Anda di halaman 1dari 26

PERCOBAAN II

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.

II. DASAR TEORI


Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan makhluk
hidup. Berdasarkan interaksi tersebut, maka farmakologi dibagi menjadi dua yaitu
farmakodinamik dan farmakokinetik. Dalam farmakodinamik dipelajari mengenai
pengaruh (efek) obat terhadap makhluk hidup. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu
yang mempelajari tentang kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat
dalam tubuh.
Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan
intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan
kondisi kesehatan seseorang.Ada 4 fase dalam proses farmakokinetik:
1. Penyerapan (absorbsi) obat
Absorbsi ditentukan oleh bentuk sediaan, bahan pencampur obat, cara pemberian
obat. Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan
usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan
lapisan dinding mukosanya lebih permeabel. Bioavailability artinya jumlah dan
kecepatan bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh darah, dan terutama
ditentukan oleh dosis dari obat
2. Distribusi obat
Distribusi artinya setelah obat masuk ke dalam sirkulasi darah, kemudian obat
diditribusikan ke dalama jaringan tubuh.Distribusi obat ini tergantung pada rata-rata
aliran darah pada organ target, massa dari organ target, dan karakteristik dinding
pemisah  diantara darah dan jaringan. Di dalam darah obat berada dalam bentuk
bebas atau terikat dengan komponen darah albumin, glikoprotein dan lipoprotein,
sebelum mencapai  organ target. Apabila obat telah terikat dengan protein maka
secara farmakologi obat tersebut tidak mempunyai efek terapetik dan ditibusinya
terbatas. Selain itu obat tidak dapat menembus membran sel karena merupakan suatu
komplek yang besar.
3. Metabolisme
Tempat utama metabolism  obat terjadi di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam
bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif
sampai di hati. Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis,
hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya supaya sisa obat
mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu.  Kecepatan metabolisme pada
tiap orang berbeda tergantung faktor genetik, penyakit yang menyertai(terutama
penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya interaksi diantara obat-obatan.  Dengan
bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun sampai lebih dari 30%
karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati.
4. Eksresi
Tempat utama terjadinya eksresi adalah di ginjal. Sedangkan sistem billier membantu
ekskresi untuk obat-obatan yang tidak diabsorbsi kembali dari sistem pencernaan. 
Sedangkan kontribusi dari intestine (usus), ludah, keringat, air susu ibu, dan lewat
paru-paru kecil, kecuali untuk obat-obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi. 
Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar” dan larut air sehingga mudah di
ekskresi oleh ginjal.  Obat-obatan dengan berat lebih dari 300 g/mol yang  termasuk
grup polar dan “lipophilic” di ekskresikan lewat empedu.
Secara lebih jelasnya  Farmakodinamik menggambarkan bagaimana obat bekerja
dan mempengaruhi tubuh, melibatkan reseptor, post-reseptor dan interaksi kimia.
Farmakokinetik dan farmakodinamik membantu menjelaskan hubungan antara dosis dan
efek dari obat.Respon farmakologis tergantung pada ikatan obat pada target.Konsentrasi
obat pada reseptor mempengaruhi efek obat.Farmakodinamik dipengaruhi oleh
perubahan fisiologis tubuh seperti proses penuaan, penyakit atau adanya obat lain.
Penyakit-penyakit yang mempengaruhi farmakodinamik contohnya adalah mutasi genetik,
tirotoksikosis (penyakit gondok), malnutrisi (salah gizi) dll.
Pada hakekatnya supaya bisa diserap oleh tubuh obat harus diubah menjadi
metabolit aktifnya. Biasanya obat-obat yang demikian disebut dengan Pro drug (Pra obat).
Prodrug bersifat labil, tidak mempunyai aktivitas farmakologis, tapi dalam tubuh akan
diubah menjadi aktif. Contoh: Bioavailabilitas parasetamol ditingkatkan oleh ester
propacetamol dan sumacetamol. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat
dieksresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan
serentak di dalam tubuh.
Darah merupakan tumpuan proses absorbsi,distribusi,dan eliminasi. Artinya
tanpa darah, obat tidak dapat menyebar ke lingkungan badan dan dikeluarkan dari badan.
Karena itu, logis bila adanya proses absorbsi dapat ditunjukkan dengan peningkatan kadar
obat dalam darah dan adanya proses distribusi serta eliminasi ditunjukkan dnegan
pengurangan kadar obat dalam darah. Dengan kata lain, besarnya obat yang ada dalam
darah mencerminkan besarnya kadar obat di tempat absorbsi, distribusi, dan tempat
eliminasi.
Penetapan kadar obat di dalam badan dapat dianalisis dari cairan hayati lain
seperti urin,saliva atau lainya. Namun, dalam praktik, uji dengan darah paling banyak
dilakukan. Di samping tempat dominan yang dilalui obat seperti yang dijelaskan di atas,
darah juga menjadi tempat yang paling cepat dicapai oleh obat. Sedangkan urin
merupakan cairan hayati yang biasanya digunakan dalam uji fase farmakokinetik untuk
mempelajari disposisi suatu obat dan menentukan kadar suatu obat untuk obat-obatan
yang dieksresikan lewat urin, minimal 10% nya terdapat dalam urin dalam bentuk utuh
yang belum dimetabolisme.
Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter
farmakokinetika. Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang
diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di
dalam cairan hayati (darah, urin,saliva dan lainnya). Parameter farmakokinetika obat
diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan metabolitnya.
Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik yaitu parameter primer, sekunder,
dan turunan. Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, Vd (volume
distribusi), Cl (klirens). Parameter farmakokinetik sekunder antara lain adalah t 1/2
eliminasi (waktu paruh eliminasi), Ke (konstanta kecepatan eliminasi). Sedangkan
parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian obat Parameter farmakokinetik meliputi :
1. Parameter pokok
 Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)
Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi
sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan otot pada
pemberian intramuskular).
 Cl (Klirens)
Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat persatuan
waktu (Neal, 2006).
 Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal, 2006).
2. Parameter Sekunder
 Waktu paro eliminasi (t1/2)
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat
di dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang
konstan) (Katzung, 2001).
 Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )
Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yangakan
tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasimenunjukkan
laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapaikeseimbangan (Neal,
2006).

3. Parameter Turunan
 Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemikmencapai puncak.
 Kadar puncak (Cp mak)
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum atau
plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan eliminasi
dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-proses
tersebut berada dalam keadaan seimbang.
 Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu (AUC)
Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obatdiabsorbsi
dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva konsentrasi obat-waktu
(AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat yang utuh tidak berubah
yang mencapai sirkulasi sistemik.
Parameter farmakokinetika sangat penting karena dapat menggambarkan
seberapa besar obat diabsorbsi, seberapa tepat obat dieliminasi, seberapa besar efek
terapeutik dan ketoksisikan suatu obat. Oleh karena itu agar parameter dapat dipercaya,
metode yang digunakan dalam menentukan kadar obat yang digunakan harus memenuhi
criteria sebagai berikut:
1. Selektif atau spesifik
Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu
obat dari metabolitnya, obat lahir(dalam kasus tertentu yang berkaitan) dan
kandungan endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas utama
karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam
bentuk tak berubah atau metabolitnya. Metode analisis yang digunakan harus
memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu obat yang akan ditetapkan
tersebut. Spesifik hendaknya diterapkan dengan percobaan melalui bukti
kromatografi bahwa metode spesfik untuk obat.Sebagai tambahan, standar internal
hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak adanya
gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara kalorimetrik dan
spektrofotometrik biasanya kurang spesifik. Gangguan dari zat lain dapat
memperbesar kesalahan hasil (Shargel, 1998).
2. Sensitif atau peka
Sensitifitas metode berkaiatan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh suatu
metode analisis yang digunakan. Pemilihan metode analisis tergantung pada tingkat
sensitifitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dalam
menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan kadar dari
waktu ke waktu. Sehingga metode analisis yang dipilih harus dapat mengukur kadar
obat tertimggi sampai yang terendah yang ada dalam badan.
Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan antara kespesifikan dan kepekaan
suatu metode analisis. Dalam berbagai kasus,kespesifikan suatu metode dapat
ditingkatkan dengan menurunkan kepekaan, karena dengan cara gangguan
komponen lain dalam sampel dapat ditekan. Akan tetapi, penurunan kepekaan
kadang-kadang mengakibatkan kekeliruan negative yang merugikan dalam analissi
kualitatif. Oleh karena itu, sebelum memilih suatu metode, perlu dipertimbangkan
dengan seksama manakah yang lebih dibutuhkan,kepekaan yang maksimum atau
kespesifikan yang tinggi.
3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan(precision)
Ketelitian(accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk memberikan
hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai sesungguhnya).
Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan anatara harga penetapan
kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui.
Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka
tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.Presisi
menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran.
Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi
pengukuran tersebut.
harga uji
Recovery= x 100 %=P %
harga sesungguhnya

harga sesungguhnya−harga uji


Kesalahan sistemik= x 100 %
harga sesungguhnya

Kesalahan sistematik=100 %−P %


Metode yang baik memberikan hasil recovery yang tinggi yaitu 75-90% atau
lebih. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu hasil itu teliti (accurate) berarti purata
sama dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan
ini, adalah lebih baik hasil yang kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat.
Ketepatan(precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami
perbedaan hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan
kedekatan hasil-hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh
melalui pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui
pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari
yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata kecil
meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan harga
sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan penyebaran
data, sperti datndar deviasi atau koefisien variasi.

simpangan baku
Kesalahan acak ( CV )= x 100 %
purata

4. Cepat
Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam
suatu macam penelitian farmakokinetika
5. Efisien
Metode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu
kesalahan sistematik.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat : Bahan:
1. Labu takar 5,0 ml 1.Stok Sulfametoksazol 1 mg/ml
2. Pipet volume 0,1;0,2;1;2 ml 2. Asam trikloroasetat (TCA)
3. Tabung reaksi (15 buah) 3.Natrium nitrit (NaNO2)0,1%
4. Mikropipet dan tips 4. Amonium Sulfamat 0,5%
5. Skalpel 5. Heparin
6. Eppendorf 6. Darah tikus
7. Alat Vortex 7. N-(1-naftil)etilendiamin 0,1%
8. Spektrofotometer dan kuvet 8. Aquadest
9. Beaker glass
10. Sentrifuge

Hewan uji : Tikus (putih).

IV. CARA KERJA


1. Pengambilan darah tikus
Tetesi microcup dengan 5 tetes heparin

Masukkan pipa kapiler ke dalam kelopak mata kelinci, tunggu hingga darah mengalir

Tampung darah dengan microcup hingga volume nya ±3 mL

2. Pembuatan kurva baku


Masukkan darah tikus ke dalam 6 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 25, 50, 100, 200, dan 400 µg/mL ke dalam 5
tabung reaksi berisi darah yang berbeda @ 250 µL

Masukkan 250 µL aqquadest ke dalam 1 sampel darah dalam tabung reaksi yang
tersisa sebagai blangko
Ke dalam tiap tabung reaksi tambahkan 2 mL TCA 5%, vortex selama 30 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan


selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung regresi linear konsentrasi sulfametoksazol vs absorbansi

Tentukan persamaan kurva baku

3. Perhitungan validasi
Masukkan darah tikus ke dalam 9 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 50, 100, dan 300 µg/mL ke dalam 9 tabung
reaksi berisi darah yang berbeda @ 250 µL, 3 tabung reaksi untuk tiap konsentrasi
sulfametoksazol

tambahkan ke dalam tiap tabung reaksi 2 mL TCA 5%, vortex selama 30 detik
Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan


selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung kadar sulfametoksazol terukur dengan persamaan kurva baku yang telah ditentukan

Analisis Data

Menentukan perolehan kembali, keslahan acak, dan kesalahan sistematik.

Perolehan kembali (recovery)

Hitung perolehan kembali dan keslahan sistematik untuk tiap besaran kadar

kadar terukur
Perolehan kembali= ×100 %
kadar diketahui

Kesalahan acak

simpangan baku
Kesalahan acak = x 100 %
hargarata−rata

V. HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN


a. Data Kurva Baku
Data Sampel Kadar Obat (g/ml) Absorbansi Kurva Baku (y=bx+a)
0 0,176 a = 0,195
25 0,158
50 0,213 b =1,85.10-3
Darah Tikus
100 0,390 r =0,8063
200 0,581
400 0,864 y= 1,85.10-3x + 0,195

Keterangan: kadar 25 tidak terdeteksi (LOD) bisa diabaikan.

 Data Absorbansi Sampel Darah (Validasi)

Absorbansi
Data Sampel Kadar (g/ml)
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
75 0,526 0,365 0,389
Darah tikus 150 0,245 0,365 0,391
300 0,870 0,860 0,661

 Perhitungan Larutan Stok

V1.M1=V2.M2

Keterangan:

V1 = Volume sulfametoksazol yang diambil (ml)

V2 = Volume labu takar (ml)

M1 = Konsentrasi/kadar sulfametoksazol stok (g/ml)

M2 = Konsentrasi/kadar yang diinginkan (g/ml)

Kadar stok sulfametoksasol= 1 mg/ml = 1000 g/ml

a. Kadar 25 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 25 g/ml
V1 = 0,125 ml = 125 l
b. Kadar 50 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 50 g/ml
V1 = 0,25 ml = 250 l
c. Kadar 100 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 100 g/ml
V1 = 0,5 ml = 500 l
d. Kadar 200 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 200 g/ml
V1 = 1 ml
e. Kadar 400 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 400 g/ml
V1 = 2 ml

 Perhitungan Kadar Sampel Darah Tikus


Kurva baku :y= 1,85.10-3x + 0,195
a. Kadar 75 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,526
0,526 = 1,85.10-3x + 0,195
0,331 = 1,85.10-3x
x = 178,9189g/ml
Replikasi 2  y = 0,365
0,365 = 1,85.10-3x + 0,195
0,17 = 1,85.10-3x
x = 91,8919g/ml
Replikasi 3  y = 0,389
0,389 = 1,85.10-3x + 0,195
0,194 = 1,85.10-3x
x = 104,8649g/ml

Kadar Rata-Rata = (178,9189+ 91,8919+ 104,8649)g/ml


3
= 125,2252 g/ml
SD = 46,9503
Kesalahan acak(CV) = 46,9503 x 100% = 37,4927 %
125,2252

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%


kadar diketahui
Replikasi 1 = 178,9189 x 100% = 238,5585 %
75
Replikasi 2 = 91,8919 x 100% = 122,5225 %
75

Replikasi 3 = 104,8649 x 100% = 139,8199 %


75
Rata-Rata Recovery= (238,5585 % + 122,5225 %+ 139,8199 %)= 166,9670 %
3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 238,5585 % = -138,5585 %
Replikasi 2 = 100% - 122,5225 % = -22,5225 %
Replikasi 3 = 100% - 139,8199 % = -39,8199 %
Rata-rata kesalahan sistemik = -(138,5585 % + 22,5225 % + 39,8199 %)
3
= -66,9670 %
b. Kadar 150 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,245
0,245 = 1,85.10-3x + 0,195
0,05 = 1,85.10-3x
x = 27,0270 g/ml
Replikasi 2  y = 0,365
0,365 = 1,85.10-3x + 0,195
0,17 = 1,85.10-3x
x = 91,8919 g/ml
Replikasi 3  y = 0,391
0,391 = 1,85.10-3x + 0,195
0,196 = 1,85.10-3x
x = 105,9459 g/ml

Kadar Rata-Rata = (27,0270 + 91,8919 + 105,9459) g/ml


3
= 74,9549 g/ml
SD = 42,0974

Kesalahan acak (CV) = 42,0974 x 100% = 56,1636 %


74,9549

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%


kadar diketahui

Replikasi 1 = 27,0270 x 100% = 18,0180 %


150
Replikasi 2 = 91,8919 x 100% = 61,2613 %
150
Replikasi 3 = 105,9459 x 100% = 70,6306 %
150
Rata-Rata Recovery= (18,0180 % + 61,2613 % + 70,6306 %) = 49,9700 %
3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 18,0180 % = 81,9820 %
Replikasi 2 = 100% - 61,2613 %= 38,7387 %
Replikasi 3 = 100% - 70,6306 % = 29,3694 %
Rata-rata kesalahan sistemik = 81,9820 % + 38,7387 % + 29,3694%
3
= 50,0300 %

c. Kadar 300 µg/ml


Replikasi 1  y = 0,870
0,870 = 1,85.10-3x + 0,195
0,675 = 1,85.10-3x
x = 364,8649 g/ml
Replikasi 2  y = 0,860
0,860 = 1,85.10-3x + 0,195
0,665 = 1,85.10-3x
x = 359,4595 g/ml
Replikasi 3  y = 0,661
0,661 = 1,85.10-3x + 0,195
0,466 = 1,85.10-3x
x = 251,8919 g/ml
Kadar Rata-Rata = (364,8649 + 359,4595 + 251,8919) g/ml
3
= 325,4054 g/ml
SD = 63,7219
kesalahan acak (CV) = 63,7219 x 100% = 19,5823 %
325,4054
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui

Replikasi 1 = 364,8649 x 100 % = 121,6216 %


300
Replikasi 2 = 359,4595 x 100 % = 119,8198 %
300
Replikasi 3 = 251,8919 x 100 % = 83,9640 %
300
Rata-Rata Recovery= (121,6216 + 119,8198 + 83,9640) %
3
= 108,4685 %

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 121,6216 % = -21,6216 %
Replikasi 2 = 100% - 119,8198 % = -19,8198 %
Replikasi 3 = 100% - 83,9640 % = 16,0360 %
Rata-rata kesalahan sistemik = -21,6216 % + (-19,8198%) + 16,0360 %
3
= -8,4685 %
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini bertujuan untuk memahami langkah-langkah analisis obat dalam
caiiran hayati. Cairan hayati yang digunakan adalah darah. Darah yang digunakan adalah
darah tikus. Dan obat yang digunakan adalah sulfametoksazol. Metode yang digunakan
adalah metode Bratton-Marshall. Untuk menguji ketepatan dan ketelitian metode yang
digunakan, ditetapkan beberapa parameter statistika yaitu recovery dan kesalahan
sistematik sebagai parameter ketelitian, serta standar deviasi dan kesalahan acak sebagai
parameter ketepatan.

Cairan hayati yang digunakan sebagai media obat adalah darah. Digunakan
darahkarena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai dalam proses absorpsi dan
distribusi baik ke jaringan target maupun ke organ eliminasi, sehingga kadar obat di dalam
sirkulasi sistemik ini paling mencerminkan kadar obat sebenarnya di dalam badan. Selain
itu, bentuk obat pada umumnya tidak berubah, merupakan senyawa yang memiliki aktivitas
farmakologi. Karena itu, penetapan kadar obat pada cuplikan darah akan memberikan suatu
indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi.
Obat yang dianalisis dalam praktikum ini ialah sulfametoksazol. Struktur
sulfametoksazol :

C10H11N3O3S BM 253,28

Nama lain : N1-(5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbau.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform; mudah larut
dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer; agak sukar larut
dalam etanol

(Anonim, 1995)
Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai absorbsi dan

ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari

sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH

kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki.

Obat ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep

mata.

Waktu paruh plasma Sulfametoksazol adalah 11 jam.

Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 G terikat oleh

protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma

tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam.

Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.

Fungsi: untuk infeksi sistemik, untuk infeksi saluran seni.

Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah metode Bratton-Marshall.
Metode ini didasarkan pada prinsip kalorimetri yaitu terbentuknya senyawa berwarna
yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel. Metode ini melalui
3 tahap yaitu :

1. Pembentukan Senyawa Diazo


Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina
aromatik primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik
primer, sehingga reaksi diazotasi dapat berlangsung. Dengan reaksi sebagai
berikut:

NaNO2
+ + H2O

TCA
(garam diazonum dari sulfametoksazol)

2. Penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan asam sulfamat


Pada proses terbentuknya garam diazonium yang dihasilkan dari reaksi antara
amina aromatik primer dengan asam Nitrit (HNO 2) yang berasal dari natrium
nitrit, pada tahap ini terjadi kelebihan asam nitrit yang harus di hilangkan
dengan penambahan asam sulfamat, karena kalau tidak dihilangkan, senyawa
yang sudahberwarna akan dirusak (dioksidasi) oleh asam nitritsehingga
kembali lagi menjadi tidak berwarna. Reaksi penghilangan sisa asma nitrit
sebagai berikut:

HNO2 + HSO3NH2 N2 + H2SO4 + H2O

3. Pengkoplingan garam diazonium-NED


Pada proses ini, garam diazonium yang sudah terbentuk segera direaksikan
dengan reagen kopling membentuk senyawa kopling yang memiliki gugus
kromofor yang lebih panjang sehingga dapat dideteksi oleh spektrofotometri
UV-Vis. Reagen kopling yang khas dalam metode Bratton-Marshall adalah N-(1-
Naftil) etilen diamin (NED).Dengan demikian pergeseran bathokromik sehingga
λ lebih panjang, sementara intensitas warnanya lebih tajam. Hasilnya senyawa
menjadi lebih mudah dideteksi oleh spektrofotometriUV-Vis.

Penetapan kadar obat dalam darah tikus


Sebelum memulai penetapan, dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang
diambil adalah sampel darah tikus. Saat pengambilan, tikus dimasukkan ke dalam penahan
gerak. Darah diambil dari vena ophtalmicus yang terletak di sudut mata tikus. Daerah yang
keluar segera ditampung dalam eppendorf. Sebelumnya eppendorf telah diberi sedikit heparin
(5 tetes). Heparin digunakan untuk mencegah koagulasi darah tikus. Apabila terjadi koagulasi,
pada saat disentrifugasi maka yang keluar adalah serum bukan plasma darah. Plasma darah
adalah sampel yang dibutuhkan karena sulfametoksazol berikatan dengan protein plasma
bukan serum di dalam darah.
Langkah pertama dalam penetapan kadar obat dalam darah tikus adalah dilakukan
pembuatan kurva baku dari darah tikus. Untuk itu, dibuat seri kadar larutan sulfametoksazol
kadar 0, 25, 50, 100, 200, dan 400 μg/ml. Seri kadar ini dibuat dengan cara mengencerkan
larutan stok (sulfametoksazol) dengan aquadest hingga 100 ml. Pengenceran dilakukan sesuai
rumus V1M1 = V2M2.
Setelah larutan siap, masing masing larutan sulfametoksazol berbagai kadar diambil 250
μl dan ditempatkan pada tabung reaksi. Pada masing – masing tabung reaksi berisi
sulfametoksazol ditambahkan 250 μl darah tikus. Tabung lalu digojog ringan agar homogen.
Setelah merata, ke dalam tabung reaksi ditambahkan asam TCA (Trikloroasetat) 10% sebanyak
2 ml. Tujuan dari penambahan TCA ini adalah untuk mendenaturasi protein dalam darah tanpa
memecah protein menjadi asam amino penyusunnya. Dengan pemberian TCA, maka protein
akan mengendap dan memisah dengan plasma darah. TCA juga digunakan untuk memberikan
suasana asam yang dibutuhkan untuk proses reaksi kimia diazotasi sehingga dapat diketahui
kadar sulfametoksazol sebenarnya. Kondisi asam yang diberikan TCA juga mampu
menghentikan enzim pemetabolisme obat dalam darah. Untuk memaksimalkan kerja TCA, TCA
perlu dihomogenkan ke seluruh campuran. Untuk menghomogenkannya, dilakukan vortexing
selama kurang lebih 30 detik.
Langkah selanjutnya adalah melakukan sentrifugasi campuran. Seluruh campuran,
disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Proses sentrifugasi ini akan
memisahkan bagian padat (protein) darah dengan plasma darah yang berupa cairan. Plasma
darah akan tampak sebagai supernatan bening di bagian atas tabung reaksi. Supernatan bening
ini mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut mengendap bersama protein darah.
Setelah itu, diambil 1, 5 ml supernatan secara hati – hati, agar tidak ada endapan yang ikut
terambil. Supernatan yang bebas endapan merupakan obat bebas dari protein plasma,
sedangkan obat yang terikat pada protein plasma tidak aktif secara farmakologis dan tidak
memiliki efek terapetik. Supernatan lalu dimasukkan ke tabung reaksi bersih dan diencerkan
dengan 2 ml akuades. Supernatan yang telah diencerkan kemudian ditambahkan larutan NaNO 2
0,1 % sebanyak 0,1 ml, lalu didiamkan selama 3 menit. Dengan adanya ion NO 2- dari NaNO2 dan
ion H+ dari TCA maka terbentuklah asam hipotetik HNO 2. HNO2 akan bereaksi dengan amina
aromatis yang dimiliki oleh sulfametoksazol sehingga membentuk garam diazonium dan
memnyebabkan perpanjangan ikatan rangkap terkonjugasi (kromofor) sehingga dapat dibaca
absorbansinya. Selanjutnya, ditambahkan 0,2 ml larutan ammonium sulfamat 0,5 % ke masing –
masing tabung reaksi. Ammonium sulfamat akan menghilangkan kelebihan HNO 2, karena HNO2
berlebih akan merusak senyawa yang terbentuk. Hilangnya HNO 2, ditandai dengan tidak adanya
gelembung N2 yang dapat mengganggu analisis. Reaksinya adalah

HNO2 + H2NSO3H → H SO 2 4 + H2O + N2

Setelah 2 menit, campuran ditambahkan N(1-naftil)etilendiamin (NED) 0,1% sebanyak


0,2 ml. Penambahan NED ini ditujukan untuk menimbulkan reaksi kopling yang
menyempurnakan reaksi diazotasi sebelumnya. Campuran ini lalu diletakkan di tempat gelap
selama 5 menit untuk menyempurnakan reaksi. Setelah 5 menit, absorbansi masing – masing
campuran dibaca menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah
525 nm dan digunakan blangko darah dengan kadar 0. Panjang gelombang 545 nm dipilih
karena memiiki sensitivitas tinggi, dimana dengan perubahan sedikit kadar dapat menyebabkan
perubahan absorbansi yang besar.
Setelah semua campuran dibaca aborbansinya, dibuat persamaan kurva baku
menggunakan regresi linier. Berdasarkan daa yang diperoleh, maka persamaan kurva bakunya
adalah:
y = 1,85. 10-3x + 0,195
Dalam percobaan ini juga dibutukan validasi data. Untuk itu, dibuat larutan
sulfametoksazol dengan kadar 75, 100 dan 300 μg/ml. Cara pembuatan dan perlakuan larutan
seri sama dengan pembuatan larutan untuk kurva baku. Setelah larutan siap, larutan dibaca
absorbansinya pada λ = 525 nm. Proses validasi ini direplikasi sebanyak 2 kali. Data absorbansi
hasil pembacaan kemudiaan dimasukkan kembali ke persamaan kurva baku dan didaptkan hasil
kadar terukur sebagai berikut.
Kadar Kadar Rata - Rata
Replikasi Absorbansi Kadar Terukur
Diketahui(μg/ml) (μg/ml)
I 0,526 178,9189
75 II 0,365 91,8919 125,2252
III 0,389 104,8649
I 0,245 27,0270
150 II 0,365 91,8919 74,9549
III 0,391 105,9459
300 I 0,870 364,8649 325,4054
II 0,860 359,4595
III 0,661 251,8919

Nilai Perolehan Kembali (PK) / Recovery


Nilai perolehan kembali menunjukkan efisiensi dari analisis yang dilakukan. Semakin
tinggi nilai recovery maka semakin tinggi akurasi dan efisiensi analisis. Recovery yang baik
berada dalam rentang kadar 75 – 90%.
Nilai perolehan kembali sampel darah tikus:
 Kadar 75 μg/ml = 166,9670 %
 Kadar 150 μg/ml = 49,9700 %
 Kadar 300 μg/ml = 108,4685 %
Dari hasil diatas, dapat terlihat bahwa nilai Recovery dari kadar 150 μg/ml kurang dari
75% (<75%), menunjukkan bahwa nilai akurasi dan efisiensi analisisnya rendah. Recovery dari
kadar 75 μg/ml dan 300 μg/ml melebihi 90% (> 90%), hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain:
 senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur. Kemungkinan disebabkan karena
terdapat molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat
meningkatkan nilai absorbansi pada saat pengambilan supernatan
 ketidaktelitian praktikan dalam penambahan analit ataupun larutan pereaksi.
 kesalahan praktikan dalam penetapan blanko saat pembacaan absorbansi
Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery
dapat dilakukan :
 Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak
menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga
komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga tidak
menggangu proses absorbansi sampel.
 Saat pengambilan supernatan hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil.
Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

Nilai Kesalahan Sistematik


Nilai kesalahan sistematik menunjukkan ketelitian atau akurasi metode yang digunakan.
Nilai kesalahan sistematik seharusnya < 10% agar hasil dapat dikatakan teliti atau akurat.
Kesalahan ini bersifat konstan dan mengakibatkan penyimpangan tertentu dari rata-rata.
Nilai kesalahan sistematik pada percobaan sampel darah tikus:
 Kadar 75 μg/ml = -66,9670 %
 Kadar 150 μg/ml = 50,0300 %
 Kadar 300 μg/ml = -8,4685 %

Dari hasil perhitungan, nilai kesalahan sistematik tidak ada yang < 10%, sehingga dapat
dikatakan hasil percobaan tidak teliti atau tidak akurat. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kesalahan sistemik antara lain:

 Kesalahan personel dan operasi. Dalam percobaan ini kemunkinan kesalahan pada
ketidaktelitian praktikan dalam pengukuran volume sampel maupun reagen. Dapat
diminimalisir dengan peningkatan ketrampilan analisis. Makin terampil, makin kecil
kesalahan personel.
 Kesalahan alat dan pereaksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau
telah terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat walaupun alatnya baik.
 Kesalahan metode, dapat disebabkan kesalahan pengambilan sampel dan kesalahan
reaksi kimia yang tidak sempurna. Kemungkinan dalam percobaan ini reaksi diazotasi
belum sempurna, yaitu masih adanya gelembung udara saat pengukuran absorbansi
sehingga mempengaruhi serapan.

Nilai Kesalahan Acak / Coefficient Varian (CV)


Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat
positif atau negative. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan
oleh tetapan variasi. Kesalahan acak menunjukkan presisi atau ketepatan suatu analisis.
Kesalahan acak pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar dapat dikatakan presisi atau
akurat.
Nilai kesalahan acak pada percobaan sampel darah tikus:
 Kadar 75 μg/ml = 37,4927 %
 Kadar 150 μg/ml = 56,1636 %
 Kadar 300 μg/ml = 19,5823 %
Dari hasil diatas, dapat terlihat bahwa nilai kesalahan acak semua kadar melebihi 10%. Dengan
hal tersebut, dapat dikatakan bahwa percobaan pada semua kadar yang dilakukan tidak presisi
dan tidak memenuhi syarat. Kesalahan ini umumnya disebabkan masalah pengukuran berulang
dan alat yang digunakan kurang sensitif. Selain itu pada pengukuran saat praktikum juga terjadi
kesalahpahaman saat penetapan blangko spektrofotometri sehingga mempengaruhi nilai
pembacaan absorbansi.
Dari keseluruhan nilai parameter yang diujikan, sensitivitas, akurasi maupun presisinya
rendah. Banyak kemungkinan faktor penyebabnya baik dari praktikan, cara pengerjaan, alat
maupun metode yang digunakan.
Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery
dapat dilakukan :
 Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak
menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga
komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga tidak
menggangu proses absorbansi sampel.
 Saat pengambilan supernatan hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil.
 Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

VII. KESIMPULAN
1. Cairan hayati yang digunakan dalam percobaan ini adalah darah tikus.
2. Obat yang digunakan dalam percobaan ini adalah sulfametoksazol.
3. Metode yang digunakan yaitu prosedur penetapan kadar Brattan Marshall yang telah
dimodifikasi.
4. Data yang di peroleh dari percobaan “Analisis Obat dalam Cairan Hayati” adalah sebagai
berikut :

rata-rata rata-rata
KESALAHAN
CAIRAN HAYATI KADAR RECOVERY KESALAHAN SISTEMATIK
ACAK (%)
(%) (%)
75,0 166,9670 %
37,4927 % −66,9670 %
μg/ml
150,0 49,9700 %
Darah Tikus 56,1636 % 50,0300 %
μg/ml
300,0 10 8,4685 %
19,5823 % −8,4685 %
μg/ml

5. Berdasarkan percobaan, metode Bratton-Marshal yang telah dimodifikasi, secara


keseluruhan belum memenuhi persyaratan accuracy, presition dan efficiency, serta
alat yang digunakan kurang memenuhi syarat sensitivitas.
6. Kesalahan yang terjadi pada percobaan kemungkinan disebabkan karena kesalahan
metodik,kesalahan operatif, maupun kesalahan instrumental.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Anief, Moh, 2002, Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Anief, Moh., 2002, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia,Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Donatus, Drs., Apt., 1989, Analisis Farmakokinetika, Bagian I, Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta.
Katzung Bertram, G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8, Salemba Medika,
Jakarta.
Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta.
Shargel, Leon, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University
Press, Surabaya.

Siswandono, 2000, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai