihitung Kondisi ini kemungkinan karena total biaya program
dengan persamaan 1. penanggulangan penyakit menular ini masih dikaitkan
Selisih pembiayaan penanggu langan dengan banyaknya penduduk yang ada pada regional.
penyakit menular merupakan selisih total biaya Jika dibandingkan dengan regional Papua, ada lebih
penanggulangan penyakit menular tahun 2014 banyak penduduk yang ada di regional Jawa dan Bali.
dengan 2013. Selisih total belanja APBD merupakan Namun tingginya standar deviasi pembiayaan
selisih dari total belanja APBD tahun 2014 dengan program penanggulangan penyakit menular pada
tahun 2013. regional Jawa dan Bali menunjukkan bahwa masih
Ukuran elastisitas telah lama digunakan dalam ada kesenjangan pembiayaan yang tinggi antar
ilmu ekonomi untuk menganalisis kepekaan suatu wilayah kabupaten/kota.
nilai ekonomi terhadap perubahan nilai ekonomi
Tabel 1. Pembiayaan dan Elastisitas Pembiayaan Penanggulangan Penyakit Menular Regional Jawa Bali dan Papua 2014

Minimum Maximum Mean Std. Deviation


penanggulangan
Total biaya Jawa Bali 502,380,000.00 16,694,499,080.00 2,876,471,677.50 4,732,410,343.88
penyakit menular
2014 (Rupiah) Papua 159,960,000.00 618,520,000.00 436,517,900.00 193,230,995.11

Total belanja Jawa Bali 112,280,000,000.00 1,884,770,000,000.00 1,022,157,833,333.33 629,924,789,277.96


APBD 2014
(Rupiah) Papua 5,061,445,500.00 958,933,000,000.00 431,156,824,500.00 446,229,070,007.98

Koefisien Jawa Bali -0.88 19.52 2.64 6.19


elastisitas
Papua -1.12 42.76 8.29 19.27
Ketereangan:
n Jawa Bali = 12 n
Papua = 5

Nilai koefisien yang semakin kecil menunjukkan ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa banyak
bahwa berapa pun jumlah belanja daerah berubah, sedikitnya jumlah pembiayaan untuk program
pemerintah daerah cenderung mengalokasi biaya penanggulangan penyakit menular sangat bergantung
yang jumlahnya relatif tetap antar periode. Jika nilai perubahan jumlah total belanja APBD kabupaten/kota.
secara absolut jumlah belanja daerah tinggi, maka Anggaran yang dialokasikan untuk penanggulangan
pemerintah memiliki concern tinggi terhadap penyakit menular cenderung berubah sesuai dengan
penanggulangan penyakit menular. Jumlah absolut perubahan dalam belanja total kabupaten/kota.
yang rendah dan cenderung tetap menunjukkan Tabel 2 dan Tabel 3 menjelaskan tentang
lemahnya perencanaan program penanggulangan komparasi elastisitas pembiayaan penanggulangan
penyakit menular. Pemerintah daerah cenderung penyakit menular antar kabupaten/kota berdasarkan
hanya mereplikasi program pada periode selanjutnya karakteristik wilayahnya. Perbedaan elastisitas
tanpa melihat kebutuhan di masyarakat. pada kedua regional tidak signifikan terjadi,
Tanda negatif dan positif pada koefisien elastisitas walaupun pada Tabel 2 dipaparkan bahwa ada
menunjukkan banyaknya selisih pembiayaan kecenderungan regional Jawa Bali dan Papua
antar periode. Koefisien elastisitas yang positif memiliki elastisitas pembiayaan penanggulangan
menunjukkan pemerintah daerah menganggarkan penyakit menular yang berbeda. Hasil uji beda pada
lebih banyak dana untuk pembiayaan saat ini Tabel 3 menunjukkan bahwa perbedaan elastisitas
daripada tahun sebelumnya. Berdasarkan Tabel 1 pembiayaan penanggulangan penyakit menular
maka dapat diidentifikasi bahwa ada kabupaten/ kota secara signifikan hanya terjadi pada kabupaten/kota
baik pada regional Jawa Bali maupun Papua yang dengan IPKM yang berbeda. Perbedaan regional, FCI,
justru mengurangi besaran dana untuk pembiayaan dan akses tidak secara signifikan berhubungan dengan
penyakit menular. Koefisien elastisitas yang paling elastisitas pembiayaan penanggulangan penyakit
kecil muncul di regional Papua sebesar menular.
-1,12 yang berarti bahwa dalam alokasi dana untuk Hal ini dapat mengindikasikan bahwa yang
penanggulangan penyakit menular berkurang hingga menjadi faktor penentu utama dalam elastisitas
1,12 kali dari perubahan total belanja pada periode pembiayaan penanggulangan penyakit menular
yang sama. adalah permasalahan kesehatan yang dihadapi
Koefisien elastisitas pembiayaan ini tanpa daerah. Walaupun berada di regional Papua, jika
memandang kondisi setiap kabupaten/kota, kabupaten/kota tidak memiliki permasalahan
menunjukkan bahwa pembiayaan penanggulangan kesehatan yang serius maka belum tentu pemerintah
penyakit menular cenderung elastis karena rata- rata daerah akan lebih inelastis dalam menganggarkan
koefisien elastisitasnya lebih dari 1. Hasil yang pembiayaan penanggulangan penyakit menular.
Tabel 2. Faktor yang Memengaruhi Elastisitas Pembiayaan Penanggulangan Penyakit Menular Regional Jawa Bali dan Papua 2014
Elastisitas
Variabel Total
inelastis elastis
5 7 12
Jawa Bali 41,7% 58,3% 100,0%
Regional 4 1 5
Papua 80,0% 20,0% 100,0%
6 4 10
rendah 60,0% 40,0% 100,0%
FCI 2 2 4
(1 kab/kota missing) sedang 50,0% 50,0% 100,0%
1 1 2
tinggi 50,0% 50,0% 100,0%
4 0 4
rendah 100,0% 0,0% 100,0%
IPKM 4 5 9
(1 kab/kota missing) sedang 44,4% 55,6% 100,0%
1 2 3
tinggi 33,3% 66,7% 100,0%
8 8 16
mudah 50,0% 50,0% ,.0%
1 0 1
Akses
sulit 100,0% 0,0% 100,0%

Keterangan:
n Jawa Bali = 12 n
Papua = 5

Kondisi kesehatan suatu kabupaten/kota kesehatan yang masih rendah tersebut ternyata tidak
merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam tergantung dari perubahan total APBD kabupaten/
menyusun anggaran di bidang kesehatan. Pada kota.
penelitian ini, kondisi kesehatan direpresentasikan Dengan asumsi bahwa besaran pembiayaan
dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat penanggulangan penyakit menular seharusnya
(IPKM) dari masing-masing kabupaten/kota. Tabel disesuaikan dengan besarnya upaya penanggulangan
3 menjelaskan bahwa IPKM secara signifikan penyakit menular maka perbedaan elastisitas
berhubungan dengan elastisitas pembiayaan pembiayaan penanggulangan akan sangat tergantung
penanggulangan penyakit menular. Semakin rendah dari besarnya masalah kesehatan yang terjadi pada
IPKM yang dimiliki oleh kabupaten/kota ternyata akan kabupaten/kota. Analisis lebih lanjut mengenai
lebih membuat pemerintah daerah lebih inelastis nominal besaran anggaran untuk pembiayaan
dalam menganggarkan pembiayaan penanggulangan penanggulangan penyakit menular pada daerah
penyakit menular di daerahnya. dengan IPKM yang berbeda dibutuhkan untuk melihat
Tabulasi silang pada Tabel 2 menunjukkan apakah besaran biaya penanggulangan penyakit
bahwa kabupaten/kota yang memiliki IPKM rendah menular ini ideal sesuai kebutuhan masing-masing
cenderung lebih inelastis dalam menganggarkan kabupaten/kota atau tidak.
pembiayaan untuk penanggulangan penyakit menular. Hasil uji beda pada Tabel 3 juga menunjukkan
IPKMyang rendah mengindikasikan bahwa pada bahwa elastisitas pembiayaan penanggulangan
tingkat kesehatan masyarakat pada kabupaten/kota penyakit menular secara signifikan tidak berbeda
tersebut masih rendah. Pembiayaan penanggulangan pada kabupaten/kota dengan fiscal capacity index
penyakit menular pada daerah dengan derajat yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa
Tabel 3. Hubungan Antar Faktor dengan Elastisitas Pembiayaan Penanggulangan Penyakit Menular Regional Jawa Bali dan Papua
Levene’s Test
for Equality of
t-test for Equality of Means
Variances
95% CI
F Sig. T df Sig. M Dif SE Dif
Lower Upper
Regional Equal variances 3.959 .065 1.447 15 .169 .38333 .26496 -.18142 .94808
assumed
Equal variances 1.538 8.677 .160 .38333 .24919 -.18359 .95026
not assumed
FCI Equal variances .143 .712 -.318 12 .756 -.10000 .31491 -.78612 .58612
assumed
Equal variances -.302 5.055 .775 -.10000 .33166 -.94980 .74980
not assumed
IPKM Equal variances 270.769 .000 -2.057 11 .064 -.55556 .27010 -1.15003 .03892
assumed
Equal variances -3.162 8.000 .013 -.55556 .17568 -.96068 -.15043
not assumed
Akses Equal variances . . .939 15 .362 .50000 .53229 -.63455 1.63455
assumed
Equal variances . . . .50000 . . .
not assumed

elastisitas pembiayaan penanggulangan penyakit menular merupakan penyakit yang selalu berubah baik
menular tidak menunjukkan perbedaan signifikan jenis maupun kejadiannya. Prediksi terhadap kejadian
antar kabupaten/kota jika didasarkan pada penyakit menular lebih sulit daripada memprediksi
kemandirian kabupaten/kota dari sektor pajak untuk masalah kesehatan yang lainnya dalam periode
membiayai sendiri kegiatannya. Walaupun dengan yang singkat. Berdasarkan sifat dari perkembangan
FCI yang tinggi kabupaten/kota dapat semakin penyakit menular tersebut, daerah harus dapat
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk fleksibel mengalokasi total belanjanya untuk dapat
semakin leluasa merubah besaran anggaran membiayai aktivitas penanggulangan penyakit
penanggulangan penyakit menular ternyata tidak menular.
membuat kabupaten/kota begitu saja meningkatkan Pembiayaan yang elastis mengindikasikan
pembiayaan penanggulangan penyakit menular. adanya perubahan dalam jumlah anggaran yang
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa akses geografis dialokasikan untuk program penanggulangan penyakit
daerah tidak berhubungan dengan elastisitas menular. Sesuai dengan atribut inovasi maka jika
pembiayaan penanggulangan penyakit menular di kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang
kabupaten/kota. Kabupaten/kota dengan akses yang sama setiap tahunnya baik dari segi kualitas maupun
sulit tidak serta merta semakin elastis maupun inelastis kuantitas maka tidak akan ada perubahan jumlah
dalam menganggarkan pembiayaan penyakit menular. anggaran (Anggraeny 2013). Maka dengan kondisi
inelastis baik pada mayoritas kabupaten/kota yang ada
di regional Jawa Bali dan Papua menunjukkan adanya
PEMBAHASAN
kemungkinan program kesehatan yang dilakukan
Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa kabupaten/kota sama setiap tahun. Rendahnya
semakin elastis pembiayaan untuk penanggulangan perubahan atau perkembangan program yang
penyakit menular di sebuah kabupaten/kota maka dilakukan oleh pemerintah menunjukkan besarnya
akan memberikan dampak yang lebih baik dalam kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan
upaya penanggulangan penyakit menular. Penyakit kecepatan pemerintah dalam melakukan inovasi di
bidang kesehatan (Alves et al., 2017).
Program kesehatan hanya dapat berjalan setelah investasi terhadap input pelayanan kesehatan harus
ada keputusan anggaran, sehingga bagaimana lebih diperbanyak sehingga pembiayaan harus lebih
pandangan pengambil keputusan anggaran elastis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini
menjadi hal yang penting untuk dianalisis agar merekomendasikan seharusnya pembiayaan yang
dapat memahami arah kebijakan kesehatan suatu lebih elastis dapat diarahkan pada investasi terhadap
daerah (White 2013).Prioritas dari daerah terhadap perbaikan input di daerah dengan IPKM rendah.
kesehatan juga dapat dilihat melalui elastisitas Kinerja program harus dianalisis bersamaan
terhadap perbedaan akses wilayah. Khusus pada dengan komponen biaya yang ada pada
daerah dengan akses sulit, jika elastisitas terhadap program tersebut. Dimensi output ini dibutuhkan
penanggulangan penyakit menular cenderung untuk menjelaskan apakah pembiayaan pada
inelastis maka kemungkinan alokasi belanja lebih penanggulangan penyakit menular telah efektif dan
banyak digunakan untuk hal lain. Perlu analisis sesuai dengan tujuan. Apakah komponen biaya lebih
lebih lanjut apakah belanja daerah pada daerah banyak kuratif atau preventif juga perlu dianalisis
dengan karakteristik tersebut justru hanya berfokus lebih lanjut. Jika masih dominan pada kuratif maka
pada pembangun infrastruktur non kesehatan daya ungkit untuk peningkatan IPKM akan tetap
(Wardani 2014). rendah walaupun elastisitasnya baik. Perubahan
Walaupun perubahan dari koefisien elastisitas anggaran untuk selain program penanggulangan
besaran belanja suatu negara terhadap perubahan pajak penyakit menular seharusnya juga dianalisis untuk
tidak memiliki pola yang seragam (Bunescu & menghindari bias bahwa kebutuhan terbesar pada
Comaniciu 2013), penelitian ini menggunakan periode tersebut dapat saja berbeda tergantung dari
indikator fiscal capacity index untuk melihat seberapa masalah kesehatan yang dihadapi pada periode
kemandirian daerah dapat mempengaruhi elastisitas tersebut.
pembiayaan untuk penanggulangan penyakit menular Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa
di Indonesia. Pembiayaan yang elastis terhadap pajak tidak ada perubahan pada masalah kesehatan yang
terbukti akan memberikan dampak kesejahteraan pada dihadapi oleh Kabupaten/Kota yang menyebabkan
pelaku dalam industri (Bognetti & Santoni 2016). pengambil kebijakan akan melakukan shifting
Penelitian lainnya juga menjelaskan bahwa pajak anggaran pada mata anggaran lain selain penyakit
menjadi prediktor yang baik terhadap sensitivitas menular. Asumsi ini melemahkan hasil penelitian
pembiayaan dalam periode waktu tertentu (Gómez karena penelitian ini tidak bisa menganalisis faktor
2016). lain yang kemungkinan menyebabkan kondisi inelastis
Kemandirian f iskal dapat memengaruhi di Jawa Bali dan Papua. Faktor lain ini termasuk
kemampuan finansial daerah dalam menyelesaikan kemungkinan adanya perubahan alokasi anggaran
masalah kesehatan yang dihadapi. Kabupaten/ Kota pada masalah kesehatan selain penyakit menular
dengan kemampuan finansial yang baik akan lebih yang terjadi pada periode tersebut. Penelitian ini
leluasa dalam penganggaran, termasuk untuk beranggapan bahwa masalah penyakit menular
kesehatan (Bellofatto & Besfamille 2018). Namun merupakan masalah kesehatan utama yang terjadi
tingginya fiscal capacity dalam penelitian ini ternyata pada periode analisis.
tidak berhubungan dengan elastisitas pembiayaan
penanggulangan penyakit menular antar kabupaten/
kota di Indonesia. Kemandirian fiskal ternyata tidak KESIMPULAN
serta merta membuat pemerintah daerah untuk Elastisitas pembiayaan penanggulangan penyakit
berinvestasi pada sektor kesehatan. menular antar Kabupaten/Kota tidak berbeda antar
Tabel 3 juga menunjukkan pola elastisitas yang regional Jawa Bali dan Papua. Kondisi pembiayaan
berbeda untuk setiap daerah dengan IPKM yang penanggulangan penyakit menular yang seharusnya
berbeda. Analisis dalam pemanfaatan pola hubungan ini elastis, tidak terjadi pada kedua regional. Mayoritas
dengan IPKM dapat dilihat dari 2 dimensi yakni Kabupaten/ Kota cenderung inelastis dalam
dimensi input dan output. Dimensi input ini membiayai penanggulangan penyakit menular di
menjelaskan tentang bagaimana kondisi infrastruktur masing-masing daerah. Elasitisitas pembiayaan
kesehatan pada daerah dengan IPKM yang berbeda. penanggulangan penyakit menular pada Kabupaten/
Pada daerah dengan IPKM yang rendah seharusnya Kota di Indonesia dipengaruhi oleh tingkat kesehatan
masyarakat yang tercermin dalam IPKM
masing-
masing daerah. Kabupaten/Kota yang memiliki masalah kesehatan serius cenderung inelastis dalam
membiayai penanggulangan penyakit menular. Kondisi ini bertolak belakang dengan asumsi yang digunakan
pada penelitian ini bahwa seharusnya pembiayaan penanggulangan penyakit menular elastis sesuai dengan
perubahan APBD.

SARAN
Penggunaan asumsi yang juga memperhatikan beberapa masalah kesehatan lain merupakan hal yang perlu
digunakan pada penelitian selanjutnya. Elastisitas di bidang kesehatan harus dipandang sebagai sebuah
kondisi kompleks yang tidak bisa dibatasi oleh asumsi ekonomi dasar. Analisis elastisitas silang dapat
digunakan untuk menganalisis elastisitas pembiayaan kesehatan untuk masalah kesehatan yang bervariasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas
kesempatan menggunakan data Riset Pembiayaan Kesehatan (RPK) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para ahli ekonomi kesehatan yang ada
di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga atas diskusi intensif yang diberikan kepada peneliti.

DAFTAR PUSTAKA
Alves, A. da S., Botelho, A.J.J. & Mendes, L., 2017. An exploratory assessment of the gaps for health innovation in Brazil:
challenges and a proposed research agenda. RAI Revista de Administração e Inovação, 14(2), pp.98–108. Available at:
http://linkinghub.elsevier. com/retrieve/pii/S1809203917300311.
Alves, J., Peralta, S. & Perelman, J., 2013. Efficiency and equity consequences of decentralization in health: An economic
perspective. Revista Portuguesa de Saude Publica, 31(1), 74–83. Available at: http://
dx.doi.org/10.1016/j.rpsp.2013.01.002.
Anderson, S.T, Laxminarayan, R. & Salant, S.W. 2012. Diversify or focus? Spending to combat infectious diseases when budgets
are tight. Journal of Health Economics, 31(4), 658–675. Available at: http:// dx.doi.org/10.1016/j.jhealeco.2012.05.001.
Anggraeny, C. 2013. Inovasi Pelayanan Kesehatan dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Puskesmas Jagir Kota
Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik, 1, 85–93.
Anggraini, E. & Lisyaningsih, U. 2013. Disparitas Spasial Angka Harapan Hidup di Indonesia Tahun 2010. Jurnal Bumi
Indonesia, 2(3), 71–80.
Bellofatto, A.A. & Besfamille, M. 2018. Regional state capacity and the optimal degree of fiscal decentralization. Journal of
Public Economics, 159(April 2016), pp.225–243. Available at: https://doi.org/10.1016/j. jpubeco.2017.12.010.
Bognetti, G. & Santoni, M. 2016. Increasing the substitution elasticity can improve VAT compliance and social welfare. Economic
Modelling, 58, 293–307.Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.econmod.2016.06.005.
Bunescu, L. & Comaniciu, C. 2013. Tax Elasticity Analysis in Romania: 2001 – 2012. Procedia Economics and Finance, 6(13),
609–14. Available at: http://linkinghub. elsevier.com/retrieve/pii/S2212567113001792.
Costa-Font, J. & Moscone, F. 2008. The impact of decentralization and inter-territorial interactions on Spanish health expenditure.
Empirical Economics, 34(1), 167–84.
van Doorn, H.R. 2017. Emerging infectious diseases. Medicine, 45(12), 798–801. Available at: https:// wwwnc.cdc.gov/eid/.
Gómez, M.A. 2016. Are taxes a good predictor of time use patterns? Examining the role of some key elasticities. Economic
Modelling, 55, 394–400. Available at: http:// dx.doi.org/10.1016/j.econmod.2016.03.006.
Sumah, A.M, Baatiema, L. & Abimbola, S. 2016. The impacts of decentralisation on health-related equity: A systematic review of
the evidence. Health Policy, 120(10), 1183–1192. Available at: http://dx.doi. org/10.1016/j.healthpol.2016.09.003.
Wardani, R.K. 2014. Analisis Penetapan Prioritas Program Upaya Kesehatan Dasar (Puskesmas) pada Tingkat Pemerintah Daerah
(Studi Eksploratif di Kota Bogor Tahun 2013). Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 03(04), 199–212.
White, J. 2013. Budget-makers and health care systems. Health Policy, 112(3), 163–171. Available at: http://
dx.doi.org/10.1016/j.healthpol.2013.07.024.
Analisis Pembiayaan Program Promotif dan Preventif
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) Bersumber
Pemerintah di Kota Semarang Tahun 2013-2015

Financing Study on Dengue Preventive Program by Government Source In


Semarang, 2013-2015

Nisa Kamila¹, Mardiati Nadjib²


1
Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
2

Korespondensi: Nisa Kamila,


e-mail: nisakamila07@gmail.com

Abstrak
Selama tahun 2010-2014, Kota Semarang selalu termasuk dalam peringkat tiga besar Incidence Rate Deman Berdarah
Den- gue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan menganalisis pembiayaan program pemberantasan
DBD ber- sumber pemerintah pada tahun 2013-2015 dan kesenjangan sumberdaya. Pendekatan akun biaya kesehatan
(health account) digunakan untuk menelusuri pembiayaan menurut sumber, fungsi, dan penyedia layanan. Hasil studi
menunjukkan bahwa total belanja program DBD bersumber APBD tahun 2013 adalah Rp. 4.018.927.020,- meningkat
sebesar 101% pada tahun 2014 dan meningkat sebesar 218% pada tahun 2015. Belanja terbesar pada program
pemberantasan DBD adalah untuk ke- giatan surveilans epidemiologi dan pengendalian penyakit menular. Tidak terdapat
kesenjangan antara ketersediaan sumber daya (berdasarkan belanja kesehatan program pemberantasan DBD) dengan
kebutuhan program (berdasarkan perhitungan kebutuhan metode SPM). Disarankan agar perencanaan program lebih
berfokus pada kegiatan promotif dan preventif.
Kata Kunci: Pembiayaan; Program promotif dan preventif; DBD

Abstract
In 2010–2014, Semarang was involved as the big three city with high incidence rate of dengue in Central Java province. This
study aimed to analyze the financing by the local government for Dengue preventive program in 2013-2015, as well as the
resources gap. The health account approach was used to analyze spending by source, function, and provider. Total local
government spending for dengue in 2013 were IDR 4.018.927.020,- increased by 101% in 2014 and increased by 218% in
2015. The largest expenditure for Dengue Preventive program is epidemiological surveillance and infectious disease control.
There was no gap between available resources and requires program according to SPM. The study suggested to improve
planning by focusing on the direct activities such as promotive and preventive.
Keyword: Financing; Promotive and Preventive Program; Dengue

Pendahuluan
Berdasarkan data WHO, Indonesia termasuk kate- IR DBD Provinsi Jawa Tengah dan IR DBD Nasi-
gori A endemik Demam Berdarah Dengue (DBD) onal (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2015).
yang artinya Indonesia termasuk kategori cukup Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
bahaya DBD (WHOa, 2011), tak terkecuali Jawa Kesehatan menyatakan bahwa pembiayaan keseha-
Tengah. Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa tan bertujuan untuk menyediakan pembiayaan yang
Tengah pada tahun 2014 sebesar 36,2/100.000 pen- berkesinambungan dengan jumlah yang mencuk-
duduk (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun upi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan se- cara
2015). Hal ini berarti IR DBD di Jawa Tengah leb- berhasil guna dan berdaya guna untuk menja- min
ih rendah dari target nasional yaitu  51 per 100 terselenggaranya pembangunan kesehatan agar
ribu penduduk (Kementerian Kesehatan, 2013). Dari meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seting-
tahun 2010 – 2014, Kota Semarang se- lalu gi-tingginya. Salah satu kerangka kerja atau alat da-
menduduki peringkat tiga besar IR DBD di Provinsi lam penyajian pembiayaan kesehatan yang dikeluar-
Jawa Tengah. IR DBD tertinggi juga ter- jadi pada kan oleh WHO adalah health accounts. Health accounts
tahun 2010 yaitu 368,7 per 100.000 dan Case menyediakan deskripsi sistematik dari arus keuan-
Fatality Rate (CFR) tertinggi pada tahun 2006 yaitu gan atas konsumsi barang dan pelayanan kesehatan
2,28%. IR DBD Kota Semarang dari tahun 2006 – serta bertujuan untuk menjelaskan sistem kesehatan
2014 selalu jauh lebih tinggi dari dari perspektif beban pengeluaran (WHOb, 2011).
Prioritas utama health accounts adalah untuk meny- usun data yang handal dan tepat waktu yang dapat
dibandingkan antar negara dan antar waktu. Hal ini
Seksi P2B2. 95% anggaran program pencegahan
dibutuhkan untuk melacak tren dalam pengeluaran
penularan penyakit endemik/epidemik digunakan
kesehatan dan faktor pendorongnya, sebagai perband-
untuk program pemberantasan DBD dan sisanya
ingan antar negara dan untuk meramalkan pengelu-
(5%) untuk penyakit menular bersumber binatang
aran kesehatan di masa yang akan datang. Oleh
lainnya seperti leptospirosis, chikungunya, malaria,
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
dll. Anggaran pemberdayaan masyarakat di bidang
menganalisis kes- enjangan antara kebutuhan
kesehatan dikelola oleh seksi pemberdayaan dan
anggaran dengan belanja kesehatan program promotif
pembiayaan kesehatan, sedangkan anggaran pen-
dan preventif pember- antasan DBD di Kota
gadaan alat promosi kesehatan dikelola oleh sek- si
Semarang Tahun 2013-2015.
promosi kesehatan informasi kesehatan. Ada- pun
anggaran gaji dikelola oleh Sub. Kepegawaian.
Metodologi Penelitian
Anggaran penanggulangan Kejadian Luar Biasa
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuanti- tatif
(KLB) bidang kesehatan tahun 2013 dan tahun 2015
deskriptif dengan metode cross sectional dan
lebih sering digunakan untuk penyakit leptospirosis,
pendekatan kualitatif dengan wawancara. Analisis
chikungunya, filariasis, dugaan flu burung dan kera-
kuantitatif dilakukan untuk membandingkan pem-
cunan makanan. Pada bulan November 2014, ada an-
biayaan kesehatan program DBD di Dinas Keseha-
ggaran sebesar Rp2.600.000 yang digunakan untuk
tan Kota Semarang pada tahun 2013-2015 dengan
penangan KLB DBD. Dari hasil penelitian di
kebutuhan dana kesehatan. Perbandingan dilaku- kan
dapatkan bahwa anggaran program pemberdayaan
untuk melihat ketersediaan dana apakah su- dah
masyarakat bidang kesehatan dikelola oleh seksi
sesuai dengan kebutuhan dana program DBD.
Pemberdayaan Pembiayaan Kesehatan (PPK) dan
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara
Pengadaan alat promosi kesehatan dikelola oleh seksi
wawancara mendalam dengan para pengambil ke-
Promosi Kes- ehatan dan Informasi Kesehatan
bijakan yaitu Kepala Bidang Pemberantasan dan
(Promkes Infokes). Seluruh anggaran untuk program
Pencegahan Penyakit (P2P), Kepala Seksi Pem-
pemberantasan DBD berasal dari APBD Kota
berantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2),
Semarang, hanya ban- tuan berupa alat fogging pada
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dan Ang-
Tahun 2015 sebesar Rp368.000.000 saja yang
gota DPRD Komisi D yang membawahi bidang kese-
diperoleh dari APBN (Tabel 1). Dari hasil wawancara
jahteraan sosial (pendidikan, kesehatan, dan sosial).
mendalam, didapa- tkan bahwa Dinas Kesehatan Kota
Data primer dari wawancara mendalam dianalisis
Semarang tidak pernah mengajukan untuk pengadaan
dengan cara mengelompokkan, membuat matrik dan
alat fogging. Alat fogging yang dihibahkan adalah
menginterpretasikan ke dalam tema penting
jenis thermal fog merk Swingfog sebanyak 23 buah
(Harmana, 2006). Metode triangulasi (sumber dan
dengan harga satuan sebesar Rp16.000.000. Dinas
metode) juga dilakukan untuk mendapatkan anal- isis
Kesehatan Kota Semarang pernah mengajukan dana
data yang valid dan mendapatkan gambaran dari
APBD I untuk insektisida dan larvasida namun tidak
fenoma yang sedang diteliti (Wibowo, 2014).
diberikan. Jumlah belanja kesehatan program
Dokumen keuangan yang digunakan adalah dokumen
pemberan- tasan DBD pada tahun 2013 dan 2014
realisasi, buku kas umum BPP, data in- dikator
dikelola oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
sasaran, Standar Satuan Harga dan Pro- fil
Dinas Kesehatan Kota. Tahun 2015 sebanyak 95,9%
Kesehatan Kota Semarang dari Dinas Keseha- tan
atau sebesar Rp. 8.521.646.145 dikelola oleh SKPD
Kota Semarang tahun 2013-2015. Instrumen
Di- nas Kesehatan Kota dan sisanya sebesar 4,1 %
penelitian untuk mengolah data keuangan men- jadi
atau sebesar Rp. 368.000.000 dikelola oleh UPT Ke-
data pembiayaan adalah template health ac- count.
menterian Kesehatan lainnya (Tabel 2) yang mer-
Template Standar Pelayanan Minimal (SPM)
upakan hibah fogging dari Kementerian Kesehatan.
digunakan untuk menghitung kebutuhan pem-
Belanja kesehatan program pemberantasan DBD
biayaan kesehatan di daerah (Sunarjadi, 2007).
terbesar adalah untuk surveilains epidemiologi dan
pengendalian penyakit menular sebesar 49,3% pada
HASIL
tahun 2013, 48,6% tahun 2014, dan 73,89% pada
Anggaran program pencegahan penularan penyakit
tahun 2015 (Tabel 3). Fungsi surveilains epidemiologi
endemik/epidemik dan penanggulangan Kejadian
dan pengendalian penyakit menular digunakan untuk
Luar Biasa (KLB) Bidang Kesehatan dikelola oleh
kegiatan fogging, pemberantasan sarang nyamuk,
penyelidikan epidemiologi, dan lain sebagainya.
Tabel 1 Belanja kesehatan program DBD tahun 2013-2015 menurut skema pembiayaan

Jumlah Belanja (Rp)


Skema
No Pem- Persen- Persen- Persen-
biayaan 2013 2014 2015
tase (%) tase (%) tase (%)

HF.1.1.2.2.1
1 APBD Kabupat- 4.018.927.020 100,00% 4.070.437.985 100,00% 8.521.646.145 95,0%
en/Kota
HF.1.1.1.1.2
APBN Kement-
2 erian Kesehatan: 0,00% 0,00% 368.000.000 4,10%
Tugas Pemban-
tuan

Total 4.018.927.020 100,00% 4.070.437.985 100,00% 8.889.646.145 100,00%

Tabel 3 Belanja Kesehatan Program Pemberantasan DBD Tahun 2013-2015 menurut fungsi pelayanan
kesehatan

Fungsi
Pelayanan Jumlah Belanja (Rp)
No Persen- tase Persen- Persen-
Kesehatan 2013 2014 2015
HC.6.5 (%) tase (%) tase (%)
Surveilans Epi-
1 demiologi dan 1.981.833.750 49,30% 1.979.676.865 48,60% 6.568.793.345 73,89%
Pengendalian
Penyakit Menular
HC.7.1

2 Tata Kelola dan 1.293.213.570 32,20% 1.321.545.720 32,50% 1.538.782.100 17,31%


Administrasi
Sistem Kesehatan
HC.9.1
3 Program Pember- 711.967.200 17,70% 490.315.400 12,00% 545.250.700 6,13%
dayaan Mas-
yarakat
HC.6.1

4 Program Konsel- 31.912.500 0,80% 276.300.000 6,80% 228.450.000 2,57%


ing Informasi dan
Edukasi (KIE)
HC.6.6
5 Program Kesiapan 0,00% 2.600.000 0,10% 0,00%
Penanganan KLB
HC.6.3
6 Program Deteksi 8.370.000 0,90%
Dini Penyakit

Total 4.018.927.020 100,00% 4.070.437.985 100,00% 8.889.646.145 100,00%


Tabel 2 Belanja kesehatan program DBD tahun 2013-2015 menurut pengelola pembiayaan
Jumlah Belanja (Rp)
No Skema Pembiayaan Persen- Persen- Persen-
2013 2014 2015
tase (%) tase (%) tase (%)
FA.1.2.2.01
1 SKPD Dinas 4.018.927.020 100,00% 4.070.437.985 100,00% 8.521.646.145 95,90%
Kesehatan Kota
FA.1.1.1.9
2 UPT Kementerian 0,00% 0,00% 368.000.000 4,10%
Kesehatan lainnya
Total 4.018.927.020 100,00% 4,070,437,985 100,00% 8.889.646.145 100,00%

Tabel 4 Belanja Kesehatan Program Pemberantasan DBD Tahun 2013-2015 menurut kegiatan
2014 2015
Kegiatan
Jumlah (Rp) Persentase (%) Jumlah (Rp) Persentase (%)
Pemeriksaan Jentik Rutin 874.985.000 45,92% 3.249.330.900 55,42%

Fogging 324.544.450 17,03% 250.153.480 4,27%

Penyelidikan Epidemiologi 84.300.000 4,42% 19.300.000 0,33%

Penemuan dan Pemantauan


73.000.000 3,83% 428.301.000 7,31%
Kasus

Rest 548.443.715 28,79% 1.915.999.465 32,68%

Total 1.905.273.165 100% 5.863.084.845 100%

Tabel 5 Belanja Kesehatan Program Pemberantasan DBD Tahun 2013-2015 menurut Penyedia Layanan

Jumlah Belanja (Rp)


Fungsi Pelayanan Persen-
No
Kesehatan Persen- Persen-
2013 tase (%) 2014 tase (%) 2015 tase (%)
HP.7.1.03
1 Dinas Kesehatan 3.056.722.770 76,1% 3.427.891.885 84,2% 7.503.077.600 84,4%
Kabupaten/Kota
HP.6.1.1
2 962.154.250 23,9% 642.546.100 15,8% 1.321.181.045 14,9%
Puskesmas
HP.6.2.9

3 Pelayanan Kese- - - - - 39.500.000 0,4%


hatan oleh mas-
yarakat lainnya
HP.6.2.4
4 - - 19.850.000 0,2%
Puskestren
HP.6.2.2
5 6.037.500 0,1%
Posyandu
TOTAL 4.018.927.020 100,00% 4.070.437.985 100,00% 8.889.646.145 100,00%

Anggaran program pemberantasan DBD yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang ti- dak
seluruhnya digunakan untuk pelayanan oleh Dinas
SPM yang terdapat dalam Permekes No. 741 tahun
Kesehatan Kota Semarang melainkan juga digunakan
2008. Hasil perhitungan kebutuhan menggunakan
oleh puskesmas untuk kegiatan seper- ti belanja
metode SPM didapatkan jumlah kebutuhan angga-
bahan-bahan medis dan dana untuk ke- giatan
ran untuk program pemberantasan DBD (Tabel 6).
fogging, pemeriksaan jentik rutin, penyeli- dikan
Untuk melihat kesenjangan belanja kesehatan
epidemiologi, dan lain-lain. Kegiatan yang paling
program pemberantasan DBD, dilakukan analisis
banyak menyedot dana adalah pemeriksaan jentik
berdasarkan perhitungan belanja kesehatan menggu-
rutin. Pada tahun 2014 dan 2015 fogging sudah tidak
nakan SHA 2011 dan perhitungan kebutuhan meng-
menjadi prioritas utama (Tabel 4). Berdasarkan
gunakan SPM. Dari hasil analisis didapatkan selisih an-
Tabel 5, belanja kesehatan program pemberantasan
tara total belanja kesehatan dan kebutuhan (Tabel 7).
DBD yang dikelola oleh puskes- mas meningkat pada
Berdasarkan tabel 7 dijelaskan bahwa belanja
tahun 2015, namun pening- katan ini tidak sebanding
kesehatan Dinas Kesehatan jauh leih besar daripa-
dengan peningkatan persentase alokasi anggaran
da perhitungan kebutuhan biaya. Pada tahun 2013
program pemberan- tasan DBD yang justru
belanja Kesehatan hampir 1,6 kali dibandingkan
menurun. Hanya di tahun 2015 program
dengan kebutuhan anggaran. Pada tahun 2014
pemberantasan DBD juga dilakukan oleh pelayanan
belanja kesehatan juga 1,6 kali lipat dari kebutu-
kesehatan masyarakat lainnya, pos kesehatan
han anggaran. Pada tahun 2015 belanja kesehatan
pesantren dan pos pelayanan terpadu. Perhitungan
hampir 3,6 kali lipat dibanding kebutuhan angga-
kebutuhan dengan metode SPM mengacu pada
ran. Dapat dilihat bahwa standar pelayanan min- imal
petunjuk teknis penghitungan ke- butuhan program
untuk program pemberantasan DBD dapat
pemberantasan DBD dengan
dilaksanakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ti- dak
ada kesenjangan antara perhitungan kebutu- han
metode SPM dengan jumlah belanja kesehatan.
Tabel 6. Kebutuhan Anggaran untuk Program Pemberantasan DBD

Tahun Kebutuhan Anggaran (Rp)

2013 2,522,346,894

2014 2,467,063,291

2015 2,511,488,522

Tabel 7 Selisih Belanja Kesehatan dengan Kebutuhan Biaya Penanggulangan Penyakit DBD Dinas
Kesehatan Kota Semarang Tahun 2013-2015

Belanja Kesehatan Kebutuhan Anggaran


Tahun Selisih (Rp) Persentase (Rp)
(Rp) (Rp)

2013 4,018,927,020 2,522,346,894 1,496,580,126 159%

2014 4,070,437,985 2,467,063,291 1,603,374,694 165%

2015 8,889,646,145 2,511,488,522 6,378,157,623 354%

PEMBAHASAN
Menurut Jowett (1999) investigasi pengeluaran untuk
sial atas pengadaan pelayanan, analisis berdasar- kan
pelayanan kesehatan nasional berguna se- bagai
fungsi pelayanan kesehatan, efisiensi alokasi
starting point dalam menjawab pertanyaan tentang
sumber daya dan melihat kepada siapa saja dana
akses keuangan untuk pelayanan kesehatan, efisiensi
diberikan untuk menyediakan pelayanan kesehatan.
alokasi sumber daya,dan keberlangsungan finansial
Perhatian Pemerintah Kota Semarang akan ting- ginya
atas pengadaan pelayanan. Dengan men- ganalisis
kasus DBD tercermin dari adanya pening- katan
pembiayaan kesehatan berdasarkan skema
anggaran pemberantasan DBD. Pada tahun 2013
pembiayaan, dapat dilihat keberlangsungan finan-
sebesar Rp. 4.932.278.120, tahun 2014 se-
dikit berkurang menjadi Rp. 4.847.715.020 dan ta- hun 2015 anggaran naik dua kali lipat menjadi Rp.
11.182.376.100. Dana tersebut 100% berasal dari
fungsi pemberdayaan masyarakat, kegiatan utama yang
APBD Kota Semarang dengan seluruh pengelolaan
dilakukan adalah pertemuan dan sosialisasi yang
pembiayaan dilaksanakan oleh SKPD Pemerintah
dikerjakan oleh Dinas Kesehatan Kota Sema- rang.
Kota Semarang. Hal ini menunjukkan tingginya ting-
Fungsi yang dilakukan oleh puskesmas hanya
kat keberlangsungan pembiayaan program pember-
surveilans epidemiologi dan pengendalian penyakit
antasan DBD karena pembiayaan tidak tergantung
menular. Salah satu penyebab sedikitnya layanan yang
dari pemberian dana sumber lain. Menurut Gottret
disediakan oleh puskesmas adalah puskesmas tidak
(2006) keberhasilan dalam mengelola sumber finan-
memiliki anggaran sendiri untuk melakukan kegiatan
sial dapat berdampak pada jumlah, jenis jasa yang
pemberantasan DBD melainkan menggu- nakan
dibeli dan dampaknya terhadap hasil serta biaya kes-
anggaran Dinas Kesehatan Kota Semarang. Hal ini
ehatan (efisiensi alokatif). Semakin sustainable dana
menggambarkan kurangnya pelimpah- an wewenang
yang dimiliki program pemberantasan DBD maka di-
pelaksanaan program preventif DBD kepada
harapkan jumlah dan jenis jasa yang dikonsumsi akan
puskesmas. Menurut Perpres No 72 Tahun 2012, salah
tercukupi sehingga tujuan program dapat tercapai.
satu masalah strategis dari reformasi pembiayaan
Analisis belanja kesehatan program pemberan- tasan
kesehatan adalah terbatasnya dana op- erasional
DBD di Kota Semarang menurut fungsi pe- layanan
puskesmas dalam rangka pelaksanaan pro- gram dan
kesehatan menunjukkan bahwa alokasi an- ggaran
kegiatan untuk mencapai target Millenium Development
terbesar digunakan untuk fungsi surveilans
Goals (MDG’s). Salah satu target MDG’s adalah
epidemiologi dan pengendalian penyakit menular, di
memerangi HIV, malaria, dan penyakit menu- lar
mana hal ini dirasa sudah tepat digunakan sebagai
lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka reformasi
fungsi utama pemberantasan DBD. Alokasi terbe-
pembiayaan kesehatan, puskesmas seharusnya diber-
sar kedua adalah untuk tata kelola dan administrasi
ikan kesempatan untuk menyusun penganggaran
sistem kesehatan. Belanja kesehatan terbesar dalam
puskesmas dalam melaksanakan program dan kegia- tan
fungsi tata kelola dan administrasi sistem kesehatan
pemberantasan DBD sehingga lebih banyak fungsi
adalah untuk pembayaran gaji, sementara alokasi
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas.
untuk program DBD yang bersifat promotif dan pre-
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus
ventif, seperti program pemberdayaan masyarakat,
memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan se-
program KIE, program persiapan penanganan KLB
bagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pe-
dan program deteksi dini penyakit masih mendapat
layanan (Trapsilorati, 2008). Dinas Kesehatan Kota
porsi yang lebih kecil. Empat program tersebut mer-
Semarang sudah pernah menerapkan SPM dalam
upakan kegiatan kesehatan masyarakat langsung dan
perhitungan kebutuhan anggaran pada tahun 2011,
justru berperan penting dalam pemberantasan DBD.
namun karena hasil perhitungan lebih rendah dar-
Hasil analisis belanja kesehatan menurut fungsi
ipada kebutuhan riil pembiayaan Dinas Kesehatan
pelayanan kesehatan membuktikan bahwa aloka- si
Kota Semarang maka Dinas Kesehatan Kota Sema-
anggaran untuk kegiatan administratif kesehatan
rang tidak menggunakan SPM lagi dalam meng- hitung
masih lebih banyak dibandingkan kegiatan kese-
kebutuhan anggaran. Kebutuhan anggaran menurut
hatan masyarakat untuk program DBD. Adanya
SPM adalah Rp. 2.522.346.894 pada tahun 2013, Rp.
pembiayaan yang besar dalam sistem birokrasi di
2.467.063.291 pada tahun 2014, dan Rp.
Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebabkan ke- 2.511.488.522 pada tahun 2015. Hasil perhitungan
gagalan untuk melaksanakan kegiatan yang pada ini tidak memasukkan kebutuhan gaji, biaya peny-
akhirnya berdampak pada tidak tercapainya tujuan usutan investasi, dan biaya administrasi lainnya.
dari pemberantasan program DBD. Menurut Singh Berdasarkan perhitungan SPM (Tabel 6), disi-
(2008), negara seharusnya memiliki birokrasi yang mpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara per-
kompeten dan jelas kewenangannya. Kelema- han hitungan kebutuhan metode SPM dengan jumlah
pemerintah daerah dalam birokrasi membatasi belanja kesehatan. Namun, template SPM yang di-
mereka untuk bertindak walaupun dana tersedia. gunakan dalam penelitian ini berdasarkan petunjuk
Berdasarkan analisis belanja kesehatan, mayoritas teknis (Juknis) SPM untuk program DBD yang ha- rus
penyedia layanan program pemberantasan DBD di dilakukan oleh suatu daerah dalam pemberan- tasan
Kota Semarang adalah Dinas Kesehatan Kota Sema- DBD. Daerah seperti Kabupatendi NTT mun- gkin
rang. Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada dapat menggunakan template SPM ini untuk
menghitung kebutuhan anggaran untuk memenuhi SPM
karena dana yang dimiliki terkadang tidak
mencukupi untuk memberikan pelayanan yang mak- simal. Berbeda dengan Kota Semarang yang mer- upakan Ibukota
Provinsi Jawa Tengah yang memi- liki dana lebih banyak dibandingkan dengan NTT.

KESIMPULAN dan Saran


Kesimpulan
Total belanja program DBD bersumber APBD tahun 2013 adalah Rp. 4.018.927.020, meningkat sebe- sar 101% pada
tahun 2014 dan meningkat sebesar 218% pada tahun 2015. Semua belanja kesehatan hanya berasal dari APBD Kota
Semarang, kecuali pada tahun 2015 di mana terdapat hibah alat fog- ging dari Kementerian Kesehatan. Kebutuhan
angga- ran menurut SPM adalah Rp. 2.522.346.894 pada tahun 2013, Rp. 2.467.063.291 pada tahun 2014, dan Rp.
2.511.488.522 pada tahun 2015. Angga- ran program pemberantasan DBD yang lebih besar daripada perhitungan
kebutuhan menunjukkan ke- cukupan pembiayaan program pemberantas DBD pada tahun2013-2015. Belanja untuk
kegiatan ad- ministrasi lebih tinggi daripada belanja untuk pro- gram promosi kesehatan dan penangan KLB. Tidak
terdapat kesenjangan antara ketersediaan sumber daya (berdasarkan belanja kesehatan program pem- berantasan DBD)
dengan kebutuhan program (ber- dasarkan perhitungan kebutuhan metode SPM). Saran
Sebaiknya puskesmas memiliki dana untuk program
pemberantasan DBD sehingga apabila ada kegiatan yang mendesak, puskesmas dapat mencairkan dana lebih cepat
tanpa harus melakukan pengajuan dana terlebih dahulu kepada Dinkes Kota Semarang yang membutuhkan waktu lebih
lama. Selain itu, dibutuh- kan juga peningkatan anggaran kesehatan untuk pro- gram promosi kesehatan dan
penanganan KLB DBD.

Daftar PUSTAKA
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2015. Profil Kes- ehatan Kota Semarang Tahun 2014. Semarang: Dinas Kesehatan
Kota Semarang
Gottret, Pablo & Schieber, George. 2006. Helath Fi- nancing Revisited. The World Bank, Washington DC.
Harmana, Tisa.2006. Faktor-Faktor yang Mempen- garuhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber
Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Pontianak Tahun 2006, Tesis. Fakul- tas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Jowett, Matthew. 1999. Bucking the trend? Health care expenditures in low-income Countries 1990-1995.
International Journal of helath planning and man- agement, York.
Kementerian Kesehatan. 2012. Profil Kesehatan In- donesia Tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kese- hatan
Kementerian Kesehatan. 2012. Metode Perhitungan Pembiayaan Kesehatan dalam Implementasi SPM di
Kabupaten/Kota.Slide.Workshop Perhitungan Biaya Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/ Kota di Provinsi
Jawa Barat, Bandung 22-24 Ok- tober 2014.
Republik Indonesia. 2009. Undang Undang Repub- lik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009Tentang Kesehatan.
Jakarta.
Singh, Nirvikar. 2008. Decentralization and Public- Delivery of Health CareServices in India. Health Affairs,
Indianapolis.
Sunarjadi, Dwi. 2007. Analisis Kecukupan Pem- biayaan Kesehatan Bersumber Pemerintah di Puskesmas
Baradatu Kabupaten Way Kanan Ta- hun 2006, Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Depok.
Supraptini. 2002. Pengaruh Limbah Industri Terha- dap Lingkungan di Indonesia.
Trapsilowati, W dan Sulistyorini, E. 2008. Pelaksa- naan Standar Pelayanan Minimal Program Pence- gahan dan
Pemberantasan Demam Berdarah Den- gue di Dinas Kesehatan Kota Semarang. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Vol 11. PKPK-FK UGM.
Wibowo, Adik. 2014. Metodologi Penelitian Prak- tis Bidang Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
World Health Organizationa. 2011. Comperehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever Revised and Ex- panded Version.
World Health Organizationb, OECD, Eurostat. 2011. A system of Health Account. OECD Publishing.

Anda mungkin juga menyukai