Anda di halaman 1dari 29

Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan,

kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai sistem nilai yang
dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang
menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya:

a) bidang politik,
b) bidang ekonomi,
c) bidang social budaya,
d) bidang hukum,
e) bidang kehidupan antar umat beragama,

Memahami asal mula Pancasila. Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan.
Namun demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai
oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus

1.  PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa
ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu
pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti
sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari
sebuah kegiatan.

Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia.

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi
dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan
di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia
atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan
objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan
organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi
landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan
pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut
mempunyai ciri-ciri, antara lain:

 susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga


 sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial     
 kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara
singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik
bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan
politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia
yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila). 
Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan,
dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun
dan bermoral.

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara
berurutan-terbalik:

 Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,  


agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
 Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
 Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
 Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil
dan beradab;
 Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional
(berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat
informasi adalah:

 nilai toleransi;
 nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
 nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);    
 bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem
ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan
kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan
pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. 
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi
demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui
kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai
subjek.

Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan
ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang
berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem
ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan
bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan,
ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat
Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem
Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi
Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi  atau pembangunan Sistem Ekonomi
Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.

Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar


kemakmuran/kesejahteraan rakyat - yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional
yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde
Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan
yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.

Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah


daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan
pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu
memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis,
transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang
demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat
melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat
dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus
mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab,
kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil
dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu
meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari
tingkat homo menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah
Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan
penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian,
pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di
samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.

Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan
kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era
otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi sukubangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan
nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila
Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup
menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).

Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-
puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan-kebudayaan di
daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa; (2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap
warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya; (3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa
yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di
kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui
musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang
mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu
menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung
jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan
seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang
bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan
semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan
pada kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari
rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara
dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah
diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara
bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan
dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya
terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan
terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan
UUD 1945, yang di dalamnya terdapat  rumusan Pancasila,

Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari
hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi
negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi
negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD
1945. Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (silasila Pancasila
dasar negara).

Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum


(baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak
boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum
merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan
perwujuan aspirasi rakyat).

e. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama

Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat
ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah
Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan
Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh
banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika
bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim,
hal ini karena mayoritas penduduk  Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang
diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan
merefresentasikan umat muslim.

Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:

1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).

2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitAs lain didasarkan atas prinsip-prinsi:

 Bertentangga yang baik


 Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
 Membela mereka yang teraniaya
 Saling menasehati
 Menghormati kebebasan beragama.

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga
negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; dan 2) pemupukan semangat
persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama.

Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada
postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila
kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.                                                  
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan
antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di
Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan
“Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama
dalam masyarakat.

Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat
ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog
Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling
pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia
yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang
menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia
yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang
kreatif, yang berbudaya.

2. Inplementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus

Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti
contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan
kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti
tatanan Negara yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama.

Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai
makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur
jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang mempunyai
rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan
bersama.

Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan


seluruh mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana
sekaligus tujuan pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai
bagi pembangunan pengembangan kampus itu sendiri.

Untuk lebih lengkap Pancasila sebagai paradigma silakan Download disini!

Artikel Menarik lainnya :

 Pancasila Sebagai Ideologi Negara


 Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
 Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
 Pengertian Pancasila Definisi
 Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia
 Makalah Pancasila Sebagai Paradigma

Pancasila sebagai paradigma

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan,
kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan
kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.

Yang menyandangnya itu di antaranya:

(a) bidang politik,

(b) bidang ekonomi,

(c) bidang social budaya,

(d) bidang hukum,

(e) bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.

Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan.

B.     Rumusan Masalah

Makalah ini membahas masalah tentang “

1.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

2.       Pancasila sebagai paradigma pembangunan

3.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

4.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi


5.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

6.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

7.      Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus


C.     Tujuan Penulisan

Dengan tersusunnya makalah ini mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami
tentang Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan, Pembangunan Politik, Pembangunan Ekonomi,
Pembangunan Sosial Budaya, Pembangunan Hukum dan Implementasi Pancasila sebagai Paradigma
Kehidupam Kampus
BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu
pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.

Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para
illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam
mengetahui persoalan tersebut.

Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh
ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan
kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang
ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.

Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak,
acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma
berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari
sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

B.      Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar,
kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia.
Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa
Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan
hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolak ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut
mempunyai ciri-ciri, antara lain:

1)      susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

2)      sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

3)      kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

 Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara
singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan
sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
C.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik
bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik
harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari
manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila
sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan
moral keadilan.

Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar
moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai
dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:

1)      Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi
dalam kehidupan sehari-hari;

2)      Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;

3)      Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;

4)      Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;

5)      Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-
keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional
(berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
        nilai toleransi;

        nilai transparansi hukum dan kelembagaan;

        nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);

        bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).

D.    Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi
harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan
sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik
selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.

Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga
berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu,
sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan
pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah
sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.

Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas,
monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat
Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi
Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau
pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem
Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang
lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi,
usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu
mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.

Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam


berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan
pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian
hukum.

E.     Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat
dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan
harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan
sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas
bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.

Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara
menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai
kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa.
Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa
paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).

Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan
hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan
demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional
(Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam
rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan
keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).

Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-
puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:

1)      Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

2)      Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;

3)      Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;

4)      Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk
Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk
mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;

5)      Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat
perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.

F.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya
oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata).

Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan
secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan
semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada
kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat
(individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.

Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya
terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:

1)      adanya perlindungan terhadap HAM,

2)      adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan

3)      adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan
UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian
dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia
mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya
(oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal
37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).

Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila:

1)      Ketuhanan Yang Maha Esa,

2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3)      Persatuan Indonesia,

4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

5)      permusyawaratan/perwakilan

6)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan
karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi
rakyat).

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak
dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin
kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk,
bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.

Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada
beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia
hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak
terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim
mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.

Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1.      Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan
wahidah).

2.       Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain
didasarkan atas prinsip-prinsip:

a.       Bertentangga yang baik

b.      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama

c.       Membela mereka yang teraniaya

d.      Saling menasehati

e.       Menghormati kebebasan beragama.

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:

1)      Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi

yang didasarkan atas suku dan agama;

2)      pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan
Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan
agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas
di bidang agama.

Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan
politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value)
dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.

Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar
masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku,
“Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.

Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini
sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal
adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan
akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan
interdependen.

Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik,
melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.

G.    Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus

Menurut saya, implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti
contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan
tatanan Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara
yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama.

Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai
makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.

Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai mahasiswa yang
mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai
tujuan bersama.

Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh
mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan
pembangunan. Oleh karena itu hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan
pengembangan kampus itu sendiri.
BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan

Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para
illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam
mengetahui persoalan tersebut.

Paradigma pancasila teridiri dari :

1.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

2.       Pancasila sebagai paradigma pembangunan

3.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

4.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

5.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

6.      Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

B.     Saran

Paradigma berfikir masyarakatnya agar kiranya mengacu pada paradigm pansila yang didasari
dengan bidang yang sesuai dan diimplemtasikan serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
TINJAUAN PUSTAKA

http://www.gudangmateri.com/2010/04/makalah-pancasila-sebagai-paradigma.html
http://www.gudangmateri.com/2010/09/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan.html
http://www.gudangmateri.com/2010/09/paradigma-dalam-implementasi-pancasila.html
http://www.gudangmateri.com/2010/09/pancasila-sebagai-paradigma-reformasi.html
http://www.gudangmateri.com/2010/07/paradigma-dalam-ilmu-pendidikan.html
http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/04/pancasila-sebagai-paradigma.html - Aadesanjaya
http://exalute.wordpress.com/2008/07/24/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan/

http://www.docstoc.com/docs/22148573/pancasila

LATAR BELAKANG.

Latar belakang pembuatan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Pancasila.

TUJUAN.

Makalah ini untuk melihat kembali sejarah gerakan reformasi yang dilakukan oleh pahlawan-
pahlawan akademisi kita dari tahun 1998 sampai dengan saat ini,untuk kita rivew dan kita
perbaiki. Sebagai mahasiswa kita memiliki tanggung jawab untuk mengawasi,dan mengawal
jalannya Pemerintahan dan memberikan sumbangsi guna kemajuan Bangsa Indonesi.

DASAR PEMIKIRAN

Indonesia terdiri dari berbagai pulau dari Sabang  sampai Merauke, sejak merdeka tahun
1945 sampai dengan saat ini telah mengalami beberapa perubahan-perubahan baik
ekonomi,politik,pendidikan,dan kebudayaan. Pada masa Sukarno semangat nasionalisme
masih sangat mendarah daging,dimasa itu kemerdekaan adalah mutlak yang tentunya setiap
warga negara indonesia tanpa pamrih siapa mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan
mempertahankan Indonesia.Berlanjut pada era Suharto dengan kabinet orde baru yang
mengedepankan swasembada pangan,dan pembangunan.

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak
tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan
praktik politik pada era Orde Baru banyak mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini,
bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman,
adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak
mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat.

BAB II

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI


Pancasila adalah filsafat Negara Indonesia yang memiliki 5 sila yang merupakan acuan dan
pegangan hidup bangsa Indonesia.
Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk
semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi
ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan
kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar
kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasardanideologi
negara.

GERAKAN REFORMASI

Krisis finansis Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia  melemah dan semakin besarnya
ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organisasi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia,  mei 1998 mahasiswa mendatangi dan menduduki
gedung DPR/MPR menuntut agar Suharto mengundurkan diri dan system KKN
(korupsi,kolusi dan nepotisme) yang menggerogoti Indonesia dihapus.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa serta
puluhan lainnya luka, dikenal dengan Tragedi trisakti. yang kemudian memicu  Kerusuhan
Mei 1998 Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh
amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa, kerusuhan juga terjadi di
kota Solo. Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di
Kairo, Mesir memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sehari setelahnya, Gerakan
Mahasiswa  pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota
lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi yang
menewaskan 18 orang.

Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga
melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi

Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan , Setelah Habibie membebaskan
tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas
tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta
pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena
kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer  yang telah diadili  oleh
Mahkamah militer harusnya menjalani hukuman dan pemecatan kini telah kembali duduk
dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu
Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun
urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang
menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.

Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan
Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah
tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999.Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu
masa kelam dalam sejarah Indonesia,dan bahkan masih dianggap bagian dari Orde Baru.

Reformasi pemerintahan yang paling signifikan terjadi di era kepemimpinan Megawati


Sukarnoputri dimana Presiden /wakil Presiden dan wakil Rakyat dipilih langsung oleh
rakyat,sehingga aspirasi dari bawah benar-benar terwakilkan dan dapat
dipertanggungjawabkan langsung pada rakyat.

GERAKAN REFORMASI DAN IDEOLOGI PANCASILA

Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan
masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak
sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri. Hal tersebut terbukti dengan maraknya
gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang
tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri,

misalnya pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga (baik
negeri maupun swasta), memaksa untuk mengganti pejabat dalam suatu instansi, melakukan
pengrusakan, bahkan yang paling memprihatinkan adalah melakukan pengerahan massa
dengan merusak dan membakar took-toko, pusat-pusat kegiatan ekonimi, kantor instansi
pemerintah, fasilitas umum, kantor pos, kantor bank disertai dengan penjarahan dan
penganiayaan.

Oleh karena itu, makna reformasi itu harus benar-benar diletakkan dalam pengertian yang
sebenarnya sehingga agenda reformasi itu benar-benar sesuai tujuannya.

Makna reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dengan akar kata reform
yang secara semantik bermakna make or become better by removing or putting right what is
bad or wrong (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1980, dalam
Wibisono, 1998: 1).

Suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan.


Masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan
menjadi nepotisme, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat
Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
2.      Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas atau landasan
ideologis tertentu (dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia).
Tanpa landasan ideologis yang jelas, maka gerakan reformasi akan mengarah pada
anarkisme, disintegrasi bangsa, dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara
Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.

3.      Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka structural
tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.

4.      Reformasi pada prinsipnya merupakan gerakan untuk mengadakan suatu perubahan
untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu
penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara
demokrasi bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1
ayat (2).

5.      Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara
hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945,
yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia,

peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu,
reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu, reformasi
harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam
setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal tersebut merupakan
manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala
aspek kegiatan negara.

6.      Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih
baik, Perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi
kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspeknya, antara lain di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan beragama. Dengan kata lain, reformasi harus
dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.

7.      Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam perjalanan sejarah Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, nampaknya tidak diletakkan dalam kedudukan dan fungsi
yang sebenarnya. Pada masa Orde Lama, terjadi pelaksanaan negara yang secara jelas
menyimpang bahkan bertentangan, misalnya Manipol Usdek dan Nasakom yang
bertentangan dengan Pancasila, pengangkatan Presiden seumur hidup, serta praktek-praktek
kekuasaan diktator.

Pada masa Orde Baru, Pancasila digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa,
sehingga kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktek
kebijaksanaan pelaksana penguasa negara. Misalnya, setiap kebijaksanaan penguasa negara
senantiasa berlindung di balik ideologi Pancasila, sehingga mengakibatkan setiap warga
negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan
Pancasila.
Asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam nilai Pancasila disalahgunakan menjadi
praktek nepotisme sehingga merajalela kolusi dan korupsi. Oleh karena itu, gerakan
reformasi harus tetap diletakkan dalam perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan
ideologi (Hamengkubuwono X, 1998: 8). Sebab, tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas,
suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta pada
akhirnya menuju pada kehancuran bengsa dan negara Indonesia.

A.    Ketuhanan Yang Maha Esa.


Reformasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa suatu gerakan ke arah
perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia
sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa pada hakikatnya
adalah sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi, sehingga senantiasa bersifat
dinamis yang selalu melakukan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Oleh
karena itu, reformasi harus berlandaskan moral religius dan hasil reformasi harus
meningkatkan kehidupan keagamaan. Reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak
membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain, serta bentuk-bentuk
kekerasan lainnya.

B.     Kemanusiaan yang adil dan beradab.


Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab berarti bahwa reformasi harus
dilakukan dengan dasar-dasar nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu,
reformasi harus dilandasi oleh moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan
reformasi mentargetkan ke arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menghargai
hakrkat dan martabat manusia yang secara jelas menghargai hak-hak asasi manusia.
Reformasi menentang segala praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia
lain atau oleh suatu golongan terhadap golongan lain, bahkan oleh penguasa terhadap
rakyatnya. Untuk bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia, semangat reformasi yang
berdasar pada kemanusiaan menentang praktek-praktek yang mengarah pada diskriminasi
dan dominasi sosial, baik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul, maupun agama.

C.     Persatuan Indonesia.


Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus
menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri
dari [raktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya separatisme, baik atas
dasar kedaerahan, suku, maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali
kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi harus mengarah pada lebih kuatnya
persatuan dan kesatuan bangsa, dan reformasi juga harus senantiasa dijiwai asas kebersamaan
sebagai suatu bangsa Indonesia.

D.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.
Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan karena permasalahan dasar
gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penataan kembali secara menyeluruh
dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai
paradigmanya.

Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya
rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu, semangat
reformasi menentang segala bentuk penyimpangan demokratis, seperti kediktatoran (baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung), feodalisme, maupun, totaliterianisme. Asas
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat
demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa harus
diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh
karena itu, penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR,
pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangan, pada hakikatnya adalah untuk
mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan
sebagaiman terkandung dalam sila keempat Pancasila.

E.     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Visi dasar reformasi haruslah jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam
berbagai bidang kehidupan negara harus bertujuan untuk mewujudkan tujuan bersama
sebagai negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu,
hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan
kembali pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, melainkan
perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan.

Perlindungan terhadap hak asasi, peradilan yang benar-benar bebas dari kekuasaan, serta
legalitas dalam arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan, sehingga rakyat benar-benar
menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan hukum terutama
aparat pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak
untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.
Dalam perspektif Pancasila, gerakan reformasi merupakan suatu upaya untuk menata ulang
dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan
Pancasila dalam kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang
bersifat terbuka dan dinamis, Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman,
terutama perkembangan dinamika aspirasi rakyat.

Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia, dan sebagai bangsa,
maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai tuntutan zaman. Oleh karena
itu, Pancasila sebagai sumber nilai, memiliki sifat yang reformatif, artinya memiliki aspek
pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat, yang
nilai-nilai esensialnya bersifat tetap, yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan.

Penulis

ZULFIKAR HABIE

Borneo_boneparte@yahoo.com

About these ads

Pos ini dipublikasikan di Tak Berkategori. Tandai permalink.

← stimik bipa magelang


belajar jadi hacker…….mariii.. →

Berikan Balasan

Cari:

 Pos-pos Terakhir
o PSIKOTEST
o Cara mudah dapat Chip poker dari Zynga sampai  300M
o belajar jadi hacker(2)…mari…
o belajar jadi hacker…….mariii..
o PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
 Arsip
o Desember 2010
o November 2010
 Kategori
o Tak Berkategori
 Meta
o Mendaftar
o Masuk log
o RSS Entri
o RSS Komentar
o WordPress.com

Cari:

Anda mungkin juga menyukai