Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Amniotomi,Episiotomi dan CTG

DOSEN PENGAJAR :
Angga Arsesiana, SST.,MTs.Keb

DISUSUN OLEH:

REJA ERY SYAPUTRA

NIM. 2019.C.11a.1024

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


PRODI S1 KEPERAWATAN TINGKAT 2A
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

1
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya, makalah yang penulis susun dengan judul “Amniotomi,Episiotomi
dan CTG” dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari apabila makalah
yang disusun ini jauh dari sempurna. Maka dari itu, memohon saran serta
kritiknya baik dari Bapak/Ibu Dosen maupun teman-teman, supaya kami dapat
merefisi makalah ini sehingga menjadi lebih baik.
Semoga makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat, memberikan
tambahan wawasan bagi teman-teman mahasiswa keperawatan dan semoga bisa
menjadi bahan referensi untuk pembelajaran kita bersama.

Palangka Raya,26 Nov 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI ..............................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................1
1.3 Tujuan .................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................2
2.1 Amniotomi............................................................................................. 2
2.2 Episiotomi.............................................................................................. 5
2.3 CGT....................................................................................................... 7

BAB 3 PENUTUP.......................................................................................10
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................10
3.2 Saran ......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Amniotomi saat persalinan bertujuan untuk merangsang dan mempercepat
proses persalinan, dengan cara memecahkan ketuban. Prosedur ini umumnya
dilakukan bila kantong ketuban belum juga pecah menjelang persalinan atau
bila persalinan berlangsung lama.
Episiotomi adalah tindakan insisi pada perineum wanita yang dilakukan saat
persalinan dengan tujuan untuk memperbesar orifisium vagina dan mencegah
ruptur perineum. Episiotomi dilakukan dengan menggunakan gunting saat
perineum dalam keadaan distensi dan sesaat sebelum kepala janin
mengalami crowning.
Cardiotocography atau CTG adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengevaluasi kondisi janin dalam kandungan secara spesifik. Prosedur ini
akan mengukur laju detak jantung dan ritme jantung janin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Itu Amniotomi ?
2. Apa itu Episiotomi ?
3. Apa Yang dimkasud CTG ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Amniotomi seperti apa.
2. Menegtahui Episiotomi seperti apa.
3. MengetahuiYang dimkasud CTG.

iii
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Amniotomi

Prosedur amniotomi dilakukan oleh dokter atau bidan dengan cara


merobek kantong ketuban menggunakan alat yang
disebut amnihook dan amnicot. Pecahnya ketuban secara disengaja ini
diyakini dapat merangsang timbulnya kontraksi rahim yang lebih kuat,
sehingga leher rahim terbuka dan bayi bisa lahir lebih cepat.

Alasan Diperlukannya Amniotomi Saat Persalinan

Kantung ketuban berisi air ketuban dan plasenta. Fungsi air dan kantung
ketuban adalah untuk melindungi janin dari benturan, cedera, dan infeksi,
menjaga suhu tubuh janin agar tetap normal, sekaligus sebagai tempat bagi
janin untuk tumbuh dan berkembang sebelum dilahirkan.

Kebanyakan ibu hamil mengalami pecah air ketuban secara alami atau


pecah dengan sendirinya, dan hal ini dianggap sebagai pertanda waktu
persalinan sudah dimulai. Namun pada beberapa kasus, kantung ketuban
belum juga pecah sampai waktu persalinan tiba. Dalam kondisi ini, dokter
atau bidan biasanya akan menyarankan tindakan amniotomi.

Selain itu, tindakan amniotomi juga biasanya dilakukan untuk:

1. Induksi atau memulai persalinan

Amniotomi merupakan salah satu metode induksi persalinan yang baik.


Tujuan dilakukan induksi persalinan adalah agar kontraksi rahim terjadi
dan proses persalinan dimulai. Metode ini dapat dikombinasikan dengan
metode induksi lainnya, seperti pemberian obat oksitosin lewat suntikan.

iv
2. Memperkuat kontraksi persalinan

Tindakan amniotomi juga dapat dilakukan sebagai metode augmentasi


persalinan, yaitu proses merangsang rahim agar frekuensi, durasi, dan
kekuatan kontraksi meningkat setelah munculnya kontraksi alami.

Metode ini sering kali digunakan untuk mengatasi persalinan lama yang


dapat membahayakan kondisi janin dan ibu hamil. Persalinan lama ini bisa
terjadi karena kontraksi rahim tidak cukup kuat untuk melebarkan jalan
lahir atau karena ukuran bayi terlalu besar.

Selain itu, amniotomi juga dapat dilakukan untuk mempersingkat waktu


persalinan, mencegah komplikasi akibat proses persalinan yang terlalu
lama, dan untuk menghindari operasi caesar

3. Memantau kondisi janin

Amniotomi terkadang diperlukan untuk mengawasi kondisi janin di dalam


rahim yang membutuhkan pemantauan khusus. Pemantauan ini dilakukan
dengan cara memasang elektroda pada janin, kemudian elektroda tersebut
disambungkan ke monitor.

Setelah tersambung ke monitor, dokter dapat mendengarkan detak jantung


janin dan memantau akvititas janin dengan lebih jelas, sehingga dapat
menentukan ada atau tidaknya kelainan pada janin menjelang persalinan.

4. Mendeteksi keberadaan mekonium

Amniotomi juga bisa dilakukan untuk mendeteksi adnya mekonium atau


tinja janin dalam air ketuban. Tindakan ini perlu dilakukan karena
mekonium yang tertelan oleh janin dapat menyebabkan gangguan
pernapasan atau infeksi pada paru-paru bayi.

Meski memiliki beberapa manfaat, tidak semua ibu hamil membutuhkan


atau boleh menjalani tindakan amniotomi. Beberapa kondisi yang
menyebabkan ibu hamil tidak dapat menjalani amniotomi adalah:

v
 Janin belum masuk ke dalam panggul.
 Posisi bayi sungsang.
 Plasenta previa.
o Vasa previa. Kondisi ini terjadi ketika pembuluh darah plasenta
atau tali pusat janin turun hingga keluar dari serviks. Kondisi ini
berpotensi membahayakan nyawa ibu dan janin.

Selain itu, tindakan amnniotomi saat persalinan juga memiliki beberapa


risiko, yaitu:

 Infeksi ketuban atau korioamnionitis.


 Perdarahan setelah melahirkan, terutama pada ibu hamil dengan
kondisi vasa previa.
 Penekanan atau lilitan tali pusar.
 Gawat janin.
 Diperlukannya operasi caesar jika amniotomi tidak membantu
proses persalinan normal.

Risiko-risiko tersebut biasanya lebih mungkin terjadi pada ibu hamil


dengan masalah kehamilan tertentu, atau jika amniotomi dilakukan terlalu
cepat (sebelum waktu perkiraan persalinan dan berlum terdapat tanda-
tanda persalinan). Selama serviks sudah matang atau melebar sepenuhnya
dan bayi siap dilahirkan, risiko tindakan amniotomi relatif kecil.

Selama menunggu lahirnya Si Buah Hati, tidak ada salahnya Bumil


mencari berbagai informasi tentang tindakan dalam persalinan, termasuk
amniotomi, jika sewaktu-waktu tindakan tersebut dibutuhkan.

Untuk memantau kondisi kehamilan dan janin serta untuk menentukan


metode persalinan yang terbaik, jangan lupa untuk rutin memeriksakan diri
ke dokter kandungan.

vi
2.2 Episiotomi

Indikasi pasti episiotomi belum dapat ditetapkan karena masih terbatasnya


bukti ilmiah mengenai efektivitasnya. Awalnya, tindakan ini dilakukan
secara rutin untuk mencegah obstetric anal sphincter injury (OASIS) dan
disfungsi lantai panggul pada semua persalinan, baik persalinan normal
maupun pada kasus perineum pendek, makrosomia, kala dua lama, riwayat
OASIS, distosia bahu, dan malpresentasi. Namun, tindakan ini sekarang
dianjurkan untuk dilakukan secara selektif tergantung pertimbangan dokter
dalam case to case basis

Dari tujuh macam teknik episiotomi, hanya dua teknik yang sering
dilakukan yaitu teknik medial dan mediolateral. Meskipun data
perbandingan teknik-teknik ini masih terbatas, data dari studi yang ada
menunjukkan bahwa episiotomi mediolateral mungkin memiliki risiko
komplikasi lebih rendah. Komplikasi tindakan episiotomi dapat berupa
infeksi luka, laserasi atau ruptur perineum, perdarahan,
hematoma, inkontinensia urine, disfungsi anorektal, hingga prolaps organ
pelvis.

1. indikasi

Indikasi pasti episiotomi belum dapat ditetapkan karena masih terbatasnya


bukti ilmiah mengenai efektivitasnya. Indikasi sebaiknya dipertimbangkan
secara case to case basis oleh dokter. Pada tahun 2006, American College
of Obstetricians and Gynecologists  (ACOG) merekomendasikan untuk
tidak melakukan episiotomi secara rutin dan hanya melakukannya secara
selektif.
Sebuah penelitian pada kasus persalinan pervaginam nonoperatif (tanpa
forceps atau vakum) menunjukkan bahwa angka kejadian trauma perineum
berat lebih rendah pada grup wanita yang menjalani implementasi
episiotomi selektif dibandingkan grup wanita yang menjalani episiotomi
rutin. Oleh karena itu, keputusan melakukan episiotomi harus dibuat
berdasarkan pertimbangan klinis kondisi ibu dan janin.Beberapa
pertimbangan untuk melakukan episiotomi antara lain:

vii
 Persalinan kala dua yang lama, terutama bila kondisi janin mulai
terganggu

 Ibu dengan perineum pendek atau dengan riwayat episiotomi


atau obstetric anal sphincter injury (OASIS) pada persalinan sebelumnya
 Adanya fetal compromise, fetal distress,  atau kondisi makrosomia

 Adanya distosia bahu atau malpresentasi seperti letak sungsang atau


presentasi oksiput posterior persisten

2. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut episiotomi adalah jika pasien menolak untuk
dilakukan tindakan. Sementara itu, kontraindikasi relatif episiotomi
adalah inflammatory bowel disease dan malformasi perineum berat.
Episiotomi juga tidak boleh dilakukan bersama prosedur persalinan
pervaginam operatif seperti forceps atau vakum karena meningkatkan
risiko laserasi perineum.
Episiotomi tidak boleh dilakukan bila persalinan pervaginam dianggap
tidak mungkin. Sebuah penelitian kohort retrospektif juga menunjukkan
bahwa episiotomi pada wanita multipara dapat meningkatkan risiko
terjadinya ruptur perineum derajat 3–4. American College of Obstetricians
and Gynaecologists merekomendasikan untuk tidak melakukan episiotomi
secara rutin dan hanya melakukannya secara selektif.

3.Teknik Episiotomi

Terdapat bermacam teknik episiotomi, tetapi teknik yang paling sering


dilakukan adalah teknik medial dan mediolateral. Episiotomi medial
dikaitkan dengan risiko ruptur perineum derajat 3–4 yang lebih tinggi
daripada episiotomi mediolateral, sehingga episiotomi mediolateral
umumnya lebih disarankan,

viii
Persiapan Pasien
Persiapan untuk tindakan episiotomi meliputi permintaan informed
consent dari pasien, memastikan pencahayaan cukup, menilai perineum
dan menentukan jenis episiotomi yang akan dilakukan, serta memastikan
ada anestesi yang memadai.

4.Komplikas Episiotomi
Komplikasi jangka pendek episiotomi dapat berupa ruptur perineum,
perdarahan, edema, infeksi lokasi sayatan, kerusakan sphincter anal dan
mukosa rektum, trauma uretra, trauma kandung kemih, hematoma, nyeri,
dan dehisensi luka. Sementara itu, komplikasi jangka panjang episiotomi
dapat berupa infeksi kronis, disfungsi anorektal, inkontinensia urine,
prolaps organ pelvis, disfungsi seksual, dan rasa nyeri.

Ruptur Perineum
Ruptur perineum ke derajat yang lebih parah adalah komplikasi umum dari
episiotomi. Dilaporkan bahwa risiko ruptur derajat 3–4 adalah sebanyak
1% pada wanita tanpa episiotomi, 9% pada episiotomi mediolateral dan
20% pada episiotomi medial. Teknik episiotomi medial merupakan faktor
risiko terbesar untuk terjadinya ruptur yang dapat mencapai mukosa
rektum.

2.3 CTG
Tujuan utama cardiotocography adalah memantau detak jantung janin.
Pemeriksaan ini juga bisa sekaligus mengevaluasi kontraksi rahim sang
ibu, yang dapat menggambarkan kesehatan janin.
Tidak terdapat panduan spesifik mengenai seberapa sering seorang ibu
hamil memerlukan cardiotocography. Tapi dokter mungkin
menganjurkannya beberapa kali selama masa  kehamilan dan saat akan
melahirkan.Namun pemantauan lewat CTG bisa terus dianjurkan oleh
dokter pada kondisi-kondisi di bawah ini:

ix
 Berat badan janin di bawah normal
 Ibu hamil mengalami tekanan darah tinggi
 Ibu hamil mengalami demam atau tanda-tanda infeksi
 Kehamilan kembar
 Janin telah membuang meconium (zat buangan) ke dalam air
ketuban
 Keluar darah segar ketika persalinan

Prosedur CTG mirip dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada


perut. Secara garis besar, prosedurnya meliputi:

 Dokter akan mengoleskan gel di perut ibu hamil agar lempeng alat
pemantau yang menempel ke kulit akan memberikan sinyal yang
baik.
 Alat pemantau detak jantung janin akan diletakkan pada perut ibu.
Alat ini berupa tali elastis dengan lempengan pada tiap ujungnya.
 Lempeng yang satu berfungsi memonitor detak jantung janin, dan
lempeng lainnya berperan mengukur tekanan dalam perut ibu.

Pemeriksaaan cardiotocography dapat menunjukkan detak jantung janin. Berikut


nilai-nilainya:
1. Detak jantung janin yang normal
Jumlah detak jantung janin yang normal adalah 110-160 kali/menit.

2. Detak jantung janin tidak normal

 Kurang dari 110 kali/menit


 Lebih dari 160 kali/menit
 Pola atau irama detak jantung yang tidak normal
 Detak jantung janin tidak meningkat ketika janin bergerak atau
selama kontraksi.

x
Hasil cardiotocography yang tidak normal mungkin menandakan janin tidak
mendapatkan cukup oksigen. Untuk mengatasinya, dokter bisa melakukan
langkah-langkah di bawah ini:

 Mengubah posisi ibu hamil


 Memberikan cairan lewat infus
 Memberikan oksigen
 Memberikan obat untuk merelaksasikan rahim dan mengurangi
kontraksi

Bila penanganan tersebut tidak menunjukkan perbaikan, dokter bisa


mempertimbangkan untuk segera melakukan persalinan.Ketika pembukaan sudah
lengkap, dokter mungkin menggunakan forsep atau vakum khusus untuk
membantu proses kelahiran. Namun jika tidak, dokter mungkin
mempertimbangkan operasi caesar.

xi
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Prosedur amniotomi dilakukan oleh dokter atau bidan dengan cara


merobek kantong ketuban menggunakan alat yang
disebut amnihook dan amnicot. Indikasi pasti episiotomi belum dapat
ditetapkan karena masih terbatasnya bukti ilmiah mengenai efektivitasnya.
Awalnya, tindakan ini dilakukan secara rutin untuk mencegah obstetric
anal sphincter injury (OASIS) dan disfungsi lantai panggul pada semua
persalinan, baik persalinan normal maupun pada kasus perineum pendek,
makrosomia, kala dua lama, riwayat OASIS, distosia bahu, dan
malpresentasi. Namun, tindakan ini sekarang dianjurkan untuk dilakukan
secara selektif tergantung pertimbangan dokter dalam case to case basis.
Tujuan utama cardiotocography adalah memantau detak jantung janin.
Pemeriksaan ini juga bisa sekaligus mengevaluasi kontraksi rahim sang
ibu, yang dapat menggambarkan kesehatan janin.

3.2 Saran
Bagi para pembaca pada umumnya dan perawat pada khususnya
disarankan agar mengerti tentang pendidikan, mengajar dan belajar
maupun domain belajar itu sendiri. Selain itu pendidikan, belajar dan
mengajar merupakan hal yang sangat penting. Hal ini akan mempermudah
petugas kesehatan dalam melakukan pendidikan pada pelayanan
kesehatan.

Daftar Pusaka

xii
Patient.info.https://patient.info/pregnancy/cardiotocography

Diakses pada 22 April 2020WebMD. https://www.webmd.com/baby/pregnancy-


fetal-heart-monitoring#1

Diakses pada 22 April 2020


Mahdy, H., Glowack, C., & Gossman, W.G. NCBI Bookshelf (2019). Amniotomy.

Smyth, R., Markham, C., Dowswell, T. Cochrane (2013). Amniotomy for Shortening
Spontaneous Labour.

Robinson J. Approach to episiotomy. UpToDate. 2013

xiii

Anda mungkin juga menyukai