Anda di halaman 1dari 18

Dimensi Suara Dalam Ruang;

Tinjauan Psikologi Arsitektur

Oleh:
Andika Saputra S.T., M.Sc
Dosen Prodi Arsitektur
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

Email: andikasapoetra87@yahoo.com
Website: www.andikasaputra.net
 
Dimensi Suara Dalam Ruang;
Tinjauan Psikologi Arsitektur
Oleh: Andika Saputra

Rangkaian suara yang harmonis dapat mempengaruhi kondisi batin pendengarnya.


Perhatikan saja pendengar musik yang semula sedih tiba-tiba senang, yang semula marah
dapat menjadi tenang. Perubahan emosional tersebut tidak lain disebabkan lantunan
musik mempengaruhi kondisi batin pendengarnya. Tidak hanya mempengaruhi kondisi
batin, suara juga merupakan determinan terhadap perilaku pendengarnya dikarenakan
terdapatnya kait hubungan yang erat antara kondisi batin seseorang dengan perilaku yang
ditampakkannya. Munculnya perilaku membutuhkan motif dan daya dorong yang berasal
dari kondisi batin, sehingga dengan mempengaruhi kondisi batin pendengarnya, suara
turut pula mempengaruhi perilaku pendengarnya. Perlu digaris-bawahi bahwa hubungan
kausalitas tersebut tidak bernilai mutlak karena manusia memiliki kemampuan dan
kebebasan untuk menampakkan perilaku yang berbeda dengan kondisi batinnya, seperti
diri yang sedih ditampakkannya sedang berbahagia. Kemampuan inilah yang menjadikan
manusia begitu rumit dan kompleks untuk dipahami.

Keterkaitan suara yang dicerap dengan kondisi batin dan perilaku pendengarnya dapat
dengan mudah ditemui dan dipahami pada dunia hiburan malam yang identik dengan suara
musik disko. Karakter suara musik disko mempengaruhi kondisi batin pendengarnya agar
riang dan menjaga dirinya agar tidak mengantuk yang mendorong munculnya perilaku
jingkrak-jingkrak dan goyang tubuh mengikuti irama suara. Suara musik disko tidak
diperuntukkan untuk mempengaruhi kondisi batin pendengarnya agar khusyuk dan
menampakkan perilaku diam-tenang. Ini menandakan setiap karakter suara memiliki
pengaruh yang berbeda-beda terhadap kondisi batin pendengarnya yang pada akhirnya
akan mendorong memunculkan perilaku yang berbeda pula.

Suara yang bersepadu dengan rangkaian kata memiliki daya yang memungkinkan untuk
menjangkau seluruh lapisan dimensi batin pendengarnya, sehingga daya pengaruh yang
dimilikinya pun semakin kuat di mana unsur suara menyasar dimensi emosional sementara
unsur kata menyasar dimensi terdalam dari kondisi batin pendengar. Hubungan antara
suara dan kata dapat dianalogikan sebagai kendaraan dan pengendara, yakni suara
merupakan kendaraan bagi kata untuk dapat memasuki dimensi terdalam kondisi batin

1
pendengar. Dari analogi tersebut terbentuk dua prinsip yang mengikat suara dan kata.
Pertama, kata sebagai pengendara menentukan kendaraan yang hendak digunakannya
untuk dapat memasuki dimensi terdalam kondisi batin pendengar. Dengan demikian,
karakter dan substansi kata menentukan karakter suara yang mengiringinya, sehingga kata
yang bersumberkan dari Wahyu memiliki ciri khas suara yang patut mengiringinya, yakni
suara yang berkesesuaian dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh Islam. Kedua,
ketidaksesuaian antara suara dan kata menyebabkan menurunnya daya pengaruh keduanya
dalam mempengaruhi kondisi batin pendengar, bahkan dalam beberapa kondisi dapat
menyebabkan terjadinya polusi suara yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian
selanjutnya dari tulisan ini.

Ditinjau dari pendekatan psikologi arsitektur, suara dalam konteks keruangan dapat
dipahami sebagai (1) unsur aktif pengisi ruang; dan (2) pembatas imajiner ruang. Yang
pertama, suara sebagai unsur aktif dapat dimanfaatkan untuk melakukan kontrol perilaku
pengguna ruang agar menggunakan ruang dan menampakkan perilaku yang dinilai benar
dengan mempengaruhi kondisi batinnya. Dengan cara pandang ini, unsur suara yang
mengisi ruang tidak selalu bernilai negatif karena menyebabkan ketidaknyamanan
pengguna dalam berkegiatan di dalam ruang, seperti suara yang berasal dari kendaraan
bermotor. Dalam Arsitektur Islam, kontrol ruang dengan memanfaatkan unsur suara
menjadi penting karena Arsitektur Islam mensyaratkan kegiatan dan perilaku pengguna di
dalam ruang berkesesuaian dengan batas-batas yang telah ditetapkan Islam. Semisal untuk
menumbuhkan kondisi khusyuk di ruang Masjid dapat dicapai dengan memanfaatkan unsur
suara gemericik air dan dedaunan yang tertiup angin yang dapat menenangkan jiwa
pendengarnya.

Yang kedua, suara sebagai pembatas imajiner ruang ialah pelingkupan dan pemberian
batas suatu ruang berdasarkan suara yang dilantunkan dari dalamnya dan atau
melingkupinya. Dengan cara pandang ini, pengguna dapat mengidentifikasi batas ruang
berdasarkan jangkauan suara yang dilantunkan dari suatu ruang-sumber-suara yang
melingkupi ruang-ruang di sekitarnya serta memahami karakter ruang berdasarkan
karakter dan sumber suara yang melingkupinya. Dengan cara pandang yang sama,
Arsitektur Islam memiliki ciri khas dari (1) aspek suara yang dilantunkan; dan (2) aspek
ruang yang berkedudukan sebagai sumber suara. Yang pertama, Arsitektur Islam memiliki
unsur suara yang khas sebagai unsur aktif pengguna ruang dan pembatas imajiner ruang.
Unsur kata yang khas Islam bersumberkan dari tradisi Islam yang meliputi Kalamullah,
adzan, perkataan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, perkataan para

2
ulama dan kata-kata yang memuat pesan serta spiritualitas Islam. Sedangkan unsur suara
yang menjadi khas Islam ialah yang diafirmasi oleh Islam karena tidak melampaui batas-
batas yang telah ditetapkan Islam.

Di antara batas-batas yang telah ditetapkan Islam dalam melantunkan suara, terutama
dalam membaca Kalamullah adalah membacanya dengan tartil, yakni dengan perlahan dan
suara yang merdu agar menyentuh hati pelantun dan pendengarnya sebagaimana
termaktub di dalam Surah Al-Israa’: 106,

“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian”. (QS 17: 106)

Di dalam Hadits pun Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menegaskan batas yang sama
untuk memerdukan suara ketika membaca Kalamullah,

“Bukan dari golongan kami siapa yang tidak memerdukan suara ketika membaca
Al-Qur’an” (Diriwayatkan Imam Bukhari).

Pada titik batas yang lain, Allah melarang manusia untuk memperindah suaranya dengan
karakter suara yang dapat membangkitkan syahwat pendengar, sebagaimana termaktub di
dalam Surah Al-Ahzah: 32, karena dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi
batinnya yang dapat mendorongnya melakukan perbuatan asusila,

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik”. (QS 33: 32)

Walaupun secara tektual ayat di atas merujuk pada diri istri-istri Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam, tetapi dalam konteks pembahasan tulisan ini yang
menekankan pada pengaruh suara terhadap kondisi batin pendengar, maknanya dapat
diberlakukan umum untuk seluruh manusia. Unsur suara dan kata yang bersumberkan dari
tradisi Islam dan berkesesuaian dengan batas-batas Islam didasari tujuan yang telah
ditetapkan Islam kepada penganutnya dalam melantunkan suara, yakni dalam rangka
berdakwah menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru ruang dengan kualitas suara yang
harmonis dan kualitas kata yang berkesesuaian dengan fitrah diri manusia.

Yang kedua, Arsitektur Islam memiliki kekhasan dalam aspek ruang-sumber-suara dari
lingkup mikro hingga makro yang membedakannya dengan arsitektur selainnya. Dalam
lingkup mikro, ruang-sumber-suara dalam Arsitektur Islam ialah ruang Mushola. Lebih

3
spesifik untuk objek hunian, ruang Mushola sebagai ruang-sumber-suara diperkuat daya
lingkup dan daya pengaruhnya dengan kehadiran ruang keluarga yang didasari atas peran
dan tujuan keluarga dalam pandangan Islam. Sementara dalam lingkup meso dan makro,
ruang-sumber-suara diperankan oleh ruang Masjid dengan kapasitas, daya lingkup suara
dan daya pengaruh suara yang berbeda didasari skala pelayanan masing-masing ruang
Masjid. Keberadaan ruang-sumber-suara berciri khaskan Arsitektur Islam dari lingkup mikro
hingga makro yang berperan melantunkan suara berciri khaskan Islam tidak lain bertujuan
untuk mempengaruhi kondisi batin pendengar yang berkegiatan di setiap ruang
kehidupannya agar senantiasa terhubung dengan Allah, sehingga dapat mendorongnya
untuk menampakkan perilaku yang dikehendaki oleh Allah.

Saya hendak menuturkan pengalaman berkaitan dengan unsur suara yang bersumberkan
dari Islam sebagai pelingkup ruang dan pengaruhnya terhadap kondisi batin saya sebagai
pengguna ruang. Terdapat perbedaan pengalaman meruang dan pengaruh psikologis yang
saya rasakan ketika berkegiatan di dalam ruang yang dilingkupi suara yang bersumberkan
dari Islam di daerah minoritas Muslim dan di daerah mayoritas Muslim. Di Bali yang
merupakan daerah minoritas Muslim di mana saya lahir dan menjalani kehidupan hingga
dewasa, persebaran ruang Masjid sebagai ruang-sumber-suara yang tidak merata dan jarak
antar ruang Masjid yang terbilang saling berjauhan menyebabkan terbentuknya ruang
kosong di antara masjid yang tidak dilingkupi secara aktif oleh suara yang berciri khaskan
Islam, terutama suara adzan, sehingga mempengaruhi kesadaran umat Islam terhadap
waktu shalat yang mendorong munculnya perilaku menunda-nunda pelaksanaan shalat.

Berkegiatan di dalam ruang yang dilingkupi suara berciri khaskan Islam di lingkungan
minoritas Muslim seketika menumbuhkan dan menjaga kesadaran saya sebagai seorang
Muslim laiknya siraman air hujan di tengah hari yang terik atau seorang musafir yang telah
kehabisan bekal di tengah perjalanan dan dalam kondisi dahaga yang teramat sangat
menemukan sumber air yang melimpah. Di lingkungan tempat saya bermukim di Bali
terdapat sebuah ruang Masjid yang dikelola dan dihidupi oleh kalangan Nahdiyin dengan
tradisinya yang kental berkaitan dengan pelantunan suara, seperti tilawah Qur’an,
tarkhim, shalawatan, hadrah, Yasinan dan sebagainya yang berdampak pada peningkatan
intensitas suara yang melingkupi ruang permukiman, sehingga meningkat pula daya
pengaruh suara berciri khaskan Islam terhadap kondisi batin diri saya sebagai pendengar.
Intensitas suara yang tinggi dan berkelanjutan dari ruang Masjid menjadi pengingat dan
peneguh identitas saya sebagai seorang Muslim yang mendorong diri saya untuk senantiasa
berupaya berperilaku dalam batas-batas yang dikehendaki Allah.

4
Kondisi yang berbeda saya rasakan di daerah mayoritas Muslim, yakni di kampung ibu saya
di Tempeh Lumajang, di kampung istri saya di Kerek Tuban, di Yogyakarta, di daerah
Dinoyo Malang dan kini bermukim di Kartasura. Persebaran masjid yang merata dan relatif
saling berdekatan di daerah mayoritas Muslim menjadikan hampir seluruh ruang dilingkupi
suara yang berciri khaskan Islam. Terlebih intensitas suara yang dilantunkan dari ruang
Masjid semakin meningkat pada Kamis malam dan sepanjang Bulan Ramadhan guna
menjaga kesadaran pengguna ruang sekaligus pengingat bahwa esok memasuki hari Jumat
dan bahwa kini tengah berada di dalam Bulan Ramadhan, sehingga mendorong diri
pendengar untuk melangsungkan perilaku yang menjadi tuntutan serta tuntunan sepanjang
waktu tersebut. Tidak kalah berkesan pengaruh psikologis yang saya rasakan ketika
bermukim hingga bilangan semester di wilayah UIN Malang yang terpaut begitu dekat
dengan Masjid At-Tarbiyah UIN Malang di mana intensitas suara yang berciri khaskan Islam
berupa shalawat dan dzikir secara berjama’ah meningkat selepas shalat Shubuh hingga
matahari terbit yang menjaga kesadaran saya untuk tidak kembali merebahkan diri di
pembaringan dan pada Sabtu malam yang menyasar kondisi batin kalangan mahasiswa agar
mendatangi ruang Masjid untuk menghindarkan diri dari kegiatan bermalam mingguan.

Dari pengalaman yang saya kisahkan, dapat ditarik dua prinsip yang mengikat unsur suara
dalam mempengaruhi kondisi batin pengguna ruang. Prinsip pertama, semakin tinggi
intensitas suara yang dilantunkan dari ruang-sumber-suara, maka semakin kuat
membentuk suasana dan karakter ruang yang dilingkupinya, sehingga semakin kuat pula
daya pengaruh suara dalam mempengaruhi pengguna ruang. Satu fenomena yang
menguatkan prinsip pertama tersebut adalah peningkatan intensitas suara yang berciri
khaskan Islam sepanjang Bulan Ramadhan yang membentuk suasana dan karakter ruang
yang tidak ditemui pada bulan-bulan selainnya, sehingga pengguna ruang merasakan
suasana yang berbeda yang mempengaruhi kondisi batinnya untuk meningkatkan intensitas
kegiatan ibadah. Begitu Bulan Ramadhan pergi, maka intensitas suara pun menurun yang
menimbulkan kesedihan dan kerinduan secara psikologis terhadap suasana Ramadhan.

Prinsip kedua, suara yang harmonis memberikan pengaruh positif terhadap kondisi batin
pendengarnya, sedangkan suara yang tidak harmonis yang merupakan polusi suara
mengakibatkan dampak buruk bagi pendengarnya, seperti memicu amarah yang
mendorong munculnya perilaku pengerusakan terhadap ruang-sumber-suara yang menjadi
sumber polusi-suara. Persoalan polusi suara patut mendapatkan perhatian lebih
dikarenakan secara sosiologis dapat memicu terjadinya konflik horizontal antara pihak
pelantun suara dengan pihak pendengar. Untuk mencegah dan menyelesaikan

5
permasalahan polusi suara, terlebih dahulu harus diketahui indikator suatu suara
dinyatakan sebagai polusi serta sebab-sebab terjadinya. Dimulai dari yang pertama,
variabel untuk menilai suatu suara dinyatakan sebagai polusi terdiri dari (1) suara itu
sendiri; dan (2) kata yang disampaikan melalui suara. Suara dinilai sebagai polusi jika
tingkat kekerasannya melebihi ambang batas pendengaran manusia sehingga
membahayakan bagi indera pendengaran, dan nada lantunan suara tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah yang berlaku sehingga suara yang diperdengarkan tidak harmonis.
Sementara kata dinilai sebagai polusi jika makna yang disampaikan tidak patut untuk
ditujukan kepada orang lain seperti celaan, ghibah, provokasi dan semisalnya. Tidak hanya
ditujukan kepada manusia, bahkan Islam melarang keras ditujukannya kata yang memuat
celaan terhadap tuhan-tuhan yang disembah oleh komunitas manusia lainnya sebagai
upaya untuk menghindari terjadinya benturan dan konflik sosial antar umat beragama
sebagaimana termaktub dalam Surah Al-An’aam: 108,

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan” (QS 6: 108)

Ditinjau dari sebab musababnya, terdapat empat penyebab polusi suara dalam konteks
keruangan. Sebab pertama, sebaran ruang-sumber-suara yang berdekatan dalam suatu
wilayah menyebabkan antar suara yang dikumandangkan saling berbenturan, sehingga
merusak harmonisasi suara dan memunculkan kebisingan. Sebab kedua, kualitas pelantun
suara yang rendah menyebabkan suara yang dikumandangkan tidak harmonis. Sebab
ketiga, kualitas teknologi pengeras suara yang buruk. Dan sebab keempat, waktu
pelantunan suara yang tidak tepat, sehingga mengganggu pendengar. Meninjau Masjid
sebagai ruang-sumber-suara, penyebab pertama seringkali terjadi di wilayah mayoritas
Muslim di mana jarak antar ruang Masjid cenderung sangat dekat sehingga terjadi
benturan suara yang dilantunkan dari dua ruang Masjid atau lebih.

Penyebab kedua dan ketiga lazim terjadi dikarenakan persoalan rendahnya Sumber Daya
Manusia yang mengelola ruang Masjid. Penyebab kedua seringkali terjadi karena tidak
terdapatnya generasi muda yang mau melantunkan adzan dan menjadi imam shalat,
sehingga pengelolaan ruang Masjid cenderung dijalankan oleh generasi sepuh yang dari
segi tingkat kekerasan suara dan kualitas suaranya cenderung lebih rendah dibandingkan
generasi muda. Sementara penyebab ketiga seringkali terjadi dikarenakan ketiadaan dana
untuk menerapkan teknologi pengeras suara yang baik, dan kalaupun suatu masjid
memilikinya, seringkali tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menggunakan dan

6
merawat teknologi tersebut. Dan penyebab keempat terjadi dikarenakan rendahnya rasa
empati terhadap sesama manusia, sehingga suara berciri khas Islam yang dilantunkan tidak
mencapai tujuannya, tetapi justru mengganggu pendengar. Dua kasus berdasarkan
pengalaman pribadi dapat saya sebutkan untuk menggambarkan penyebab keempat, yakni
dilantunkannya suara-suara dari ruang Masjid pada jam 2 dini hari untuk membangunkan
umat Islam agar segera bangun dan menunaikan Sahur, dan suara dzikir Jama’ah hingga
jam 11 malam hari. Keempat penyebab polusi suara tersebut terikat prinsip bahwasanya
jika keempat penyebab polusi suara tersebut ditemukan dalam satu kasus, maka tingkat
polusi suara yang terjadi semakin tinggi dan dampaknya semakin merusak.

Berangkat dari penyebab-penyebabnya, syarat-syarat yang harus diperhatikan untuk


menuntaskan permasalahan polusi suara sekaligus untuk melingkupi ruang dengan suara
berciri khaskan Islam dengan kualitas yang baik terdiri dari syarat (1) dalaman; dan (2)
luaran. Pertama, syarat-dalaman terdiri dari unsur (1) pelantun suara; (2) kualitas suara
dan kata; dan (3) pendengar suara. Pelantun suara harus memiliki kemampuan
melantunkan kata yang jelas dengan balutan suara yang harmonis agar menarik perhatian
dan pesan yang disampaikan mampu ditangkap dengan baik oleh pendengar. Syarat
tersebut didasari keputusan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ketika
menunjuk Bilal sebagai muadzin dikarenakan memiliki suara yang merdu dan mampu
melantunkan redaksi adzan dengan jelas dan keras, sehingga mampu melantunkan suara
dengan jelas dan suara yang dilantunkannya memiliki daya lingkup yang luas untuk dapat
dicerap dengan baik oleh umat Islam yang berada jauh dari ruang-sumber-suara.

Kualitas suara yang dikumandangkan selain memenuhi kaidah suara yang harmonis, juga
harus memenuhi tingkat kekerasan suara yang nyaman bagi indera pendengaran. Suara
yang terlalu keras dapat membahayakan indera pendengaran dan malah berpotensi
menjadi penyebab munculnya polusi suara. Sedangkan tingkat kekerasan suara yang
terlalu rendah tidak dapat dicerap dengan baik oleh pendengarnya yang berakibat
terjadinya distorsi pesan dan memunculkan kesalah-pahaman pihak pendengar. Sementara
dari unsur kata yang disampaikan haruslah luhur agar dapat memberikan pengaruh positif
terhadap kondisi kejiwaan pendengarnya, dan sebaik-baiknya kata untuk didengarkan
manusia ialah yang bersumberkan dari Islam yang merupakan Wahyu Ilahi.

Unsur terakhir dari syarat-dalaman ialah pihak pendengar yang mensyaratkan memiliki
indera pendengaran yang sehat untuk dapat mencerap suara yang dilantunkan dan
memahami kata yang disampaikan agar bermakna bagi dirinya sehingga dapat memberi
pengaruh bagi kondisi batinnya. Perkataan hasil kreasi manusia mensyaratkan

7
pendengarnya untuk memahami makna kata yang disampaikan agar kata tersebut dapat
memberi pengaruh. Berbeda dengan Kalamullah yang dapat memberi pengaruh sekalipun
pihak pendengarnya tidak memahami arti dan makna kata yang disampaikan, dengan
syarat terdapat iman di dalam hatinya atau mendapatkan petunjuk dari Allah untuk
mengenali kebenaran. Berbeda kedudukan dengan pendengar pertama, pendengar yang
memahami arti dan makna Kalamullah yang disampaikan, selain mempengaruhi kondisi
batinnya menjadi tenang dan semakin dekat dengan Allah sehingga tunduk patuh hanya
kepada kehendak-Nya, juga mampu mendulang hikmah untuk dipergunakannya menjalani
kehidupan di alam dunia.

Dari pembahasan mengenai syarat-dalaman ditetapkan kondisi prasyarat yang harus


terpenuhi agar suara berciri khas Islam mampu mempengaruhi kondisi batin pengguna
ruang ialah terdapatnya iman di dalam hati pelantun dan pendengar suara dikarenakan
pada hakikatnya melantunkan dan mendengarkan suara berciri khas Islam merupakan
ibadah yang mensyaratkan dimilikinya iman agar terhitung sebagai amal shalih. Namun
demikian, syarat iman tidak menjadikan suara berciri khas Islam bersifat eksklusif hanya
untuk pihak pendengar dari kalangan Muslim, tetapi diperuntukkan pula untuk seluruh
umat manusia sebagaimana perintah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
kepada umat Islam untuk memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada non Muslim sebagai
wasilah bagi hidayah Allah. Banyak kasus kita temui pendengar dari kalangan non Muslim
tergugah jiwanya saat mendengarkan Kalamullah yang kemudian menumbuhkan keimanan
di dalam hatinya, sehingga mendorong dirinya untuk memeluk Islam.

Syarat-luaran agar suara berciri khas Islam mampu mempengaruhi kondisi batin pengguna
ruang meliputi unsur (1) wujud artefak ruang-sumber-suara; (2) teknologi pengeras suara;
dan (3) manajemen suara. Syarat-luaran yang paling dekat dan berkaitan secara langsung
dengan bidang arsitektur ialah wujud artefak ruang-sumber-suara meliputi tata ruang,
proporsi dan dimensi tinggi ruang-sumber-suara. Ditinjau dari tata ruang-sumber-suara itu
sendiri, ruang Mushola dan Masjid dalam lingkup meso maupun makro menuntut
perencanaan tata ruang yang memungkinkan suara berciri khaskan Islam dapat dicerap
dengan kualitas baik oleh pengguna yang sedang berkegiatan di dalamnya. Tata ruang yang
tidak baik dapat menyebabkan terjadinya distorsi suara, semisal suara yang menggema,
sehingga kata yang termuat di dalam suara tidak dapat ditangkap dengan jelas oleh
pendengar, sehingga menyebabkan kesalahpahaman terhadap pesan yang ditangkap atau
bahkan dapat menyebabkan pendengar mengalami ganggugan indera pendengaran.

8
Ditinjau dari hubungan keruangan antara ruang-sumber-suara dengan ruang-ruang di
sekelilingnya, perencanaan ruang Mushola dan Masjid dalam skala meso maupun makro
harus memperhatikan aspek (1) daya jangkau suara sejauh lingkup pelayanan ruang-
sumber-suara; dan (2) aksesibilitas yang memudahkan pendengar untuk mendatangi dan
berkegiatan di dalam ruang-sumber-suara. Aspek pertama memiliki dua prinsip yang harus
dipenuhi. Prinsip pertama, semakin luas skala pelayanan ruang Mushola dan Masjid, maka
suara yang dilantunkan dari dalamnya menuntut untuk memiliki daya lingkup yang semakin
luas pula. Masjid Agung yang berkedudukan sebagai ruang-sumber-suara skala makro yang
menempati pusat kota memiliki skala pelayanan yang lebih luas dibandingkan Masjid
Permukiman, sehingga suara yang dilantunkan dari Masjid Agung diharuskan mampu
melingkupi wilayah yang lebih luas dibandingkan Masjid Permukiman. Begitupula dengan
ruang Mushola sebagai ruang-sumber-suara skala mikro dengan skala pelayanan paling
sempit memiliki daya lingkup suara yang tidak seluas ruang Masjid.

Prinsip kedua, sebaran dan perletakan ruang-sumber-suara berciri khaskan Islam harus
memperhatikan daya lingkup suara dari ruang-sumber-suara sejenis maupun selainnya,
seperti ruang ibadah agama lain, ruang hiburan dan lainnya, untuk menghindari
terbentuknya polusi suara. Yang perlu menjadi perhatian lebih, terutama pada masa kini
dikarenakan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal antar umat beragama
ialah jarak yang saling berdekatan antara Masjid dengan ruang ibadah agama lain yang
merupakan ruang-sumber-suara bagi penganutnya masing-masing. Maksud yang dapat saya
tangkap dari didekatkannya jarak ruang ibadah dari berbagai agama dalam satu area yang
terpusat, sebagaimana di Bali disebut dengan Puja Mandala, adalah untuk meningkatkan
intensitas komunikasi sebagai upaya merekatkan dan memperkuat hubungan antar umat
beragama. Tetapi pada realitasnya, benturan suara dari dua atau lebih ruang ibadah pada
waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Ahad pagi di mana ruang Gereja melangsungkan
kegiatan ibadah dan ruang Masjid melangsungkan pengajian akbar, membutuhkan sikap
toleransi tinggi yang hampir-hampir tidak selalu dapat dipenuhi. Oleh karena itu, strategi
perekatan sosial dengan mendekatkan ruang ibadah antar umat beragama tidaklah selalu
tepat yang dalam penerapannya dapat digeneralkan tanpa mempertimbangkan kondisi
sosial keagamaan setempat, karena berpotensi mengganggu kekhusyukan umat yang
sedang beribadah dan memicu terjadinya konflik.

Solusi yang dapat dipertimbangkan dalam skala meso adalah ruang ibadah didekatkan pada
kelompok hunian masing-masing umat beragama. Perekatan sosial dicapai melalui kegiatan
komunal yang diwadahi di dalam ruang olahraga, ekonomi, dan sosial budaya. Sementara

9
dalam skala makro, ruang ibadah yang berkedudukan di area pusat-kota didasarkan pada
aspek keagamaan, kesejarahan, identitas, kondisi sosial, budaya dan politik penghuni
kota. Kota Surakarta yang dari segi awal mula keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
sosok seorang ulama bernama Ki Ageng Henis dan pada masa Modern merupakan ruang
perjuangan melawan Kolonialisme yang dipelopori oleh Sarekat Dagang Islam dan Sarekat
Islam, dapat menjadi dasar yang kokoh untuk menempatkan ruang Masjid di pusat kota
Surakarta yang berperan sebagai ruang-sumber-suara sekaligus penanda identitas kota.
Begitu pula kota-kota di Bali yang berkaitan sangat erat dengan Hindu dan budaya
penganutnya, sehingga dapat dipahami jika ruang ibadah umat Hindu maupun ruang-ruang
yang mencerminkan identitas Hindu ditempatkan di pusat kota.

Gambar: Puja Mandala di Nusa Dua dengan 5 ruang ibadah (kiri) dan
Puja Mandala di Kuta Selatan dengan 3 ruang ibadah (kanan)

Berpindah pada aspek kedua, yakni aksesibilitas, memiliki prinsip bahwa semakin baik
kuantitas serta kualitas aksesibilitas, maka akan semakin memudahkan pendengar untuk
memasuki dan berkegiatan di dalam ruang-sumber-suara. Dalam kondisi ideal, ruang-
sumber-suara memiliki kemudahan akses untuk didatangi dan memiliki kualitas suara yang
baik untuk dapat dicerap pendengar, sehingga kondisi batin pendengar yang terpengaruh
oleh suara berciri khaskan Islam akan membentuk niat di dalam diri yang direalisasikannya
secara lahiriyah dengan mendatangi ruang-sumber-suara. Bagi kebanyakan pendengar,
ruang-sumber-suara yang tidak memiliki kemudahan akses, seperti dipisahkan aliran sungai
tanpa tersedianya jembatan yang layak guna menyebabkan niat yang terbentuk di dalam
diri mendapatkan hambatan dan penghalang untuk direalisasikan. Tetapi bagi segelintir
orang, ketidak mudahakan akses bukan merupakan penghambat maupun penghalang bagi
dirinya untuk mendatangi ruang-sumber-suara, walaupun membutuhkan daya upaya yang
sangat berat. Hal tersebut disebabkan suara yang berciri khaskan Islam mempengaruhi

10
kondisi batin pendengar hingga menyentuh dimensi terdalam dirinya, sebagaimana kondisi
yang dialami oleh Bilal bin Rabbah yang tidak menghiraukan segala bentuk siksaan
terhadap tubuhnya disebabkan Wahyu yang diperdengarkan oleh Rasul Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam kepadanya telah mempengaruhi kondisi batinnya hingga
dimensi terdalam.

Ditinjau dari hubungan secara menyeluruh, ruang-sumber-suara Arsitektur Islam


membentuk kesatuan yang bertujuan agar ruang dari skala mikro hingga makro dilingkupi
suara yang berciri khaskan Islam sebagai bentuk penjagaan terhadap diri manusia yang
berkegiatan di dalam ruang-ruang kehidupannya. Kesatuan yang dimaksud meliputi (1)
kesatuan suara yang bersumberkan dari Islam; dan (2) kesatuan ruang yang membentuk
jejaring ruang-sumber-suara dalam mempengaruhi kondisi batin pengguna ruang dan
pendengar. Kesatuan suara yang berciri khaskan Islam didasarkan atas kesamaan sumber,
sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, yang menjadikan benturan
suara dari dua atau lebih ruang-sumber-suara Arsitektur Islam tidak menyebabkan
terjadinya polusi suara jika seluruh unsur-dalaman terpenuhi. Dalam kondisi demikian,
benturan suara justru memperkuat daya pengaruh suara berciri khaskan Islam untuk
mempengaruhi kondisi batin pendengar. Pembuktian dari pernyataan tersebut saya alami
sendiri secara eksistensial, sebagaimana pengalaman yang telah saya kutip di atas, di
mana pengaruh suara berciri khaskan Islam jauh lebih kuat saya rasakan di wilayah
mayoritas Muslim akibat benturan suara adzan dari dua ruang-sumber-suara atau lebih
dibandingkan pengaruhnya di wilayah minoritas Muslim yang sangat kecil sekali
kemungkinan terjadinya benturan suara berciri khaskan Islam dikarenakan jarak yang
terbilang berjauhan antar ruang-sumber-suara.

Sementara kesatuan ruang berkaitan dengan lingkup pengaruh ruang-sumber-suara


terhadap pengguna maupun pendengar berdasarkan kedudukannya masing-masing yang
membentuk sifatnya yang khas. Ruang Mushola mempengaruhi pengguna ruang secara
personal sebagai individu maupun sebagai keluarga atau kelompok kecil umat Islam yang
merupakan unit terkecil dari Ummah, sehingga menjadikannya sebagai ruang-sumber-suara
yang bersifat personal-individual atau komunal-terbatas. Sementara Masjid dalam skala
meso mempengaruhi pendengar sebagai individu atau kelompok-kelompok kecil untuk
keluar dari ruang-ruang pribadinya dan berkumpul sebagai masyarakat Islam, dan ruang
Masjid dalam skala makro menyatukan seluruh diri individu Muslim sebagai Ummah yang
menjadikannya sebagai ruang-sumber-suara yang bersifat komunal-luas. Kesatuan ruang

11
yang merupakan integrasi antar ruang-sumber-suara Arsitektur Islam dari skala mikro
hingga makro dapat digambarkan dalam bentuk diagram di bawah ini:

Gambar: Kesatuan ruang-sumber-suara Arsitektur Islam


Sumber: Analisa, 2018

Unsur-luaran kedua, yakni teknologi pengeras suara, secara konseptual maupun


kesejarahan memiliki kaitan erat dengan dimensi tinggi dan proporsi ruang-sumber-suara.
Secara konseptual, semakin tinggi dimensi ruang-sumber-suara, maka semakin
memungkinkan untuk memiliki daya lingkup suara yang semakin luas. Selain didasari
kebutuhan untuk melantunkan suara sejauh dan sebaik mungkin, ruang-sumber-suara
Arsitektur Islam dalam skala meso dan makro memiliki dimensi ruang tertinggi dan
proporsi paling dominan di antar ruang-ruang lainnya didasari pula oleh aspek fungsional
agar mudah terlihat dari berbagai arah, sehingga memudahkan umat Islam untuk
mengenali ruang Masjid dan mendatanginya, serta didasari aspek monumentalitas
dikarenakan ruang Masjid secara kewilayahan juga berperan sebagai penanda wilayah
(landmark). Sementara dalam skala mikro, dimensi tinggi dan proporsi ruang Mushola
ditentukan secara fungsional sesuai dengan kegiatan dan jumlah pengguna yang akan
diwadahi.

Ditilik secara kesejarahan, teknologi suara yang diterapkan pada ruang-sumber-suara


Arsitektur Islam pada masa awal Peradaban Islam memanfaatkan ketinggian ruang agar
suara berciri khaskan Islam memiliki daya lingkup yang luas dengan kualitas suara yang

12
dilantunkan sepenuhnya bergantung pada syarat-dalaman. Dimulai dari Bilal bin Rabbah
sebagai muadzin pertama umat Islam, mengumandangkan suara berciri khaskan Islam dari
atap rumah seorang penduduk Madinah yang berdekatan dengan Masjid Nabi. Pada masa
Umar bin Abdul Aziz, daya lingkup suara berciri khaskan Islam dapat menjangkau wilayah
yang semakin luas dengan diperkenalkannya minaret sebagai unsur pembentuk ruang
Masjid yang memiliki dimensi ketinggian jauh melebihi atap rumah penduduk yang
digunakan oleh Bilal bin Rabbah. Tetapi disebabkan keterbatasan teknologi pada
zamannya, muadzin yang berada di atas ketinggian minaret untuk dapat melantunkan
suara berciri khaskan Islm dengan kualitas yang baik sepenuhnya masih bergantung pada
syarat-dalaman. Pada masa kini setelah ditemukannya perangkat teknologi pengeras suara
yang jauh lebih baik dan lebih maju, selain memanfaatkan ketinggian ruang dengan tetap
menerapkan unsur minaret, ruang Masjid diperlengkapi dengan teknologi suara elektronik
yang memungkinkan daya lingkup suara dan kualitas suara dapat dikontrol sepenuhnya
untuk dapat menjangkau wilayah seluas mungkin dan dapat dihasilkan kualitas suara
sebaik mungkin.

Gambar: Minaret sebagai teknologi pengeras suara pada ruang Masjid.

Unsur terakhir dari syarat-luaran ialah manajemen suara yang terdiri peraturan pelantunan
suara dan penggunaan teknologi pengeras suara. Peraturan pelantunan suara berkaitan
dengan waktu dilantunkannya suara yang sangat berkaitan dengan aspek empati pelantun
suara untuk menghindari terbentuknya polusi suara dan menjaga kenyamanan psikologis
pendengar. Harus dipahami bahwa diri manusia tidak setiap saat memiliki kesiapan untuk
mencerap suara disebabkan keterbatasannya, seperti rasa lelah yang menuntut kondisi
tenang untuk beristirahat. Oleh sebab itu, walaupun suara berciri khaskan Islam memiliki
daya pengaruh yang paling baik bagi manusia, tetapi aspek waktu penantunannya tetap
harus diperhatikan berdasarkan pola kegiatan manusia pada umumnya, seperti tidak
melantunkan suara di atas jam 10 malam atau sebelum jam 4 pagi yang merupakan waktu
beristirahat bagi kebanyakan manusia. Dengan mengetahui waktu yang baik dan waktu

13
yang harus dihindari untuk melantunkan suara dikaitkan dengan kesiapan diri manusia
sebagai pendengar, maka suara berciri khaskan Islam dapat secara efektif mempengaruhi
kondisi batin pendengar.

Selain itu, pelantunan suara berciri khaskan Islam juga harus memperhatikan aspek waktu
pelantunan suara dari ruang-ruang lain untuk menghindari terjadinya benturan suara,
terutama suara dari ruang ibadah umat non Muslim yang memiliki waktu-waktu tertentu
untuk melantunkan suara berciri khaskan agamanya masing-masing. Pengalaman saya
hidup dan berkehidupan di wilayah minoritas Muslim, beberapa kali saya mendapati
benturan suara antara suara berciri khaskan Hindu yang dilantunkan dari ruang Pura
dengan suara tarkhim dari ruang Masjid. Dalam kasus ini, menurut pandangan saya,
dikarenakan suara berciri khaskan Hindu merupakan bagian dari peribadatan umat Hindu
sedangkan tarkhim berkedudukan sebagai tradisi umat Islam, maka umat Islam sudah
seharusnya berempati dengan memundurkan waktu pelantunannya hingga suara dari ruang
Pura selesai dilantunkan dengan tujuan selain untuk memberikan kenyamanan bagi
pendengar juga untuk menghindari terjadikan konflik di antara kalangan umat beragama.

Pada kasus yang lain, suara yang dilantunkan dari selain ruang ibadah harus menyesuaikan
waktu pelantunannya dengan waktu pelantunan suara berciri khaskan Islam dari ruang
Mushola maupun Masjid. Dengan demikian, kegaduhan suara yang beriringingan dengan
kegiatan jual-beli di pasar yang berdekatan dengan ruang Masjid harus dihentikan pada
waktu dilantunkannya suara berciri khaskan Islam agar dapat mempengaruhi kondisi batin
pengguna ruang pasar yang akan mendorongnya untuk mendatangi ruang Masjid dengan
menutup untuk sementara waktu kedai dagangannya. Begitupula pada kasus ruang Mall
yang memiliki fasilitas ruang Mushola atau Masjid. Seluruh kegaduhan suara yang
mengiringi kegiatan ekonomi di ruang Mall harus dihentikan sementara waktu pada waktu-
waktu dilantunkannya suara berciri khaskan Islam. Tauladan yang baik saya dapati di pusat
perbelanjaan Modern Goro Assalam Surakarta yang selalu menyampaikan informasi kepada
pengunjung untuk bersegera mengakhiri kegiatan berbelanja dan mendatangi ruang Masjid
yang berada di area depan pusat perbelanjaan sebelum dilantunkannya suara adzan ke
seluruh pelosok ruang perdagangan.

14
Gambar: Ruang Masjid di Ambarukmo Plaza Yogyakarta yang tidak memiliki daya
pengaruh terhadap kegiatan perdagangan yang diwadahi (kiri) dan ruang Masjid di Goro
Assalam Surakarta yang memiliki daya pengaruh lebih kuat (kanan).

Peraturan pelantunan suara berciri khaskan Islam dari aspek waktunya didasari Hadits yang
meriwayatkan teguran Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang
sahabat yang tengah shalat dengan mengeraskan bacaan shalatnya sehingga mengganggu
jamaah yang lain. Beliau bersabda,

“Wahai manusia sekalian, sesungguhnya seluruh kalian sedang bermunajat


kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian kalian mengeraskan suaranya atas
orang selainnya”. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Selain dari aspek waktu, peraturan pelantunan suara berciri khaskan Islam juga berkaitan
dengan terpenuhinya syarat-syarat untuk melantunkan suara berciri khaskan Islam dengan
kualitas yang baik. Jika dalam skala meso terdapat dua atau lebih ruang Masjid yang saling
berdekatan dengan kondisi tidak semua ruang-sumber-suara memenuhi syarat yang telah
ditetapkan, maka ruang tersebut hanya diizinkan untuk melantunkan suara ke arah dalam,
sementara peran untuk melingkupi ruang secara luas dengan suara berciri khaskan Islam
dibebankan kepada ruang Masjid yang memenuhi seluruh syarat dalaman maupun luaran.
Jika terjadi perbaikan kualitas, sehingga dua atau lebih ruang Masjid yang berada dalam
wilayah yang sama dapat melantunkan suara berciri khaskan Islam dengan baik, maka
peran untuk melingkupi ruang secara luas diprioritaskan kepada ruang Masjid yang
memiliki daya lingkup paling luas dan kapasitas pengguna paling banyak.

Terakhir, penggunaan teknologi pengeras suara untuk melantunkan suara dengan kualitas
yang baik harus didasarkan aspek kualitas teknologi itu sendiri dan aspek kemampuan
masyarakat untuk menggunakan serta merawat teknologi yang diterapkan. Seringkali
penerapan teknologi tidak didasari kemampuan untuk menggunakan dan merawat,
sehingga cara penggunaan yang salah menyebabkan suara yang dilantunkan tidak harmonis

15
dan mempercepat kerusakan teknologi yang digunakan. Akibat tidak dipenuhinya kedua
aspek tersebut, tidak sekali dua kali saya menjumpai pada saat Shalat Jumat dan
penyelenggaraan pengajian berskala besar, pihak pengelola ruang Masjid merasa kesulitan
untuk memperbaiki teknologi pengeras suara yang mengeluarkan suara ‘nging’ hingga
menusuk indera pendengaran. Beberapa kali juga saya dapati pihak pengguna teknologi
pengeras suara yang tengah menyampaikan pengajaran di mimbar ruang Masjid tidak
mengetahui tata perilaku yang tepat untuk menggunakan teknologi tersebut yang
berakibat pada sering timbulnya suara ‘nging’, sehingga pesan yang hendak disampaikan
tidak dapat dicerap dengan baik.

Hubungan antara sebab-sebab terjadinya polusi suara dengan syarat-dalaman dan syarat
luaran yang harus dipenuhi untuk mencapai lantunan kualitas suara yang baik dapat
digambarkan dalam diagram di bawah ini:

Gambar: Hubungan antara faktor polusi suara dan syarat lantunan kualitas suara
Sumber: Analisa, 2018

Penetapan seluruh syarat di atas untuk dapat dilingkupinya ruang-ruang kehidupan umat
Islam dengan kualitas suara berciri khaskan Islam yang baik dalam kondisi saat ini akan
sangat mudah untuk dipahami sebagai upaya menghalangi dakwah dan syiar Islam,
terutama manajemen suara yang merupakan bagian dari syarat-luaran. Untuk menghindari
prasangka dan kesalahpahaman, seluruh syarat harus disampaikan dengan cara yang paling
baik melalui pendekatan persuasif dan personal kepada setiap unsur umat Islam, terutama
kalangan pengelola ruang-sumber-suara dengan menekankan pada tujuan yang hendak
dicapai, yakni lantunan suara berciri khaskan Islam dengan kualitas yang baik agar mampu
mempengaruhi kondisi batin terdalam pihak pendengarnya. Oleh karenanya menjadi
tanggungjawab kita semua sebagai umat Islam, terutama kalangan pengkaji dan pengamal
Arsitektur Islam untuk memastikan ruang-ruang kehidupan umat Islam dilingkupi suara
berciri khaskan Islam dengan kualitas yang baik.

16
Sebagai penutup, sudah seharusnya suara berciri khaskan Islam sebagai unsur aktif pengisi
ruang dan pembatas ruang mendapatkan perhatian yang proporsional dan kedudukan yang
signifikan dalam perencanaan dan perancangan Arsitektur Islam yang memiliki kekhasan
sumber, aturan dan karakter suara yang dilantunkan. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk
ikhtiar menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru ruang dan menjaga kesadaran umat
Islam terhadap identitas kediriannya sebagai hamba Allah.

Allahu a’lam bishawab.

Ditulis oleh Andika Saputra


Bertempat di Yogyakarta pada Ramadhan1437 Hijrah Nabi
Diselesaikan di Jimbaran Bali pada Ramadhan 1437 Hijrah Nabi
Ditinjau kembali dan direvisi di Kartasura pada Muharram 1440 Hijrah Nabi

17

Anda mungkin juga menyukai