Anda di halaman 1dari 95

GUS DUR DAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Faur Rasid
NIM: 1111032100022

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M/1438 H
ABSTRAK

Faur Rasid
Gus Dur Dan Agama Khonghucu Di Indonesia

Tionghoa masuk ke Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada


zaman Hindia-Belanda, keturunan Tionghoa mendapatkan berbagai diskriminasi
dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada
masa pemerintahan Orde Lama etnis Tionghoa dan umat Khonghucu sempat
mendapat pengakuan dari Negara dengan Keppres No. 1 tahun 1965 tentang
penodaan dan penyalahgunaan agama. Pada masa Orde Baru selama 32 tahun,
agama Khonghucu mengalami diskriminasi karena adanya Inpres No. 14 tahun
1967. Ketika masa pemerintahan Gus Dur mencabut Inpres No. 6 tahun 1967 dan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978
tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dengan
dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi
istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh
pemerintah. Maka pemikiran dan sikap Gur Dur ini menjadi menarik untuk
diteliti.
Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif, dengan
menggunakan pendekatan historis dan filosofis, pendekatan historis ini digunakan
untuk mengkaji sejarah agama Khonghucu di Indonesia pada masa Hindia belanda
sampai reformasi dan filosofis untuk merumuskan secara jelas hakikat yang
mendasari konsep-konsep pemikiran Gus Dur.
Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupaya menelusuri
bagaimana peran Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu dan memahami
pemikiran beliau terhadap keberagaman yang ada di Indonesia serta sejarah
agama Khonghucu dari masa kemasa. Sebagai seorang presiden yang mewakili
rakyatnya tentu Gus Dur harus mengakomodasi semua keperluan rakyatnya tanpa
terkecuali termasuk masalah keyakinan yang dianut rakyatnya. Umat Khonghucu
tentu sangat bersyukur jika urusan keagamaan mereka sudah dapat diakui dan
diakomodasi segala keperluannya oleh pemerintah.
Maka dari itu, hasil yang penulis dapatkan dalam penelitian ini yakni
dihapusnya istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak
diakui oleh pemerintahan Gus Dur dengan berlandaskan pada azas Pancasila dan
UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada masa Gus Dur ini juga menjadi keran
kebijakan terhadap agama Khonghucu bagi pemerintahan selanjutnya, seperti
ditetapkannya hari Libur Nasional di zaman presiden Megawati dan pemulihan
hak-hak sipil agama Khonghucu pada masa presiden Susilo Bambang Yudoyono.

v
KATA PENGANTAR

“Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan”

(Nabi Khonghucu)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa

melimpahkan rahmat serta karunianya dalam segala hal, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Gus Dur dan Khonghucu di

Indonesia”. Sholawat serta seaam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan

Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para Sahabatnya, serta kepada

umatnya hingga akhir zaman. Amin ya rabb.

Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Strata Satu pada Program Studi Agama - Agama Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat

banyak kesan dan pelajaran dalam setiap proses yang amat panjang dalam

menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata hasil kerja keras

penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada

dukungan dari berbagai pihak.

Maka dari itu sudah selayaknya penulis ingin memberikan ucapan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang turut membantu dalam

setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa dukungan, bantuan,

serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Oleh karena itu

setelah rampungnya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyebutkan beberapa

nama yang teramat berkesan dihati penulis, yaitu:

vi
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M, Si. selaku dosen pembimbing yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yang tidak pernah

bosan memberikan motivasi, bimbingan, do’a, dan kepercayaan yang sangat

berarti bagi penulis.

2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua

dan sekretaris jurusan Studi Agama - Agama, yang telah membantu dan

memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis.

3. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama - Agama, Dr. Ahmad

Ridho, DESA, Pros. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA,

Dra. Hermawati, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr.

Hamid Nasuhi, M,Ag, Dr. Abdul Muthalib, Syaiful Azmi, MA dan Dra. Siti

Nadroh, MA, yang telah memberikan berbagai ilmu yang sangat bermanfaat

bagi penulis.

5. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Utama Uin Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Depok, dan

Perpustakaan PBNU Pusat yang telah membantu menyediakan referensi yang

dibutuhkan penulis.

6. Litang Bio Tangerang terkhusus untuk Bapak Rudi, Engkong Tjin Enk, dan

staf lainnya, juga kepada bapak Uung Sendana Selaku Ketua MATAKIN,

serta kepada Bapak Bratayana Ongkowijaya, Bapak Masari Saputra Depok,

vii
yang telah memberikan banyak kontrinusinya kepada penulis untuk

menyelesaikan tugas akhir.

7. Perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terkhusus buat Bapak H.

Syatiri Ahmad HS. S. Ag. Selaku pengurus perpustakaan PBNU.

8. Keluarga Besarku, Ayahanda tercinta Suhadi, Ibunda tercinta Muryati yang

senantiasa memanjatkan do’a dan harapannya untuk anaknya tercinta. Kakak-

kakaku Eko Handoyo dan Istri, Ningsih dan Suami, Siti Nur Efiyah dan

Suami, serta adikku tersayang Riski Nisa Khomisatin yang selalu membantu

dan memberi dukungan. Tidak lupa juga untuk keluaraga besar Simbah

Casmadi baik di kampung halaman maupun di Jakarta.

9. Sahabat-sahabatkuImam Arifin, Andri Wijaya, Hendro Purwanto, Jaelani

Habibi, dan Widia Nisa yang tiada bosan memberikan semangat dan

menemani hari-hari penulis.

10. Teman-teman angkatan terkhusus Martia Awaliah, Rini Farida, Helmi

Suhaimi, Arip Nurahman yang mengisi hari-hari ku di kampus, juga Mylinda

Chaerunissa, Enis Chaerunisa, Anissa Khalida dan Nur Jaman yang selalu

mememani untuk mencari referensi.

11. Teman-teman CURIOUS ( Community Of Religious Studies), yang

memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba ilmu di jurusan

Perbandingan Agama.

12. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang - Jakarta (IMPP-J), yang

sudah menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu di Jakarta,

terkhusus untuk Zaenun Nu’man, Liliek Khanna Aisyah, Siti Nurhayati,

viii
Burhani Cokro Handoko, Faiqul Himam, Abdul Basyir, Teti Anggriani Dewi

Tantu dan Ina Nur Hasanah.

13. Keluarga Besar Ikatan Remaja Masjid Fathullah (Irmafa) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak pengalaman non

akademis sebagai tambahan pengetahuan untuk bekal hidup di masyarakat.

14. Teman-teman KKN Kreatif, Inovatif, Totalitas, dan Aktif (KITA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

15. Dan yang terakhir untuk dua sahabatku yang selama ini selalu memberikan

segalanya buat penulis yaitu Ade Eko Kurniawan yang dengan setianya

menemani penulis dari semenjak SMK sampai sekarang, juga buat Fela Sufah

Maulina yang mengenalkan dan mengantarkan penulis sampai dapat kuliah di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang

membacanya, terutama bagi yang berminat di bidang Studi agama-agama lebih

khusus tentang perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia. Kritik dan saran

akan penulis terima dengan lapang dada.

Jakarta, 17 April 2017

Faur Rasid

ix
DAFTAR ISI

Surat Pernyataan ............................................................................................... ii

Lembar Persetujuan ......................................................................................... iii

Lembar Pengesahan .......................................................................................... iv

Abstrak ............................................................................................................... v

Kata Pengantar ................................................................................................. vi

Daftar Isi ............................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 11
E. Kajian Pustaka ............................................................................................ 12
F. Metode Penelitian ...................................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan.................................................................................. 16

BAB II AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA ....................................... 17

A. Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia ..................................................... 17


1. Zaman Hindia-Belanda ........................................................................... 17
2. Zaman Kemerdekaan .............................................................................. 23
a. Masa Orde Lama................................................................................. 23
b. Masa Orde Baru .................................................................................. 25
c. Masa Reformasi .................................................................................. 26
B. Ajaran Agama Khonghucu .......................................................................... 28
1. Ajaran Tentang Tuhan ........................................................................... 28
2. Ajaran Tentang Keimanan ..................................................................... 31
3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati....................................................... 33

x
BAB III GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA .......................... 36

A. Gus Dur dan Kebebasan Beragama ............................................................. 36


1. Humanisme Gus Dur .............................................................................. 39
2. Pluralisme Gus Dur ................................................................................ 44
B. Gus Dur dan Agama Khonghucu ................................................................. 51
C. Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khonghucu ............... 56
1. Menegakkan Demokrasi ......................................................................... 56
2. Penerimaan Atas Ideologi Pancasila ....................................................... 59
3. Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur ............................................ 61
D. Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek ................................................... 69
E. Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP ................................................. 72

BAB VI PENUTUP .......................................................................................... 76

A. Kesimpulan ................................................................................................. 76
B. Saran........................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Di

samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan, karena memiliki

17.508 pulau yang membentang dari sabang sampai merauke.1 Sebagai negara

kepulauan, Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari

Indonesia itu sendiri maupun dari negeri lain yang sudah lama tinggal di

Indonesia. Salah satu diantaranya adalah suku bangsa Cina atau orang Tionghoa.2

Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan adalah masalah

SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Dari keempat masalah tersebut

yang sangat menonjol adalah rasialisme antargolongan etnis Cina dengan

mayoritas pribumi dan persoalan yang menyangkut agama, serta kehidupan

beragama etnis Cina.3

Tidak ubahnya seperti suku bangsa lain di Indonesia, etnis Cina juga

menganut agama yang berbeda-beda, baik yang secara resmi diakui oleh

pemerintah ataupun tidak. Salah satu agama yang dianut oleh etnis Cina di

Indonesia adalah agama Khonghucu (Konfusianisme). Agama ini, di zaman Orde

1
Budi Untung, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015), h.
238.
2
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta:
Pelita Kebajikan, 2005).
3
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv.

1
2

Baru, tidak diakui sebagai agama resmi oleh Pemerintah Indonesia.4 Hal ini

diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang larangan bagi

WNI keturunan Cina untuk melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat

Cina secara terbuka dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.

477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November tahun 19785 tentang lima

agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik,

Hindu dan Buddha.6

Selain itu, adanya penghapusan mata pelajaran agama Khonghucu pada

tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi

tuntutan kurikulum yang berlaku. Para penganut agama Khonghucu bahkan sering

mengaku beragama lain dengan alasan karena pada saat itu Khonghucu bukan

agama yang diakui. Hal ini mengakibatkan umat Khonghucu tidak diijinkan

merayakan hari-hari sucinya di depan masyarakat umum. Di dalam Kartu Tanda

Penduduk yang berfungsi sebagai identitas diri, umat Khonghucu tidak

dibenarkan dan tidak diijinkan menyebut dirinya beragama Khonghucu tetapi

harus mengakui beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian kartu

penduduk hanya diberi tanda.7 Kebijakan semacam ini jelas sangat membatasi

kebebasan manusia untuk memeluk suatu agama dan juga membatasi manusia

untuk menggunakan hak-haknya sebagai seorang yang beragama. Padahal dalam

UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang

4
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv.
5
http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentang-
agama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017 Pukul 21.51
6
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi.
7
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES,
2002), h. 62.
3

Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.8 Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang

beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam pasal 29 ayat 2

UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan

kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing,

namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.9

Di tengah problem tersebut, keberadaan agama Khonghucu sebagai salah

satu bentuk kebangkitan kehidupan beragama dikalangan etnis Cina di Indonesia

dalam berbangsa dan bernegara belum begitu jelas dan masih simpang siur. Hal

ini dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi, keraguan, dan dapat

membuat kurang mantapnya pelaksanaan ajaran Khonghucu dalam kehidupan

beragama dan masyarakat.10

Di satu pihak ajaran Khonghucu dianggap sebagai ajaran agama yang

dapat disetarakan dengan agama yang sah yang diakui oleh pemerintah. Mereka

yang beranggapan demikian berpendapat bahwa ajaran Khonghucu memiliki

konsep tentang adanya Tuhan yang Maha Esa, nabi (Khonghucu), kitab suci (Su

Si), rumah ibadah (Lithang), tata cara ibadah, dan konsep eskatologi. Di lain pihak

agama Khonghucu ini tidak layak dianggap sebagai agama, karena Khonghucu

tidak berbicara tetang hal-hal yang menyangkut kehidupan setelah mati, doa, atau

8
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses
Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016) h. 24.
9
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal-29-uud-
1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses 16 Maret 2016 Pukul 22.43
10
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xv.
4

komunikasi antara yang hidup dan yang mati, dan sarana untuk mempertahankan

hubungan itu sepenuhnya walaupun seseorang telah meninggal.11

Perbincangan tentang Khonghucu sebagai suatu agama atau bukan, juga

merambah di kalangan tokoh-tokoh Islam. Di antaranya adalah Gus Dur12, Cak

Nur13 dan Dr. Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama RI). Gus Dur dan Cak Nur

sependapat bahwa Khonghucu dapat dikatakan sebagai agama, karena ia

mempunyai umat dan diyakini umatnya sebagai suatu agama.14

Berbeda dengan pendapat Gus Dur dan Cak Nur di atas, Tarmizi Taher

mengatakan bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan mengakui

Khonghucu sebagai agama, karena di Republik Rakyat Cina (RRC) sendiri

Khonghucuisme tidak dianggap sebagai agama dan dipandang dari sudut apapun

Khonghucu tidak baik disebut sebagai agama.15

Namun, hal tersebut tidak menciutkan jiwa umat Khonghucu yang begitu

semangat walaupun banyak rintangan yang perlu dihadapinya. Hal ini bukan

masalah bagi umat Khonghucu sehingga mereka tidak menyerah. Umat

Khonghucu semakin semangat dengan adanya larangan kegiatan tersebut,

sehingga timbul dalam pikiran mereka untuk menciptakan misi dan

perkembangan agama Khonghucu.16

11
Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia (Terjemahan Dede
Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), h. 48.
12
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Gus Dur ketika menyebut nama
Abdurahman Wahid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat.
13
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Cak Nur ketika menyebut nama
Nurcholish Majid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat.
14
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi.
15
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi.
16
Gunawan Saidi,Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa
Reformasi”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta,2009), h. 3.
5

Keinginan agar Khonghucu diakui sebagai agama di Indonesia tampaknya

mulai mempunyai peluang ke arah yang lebih baik. Beberapa seminar yang

menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia sudah mulai digelar.

Salah satunya digelar di IAIN Jakarta pada Agustus 1998. Disamping itu, karya-

karya tulis yang menyangkut agama Khonghucu juga sudah mulai bermunculan.

Diantaranya adalah “Hak-Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu:

Perspektif Sosial, Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998.

Buku ini ditulis oleh beberapa tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai

sudut.17

Di zaman pemerintahan presiden Gus Dur, agama Khonghucu mulai

mendapat angin segar. Hal ini terlihat dari pertemuan Gus Dur dengan tokoh-

tokoh agama di Bali (Oktober 1999), dan dalam pertemuannya dengan masyarakat

Cina di Beijing (November 1999). Angin segar bagi Khonghucu ini, tidak saja

datang dari Gus Dur tapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais, pada saat penutupan

sidang umum MPR 1999, telah mengajak semua umat beragama termasuk yang

beragama Khonghucu untuk berdoa atas keselamatan bangsa Indonesia. Tidak

hanya itu, sidang Tanwir Muhammadiyah yang dimulai pada 3 sampai 5

Desember 1999 di Bandung, medesak pemerintah untuk mengakui secara hukum

keberadaan Khonghucuisme di Indonesia. Desakan ini didasarkan atas

pertimbangan Hak Asasi Manusia (HAM), karena menurut Muhammadiyah

Khonghucuisme juga bagian dari HAM.18

17
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
18
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia , h. 106.
6

Pada akhirnya Pemerintah Presiden Gus Dur memperbolehkan semua

kegiatan keagamaan Khonghucu dengan dikeluarkanya Inpres No. 27 1998 dan

Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan ini, Inpres No. 14 tahun 1967 dinyatakan

dicabut dan semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Inpres tersebut

dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada akhirnya umat Khonghucu dapat merayakan

hari raya Implek 2551 (bertepatan dengan tahun 2000 Masehi) secara nasional,

yang diadakan di Jakarta dan Surabaya pada bulan Februari 2000. Kemungkinan

dengan dicabutnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978, kemungkinan besar tidak dijumpai

lagi pelarangan bagi umat Khonghucu yang mau mencatatkan pernikahannya di

Kantor Catatan Sipil.19 Sedangkan untuk murid-murid keturunan Tionghoa tidak

perlu lagi meminta izin atau membolos di hari Implek, karena Gus Dur

menetapkan hari itu sebagai hari libur fakultatif yaitu hari libur yang diperuntukan

untuk orang yang merayakannya.20

Tentu dicabutnya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri

tahun 1978 tersebut, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi istilah agama yang

diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh pemerintah. Gus

Dur berpendapat sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan

pemerintah, sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati

manusia. Sehingga, menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama

merupakan kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551,

tanggal 17 Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah
19
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi-xvii.
20
Damien Dematra, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2010), h.264
7

Khonghucu itu agama atau filsafat hidup, adalah suatu pernyataan yang mudah

untuk dijawab. Agama, kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemeluk-

pemeluknya. Tanpa pengakuan negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya

dalam hati manusia. Untuk menetapkan apakah agama betul-betul agama atau

bukan, bukan urusan pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja

sudah merupakan suatu kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat

demikian, artinya pemerintah juga berbuat salah.21

Gus Dur yang dikenal dengan nilai 9 prisma pemikirannya yaitu:

Ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, pembebasan,

kesederhanaan, ksatria, dan kearifan lokal22 bahkan menurut Mahfud MD Gus

Dur sebagai tokoh humanis dan pluralis berkelas dunia.23 Sebagai tokoh

nasionalis beliau menerima asas tunggal pancasila. Dalam pandangan Gus Dur,

meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti

negara Pancasila tidak membolehkan umat beragama menjalankan syariat

agamanya masing-masing. Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih

tinggi dari suatu agama., terutama karena Pancasila menjamin hak setiap pemeluk

agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.24

Sementara itu sebagai tokoh pluralisme agama dalam pandangan Gus Dur

adalah mengedepankan kecintaan, kasih sayang, penghargaan yang tulus kepada

umat manusia, apapun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama

21
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107.
22
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur-
479610.html Diakses 23 April 2015 Pukul 22.05
23
Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute 2010), h. 26.
24
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
101.
8

mengabdi kepada Tuhan. Hanya ajarannya yang berbeda.25 Dari pemikirannya

yang demokratis, pluralis, inklusif dan egaliter inilah Beliau membela kaum

minoritas dan yang tertindas. Perjuangan Beliau menegakan demokrasi dan

keberagaman di Indonesia yang mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”

salah satunya dapat dilihat dari perjuangan Gus Dur saat menjabat presiden

melegalkan agama Khonghucu di Indonesia. Yang kita tahu sejak zaman Orde

Baru etnis Tionghoa ini tidak mendapat tempat untuk mengekspresikan

keyakinannya. Hal inilah yang menarik untuk kemudian diangkat menjadi sebuah

judul skripsi yang bertujuan seperti apa dan bagaimana kontribusi Gus Dur

terhadap legalitas agama Khonghucu di Indonesia.

Sebagai seorang humanis yang membela kaum minoritas dan menegakkan

Hak Asasi Manusia Gus Dur mendapat banyak penghargaan dari berbagai agama,

negara, organisasi dan universitas di berbagai negara. Karena Gus Dur dianggap

sebagai individu sekaligus intelektual yang memperjuangkan terciptanya

perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Kematian bukan akhir hayat

bagi Gus Dur untuk menyuarakan pluralisme agama, karena perjuangan tersebut

bakal dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang mempelajari pemikiran Gus Dur.

Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya ada tulisan:

disinilah di kubur seorang humanis”26 dan terbukti setelah dirinya meninggal,

gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan negara.

Di tengah kontroversinya sosok Gus Dur sangatlah menarik jika kita

mengaktualisasikan perspektif-perspektif pemikiran Gus Dur tentang pluralisme

25
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, h.202.
26
Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
9

agama dalam konteks keindonesiaan. Demikian juga, jaminan dasar akan

keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat

melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-

menghormati, yang akan mendorong kerangka sikap tenggang rasa dan saling

pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah

dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kezaliman terhadap kelompok

minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah

manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian yang melekat

dari kehidupan manusia.27

Satu hal yang mungkin kita tidak dapat melupakan beliau sebagai salah

satu anak bangsa terbaik adalah betapa pengabdian yang dilakukan oleh Gus Dur,

dilandasi oleh sebuah keputusan yang konsisten walaupun keputusan itu mendapat

banyak tantangan, disamping memang dukungan. Tantangan satu per satu sudah

dilalui Gus Dur mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan

beragama.28 Salah satu yang kontroversi adalah keputusan Gus Dur melegalkan

Agama Khonghucu di Indonesia.

Disinilah penulis bermaksud menggali bagaimana konsep legalitas agama

dalam pemikiran Gus Dur yang terkait erat dengan kontribusi Gus Dur terhadap

legalitas agama Khonghucu di Indonesia yang selama masa Orde Baru tidak

diakui sebagai agama oleh pemerintah saat itu.

27
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: Wahid Institute, 2007), h. 5.
28
Abdul Fattah, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 46.
10

B. Masalah dan Rumusan Masalah

1. Masalah

Pada masa Orde Lama agama Khonghucu sempat mendapat pengakuan

dari pemerintah sebagai agama resmi dengan dikeluarkannya Penpres No.

1/Pn.Ps/1965 yang menyebutkan salah satu agama resmi yang dipeluk penduduk

Indonesia adalah agama Khonghucu. Namun, ketika masa Orde Baru agama

Khonghucu menjadi terbelunggu akibat adanya Inpres No. 14 Tahun 1967.

Keluarnya Inpres tersebut dikarenakan peristiwa G 30/S PKI, pemerintah pada

saat itu menganggap etnis Tionghoa adalah etnis asing sehingga perlu adanya

asimilasi untuk menjadi warga Indonesia.

Gus Dur yang pada masa Orde Baru mendirikan LSM Forum Demokrasi

selalu tampil memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu yang terbelenggu. Mulai

dari ikut sidang di PTUN Surabaya atas gugatan Bingky Irawan terhadap Dinas

Pendudukan dan Catatan Sipil pada masa Orde Baru, mengundang seluruh tokoh

lintas agama termasuk Khonghucu di Bali pada masa Reformasi dan mencabut

Inpres No. 14 Tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000

ketika menjabat sebagai presiden.

2. Batasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, perlu adanya pembatasan

masalah dalam skripsi ini, yaitu, mengkaji pemikiran Gus Dur tentang legalitas

agama Khonghucu.
11

3. Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, diajukan beberapa

pertanyaan sebagai perumusan masalah yang akan diuraikan dalam skripsi ini,

yaitu sebagai berikut:

1. Seperti apa hubungan Gus Dur dan agama Khonghucu di Indonesia?

2. Apa alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.

2. Mengetahui hubungan antara Gur Dur dan agama Khonghucu.

3. Mengetahui alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan sebagai bahan referensi untuk proses penelitian

selanjutnya.

2. Menambah wawasan tentang pemikiran Gus Dur terhadap legalitas

agama Khonghucu di Indonesia.

3. Menambah wawasan tentang perkembangan agama Khonghucu di

Indonesia.

4. Sebagai sumber informasi khususnya bagi calon sarjana jurusan studi

agama-agama yang dituntut memiliki sikap arif dan bijaksana

terhadap berbagai macam perbedaan agama yang ada khususnya di

Indonesia.
12

E. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini peneliti memaparkan dua pokok bahasan.

Pertama mengkaji hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

Sebagai intelektual sekaligus pemerhati masalah-masalah sosial menjadi hal

wajar ketika banyak orang yang ingin meneliti sepak terjang Gus Dur dalam

beberapa aspek. Mulai dari masalah sosial, politik, kebudayaan, keagamaan dan

lain-lain. Inilah yang menarik untuk dijadikan sebuah penelitian ilmiah. Sebagai

bahan perbandingan terhadap apa yang sekarang penulis teliti, ada beberapa karya

ilmiah yang lebih dulu meneliti mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus

Dur) maupun agama Khonghucu. Pertama, Perkembangan Agama Khonghucu di

Indonesia Pada Masa Reformasi (Studi kasus Tangerang). Merupakan penelitian

yang ditulis oleh Gunawan Saidi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jurusan Perbandingan Agama tahun 2009. Skripsi ini menjelaskan sejarah agama

Khonghucu dari masa Orde Baru sampai Masa Reformasi hingga

perkembangannya setelah diakui sebagai agama di Indonesia dengan

menggunakan metode deskriptif analisis. Kedua, Konsep Pendidikan Pluralisme

menurut Abdurahman Wahid dalam perspektif Pendidikan Islam. Merupakan

penelitian skripsi yang ditulis Ahmad Mustholih mahasiswa IAIN Semarang

jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2011. Skripsi ini menjelaskan konsep

pluralisme Gus Dur dengan sudut pandang pendidikan Islam dengan

menggunakan metode deskriptif-analisis. Ketiga, Pluralisme Agama Dalam

Pandangan Abdurrahman Wahid. Merupakan skripsi yang ditulis oleh M. Bahrul

Ulum mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama


13

tahun 2014. Skripsi ini menggunakan menggambarkan pandangan Gus Dur

mengenai pluralisme agama khususnya di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta” yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and

Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif analisis, jadi peneliti

melakukan penelitian lapangan untuk wawancara informan-informan seperti

pemeluk agama Khonghucu dan mempelajari buku-buku “Gus Dur Pecinta Ulama

Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan”, “Gus Dur siapa sih

Sampean? (tafsir teoritis atas tindakan dan pertanyaan Gus Dur)”, “Teologi

Pemikiran Gus Dur”, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di

Indonesia”.

2. Pendekatan

Untuk mempertajam penelitian yang penulis lakukan, maka penulis

menggunakan dua metode pendekatan yang bertujuan untuk menyesuaikan atas

pesan yang ingin disampaikan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

filosofis dan historis. Istilah filsafat secara etimologi berarti cinta kebijakan atau
14

kebenaran.29 Filosofis adalah cara pandang berdasarkan filsafat30 atau cinta

kebajikan dan kebenaran. Filsafat merupakan hasil proses berfikir dalam mencari

hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh, dan mendasar.31 Pendekatan

filosofis digunakan untuk merumuskan secara jelas hakikat yang mendasari

konsep-konsep pemikiran Gus Dur.

Sedangkan historis adalah adalah hal-hal yang berkenaan dengan sejarah ;

bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau.32 Jadi, pendekatan historis

merupakan salah satu tipe dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk

merekonstruksi kembali secara sistemis, akurat dan objektif kejadian atau

peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau.33 Pendekatan historis dimaksudkan

untuk mengkaji, mengungkap latar belakang agama Khonghucu, perkembangan

agama Khonghucu di Indonesia serta mengungkap latar belakang Gus Dur dan

corak perkembangan pemikirannya dari kacamata kesejarahan, yakni dilihat dari

kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu.

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian atau informan dalam penelitian ini yang menjadi

informan adalah penganut agama Khonghucu.

29
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007), h.6.
30
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi
IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 392.
31
Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Pt Raja Grafindon
Persada, 2012), h. 2.
32
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 503.
33
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan
(Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 346.
15

4. Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan yang bersifat kualitatif

dan pustaka yang bersifat kualitatif, maka data yang digunakan dalam penelitian

diperoleh dari wawancara atau temuan-temuan di lapangan dan dokumen-

dokumen atau transkip yang telah ada. Adapun data penelitian ini dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Interview (wawancara)

Dalam hal ini penulis menggunakan wawancara dengan serentetan

pertanyaan yang sudah terstruktur (sistematis), kemudian diperdalam untuk

mengorek keterangan lebih lanjut. Penulis melakukan wawancara dengan Matakin

(Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Kemenag, dan PBNU.

b. Dokumentasi

Sumber dokumen mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip,

buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, rapat, agenda dan sebagainya

yang berhubungan dengan penelitian.

5. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan teknik penulisan dan berpedoman pada prinsip-prinsip

yang diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan Skripsi Fakultas Ushuludin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.


16

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang materi yang

menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata

aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai

berikut:

Pendahuluan, pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaaat penelitian, review studi

terdahulu, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Kedua dalam bab ini berisi kajian teoritis tentang sejarah agama

Khonghucu beserta ajarannya. Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang sejarah

lahirnya agama Khonghucu dari sebelum lahir dan sesudah lahir sampai masuk ke

Indonesia serta ajaran agama Khonghucu di Indonesia.

Ketiga dalam bab ini berisi tentang Gus Dur dan Khonghucu di Indonesia.

Dalam bab ini menjelaskan pandangan Gus Dur terhadap kebebasan beragama,

pandangan Gus Dur terhadap Khonghucu dan regulasi politik Gus Dur terhadap

legalitas agama Khonghucu di Indonesia serta bagaimana kelanjutan

keberagamaan umat Khonghucu di Indonesia pasca pemerintahan Gus Dur seperti

masuknya agama Khonghucu dalam kolom agama di KTP dan ditetapkannya hari

libur Nasional tahun baru Imlek.

Keempat dalam bab ini merupakan penutup, pada bab penutup ini berisi

kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan. Penulis juga

melampirkan daftar pustaka.


BAB II

PEMBAHASAN TEORITIS

A. Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia

1. Agama Khonghucu Zaman Hindia-Belanda

Pada dasarnya kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh sebelum

zaman Hindia-Belanda, akan tetapi keberadaannya kurang jelas. Dugaan selama

ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar dari

Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat

maupun yang disimpan di berbagai Keraton. Demikian juga dengan temuan

berbagai kapak batu yang dipoles dari zaman Neolithikum yang mempunyai

persamaan dengan kapak batu giok atau zamrud yang ditemukan di Tiongkok dan

berasal dari zaman yang sama.1 Oleh karena itu, penulis memulai masuknya etnis

Tionghoa ke Nusantara dari zaman Hindia-Belanda.

Agama Khonghucu mengalami perkembangan dari masa ke masa, diawali

oleh para perantau Tionghoa yang merantau ke negeri Samudra Selatan, dari

negeri leluhurnya yang sedang dilanda kekacauan, membangun rumah ibadah

yang dinamakan klenteng untuk meneruskan ketenangan batin akan leluhur dan

tanah air yang ditinggalkan.2

1
Benny G. Setiopno, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Trans Media Pusaka,
2008), h. 19.
2
Ws. Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu,
Sekarang dan Masa Depannya (Jakarta: Matakin, 2010), h. 2.

17
18

Pada masa kolonial di Indonesia terdapat tiga orientasi sosio-politik yang

besar diantaranya Pertama, Tionghoa lokal, yaitu yang berorientasi pada

Tiongkok (Kelompok Sin Po), yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal adalah

anggota bangsa Cina. Kedua, mereka yang berorientasi ke Hindia Belanda (Chung

Hwa Hui), yang memahami posisi mereka mereka sebagai kawula Belanda sambil

melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan. Dan yang ketiga, mereka

yang menyebut sebagai anggota bangsa Indonesia yang akan datang (Partai

Tionghoa Indonesia). Sebagian besar para pemimpin Tionghoa di masa kolonial

Indonesia., khususnya para imigran baru, berorientasi ke Tiongkok, tetapi

kelompok yang kedua dan ketiga kebanyakan terdiri dari orang Tionghoa

peranakan.3

Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada dasarnya

adalah masyarakat peranakan.4 Para anggota masyarakat ini telah kehilangan

kemampuannya berbahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai

bahasa komunikasinya. Orang-orang Tionghoa peranakan ini, sebelum abad ke-20

umumnya buta huruf dan hanya berminat mencari uang. Beberapa orang mampu

menggaji guru pribadi untuk mengajar anak-anak laki-lakinya aksara Tionghoa

dan kadang-kadang diberikan pelajaran tentang kitab-kitab klasik Khonghucu.

Akan tetapi pendidikan anak perempuan tidak diperhatikan. Anak perempuan

dibesarkan ibunya menurut kebiasaan dan pola orang-orang pribumi. Waktu anak

3
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia 2002),
h. 19.
4
Tionghoa Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan
umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah
laku seperti pribumi. Lihat Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia 2002), h. 17.
19

perempuan menikah dan menjadi ibu sendiri, anak-anaknya dibesarkannya dengan

cara yang sama.5

Tentu saja adat, kepercayaan, dan agama orang-orang Tionghoa di Jawa

menjadi sangat bercampur. Dari ayah kelahiran Tiongkok, orang Tionghoa

mewarisi kebiasaan-kebiasaan dari Tiongkok tetapi dari ibunya, kebiasaan dan

adat pribumi. Kwee Tek Hoay, dan seorang yang ikut serta dalam pergerakan

pembaharuan Tionghoa sendiri berkomentar.

“[Upacara Pernikahan], adat perkabung[an] dan upacara pemakaman telah


begitu banyak berubah sehingga anak-anak membebani diri dengan tambahan
segala macam adat dari berbagai sumber”.6

Namun demikian, keadaan itu telah berubah pada tahun 1800-an, Belanida

mengeluarkan peraturan yang berisi larangan kelompok keturunan Tionghoa

masuk agama Islam dan larangan bagi kelompok pribumi menikah dengan

kelompok Tionghoa. Belanda tampaknya takut melihat Tionghoa dan Muslim

bersatu. Peraturan ini memiliki dampak pada kehidupan masyarakat Nusantara

dalam memandang keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa menjadi kelompok

yang terpinggirkan, dikucilkan dan dibenci oleh kelompok masyarakat yang lain

karena hubungan dengan mereka berarti malapetaka yang dating dari

pemerintahan Kolonial Belanda. Belum lagi, Belanda dengan para sarjananya dan

juga para sarjana pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda,, juga ikut serta

5
Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia (Ithaca: Cornel Modern in Indonesia Project 1969), h. 9-10.
6
Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia, h. 11.
20

menyampaikan sastra dan ajaran yang semakin memojokkan kelompok keturunan

Tionghoa.7

Menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya para pemimpin Tionghoa

peranakan berpendidikan Barat di Hindia, bersama dengan timbulnya kebijakan-

kebijakan anti Tionghoa dari pemerintah kolonial Belanda.8 Orang Tionghoa

Hindia dibatasi geraknya dan sumber penghasilannya yang penting yaitu sistem

Pacht Percukaian, dihapuskan.9 Akan tetapi, Tionghoa peranakan berpendidikan

Barat yang membenci kebijakan-kebijakan Belanda, sama kritisnya akan adat

yang berlaku di masyarakatnya, teristimewa kebiasaan pernikahan dan

pemakaman. Karenanya mereka memprakasai suatu pergerakan pembaruan untuk

memperbaiki kondisi budaya dan nasionalnya.10

Sementara itu, Khonghucuisme sedang dihidupkan kembali oleh para

pembaharu Tionghoa di Tiongkok. Salah satu darinya yang paling terkemuka

adalah Kang Youwei. Gagasan-gagasan penbaharuan ini juga tersebar ke Asia

Tenggara dan sebuah masyarakat penganut Khonghucu didirikan di Singapura,

yang digunakan oleh Kang youwei sebagai pangkalan ketika pergerakan

pembaharuan itu gagal di Tiongkok. Kehadiran Kang Youwei di Singapura

7
MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS Printing
Cemerlang 2012), h. 62.
8
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159.
9
Suatu sistem yang menggunakan orang-orang Tionghoa sebagai apa yang dinamakan
Pachter, yaitu pemegang izin resmi untuk mengoperasikan beraneka ragam monopoli sebagai
penghasilan pajak negara. Untuk suatu uraian yang lebih lengkap mengenai sistem Pacht pajak
dan orang Tionghoa di Jwa, lihat, Lea E. Williams, “The Ethical Program and the chinese of
Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, Thn. II, No. 2 (1961), h. 35-42.
10
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159.
21

berdampak besar pada orang-orang Tionghoa perantauan dan sejak waktu itu

pengaruhnya terasa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia.11

Tanggal 1900, Gubernur General Hindia Belanda menyetujui berdirinya

THHK (Tiong Hoa hwee Koan) di Jakarta12 dengan tujuan utama untuk

memperbaharui adat dan kebiasaan orang Tionghoa di Jawa, yang masih

merupakan penganjur ajaran khonghucu.13

Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang diusahakan

oleh Tiong Hua Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah dari ajaran

pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasional.

Perubahan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada agama

Khonghucu meninggalkan THHK, kemudian membentuk Kong-jiou Hui (Khong

Kauw Hwe) yang mandiri.14

Tahun 1923, para wakil-wakil Khong Kauw Hwe berkumpul di Jogja

membentuk Khong Kauw Tjong Hwe atau pusat perkumpulan Khong Kauw

(Agama Khonghucu) yang memilih pengurus pusatnya di Bandung dengan ketua

Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), Sekretaris Tjia

Tjip Ling (Cilacap), sayang Khong Kauw Tjong Hwe ini hanya beberapa tahun

aktif selanjutnya pasif dan Khong Kauw Hwe-Khong Kauw Hwe berjalan sendiri-

11
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159-160.
12
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta:
Pelita Kebijakan 2005), h. 89
13
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 161
14
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 3.
22

sendiri. Laporan rapat dimuat di Khong Kauw Goat Po atau Bulanan Khong

Kauw yang diterbitkan pada 8 Desember 1923.15

Dari tahun 1928-1954 banyak bermunculan organisasi sosial ekonomi dan

politik di Indonesia, namun kehadiran banyaknya organisasi ini telah membuat

para penganut Khonghucu Khawatir. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, maka

para pengikut Khonghucu mencoba memurnikan ajaran Khonghucu dengan jalan

menciptakan Dewan Agama Khonghucu. untuk mewujudkan pemikiran tersebut,

pada Agustus 1967 diselenggarakanlah konggres Agama Khonghucu ke-6 di Solo.

Dalam konggres tersebut, ditentukan sifat dan upacara keagamaan Khonghucu.16

Walaupun posisi etnis Tionghoa dalam kesejarahan Indonesia pada masa

penjajahan Belanda tidak begitu terlihat dalam teks sejarah, namun sebenarnya

mereka ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Diantara etnis Tionghoa yang ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan adalah

John Lie alias Jahya Daniel Dharma seorang keturunan Tionghoa yang menjadi

perwira angkatan laut RI. Dengan kapal kecil cepat bernama The Outlow, ia rutin

melakukan operasi melawan blokade Belanda dengan membawa hasil bumi

Indonesia ke Singapura untuk barter dengan senjata. Senjata yang diperoleh

kemudian diserahkan ke pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai sarana

perjuangan melawan Belanda.17

Adanya organisasi Khonghucu pada masa penjajahan menunjukan

eksistensi agama Khonghucu jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak dapat

15
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 3.
16
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 86
17
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 67-68.
23

dipungkiri juga dengan eksistensi tersebut banyak etnis Tionghoa yang ikut

berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari jerat penjajah yang terjadi di bumi

pertiwi. Meskipun ajaran dan tradisi yang mereka amalkan berasal dari nenek

moyangnya tetapi mereka juga menganggap Indonesia adalah tanah air dan

negaranya karena mereka lahir di Indonesia.18

2. Agama Khonghucu Zaman Kemerdekaan

a. Masa Orde Lama

Semenjak Desember1923 sudah ada niat membentuk Pusat Perkumpulan

Khong Kauw Hwe atau Khong Kauw Tjong Hwe. Tujuannya menyatukan seluruh

kegiatan keagamaan dalam keseragaman. Dengan catatan setiap cabang khong

Kauw Hwe mandiri tidak berada dalam satu komando, meski memiliki kedaulatan

tersendiri tetapi satu dalam Keimanan., tetapi pusat majelis ini beku pada zaman

pendudukan Jepang.19

Tahun 1954 bulan Desember, beberapa tokoh Khong Kauw Hwe

mengadakan pertemuan di Solo membahas kemungkinan dibentuknya Khong

Kauw Hwe Pusat. Selanjutnya, tanggal 16 April 1955 di solo terbentuklah

Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) yang bersifat federasi meski

tetap dalam satu Keimanan.. PKCHI mengadakan konggres I di Solo pada tanggal

6-7 Juli 1956 dengan Dr. Kwik Tjie Tiok sebagai ketua pertamanya.20

18
Wawancara dengan pemeluk agama Khonghucu Oesman Arif, Sabtu 14 Mei 2016
Pukul 14.30
19
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 5-6.
20
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6.
24

Konggres nasional I, II, dan III diadakan pada tahun 1956, 1957, dan 1959,

musyawarah ke IV yang diadakan di Solo pada Tahun 1961 mengganti nama

“Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia” menjadi “Lembaga Ajaran Sang

Khonghucu Indonesia ((LASKI)”. Pada tanggal 22-23 Desember 1963 diadakan

konfrensi dengan keputusannya antara lain mengubah nama LASKI menjadi

“Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)”.

Konggres ke V di Tasikmalaya pada tanggal 5-6 Desember 1964 mengganti

“Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)” diganti

dengan “Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia

(GAPAKSI)”.21

Pada tahun 1965 Presiden Soekarna mengeluarkan Penetapan Presiden

No.1/Pn.ps/1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan

Agama,22 yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk

penduduk Indonesia berdasarkan sejarah ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik,

Hindu, Budha, dan Khonghucu. Menurut Eka Dharmaputra, seperti yang dikutip

Lasiyo dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh Chandra Setiawan,

menyebutkan bahwa pemilihan keenam agama diatas berdasarkan pada definisi

agama seperti yang diusulkan menteri agama pada masa itu adalah minimal

memiliki: Kitab Suci, Nabi, kepercayaan akan satu Tuhan, dan tata ibadah bagi

pengikutnya.23

21
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6.
22
Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 65.
23
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104.
25

b. Zaman Orde Baru

Pada dasarnya masa Orde Baru, pemerintahan Indonesia sedikit berpihak

pada etnis Tionghoa. Terutama dalam bidang ekonomi dan budaya, karena

pemerintahan Orde Baru mengininkan adanya legitimasi terhadap keberhasilan

dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru lebih memilih

merangkul dalam bidang ekonomi, namun tetap mencurigai dan mengawasi

mereka dalam bidang politik.24

Namun demikian, umat Khonghucu mulai mengalami tugas yang berat.

Pada periode 1965-1967 terjadi tragedi nasional peristiwa G. 30S PKI, yang

terjadi pada tahun 1965 yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi Masa Orde

Baru. Disini pengurus GAPAKSI berkewajiban meningkatkan pembinaan mental

dan moral beragama serta mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh

Indonesia.25

Pada 23-27 Agustus 1967 diadakan konggres VI GAPAKSI di Solo yang

dihadiri utusan dari 17 daerah. Keputusan yang diambil dalam konggres tersebut

antara lain:

1. Pejabat Presiden RI, Jendral Soeharto berkenan memberikan

sambutan tertulis, yang antara lain menyampaikan,”Agama

Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara kita yang

berlandaskan Pancasila ini.”

24
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 69-70.
25
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6.
26

2. Nama Gabungan Agama Khonghucu disempurnakan menjadi

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).26

Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala

terbitan yang berhuruf Tionghoa, kecuali satu Koran pemerintah yang

menggunakan aksara, yang lain dilarang beredar di bumi Indonesia.

Desember 1967, semua kegiatan agama dan adat istiadat yang bernuansa

tradisi Tionghoa dilarang diselenggarakan di depan umum. Hal ini karena

dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat

istiadat Cina oleh presiden Soeharto. Tanggal 14 Juli 1978 agama Khonghucu

tidak boleh dicantumkan lagi pada kolom „agama‟ dalam KTP dan Sidang

Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas mengatakan, “Khonghucu bukan

Agama”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi tidak jelas.27

c. Masa Reformasi

Ketika zaman reformasi ini nampaknya agama Khonghucu mempunyai

peluang kearah yang lebih baik. Presiden Habibie telah menghapuskan istilah

pribumi dan non pribumi (Inpres No. 26/1998),28 beberapa seminar juga diadakan

menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, salah satunya di IAIN

Jakarta tahun 1998. Ada juga karya tulis yang menyangkut agama Khonghucu,

diantaranya “Hak-Hak Beragama dan Perkawinan Khonghucu: Persfektif Sosial,

26
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104.
27
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
28
E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang:
Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 134.
27

Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998. Buku ini ditulis

oleh berbagai tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai sudut.29

Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden dengan wawasan

kebangsaannya, dan adanya kesempatan dan kekuatan selaku presiden, kemudian

mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang

dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berisi apapun bentuk ekspresi

keagamaan dan adat istiadat Tionghoa di muka umum, dan termasuk pelarangan

bagi semua tempat usaha kelompok etnis Tionghoa, seperti toko, pabrik dan

sebagainya untuk tutup pada hari raya Imlek, dengan mengeluarkan Peraturan

Pemerintah No. 6 tahun 2000. Gus Dur juga mengeluarkan pengumuman bahwa

tahun baru Imlek juga menjadi hari libur fakultatif yaitu hari libur untuk penganut

agama yang sedang merayakan hari raya.30

Pengumuman Gus Dur atas hari libur fakultatif pada tahun baru Imlek

ditindak lanjuti oleh megawati dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19

tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional berlaku sejak

Imlek tahun 2003.31 Sebagaimana dua presiden sebelumnya, presiden Susilo

Bambang Yudoyono, juga mengeluarkan kebijakan yang membela etnis

Tionghoa, berupa UU. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, yang

salah satu poin pentingnya adalah etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini termasuk

orang Indonesia asli. Bukan hanya itu saja, sejumlah kebijakanpun dikeluarkan

oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pasal-pasal yang telah diambil

29
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
30
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 81-82.
31
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
28

untuk diimplementasikan demi mengembangkan hak-hak sipil terhadap umat

Khonghucu dan etnis Tionghoa.32

B. Ajaran Agama Khonghucu

Ajaran-ajaran yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep

metafisika, tidak terlalu banyak disinggung dalam kitab Su Si. Ajaran tentang

metafisika ini justru lebih banyak bersumber pada kitab klasik yang memang

sudah ada sejak sebelum kelahiran Khonghucu. Adapun yang dimaksud dengan

ajaran metafisika ialah ajaran yang mencangkup tentang Tuhan, manuasia, alam

semesta dan konsep tentang hidup setelah mati atau eskatologi.33

1. Ajaran Tentang Tuhan

Tidaklah benar jika mengatakan bahwa umat Khonghucu tidak mengakui

adanya Tuhan. Dalam agama Khonghucu istilah Tuhan disebut dengan Thian dan

bukan allah seperti yang terdapat dalam agama kristen dan Islam. Dalam kitab-

kitab agama Khonghucu terdapat banyak berbicara tentang Thian atau Tuhan

Yang Maha Esa, diantaranya terdapat dalam kitab She Cing (kitab puisi). Dalam

kitab ini banyak bicara tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai

Thien dan Shang Ti. Syair-syair tersebut sebagai berikut.34

32
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 82.
33
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: Diva Press,
2015), h. 249.
34
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44.
29

“Kekuasaan dan bimbingan dari Thian (Tuhan Yang Maha Esa) sangat

luas dan dalam hal ini di luar jangkauan suara, sentuhan, atau penciuman” (She

Cing IV Wen Wang 1/7)35

“Oh, betapa besarnya kekuasaan Shang Ti (Tuhan Yang Maha Kuasa)

yang memerintah dan membimbing seluruh umat manusia” (She Cing IV Thang

1/1)36

Syair-syair di atas, ditulis jauh sebelum Khonghucu lahir, menurut

perkiraan para ahli, syair-syair tersebut ditulis kira-kira 1000 tahun sebelum

kelahiran Khonghucu atau sekitar tahun 1550 SM. Dari syair-syair di atas, dapat

dikatakan karya-karya klasik di atas yang ditulis 1000 tahun sebelum kelahiran

Khonghucu tersebut, sudah mengenal konsep Tuhan yang diistilahkan dengan

Thian dan Shang Ti.37

Disamping konsep Tuhan yang banyak dibicarakan dalam kitab She Cing

dan Su Cing di atas, istilah Tuhan (Thien) juga banyak dijumpai dalam kitab Lun

Yu (Lun Gi) atau Analects Confucius atau ujar-ujar Khonghucu dan murid-

muridnya. Berikut ini dapat dilihat ungkapan-ungkapan Khonghucu yang terdapat

dalam kitab Lun Yu (Lun Gi) yang ada kaitannya dengan konsep Tuhan (Thian).38

35
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44.
36
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44.
37
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44.
38
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
30

“Dia yang telah berdosa pada Thien, berdoapun tidak akan bermanfaat”

(Lun Gi III:13)39

“Aku tidak menggerutu pada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku

hanya belajar dari tempat terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi.

Thien-lah yang mengenal diriku” (Lun Gi XIV:35)40

Tentunya masih banyak lagi kitab suci agama Khonghucu yang berbicara

banyak tentang Tuhan, seperti dalam kitab Tai Hak (Ajaran Besar), yang terdapat

satu kali (satu ayat), dalam kitab Tiong Yong (Tengah Sempurna) juga ada ayat-

ayatnya yang berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan juga terdapat dalam

kitab Bingcu yaitu kitab keempat dari kitab suci Su Si.

Selain istilah Thien atau Thian yang banyak dijumpai dalam kitab-kitab

Khonghucu, kita juga mengenal istilah Thian Li dan Than Ming. Istilah Thian Li

itu sendiri sebenarnya bersumber pada pengertian Thian yang mengalami

perluasan pada masa Neo-Konfusianisme. Jadi, Thian Li itu sendiri bukanlah nama

lain dari Thian, tetapi lebih dekat dengan firman Thian atau hukam-hukum dan

peraturan yang bersumber pada Thian.

Thian Ming sendiri dapat diartikan sesuatu yang telah dijadikan atau

sesuatu yang telah terjadi. Pangeran Chou pernah mengajarkan Thien Ming (The

mandate of Heaven) yang isinya bahwa Thien memberikan dekrit (ketetapan)

kepada seseorang yang memimpin bangsa dan negara. Oleh karena itu seseorang

39
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
40
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
31

atau manusia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kehendak

Tuhan atau Thian.41

Dengan adanya kepercayaan kepada Thian yang oleh pemeluknya

diterjemahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, maka agama Khonghucu dapat

dikategorikan ke dalam kepercayaan monoteis. Kepercayaan dalam agama ini

bersifat dogmatik, yang diyakini umatnya berdasarkan wahyu (agama langit).

Selain itu, agama tersebut juga mempercayai dewa-dewa, roh-roh suci dan para

nabi.42

Dalam Khonghucuisme, Thian selalu hadir, melihat, dan mendengar segala

sesuatu, mencintai kebaikan, memberi pahala serta menghukum kejahatan.

Gambaran khonghucu tentang Tuhan adalah imanen atau Thian (Tuhan/langit) itu

dekat pada makhluk dan bukan transenden (jauh dari makhluknya).43

2. Ajaran Tentang Keimanan

Selain memiliki ajaran tentang Thian, Khonghucu juga memiliki ajaran

tentang keimanan yang terdapat dalam kitab Su Si. Oleh umat Khonghucu di

Indonesia yang berhubungan dengan keimanan dijadikan landasan utama dalam

menetapkan konsep keimanan umat Khonghucu di Indonesia.44

Pengertian keimanan menurut Hs. Tjhie Tjay Ing, rohaniawan agama

Khonghucu di Indonesia, bahwa istilah iman yang sering dipakai dalam agama

Khonghucu selama ini diambil dari kata “Sing”. Kata “Sing” ini menurut asalnya

41
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 46-48.
42
Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 249.
43
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 50.
44
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51.
32

terdiri dari rangkaian akar kata “gan” dan “sing”. Gan berarti

berbicara/sabda/kalam, dan “sing” berarti “sempurna atau jadi”. Oleh karena itu,

pengertian “sing” mengandung makna “sempurna kata, batin dan perbuatan.”

Menurut Hs, Tjhie Tjay Ing, umat Khonghucu wajib memiliki sing (iman)

terhadap kebenaran ajaran agama yang mereka anut.45

Iman menurut Khonghucu dari beberapa ayat kitab suci Su Si adalah

sebagai berikut:

a. Iman adalah jalan suci Thian.

b. Iman berfungsi menggerakkan hati manusia ke arah yang lebih baik.

c. Iman itu dapat diperoleh kalau manusia dapat berbuat hal-hal yang

baik.

d. Untuk dapat menggembirakan orang tua, manusia terlebih dahulu

memenuhi dirinya dengan iman.46

Dalam agama Khonghucu di Indonesia , konsep keimanan tersebut

dikembangkan lagi menjadi delapan (Pat sing). Delapan keimanan tersebut

adalah:

a. Adanya Thian.

b. Adanya nilai mutlak pentingnya kebijakan.

c. Adanya firman/takdir/watak sejati.

d. Adanya Roh (Sien) dan Nyawa (Kwi)

e. Adanya perwalian orang tua atas anak-anaknya.

f. Adanya Thian menjadikan nabi Khonghucu sebagai genta rohani.

45
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51.
46
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 52.
33

g. Adanya kebenaran kitab suci Su Si.

h. Adanya jalan suci yang agung.47

Demikian itulah delapan keimanan yang wajib diimani oleh penganut

agama Khonghucu.

3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati

Menurut Lie Kim Hok,48 Khonghucu tidak banyak bicara tentang hidup

setelah mati, tetapi ia percaya akan keberadaan roh-roh dan roh-roh yang

berhubungan dengan keluarga, maka anggota keluarga yang hidup harus

mempersembahkan korban kepadanya.49

Dalam tradisi masyarakat Cina di Indonesia khususnya dalam kehidupan

sehari-hari, setiap keluarga memiliki meja sembahyang atau altar untuk keluarga.

Meja sembahyang inilah yang mereka gunakan sebagai media atau sarana untuk

menghormati atau menyembah roh leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh leluhur

mereka dapat mengawasi kehidupanm keluarga dalam rumah tangga.50

Dalam kitab Su Si tidak banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan

Khonghucu tentang roh-roh. Meskipun demikian, bukan berarti Khonghucu tidak

percaya tentang dunia setelah kematian, namun bagi dia dunia setelah kematian

itu dapat diketahui kalau manusia sudah mengenal kehidupan. Bagi Khonghucu,

47
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 53.
48
Lie Kim Hok adalah seorang penulis Indonesia, perintis sastra Melayu Tionghoa yakni
masa rintisan (1875-1895), pada periode ini telah ditulis karya-karya sastra berbahasa Melayu
Rendah baik oleh orang-orang Belanda maupun Tionghoa peranakan.
49
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 54.
50
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55.
34

mengenal arti kehidupan itu lebih penting untuk diketahui sebelum kita mengenal

arti kematian.51

Di samping itu, Khonghucu juga percaya bahwa perbuatan baik itu akan

mendapat balasan (Tai Hak Bab X:11). Namun Khonghucu tidak berbicara

tentang surga sebagai ganjaran bagi orang yang berbuat baik dan neraka bagi

orang yang berbuat jahat.52

Jelas sekali, sebelum Khonghucu lahir masyarakat Cina sudah mempunyai

peradaban yang maju dan juga mempunyai sistem kepercayaan dengan percaya

kepada roh leluhur yang sangat mereka hormati. Roh leluhur disini adalah para

raja yang sudah wafat dan kembali yang dipercaya mengawasi anak cucunya yang

masih hidup di dunia.

Khonghucu sendiri semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi yang baik

dan sangat bermoral. Khonghucu sebagai nabi yang agung tidak hanya

menyebarkan ajaran agamanya saja melainkan juga menyempurnakan ajaran dari

nenek moyangnya. Hal tersebut yang membuat ajarannya masih digunakan

sampai sekarang.

Karena ajaran-ajarannya yang sangat berpengaruh di Tiongkok bahkan

seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan banyak keturunan

Tionghoa menetap di Indonesia. Meskipun hidup di Indonesia, mereka masih

memegang teguh ajaran dan tradisi Khonghucu.

51
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55.
52
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 56.
35

Eksistensi agama Khonghucu di Indonesia pun mengalami naik turun dari

awal kedatangan mereka sampai sekarang. Misalnya ketika awal kemerdekaan

Indonesia, sebenarnya agama Khonghucu mendapat pengakuan dari pemerintah

sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia. Tetapi pada zaman Orde Baru,

eksistensi agama Khonghucu mulai redup karena berbagai peristiwa dan

kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, sejak bergantinya masa Orde

baru ke masa reformasi sampai sekarang, agama Khonghucu menemukan

eksistensinya kembali.

Dengan ajaran mengenai konsep tentang Thian (Tuhan Yang Maha Esa),

keimanan dan kehidupan setelah mati serta mempunyai kitab suci sebagai

pedoman para penganutnya, maka Khonghucu pantas disebut sebagai agama.


BAB III

GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA

A. Gus Dur dan Kebebasan Beragama

K.H Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa dengan Gus Dur

mempunyai ciri khas untuk mencari ilmu yang mendalam demi disumbangkan

untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Selain itu juga pemikiran Gus Dur

dicurahkan untuk membela nilai-nilai atau ajaran agama dan tradisi setempat.

Nilai-nilai ajaran agama ditafsirkan kembali untuk dijadikan sebagai sumber

inspirasi perubahan sosial yang ditopang oleh semangat toleransi dan penghargaan

yang tinggi terhadap kemanusiaan. Bahkan tidak jarang Gus Dur sering mendapat

hujatan baik dari kalangan umat muslim sendiri atau umat agama lain karena

pemikirannya yang kontroversial.1

Dalam beragama Gus Dur memiliki sikap yang inklusif, ia sangat terbuka

dengan berbagai agama. Banyak sekali gagasan-gagasan kebebasan beragama

yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan seperti dialaog antar agama,

kunjungannya ke berbagai negara maupun melalui undangan-undangan seminar.

Salah satu perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah dalam relasi nilai

ajaran agama dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Lebih khusus dalam hal ini

yaitu tentang perlindungan kebebasan beragama yang sebenarnya sudah ada di

1
Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas
Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005), h. 160.

36
37

dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18

yang menyebutkan “setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan,

dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau

kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya

dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara

pribadi”.2

Di dalam isi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tentunya

ada hal yang kontradiksi dengan ajaran setiap agama termasuk Islam, yaitu hak

mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan. Dalam ajaran Islam

ganti atau pindah agama disebut murtad dan termasuk perbuatan dosa besar.

Mengenai hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan tersendiri dalam

tulisannya “Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam” 2002. Ada dua hal yang

dikemukakan oleh Gus Dur. Pertama, dengan mencari kejelasan dan reinterpretasi

terhadap hukum kanonik Islam (fiqh) tentang pindah agama yang di dalam Islam

disebut murtad3 atau riddah4 yang hukumannya adalah hukuman mati. Kalau

hukuman ini diterapkan dalam negara yang mayoritas muslim, maka akan banyak

2
http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragama._Mus
dah_Mulia.pdf dan lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan
Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004), h. 9 di akses pada tanggal
25 Juni 2016.
3
Murtad adalah berpindahnya agama Islam dengan agama yang lain. Lihat :
http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-islam.html
diakses tanggal 25 Juni 2016.
4
Riddah adalah keluar dari Islam baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan
keyakinan. Misalnya, enggan membayar zakat, puasa atau haji karena dianggap tidak wajib atau
meyakini Muhammad dusta. Tapi keyakinan yang tidak disertai perbuatan, belum dianggap
murtad. Lihat : http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html diakses tanggal 25 Juni 2016.
38

sekali orang yang di hukum mati karena pindah agama. Dengan demikian, hal ini

sangat bertentang dengan DUHAM yang sebagian besar negara-negara telah

menandatangani dan memverifikasi beserta protokolnya, yang memberikan

kebebasan hak beragama termasuk ganti atau pindah agama secara sukarela.

Menurut Gus Dur, kaum muslimin harus mengakhiri kontradiksi seperti ini

supaya terlihat lebih dewasa.

Kedua, banyaknya intelektual muda Islam yang mencari ilmu di Barat

dengan bidang ilmu teknologi dan sains dan merangkumnya dengan pengetahuan

dan penghayatan agama. Sayang, di bidang agama para intelektual muda Islam ini

hanya mempelajari al-qur’an dan hadist secara tekstual tanpa ada pemahaman

yang mendalam dengan menggunakan ilmu tafsir melainkan hanya sebatas harfiah

saja. Pada akhirnya, yang muncul kepermukaan adalah sikap defensif kaum

muslim di seluruh dunia, yang berintikan kepada ketidakmampuan kaum

intelektual muda untuk menafsirkan permasalahan di era modern ini. Padahal

menurut Gus Dur, sejarah membuktikan hanya pihak-pihak yang mampu

beradaptasi yang diperlukan, tanpa meninggalkan nilai-nilai esensial bagi sebuah

kaum, dapat dicari sebuah penyelesaian yang memuaskan.5

Dari pemaparan yang dikemukakan oleh Gus Dur dapat kita pelajari

mengapa sikap intoleran dan kebebasan beragama sangat susah dijumpai baik

sesama muslim maupun beda agama. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya

pemahaman dan metode dalam belajar agama. Pada dasarnya kekeliruan dalam

5
M. Imam , Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom
dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta, ELKiS 2002), h. 145-148.
39

memahami suatu teks agama tidak dapat disalahkan teks ajaran tersebut,

melainkan cara memahaminya yang keliru. Oleh karena itu, cara memahami teks

ajaran harus menafsirkan dari segi historisitas dan juga perkembangan jaman

manusia. Demikian juga metode pemahaman teks ajaran yang melulu harfiah, ikut

bertanggungjawab dalam proses produksi makna dan praksis tertentu. Praksis

intoleransi dan kekerasan terhadap umat lain dan kelompok sempalan di dalam

Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses berfikir dan pemahaman

tertentu yang menafikan kontekstualitas dan kesejarahan.6

Berikut sikap Gus Dur dalam memandang kebebasan beragama

1. Humanisme Gus Dur

Humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa

perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan yang lebih baik.7 Jadi, manusia

sebagai makhluk yang bermartabat mempunyai hak yang sama dengan manusia

lainnya tanpa memandang suku, agama maupun ras yang berbeda. Sebagai warga

negara Indonesia, tentu hak-hak kita sudah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.

Setiap manusia hidup dalam ruang sosial, tempat dan waktu tertentu.

Disinilah manusia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dalam

hidup individu dan sosialnya, atau apa yang tidak berharga. Berdasarkan

6
Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom dan artikel
Abdurrahman Wahid selama era lengser, h. 145-148.
7
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV
(Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 152.
40

pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut, setiap manusia dapat hidup bersama

dengan yang lainnya.8

Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya

sebagai pemeluk agama tertentu, tetapi karena didasari pemahaman bahwa nilai

kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. Apalagi bangsa Indonesia yang

majemuk ini memang berbeda dengan bangsa-bangsa lain.

Menurut Drs. H. Kamilun Muhtadin, M.Si, Indonesia sejak awal

sejarahnya telah bersinggungan dengan budaya-budaya luar. Orang-orang Cina,

India, Persia, Arab, Asia Tenggara dan Eropa masuk ke perairan Indonesia

berinteraksi di kota-kota niaga Indonesia dan meninggalkan jejak-jejak

budayanya, entah terbatas atau luas. Pluralisme budaya primordial Indonesia,

mengakibatkan perkenalan dengan budaya-budaya luar itu membangun

transformasi budayanya masing-masing. Dan budaya-budaya transformatif di

wilayah-wilayah primordial ini juga saling berinteraksi serta menghasilkan

bentuk-bentuk budaya transformasi baru di masing-masing wilayah dan semua

kini menyatu dalam wilayah kesatuan yang bernama Indonesia.9

Kiranya hal di atas itulah yang kemudian menyemangati sosok Gus Dur

memiliki tanggung jawab personal-nasional maupun universal. Bagi kebanyakan

rakyat Indonesia Gus Dur ialah seorang yang humanis yang ingin menegakkan

demokrasi dan hak asasi manusia dalam hal yang sebenar-benarnya. Apa yang

8
Mahmudi Muhith, M. Latif, Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme (Malang 2010),
h. 77.
9
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 78.
41

diperjuangkan Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang unsur-

unsur primordial. Gus Dur sangat sadar bahwa humanisme yang masih dibatasi

oleh sekat-sekat primordialisme hanya akan menjadi ancaman bagi objektifitas

perjuangan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.10

Menurut Mahfud MD, bagi Gus Dur penghayatan terhadap nilai-nilai

kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut dunia akan

dipengaruhi berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada

pemahaman seperti ini semakin mengokohkan sikap humanisme yang hendak

dibangunnya.11

Dalam berpikir dan bertindak, Gus Dur bahkan melampaui batas-batas

agama yang sempit. Islam bagi Gus Dur, sebagaimana agama lain, adalah doktrin

yang menjangkau nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan menyeluruh.

Dengan demikian, doktrin agama yang di dalamnya menyangkut ajaran-ajaran

tentang toleransi dan harmonisasi sosial, seharusnya mendorong seorang muslim

untuk tidak takut terhadap perbedaan.12

Jadi keterbukaan (inklusif) dalam beragama sangatlah penting, apalagi

hidup di negara yang beranekaragam agama dan kepercayaan yang berbeda. Sikap

merasa paling benar (eksklusif) dengan ajaran dan kepercayaannya hanya akan

merugikan diri sendiri, orang lain dan negara. Karena sikap tersebut dapat

10
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga 2010), h.
119.
11
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120.
12
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120.
42

menimbulkan konflik dan ketidakstabilan keamanan negara yang berakibat pada

terhambatnya pembangunan negara.

Disimak dari dimensi sejarah, tidak banyak pemimpin di kancah

Internasional yang menerapkan prinsip humanisme. Tentunya Gus Dur

merupakan salah satu diantara sedikitnya pemimpin di dunia yang menerapkan

prinsip humanis dalam gaya dan pola kepemimpinannya.

Prinsip humanis yang diterapkan Gus Dur, diakui oleh segenap lapisan

sosial. Baik warga dikalangan Islam maupun non Islam, mengakui gaya humanis

yang dipraktikkan Gus Dur. Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi pernah

mengatakan, “humanisme Gus Dur berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling

dalam. Tetapi, humanismenya itu melintasi agama, etnis, teritorial, dan negara.”

Karena itu tidak perlu heran apabila Gus Dur menerima banyak penghargaan

dalam bidang perdamaian di kancah Internasional. Lewat pendekatan yang

humanis, Gus Dur mengetahui persis apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan

apa yang diinginkan masyarakat.13

Gus Dur yang seorang humanis ini juga dapat dibuktikan ketika beliau

menjadi presiden. Untuk membuktikan komitmennya terhadap HAM, tercatat Gus

Dur telah membubarkan Bakorstranas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan

Stabilitas Nasional), sebuah lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib

(Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang memiliki kewenangan

luas dan berpeluang menindas. Gus Dur juga menghapus penelitian khusus

13
H. Muhammad Zen, Gus Dur Kiai Super Unik (Malang:Cakrawala Media Publisher
2010), h. 125-126.
43

(litsus), yang “menakuti” pegawai negeri agar jangan bersikap kritis. Gus Dur

juga mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1996 soal pembubaran Partai

Komunis Indonesia (PKI) dan pelanggaran penyebaran ajaran Marxisme,

Komunisme, dan Leninisme. Begitu juga, Gus Dur mengakhiri perlakuan

diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, melalui Keppres No. 6/2000 dan mencabut

Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.14

Intinya, Gus Dur membuka paradigma baru agar setiap orang mendapat

perlakuan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama

ataupun ideologinya. Ini bagian dari cita-cita Gus Dur yang ingin membangun

Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang damai

tanpa prasangka dan bebas dari segala kebencian.15

Humanisme Gus Dur adalah sebuah wujud dari penghargaan yang tinggi

terhadap nilai kemanusiaan dan kecintaannya terhadap bangsa dan negara yang

majemuk ini. Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya

ada tulisan: disinilah di kubur seorang humanis”16 dan terbukti setelah dirinya

meninggal, gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan

negara. Hal tersebut menunjukan konsistensi Gus Dur terhadap kesetaraan hak

asasi manusia tidak ada yang sia-sia dan menunjukan kebesarannya sebagai Guru

Bangsa.

14
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto
Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 27-28.
15
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto
Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa h. 28.
16
Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
44

2. Pluralisme Gus Dur

Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan

dengan sistem sosial dan politiknya).17 Jadi pluralisme bisa dikatakan paham atau

pandangan hidup yang mengakui adanya kemajemukan atau keberagaman yang

ada ditengah-tengah masyarakat. Keragaman ini dilihat tidak sebagai penghambat

pembangunan suatu bangsa tetapi justru dilihat sebagai anugrah dari Tuhan yang

patut disyukuri oleh bangsa Indonesia.

Di sebuah negara yang pluralistik seperti Indonesia ini, sikap toleransi dan

rendah hati dalam beragama merupakan suatu keniscayaan. Dengan sikap seperti

itulah, pluralitas akan menjadi nilai dan kekuatan yang memungkinkan

masyarakat bergerak maju secara dinamis. Sebaliknya, tanpa sikap demikian,

pluralitas yang ada hanya akan menjadi hambatan bagi perubahan yang dicita-

citakan oleh para pejuang bangsa.18

Sikap pluralisme juga merupakan tolak ukur untuk pembangunan bangsa.

Tanpa adanya sikap pluralisme niscaya pembangunan negara menjadi terhambat,

karena membangun negara yang besar dan beragam yang berazas “Bhinneka

Tunggal Ika” tidak hanya dari segi infrastruktur saja tetapi juga dari segi

suprastruktur juga. Dimana masyarakat bisa saling menghargai dan menerima

perbedaan untuk mengisi negara ini.

1717
Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV
(Jakarta: Gramedia Pusaka Utama), h. 1086.
18
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 117.
45

Pluralitas atau kemajemukan masyarakat Indonesia sendiri sekurang-

kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Pertama, pluralitas suku,

agama dan budaya serta berbagai turunannya. Berbagai suku, agama dan budaya

yang ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lampau merupakan fakta sejarah

masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Kedua, pluralitas di internal suku, agama

dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, ada berbagai aliran yang secara

formal seringkali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan

suku yang lain.19

Kesadaran terhadap pluralisme sebagai fakta sejarah yang tidak bisa

dihindarkan dan sekaligus merupakan kekuatan bangsa dan komitmen untuk tidak

melakukan pemaksaan terhadap kehendak guna melakukan penyeragaman

merupakan modal dasar untuk membangun toleransi. Dan kesadaran seperti ini

merupakan cermin dari sebuah sikap dewasa, arif dan rendah hati, sebagaimana

yang diajarkan oleh agama itu sendiri.20

Oleh sebagian tokoh-tokoh agama, toleransi sejauh ini disosialisasikan

sebatas hidup berdampingan secara damai. Menghormati dan menghargai

keyakinan orang lain, itulah yang menjadi pakem ajaran tentang toleransi selama

ini. Termasuk dalam pakem ini adalah ajaran tentang tri kerukunan yang sering

disosialisasikan oleh pemerintah masa lalu.

Padahal dalam kontek Indonesia yang sangat beragam ini tidak hanya

diperlukan saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, tetapi kita

19
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118.
20
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118.
46

bisa melakukan lebih dari sekedar hal tersebut. Seperti halnya membantu warga

masyarakat yang terkena bencana secara bersama tanpa memandang suku, agama

atau budayanya. Saling bersilaturahmi antar warga dan terlibat aktif dalam

kegiatan sosial lainnya. Jadi toleransi tidak hanya dibatasi tentang keyakinan saja

tetapi juga bentuk sosial masyarakat lain yang lebih luas.

Dalam hal menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur ternyata lebih maju

beberapa langkah daripada tokoh agama dan intelektual muslim yang lain. Karena

itu tidak heran jika ia mendapat gelar sebagai Bapak Pluralisme dan Pembela

Toleransi oleh bangsa dan negara.21

Menurut Gus Dur, tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya pola

hidup berdampingan secara damai, karena hal demikian masih sangat rentan

terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat

tertentu dapat menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap

pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara

tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan

menerima.22

Dari pandangan agama, sebagai sistem keyakinan yang memuat dimensi

ketuhanan, agama merupakan faktor tunggal yang menyatukan umat pemeluknya

dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya. Namun sebagai dimensi budaya,

agama dipahami memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi budaya

ini dapat dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran agama yang

21
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119.
22
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119-120.
47

ada dalam dimensi keyakinan. Dimensi budaya dalam hal ini akan sangat

tergantung pada pola penafsiran dan derajat peradaban masyarakat dalam

memahami dan menerjemahkan ajaran agama yang diyakini.23

Jelaslah dengan demikian, upaya penafsiran kembali ajaran agama adalah

kegiatan untuk memahami keimanan dalam konteks kehidupan yang senantiasa

berubah-ubah. Kehidupan beragama dalam kompleksitas seperti itu memadukan

dalam dirinya pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai keagamaan yang

membentuk perilaku pemeluk agama dan lingkungannya. Kombinasi antara

pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu membentuk pola yang membedakan

seorang atau sekelompok pemeluk dari pemeluk lain. Sehingga, menjadi tak

terhindarkan lagi adanya perbedaan.24

Pandangan Gus Dur ini menyiratkan bahwa meski agama mengandung

ajaran tunggal, namun karena ia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang

pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam

pelaksanaan dan prakteknya menjadi berbeda dan plural. Di samping itu, Gus Dur

berpikir bahwa tidak semua simbol dan ritus itu sebagai sesuatu yang baku yang

bisa dianggap sebagai suatu ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan, di dalam

agama ada dimensi kebudayaan yang kadang juga menjelma dalam bentuk simbol

dan ritus.25

23
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 267.
24
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 267.
25
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 267.
48

Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol

dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah yang

dilakukan Gus Dur selama ini. Untuk mendinamisir agama, agar nilai-nilai agama

tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang

maksimal dalam menjawab problem kehidupan, Gus Dur mencoba melakukan

pembaharuan penafsiran dan pembongkaran simbol-simbol agama yang

mengalami stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran agama.26

Atas dasar ini juga, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme

dalam beragama. Gus Dur tidak menginginkan agama hanya sebagai simbol,

jargon dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas

kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat

mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan

ritus-ritus formal.27

Menurut Prof. Dr. H. M. Bashori Muhsin, Pluralisme yang dipahami Gus

Dur adalah dalam masyarakat yang majemuk tidak boleh ada perlakuan yang

berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam masyarakat

yang majemuk dalam konsep kenegaraan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak boleh ada

dominasi mayoritas atau minoritas dalam kelompok yang berkuasa. Keterbukaan

dalam wacana pluralisme Gus Dur ibarat sebuah masjid yang dapat digunakan

oleh siapa saja tanpa melihat pangkat dan derajat. Masjid tidak boleh diklaim

26
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 268-269
27
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 269.
49

milik salah satu kelompok orang tertentu yang akibatnya ada dominasi dan

membatasi partisipasi orang lain. Filosofi masjid yang terbuka bebas untuk

digunakan ibadah sesuai dengan asas kemaslahatannya dan ketentuan yang

berlaku. Yang demikian ini contoh pluralisme religius ditinjau dari kesamaan

untuk dapat beribadah tanpa ada perbedaan.28

Pluralisme struktur yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai

Presiden merupakan bukti ketegaran yang prima dalam merubah secara radikal

dari birokrasi yang sakral menjadi keterbukaan. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru

yang masih ada pada kabinet Presiden Gus Dur dilakukan perombakan hingga

pemberhentian. Secara institusional, departemen yang menjadi corong pemerintah

saat Orde Baru berkuasa dibubarkan seperti Departemen Penerangan RI.

Departemen Pertahanan Keamanan yang dulu dipimpin seorang militer diganti

dengan perjabat sipil.29

Secara kultural pluralisme tanpa kompromi diberlakukan dalam

pemerintahannya. Teman sealiran dalam organisasi NU juga dikenakan kebijakan

yang sama yaitu pemecatan dari jabatan seperti Hamza Haz dari Menteri. Faham

nepotisme tidak ada dalam kamus perilaku pluralisme Gus Dur dalam hal yang

prinsip.

Pemikiran pluralisme yang dilakukan oleh Gus Dur dalam praktek

pemerintahannya adalah perubahan-perubahan menuju demokrasi diawali dengan

terjangan reformasi. Keberanian untuk melakukan perubahan dalam pemerintahan

28
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 63.
29
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64.
50

masa transisi Gus Dur ini adalah menuju pada supremasi sipil. Negara demokrasi

yang maju dimana kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui pemilihan umum yang

jujur, kedaulatan di tangan rakyat maka supremasi sipil harus cepat ditegakkan.30

Atas sikapnya yang humanis, pluralis dan demokratis itulah Gus Dur

mendapatkan banyak penghargaan salah satunya, pada tahun 1993, Gus Dur

menerima hadiah “Nobel” Asia, yaitu Roman Magsaysay Award dari pemerintah

Filipina karena Gus Dur dinilai berhasil memimpin organisasi Islam terbesar di

Asia Tenggara, yaitu Nahdlatul Ulama, sebagai kekuatan toleransi agama,

pemerataan pembangunan dan demokrasi di Indonesia.31

Ketika menerima penghargaan tersebut, Gus Dur menyatakan,

“penghargaan ini bukan hanya kehormatan bagi saya dan keluarga saya, tetapi

juga pengakuan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas Islam di

Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Dengan demikian ini juga pengakuan

terhadap fakta bahwa Indonesia sebagai bangsa telah menunjukan secara nyata

kemampuan untuk menjaga pluralitas tanpa harus mengorbankan perubahan-

perubahan penting yang diperlukan.32

Oleh karena itu, mengembangkan toleransi jangan sampai memicu

intoleransi. Gerakan pluralisme di Indonesia perlu mencontoh Gus Dur, yang

berkumpul lintas agama, tidak murni dalam rangka titik temu teologis, melainkan

gerakan publik agama demi perjuangan di luar agama yaitu lintas agama demi

30
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64.
31
Mitsuo Nakamura, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford university Press,1995), I:14.
32
Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-
Keagamaan, h. 159.
51

demokratisasi politik, lintas agama demi struktur ekonomi berkeadilan. Karena

pancasila tidak hanya berisi tentang sila kemajemukan, namun juga berkelindan

dengan sila keadilan sosial dan demokrasi. Dengan cara seperti ini, gerakan

toleransi antar agama tidak memicu intoleransi antar agama.

B. Gus Dur dan Agama Khonghucu

Sebagai seorang yang dikenal humanis, pluralis, demokratis dan pembela

hak-hak kaum minoritas, tentunya Gus Dur juga tidak dapat dipisahkan dari

sejarah perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Banyak peristiwa yang

terjadi terhadap umat Khonghucu di Indonesia yang secara langsung maupun

tidak langsung melibatkan Gus Dur. Bahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi

terhadap agama Khonghucu di Indonesia yang melibatkan Gus Dur sampai

berpengaruh terhadap dunia internasional.

Gus Dur sendiri mengaku bahwa para Walisongo adalah keturunan

Tionghoa dan ia sendiri adalah keturunan Tan Kim Han. Tan Kim Han menurut

Gus Dur menikah dengan Tan A Lok yang merupakan saudara kandung Raden

Pattah (Tan Eng Hwa), dan keduanya adalah anak dari Putri Cempa (Putri

Tiongkok)yang merupakan selir dari Rden Brawijaya V. Tan Kim Han ini dalam

tradisi Islam dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir ash-Shiniyang makamnya

terdapat di Trowulan Mojokerto di samping makam Syaikh Jumadil Kubro.33

Diceritakan oleh Bingky Irawan, Kedekatan Gus Dur dengan Khonghucu

di Indonesia sudah terlihat ketika ia mendengar berita Bingky Irawan menggugat


33
MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS
Printing Cemerlang 2012), h. 62.
52

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena ada etnis Tionghoa yang mau

menikah dipersulit administrasinya hanya karena ia adalah etnis Tionghoa. Gus

Dur yang saat itu masih aktif di LSM Forum Demokrasi (Fordem) langsung

menelpon Bingky untuk dijemput di Bandara untuk ikut sidang di PTUN.34

Kedatangan Gus Dur di PTUN Surabaya tentu menjadi sorotan publik.

Masyarakat menganggap upaya Gus Dur itu sia-sia, karena kekuatan rezim

Soeharto sangat kuat, termasuk dalam urusan pengadilan. Namun, sikap pesimistis

masyarakat tidak mengendurkan semangat Gus Dur untuk menegakkan Hak Asasi

Manusia (HAM) di bumi pertiwi ini. Kedatangan Gus Dur yang berkaitan dengan

etnis Tionghoa dan agama Khonghucu ini menjadi titik awal yang berdampak

panjang.35

Sebelum peristiwa Bingky Irawan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

ke PTUN, menurut Gatot Seger Santoso ada juga peristiwa Kapasan akibat

penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga sekitar tahun 1970 yang

menimbulkan atmosfer anti-Tionghoa. Ketika itu Gus Dur juga tampil membela

warga Tionghoa dan bahkan menyatakan dirinya sebagai keturunan Tionghoa.

Sementara sejumlah keturunan Tionghoa yang saat itu duduk di jajaran birokrat

justru diam, tidak berbuat apa-apa untuk meredam gejolak anti-Tionghoa.36

Pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa dan agama Khonghucu di era

Orde Baru merupakan bentuk eksistensi perjuangan hak asasi manusia dan

34
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87.
35
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87.
36
Zen, Gus Dur Kiai Super Unik, h. 35.
53

penegakan keadilan. Diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa dan agama

Khonghucu tidak mencerminkan negara Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”

juga adanya keniscayaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.

Ketika menjabat sebagai presiden, pada bulan Oktober 1999 Gus Dur

mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari

Khonghucu dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina

di Beijing.37 Pertemuan tersebut merupakan sinyal positif untuk umat Khonghucu

di Indonesia.

Harapan umat Khonghucu terhadap pemerintahan Gus Dur sangat besar di

masa mendatang karena pada masa itu Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun

1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dirasa oleh warga

negara Indonesia yang beretnis Tionghoa telah dibatasi ruang geraknya dalam

menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadatnya, dan

langsung diganti dengan Keppres No. 6 Tahun 2000.38

Ada kejadian menarik ketika Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967

dan menggantinya dengan Keppres No 6 Tahun 2000. Pada waktu itu, menurut

Budi Tanuwibowo39 yang merupakan teman dekat Gus Dur meminta untuk

merayakan Tahun Baru Imlek secara nasional. Tanggapan Gus Dur pada waktu itu

37
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
38
Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 6.
39
Budi Tanuwibowo adalah Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (Matakin).
54

langsung mengiyakan, bahkan Gus Dur menyarankan Imlek digelar dua kali, di

Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh.40

Namun, ada Inpres No 14 Tahun 1967 yang menghalangi perayaan Imlek,

Gus Dur dengan spontan berkata “gampang Inpres saya cabut”. Gus Dur lantas

memanggil Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet untuk membahas

rancangan Keppres tentang pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967. Beberapa

waktu kemudian Gus Dur memanggil Menteri Dalam Negeri untuk mencabut

surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud tahun 1978 tantang agama

yang diakui oleh negara.41

Mulai saat itulah, Imlek dirayakan dengan riang dan meriah di sudut-sudut

negeri, Imlek yang menandai hari lahirnya nabi Khonghucu itu menjadi bagian

penting perayaan hari besar keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat di

Indonesia.

Bukan saja tentang Imlek, pencabutan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 juga

berdampak signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun

kebebasan untuk berekspresi. Agam Khonghucu saat ini sudah dapat ditulis dalam

kolom agama di KTP, pernikahan secara Khonghucu dapat dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil dan siswa Khonghucu dapat mengikuti pelajaran agama sesuai

dengan imannya.

Pada tahun 2001, presiden Gus Dur menjadikan tahun baru Imlek sebagai

hari libur fakultatif bagi etnis Tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh
40
IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
41
IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
55

pengganti Gus Dur yaitu presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai

hari libur nasional melalui Keppres No 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru

Imlek.42

Dengan berbagai perjuangan untuk membebaskan belenggu etnis

Tionghoa dan agama Khonghucu pada masa Orde Baru, Gus Dur ditasbihkan

sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang, di Klenteng

Tay Kak Sie, di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 10 Maret 2004. 43 Umat

Khonghucu juga mengusulkan agar Gus Dur mendapatkan Nobel atas jasanya

tersebut.

Budi S. Tanuwibowo dalam pengantarnya di buku Selayang Pandang

Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya. Ketika Gus

Dur wafat dalam hitungan kurang dari dua jam, tempat-tempat ibadah Khonghucu

telah disesaki umat yang langsung mengadakan doa bersama untuk beliau.

Bahkan menyimpang dari kebiasaan, ditampilkan barongsai bisu, yaitu permainan

barongsai tanpa iringan musik, sebagai tanda duka cita yang amat mendalam.44

Begitu besarnya dukungan dan simpati terhadap wafatnya Gus Dur yang

mengalir dari rakyat Indonesia termasuk umat Khonghucu dari berbagai penjuru

negeri. Hal tersebut menandakan betapa dekatnya dan dicintainya sosok Gus Dur

oleh umat Khonghucu di Indonesia.

42
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 9.
43
Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-
Keagamaan, h. 157.
44
Ws. Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan
Masa Depannya, h. x.
56

C. Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khanghucu

Akar pemikiran politik Gus Dur sesungguhnya didasarkan pada komitmen

kemanusiaan dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen

kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan

persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan

pluralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai

sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan

sosial.45

Dalam kasus Indonesia, negara yang demikian majemuk susunan warga

negara dan situasi geografisnya telah menempatkan Islam bukan satu-satunya

agama yang ada. Dengan kata lain negara harus memberikan pelayanan yang adil

kepada semua agama yang diakui.46

Berikut pandangan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu di

Indonesia.

1. Menegakkan Demokrasi

Negara Indonesia juga menganut konsep negara-bangsa, sebagai

konsekuensi logis dari segenap pluralitas di dalamnya.47 Oleh karena itu, sebagai

negara yang heterogen ini Gus Dur sangat mencintai demokrasi agar dapat

diimplementasikan oleh segenap warga negara.

45
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 87.
46
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h, 103.
47
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta 2004), h.
195.
57

Di dalam demokrasi sendiri terdapat tiga prinsip, yaitu pertama, prinsip

kebebasan mengandung makna bahwa negara memperbolehkan pengamalan

agama apapun, sekalipun dalam batasan-batasan tertentu. Prinsip ini merupakan

suatu prinsip mengenai toleransi dan mungkin juga tentang pluralisme. Prinsip

tersebut tidak berpengaruh terhadap munculnya agama-agama yang lain. Prinsip

tersebut secara sederhana mengakui pentingnya warga negara untuk diberi

kebebasan dalam beribadah sesuai dengan agamanya dan pada sisi negatif campur

tangan terhadap kebebasan itu oleh institusi-institusi negara, apabila dalam negara

adalah tidak cocok.48

Oleh karena itu, kebebasan dalam beragama dengan campur tangan

institusi-institusi negara bertolak belakang dengan demokrasi yang dianut oleh

Indonesia. Apalagi undang-undang juga mengatur tentang kebebasan setiap

individu untuk melaksanakan kepercayaan dan agamanya masing-masing.

Sementara prinsip yang kedua, prinsip kesetaraan, berupaya untuk

menjelaskan bahwa negara tidak boleh memberikan pilihan kepada suatu agama

atas pihak lainnya. Hal ini merupakan prinsip tentang tidak memihak. Negara

yang demokratis tidak boleh berdiri di atas kepentingan golongan yang satu

dengan meminggirkan golongan yang lain. Setiap golongan atau agama

mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Prinsip yang ketiga, prinsip netralitas yang lebih banyak menegaskan,

bahkan juga memiliki peluang untuk menjadi dasar demokrasi, utamanya

48
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190.
58

demokrasi liberal dengan membuat pemisahan antara negara dan agama. Prinsip

ketiga ini lebih ditekankan kepada posisi negara untuk selalu menghindarkan diri

dari sikap tidak suka atau suka terhadap agama (keberagaman)49

Hak-hak tersebut di atas harus dilakukan secara adil kepada seluruh warga

negara tanpa harus memandang asal usulnya. Bagi Gus Dur heterogenitas adalah

kenyataan bangsa Indonesia yang melekat pada eksistensi manusia dan

masyarakat. Wacana dan perilaku politik dalam suatu negara harus menjadi

medan untuk menyerap heterogenitas politik rakyat. Karena itu sektarianisme dan

penyekatan politik atas nama agama dan etnis tertentu ditolaknya. Sikap

penolakan terhadap ICMI misalnya, lalu ia mendirikan Forum Demokrasi

(Fordem).50

Gus Dur selalu mengkritik ICMI dengan alasan tidak setuju

memformalkan Islam dalam politik. Ia mengatakan ICMI diberikan tempat dan

fasilitas dengan Habibie membangun kekuatan dengan menghimpun para

intelektual muslim dalam suatu wadah dalam bendera Islam demi tujuan

mendominasi lembaga politik.51 Dalam hal ini Gus Dur menunjukkan kecintaan

terhadap demokrasi dan pengetahuan tentang kebangsaan yang luas.

Dalam pandangan Masykuri Abdillah, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa

mendukung demokrasi tanpa adanya Islamisasi bukan berarti menolak Islam.

Tetapi, agama baginya adalah kesadaran individu dan tidak perlu diformalkan.

49
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190.
50
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 98-99.
51
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 110.
59

Bahkan sewaktu ditanya oleh beberapa kyai, Gus Dur memberikan alasan bahwa

kalau agama itu dibesarkan oleh negara, maka sesungguhnya agama itu lemah.

Tetapi, yang diinginkan adalah agama yang berkembang tanpa turut campur

negara, yang sesungguhnya itulah kekuatan agama.52

2. Penerimaan Atas Ideologi Pancasila

Indonesia sebagai negara yang majemuk tentu formalisasi agama sangat

ditolak oleh Dus Dur. Salah satu konsekuensi logis dari penolakan formalisasi

agama dalam konsep negara bangsa Indonesia tersebut, Gus Dur berkeyakinan

bahwa Pancasila merupakan negara damai yang harus dipertahankan. Penerimaan

atas pemerintahan yang berideologi Pancasila, menurut Gus Dur, karena syariah

dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh

kaum muslimin di dalamnya, sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi

dalam bentuk undang-undang negara.53

Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari agama

Islam atau agama lainnya, terutama karena Pancasila menjamin hak setiap agama

untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing. Agama berperan

sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ideologi negara dan

pandangan hidup negara bersumber pada sejumlah nilai luhur yang ada dalam

52
A. Malik Harmain, Mohammad Badi’ Zamas, Eko Darwanto, Gus Dur: Goro-Goro
Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing 2001), h. 74-75.
53
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 251.
60

agama. Namun, pada saat yang sama Ideologi Pancasila menjamin kebebasan

pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya.54

Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan

memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh

Pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup bangsa. Dalam hal ini,

menurut Gus Dur, karena dalam negara yang begitu majemuk susunan warga

negara dan letak geografisnya, maka Islam ternyata bukan satu-satunya agama

yang ada. Dengan kata lain, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada

semua agama yang diakui. Ini berarti negara harus menjamin pola pergaulan yang

serasi dan berimbang antara sesama umat beragama.

Dominasi satu kelompok atas kelompok yang lainnya dalam pluralitas

tersebut berakibat pada pereduksian konsep negara bangsa yang di dalamnya

berisi berbagai agama, suku, dan bahasa. Karenanya, penerimaan Pancasila dalam

keadaan seperti itu konsekuensi logis dan tidak dapat ditolak. Bagi Gus Dur,

penerimaan itu bukanlah untuk menggantikan posisi agama dalam kehidupan

bermasyarakat, melainkan hanya pola relasi antar berbagai elemen yang ada.55

Atas pertimbangan tersebut dan setelah berkonsultasi dengan banyak orang

dan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai referensi pembenaran, pada

Oktober 1983 Gus Dur menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila

sebagai Ideologi Negara.56

54
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 90.
55
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 254.
56
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 11.
61

Penerimaan Pancasila sebagai Ideologi negara memiliki makna sebagai

bentuk pengakuan bahwa negara ini harus dijalankan berdasarkan konsensus

bersama secara berkeadilan, tanpa harus melebihkan satu kelompok atau agama

tertentu.57 Atas dasar itulah, penerimaan dan pengakuan terhadap Pancasila

sebagai Ideologi negara bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh

warga negara.

Pada perjalanannya, Gus Dur menganggap pemerintah Orde Baru belum

konsisten melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sekedar untuk

mendapatkan legitimasi untuk kekuasaannya. Karena kalau pemerintah Orde Baru

konsisten mengamalkan Pancasila ini, pemerintah pasti akan berbuat adil serta

melindungi kebebasan menyatakan pendapat, bergerak, berkumpul dan

berserikat.58

Hal tersebut dibuktikan dengan terbelenggunya agama khonghucu pada

masa Orde Baru. Dimana kegiatan ritual keagamaan umat khonghucu dilakukan

dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa adanya perayaan secara terbuka di depan

umum seperti perayaan Imlek dan Cap Gomeh.

3. Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur

Dari segi geografis, Indonesia terletak di dua benua (Asia dan Australia)

dan dua samudra (Hindia dan Pasifik). Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi

jalur perdagangan dari berbagai negara termasuk Tiongkok. Banyak dari para

57
Santoso, Teologi Politik Gus Dur h. 261.
58
Masykuri Abdillah, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan Pemuda
Ansor 1999), h. 193.
62

pedagang ini bersosialisasi, menetap bahkan menikah dengan pribumi. Seiring

berjalannya waktu maka banyak tersebarlah keturunan Tionghoa di berbagai

wilayah nusantara, baik yang berdarah asli Tionghoa maupun yang campuran

darah pribumi.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, para perantau Tionghoa ini membentuk

organisasi yang bernama Bing Sing Su Wan, sebuah lembaga yang menyebarkan

ajaran Khonghucu. Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang

diusahakan oleh Tiong Hua Kauw Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah

dari pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasionalis.

Perubahan haluan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada

agama Khonghucu meninggalkan Tiong Hua Hwe Koan, kemudian membentuk

perkumpulan Kong-jiao Hui (Khong Kauw Hwe) yang mandiri, misalnya Khong

Kauw Hwe Solo, Surabaya, Bandung, Sumenep, Kediri, Semarang, Blora,

Purbalingga, Cicalengka, Wonogiri, Jogjakarta, Kartasura, Pekalongan dan lain-

lain.59

Tahun 1923, muncul organisasi Khong Kauw Tjong Hwee atau Himpunan

Pusat Umat Penganut Konghucu yang didirikan di Yogyakarta. Pada tahun ini

juga diadakan musyawarah dalam rangka membentuk Badan Pusat Khong Kauw

Tjong Hwee di Bandung. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa kota

Bandung lah yang tepat untuk dijadikan pusat Khong Kauw Tjong Hwee.60 Para

59
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 3.
60
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 98.
63

wali Khong Kauw Tjong Hwee juga memilih pengurus pusatnya dengan ketua

Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), sekretaris Tjia

Tjip Ling (Cilacap).61

Ketika Indonesia merdeka, umat Khonghucu masih bebas mengekpresikan

kepercayaannya. Hal ini terlihat dengan seringnya umat Khonghucu mengadakan

konggres dan juga pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan

presiden No. 1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau

Penodaan Agama, yang di dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa agama-

agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 (enam),

yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu (Confucius).

Pada periode 1965-1967 umat Khonghucu menghadapi tugas berat yaitu

terjadinya tragedi nasional peristiwa G. 30S. PKI, yang terjadi pada tahun 1965

yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi masa Orde Baru. Pengurus

berkewajiban meningkatkan pembinaan mental dan moral beragama serta

mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh Indonesia.62

Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala

terbitan yang berbahasa Tionghoa, kecuali satu koran pemerintah boleh

menggunakan aksara Tionghoa, yang lain dilarang di bumi Indonesia. Desember

1967, semua kegiatan agama yang bernuansa tradisi Tionghoa dilarang

diselenggarakan di depan umum. Para pimpinan BAKOM-PKB (Badan Kordinasi

61
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 3.
62
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 6.
64

Masalah Persatuan dan Kesatuan Bangsa) menyerukan agar keturunan Tionghoa

meninggalkan agama leluhurnya (Khonghucu dan Tao) untuk pindah ke agama

Islam, Kristen atau Katolik.63

Keterbelengguan umat Khonghucu karena presiden Soeharto

mengeluarkan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan

Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan,

kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus

sebagaimana berlangsung sebelumnya.64 Kondisi politik pada saat masa

pemerintahan Orde Baru kebudayaan Cina dianggap sebagai bentuk afenitas

kultur masyarakat Tionghoa terhadap negeri leluhurnya (Tiongkok) yang asing

dan menjadi penghambat atas proses asimilasi.65

Meskipun pemerintah Orde Baru menganggap kebudayaan Cina adalah

bukan asli dari Indonesia tetapi dengan dikeluarkannya Inpres tersebut berarti

pemerintah telah melanggar kontitusi negara yaitu Pancasila terutama sila pertama

dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.

Angin segar mulai dirasakan umat Khonghucu ketika masa Reformasi.

Pada masa presiden Habibie telah menghapus istilah pribumi dan non pribumi

dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang

menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua

63
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 7.
64
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 6.
65
Agus N. Cahyo, Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2014), h. 135.
65

perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun

pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.66

Tentu saja kebijakan itu menguntungkan etnis Tionghoa dan umat

Khonghucu, apalagi selama era Orde Baru mereka dianggap sebagai non pribumi

sehingga harus melakukan proses asimilasi salah satunya dengan mengganti nama

Tionghoanya menjadi mana pribumi dan mengganti agamanya dari Khonghucu

menjadi salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.

Puncaknnya pada pemerintahan Gus Dur, sikap politik Gus Dur yang

dikenal sangat pluralis, humanis, pejuang HAM dan penegak demokrasi sejati

menjadi anugrah tersendiri bagi umat Khonghucu. Gus Dur yang mempunyai

wawasan kebangsaan yang luas mengerti akan heterogennya Indonesia. Hal ini

terbukti dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara.

Gus Dur berpandangan bahwa ideologi Pancasila tidak berada pada

kedudukan lebih tinggi dari agama Islam dan yang lainnya, terutama karena

Pancasila menjamin hak setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban

agamanya masing-masing.67 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1

dan 2 yaitu:Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

66
E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang:
Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 135.
67
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 101.
66

Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Rumusan

Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menjiwai

sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut keimanan. Dalam pasal 29 ayat 2

UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia hanya memberikan jaminan

kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing,

namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.

Dalam penjelasan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga bahwa negara Indonesia

hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut

agamanya masing-masing tanpa harus campur tangan negara. Menurut Masykuri

Abdillah, Gus Dur memberikan alasan bahwa kalau agama itu dibesarkan oleh

negara, maka sesungguhnya agama itu lemah. Tetapi, yang diinginkan adalah

agama yang berkembang tanpa turut campur negara, yang sesungguhnya itulah

kekuatan agama.68

Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah mulai mendapatkan pengakuan

dari pemerintah, terutama pengakuan yang datang dari Gus Dur. Menurut Gus

Dur sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah,

sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia.

Sehingga menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan

suatu kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551, tanggal 17

Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah Khonghucu

agama atau fisafat hidup, adalah suatu pertanyaan yang mudah dijawab. Agama,

kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemeluk-pemeluknya. Tanpa pengakuan

68
Harmain, Gus Dur: Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, h. 74-75.
67

negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya dalam hati manusia. Untuk

menetapkan apakah agama itu betul-betul agama atau bukan, bukan urusan

pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja sudah merupakan

kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat demikian, artinya pemerintah

juga berbuat salah.69

Atas dasar pemikiran Gus Dur yang inklusif dan sikap politik Gus Dur

tentang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pluralisme, demokrasi, dan

hak asasi manusia70 begitu juga dengan penerimaannya terhadap Pancasila yang

menegaskan kalau Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Akhirnya dengan

langkah politiknya, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang

Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dengan mengeluarkan Keppres

Nomer 6 Tahun 2000. Dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 maka

umat Khonghucu dapat dengan bebas mengekspresikan agama, kepercayaan dan

adat istiadatnya.71

Setelah mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000, Gus Dur juga

memeritahkan Menteri Dalam Negeri Letjen Suryadi Sudirja untuk mencabut

surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud era Orde Baru No. 477/74054

tanggal 18 November tahun 1978 tantang agama yang diakui oleh negara.72

Dengan dicabutnya Inpres tersebut menunjukkan bahwa sebagai presiden

yang memimpin suatu negara dan juga seorang ulama Gus Dur mempraktekkan

69
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107.
70
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Berkelas Dunia dalam buku
Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 26.
71
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108.
72
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016
68

prinsip agama Islam yang rahmatan lil alamin, karena sebagai presiden Gus Dur

adalah pemimpin buat warganya yang beragam agamanya tidak hanya dari satu

agama. Hal ini menunjukan kalau Gus Dur mempunyai wawasan kebangsaan dan

agama yang luas.

Sebelum dicabutnya Inpres tersebut, umat Khonghucu tidak dapat

merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan

merayakannya diingkungan keluarga saja. Namun, ketika Inpres tersebut dicabut

umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat melaksanakan tahun baru Imlek

dengan terbuka dan tidak lagi terbatas dengan lingkungan sendiri.73

Pada masa ini juga, Gus Dur menetapkan perayaan Tahun Baru Imlek

sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya)

dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tertanggal 9

April 2001.74 Dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur fakultatif maka umat

Khonghucu tidak perlu meminta izin libur kerja maupun sekolah karena sudah

otomatis libur untuk merayakan Imlek.

Meskipun hanya menjabat 2 tahun 9 bulan Gus Dur mendapat tempat

istimewa bagi umat Khonghucu, karena dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6

Tahun 2000 yang menjadi kran untuk memulihkan kembali hak-hak sipil umat

Khonghucu dan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia yang sebelumnya

terbelunggu selama 32 tahun pada masa pemerintahan Orde baru.

73
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108.
74
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
69

Dikeluarkannya keppres tersebut juga menjadi salah satu bentuk tolak ukur

pembangunan negara. Karena Gus Dur sadar membangun negara yang sangat

pluralistik ini tidak hanya melulu soal infrastruktur saja tetapi juga dari segi

suprastruktur. Dimana kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan harus

ditegakan agar meminimalisir terjadinya diskriminasi dan konflik di masyarakat.

Jadi masyarakatnya hidup rukun dan bahagia karena majunya infrastruktur dan

suprastruktur di Indonesia.

Ketika pemerintahan Gus Dur juga terlihat ueforia budaya Tionghoa yang

yang dipertunjukan dimuka umum. Masyarakat dapat melihat Tarian Naga dan

Barongsai di jalan-jalan yang sangat meriah, tergantung lampiaon merah dan

spanduk bertuliskan “Selamat Tahun Baru Imlek......Gong Xi Fat Cai” yang

dipadukan dengan kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut tidak terjadi di

zaman pemerintahan sebelumnya.75

D. Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek

Tahun baru Imlek sebenarnya bukan perayaan tahun baru yang asing bagi

masyarakat Indonesia. Dulu ketika masa pemerintahan Soekarno atau yang biasa

dikenal dengan masa Orde Lama perayaan tahun baru Imlek diadakan rutin setiap

tahunnya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu agama Khonghucu diakui sebagai

salah satu agama resmi di Indonesia merujuk pada Penetapan Presiden (Penpres)

Nomor 1 Tahun 1965. Namun, ketika masa Orde Baru perayaan tahun baru Imlek

75
Tesis Sugiandi Surya Atmaja Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi
Agama Khonghucu Program Studi Perbandingan Agama dengan judul Politik Hukum Pemerintah
Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014), h.
124.
70

tidak dapat ditampilkan lagi di depan publik. Hal ini terjadi ketika presiden

Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Inpres tersebut secara tidak langsung

mengekang ekspresi agama, kebudayaan dan adat istiadat umat Khoghucu karena

tidak bisa dipungkiri agama Khonghucu sendiri berasal dari Cina atau Tiongkok.76

Dengan adanya Inpres tersebut etnis Tionghoa dan umat Khonghucu tidak

dapat lagi menggunakan bahasa Mandarin, hak-hak sipil yang tidak terpenuhi oleh

negara termasuk perayaan tahun baru Imlek yang tidak dapat lagi dirayakan secara

terbuka di depan publik. Umat Khonghucu hanya dapat merayakannya di

lingkungan keluarga saja.

Pada masa Reformasi tepatnya pemerintahan Gus Dur tahun baru Imlek

dapat dirayakan secara terbuka kembali di depan publik. Dilatar belakangi dengan

pertemuan antara Gus Dur dan Budi Tanuwibowo di Istana. Ketika itu Gus Dur

yang dikenal sangat terbuka dan berpegang teguh terhadap Hak Asasi Manusia

menerima permintaan Budi Tanuwibowo untuk menggelar tahun baru Imlek

secara nasional dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000.77 Namun,

pada masa Gus Dur tahun baru Imlek masih ditetapka sebagai hari libur fakultatif.

Ketika Gus Dur dilengser sebagai presiden setelah adanya sidang istimewa

MPR, tanggal 23 Juli 2001 dan digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati, tahun

baru Imlek tetap diadakan secara terbuka dan meriah. Semangat presiden

76
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 124.
77
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
71

Megawati untuk meneruskan estafet reformasi terutama rasa simpati terhadap

umat Khonghucu sangat besar.78

Sebagai presiden yang menggantikan Gus Dur, Megawati masih

meneruskan program pemulihan hak sipil Agama Khonghucu dengan menetapkan

Hari Raya Tahun Bharu Imlek sebagai Hari Libur Nasional pada tanggal 9 April

2002 dengan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002. Keputusan presiden ini

ditindaklanjuti oleh menteri Agama dengan mengeluarkan Keputusan Menteri

Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tertanggal 25 Juni 2002 Tentang Tahun Baru

Imlek sebagai Hari Libur Nasional.79

Penetapan Imlek sebagai hari Libur Nasional disampaikan presiden

Megawati dalam perayaan Tahun Baru Imlek 2553 di Pekan Raya Jakarta. Pada

kesempata tersebut dihadiri oleh Gus Dur dan sekitar 1.000 orang. menurut

Megawati, keputusan menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional sebagai

bentuk kebersamaan bangsa Indonesia yang terbangun dari berbagai asal-usul,

etnis, suku dan agama yang berbeda.80

Ditetapkannya Imlek sebagai Hari Libur Nasional juga semakin

mengukuhkan eksistensi agama Khonghucu di Indonesia. Jadi tidak hanya umat

Khonghucu saja yang menikmati Tarian Naga, Barongsai, dan Lampion tetapi

78
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformas, (1967-2014), h. 125.
79
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, h. 125.
80
http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional Diakses
pada 22 Agustus 2016 pukul 22.30
72

juga seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan

kebudayaan Indonesia yang menjadi sangat beragam.

E. Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP

Masa Reformasi bisa dikatan sebagai kebangkitan etnis Tionghoa dan

Umat Khonghucu di Indonesia, karena banyak peraturan dan kebijakan di era

Orde Baru yang bersifat diskriminasi terhadap kaum minoritas sedikit demi

sedikit mengalami perubahan atau penghapusan kebijakan tersebut.

Mulai dari kebijkan presiden Habibie yang menghapus istilah pribumi dan

non pribumi dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang

menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua

perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun

pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.81 Keluarnya Keppres

Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang

menjadikan etnis Tionghoa dan umat Khonghucu terbebas dari belenggu pada

masa Orde Baru. Keppres tersebut seakan menjadi pintu masuk bagi pemerintah

Indonesia untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada Hak Asasi

Manusia.

Selain Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 yang dikeluarkan presiden

Megawati tentang Hari Libur Nasional Imlek, pemerintah selanjutnya pada masa

presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tetap konsisten menghapus kebijakan

yang dirasa diskriminasi.pada masa ini etnis Tionghoa benar-benar diterima

81
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
73

sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Bukti dari keseriusan presiden

Susilo Bambang Yudhoyono yaitu dengan banyak kebijakan hukum yang

dikeluarkan terhadap masyarakat Khonghucu, terutama dalam pemulihan hak-hak

sipil umat Khonghucu.82

Kebijakan yang penting dengan mengeluarkan Intruksi Menteri Agama

sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 tanggal

24 Januari 2006, tentang penjelasan mengenai Status Perkawinan Menurut Agama

Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu.83 Namun, surat menteri agama

itu tidak serta merta memudahkan umat Khonghucu mendaftarkan perkawinannya

dengan cara Khonghucu karena masih terhambat oleh administrasi kependudukan.

Akhirnya dengan mengacu dan menindaklanjuti surat menteri agama

tersebut, keluarlah kebijakan Menteri Dalam Negeri Nomor 470/336/SJ tentang

Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu. Surat

tersebut ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota untuk disosialisasikan

kepada masyarakat.84

Dengan dikeluarkannya surat menteri dalam negeri tersebut, maka umat

Khonghucu dapat terpenuhi hak-hak sipilnya seperti memasukkan agama

Khonghucu dalam kolom di KTP, mendaftarkan perkawinannya secara

Khonghucu dan dilayani oleh negara, dalam bidang pendidikan para siswa yang

82
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 126.
83
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 107.
84
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
74

beragama Khonghucu dapat kembali belajar agama Khonghucu serta bahasa

Mandarin di sekolahnya.

Selain administrasi tersebut, umat Khonghucu juga dapat menggunakan

nama aslinya (Tionghoa) di dalam KTP, tetapi hal tersebut tidak lantas membuat

mereka langsung menggati namanya kembali lantara beberapa merasa sudah

nyaman dan banyak yag kenal dengan nama Indonesianya. Ada juga yang malas

mengurus administrasinya lantara merasa repot.

Mengenai peraturan pendidikan agama dan keagamaan tertuang dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 55 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan

Keagamaan, tanggal 5 Oktober tahun 2007. PP 55 ini ditandatangani langsung

oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang aturan main Pendidikan

Agama dan Pendidikan Keagamaan masing-masing agama dan agama Khonghucu

masuk dalam peraturan tersebut.

Untuk mempercepat pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, maka

presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum habis masa jabatannya,

memberikan hadiah kepada umat Khonghucu berupa peraturan Nomer 135 Tahun

2014, tertanggal 17 Oktober Tahun 20014, tentang pembukaan struktur baru

Direktorat Jendral Khonghucu di Kementrian Agama RI dalam pasal 475 bagian I

ditulis bahwa susunan organisasi eselon I Kementrian Agama terdiri Direktorat

Jendral Bimbingan Masyarakat Khonghucu.85

85
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 128
75

Dengan adanya pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, juga

berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini

bahasa mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Kebudayaan

Tionghoa dan agama Khonghucu juga sudah mulai secara bebas dipertunjukan di

Indonesia. Kebudayaan seperti Barongsai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh,

perayaan Imlek, saat ini mudah ditemui di Indonesia. Hak-hak politik, ekonomi,

sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis

Tionghoa dan umat Khonghucu, mulai didapatkan kembali.

Hal ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia

di Indonesia pasca Reformasi mengalami peningkatan secara signifikan terutama

di bidang kebebasan beragama bagi kaum minoritas.86 Terutama bagi umat

Khonghucu sendiri setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000.

86
Hadian dan Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di
Indonesia, h. 10
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan agama khonghucu sebenarnya terjadi jauh sebelum

Indonesia merdeka, banyak orang Tionghoa bermukim dan menetap di Indonesia.

Meski hidup di Indonesia tetapi tidak serta merta membuat mereka meninggalkan

ajaran nenek moyangnya. Agama Khonghucu tetap dipegang teguh dan

dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semakin banyaknya keturunan

Tionghoa di Indonesia maka semakin banyak juga penganut agama

Khonghucunya.

Pada perkembangannya di Indonesia, agama Khonghucu mengalami

berbagai dinamika. Ketika pemerintahan Orde Lama, presiden Soekarno

mengeluarkan ketetapan Nomor 1 Tahun 1965, tentang pencegahan

penyalahgunaan dan atau penodaan agama, yang di dalamnya menjelaskan bahwa

agama yang dipeluk penduduk Indonesia ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik,

Hindu, Buddha dan Khonghucu.

Masa pemerintahan Orde Baru, agama Khonghucu mengalami

diskriminasi. Hal ini terjadi karena presiden Soeharto mengeluarkan Inpres

Nomor 14 Tahun 1967, tentang larangan bagi WNI keturunan Cina untuk

melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina secara terbuka dan Surat

76
77

Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18

November tahun 1978 tentang lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu:

Isalm, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Adanya kebijakan tersebut,

membuat kebebasan dan hak-hak umat Khonghucu menjadi terbelenggu.

Masa diskriminasi tersebut terjadi kurang lebih selama 32 tahun atau pada

masa berkuasanya Orde Baru. Kemudian di masa reformasi, umat Khonghucu

terbebas dari diskriminasi, karena pemerintah pada zaman Gus Dur membuka

pintu lebar-lebar atas eksistensi agama Khonghucu di Indonesia sampai sekarang.

Kedekatan Gus Dur dengan agama Khonghucu seperti halnya dengan

agama atau etnis lain yang minoritas dan tertindas. Kedekatan Gus Dur dengan

agama Khonghucu bukan berawal ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden,

melainkan jauh sebelum itu, yaitu terjadi pada masa Orde Baru berlangsung.

Banyak sekali kejadian yang melibatkan Gus Dur dengan agama Khonghucu pada

saat itu. Gus Dur tidak serta merta membela begitu saja melainkan ada alasan

yang memang mengharuskan agama Khonghucu untuk dibela. Dilatar belakangi

dengan menegakkan dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia, Gus Dur tampil

membela dan memperjuangkan umat Khonghucu dari diskriminasi yang mereka

alami.

Seperti halnya ketika Gus Dur menghadiri sidang di PTUN Surabaya

ketika umat Khonghucu menggugat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

untuk masalah administrasi perkawinan. Dukungan tersebut menandakan Gus Dur

sangat memperhatikan kaum tertidas yang minoritas. Gus Dur juga mengadakan
78

pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari Khonghucu

dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina di Beijing.

Tidak hanya dengan lembaga keagamaan Khonghucu saja, Gus Dur juga

menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh agama Khonghucu seperti Bingky

Irawan dan Budi Santoso Tanuwibowo. Jadi kedekatan Gus Dur dengan agama

Khonghucu sama seperti dengan agama atau etnis lain yang tertindas tanpa

membeda-bedakan latar belakang baik suku, agama, ras maupun etnisnya.

Pancasila dan UUD 1945 secara tegas menjamin hak-hak warga negaranya

termasuk agama dan kepercayaan yang dianutnya seperti dalam pasal 29 ayat 1

dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan alasan ingin

menegakkan Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan juga negara yang benar-benar

demokratis tanpa ada diskriminasi yang dialami oleh setiap warga negara.

Akhirnya Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang selama

32 tahun membelunggu umat Khonghucu dengan mengeluarkan Keppres Nomor

6 Tahun 2000. Selain itu Gus Dur juga beralasan, sebuah agama dapat dikatakan

agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupkan agama

bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia. Sehingga, menurut Gus Dur,

pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan kekeliruan. Justru

pemerintahlah yang harusnya mengayomi dan memfasilitasi kebutuhan setiap


79

warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-

masing, seperti yang sudah diatur oleh Pancasila dan UUD 1945.

Melalui Keppres presiden Gus Dur No. 6 tahun 2000 tersebut, maka umat

Khonghucu dapat mengekspresikan kembali ajaran agama yang selama masa Orde

Baru terbelenggu. Hak-hak sipil sebagai warga negara Indonesia juga mulai pulih

dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintahan selanjutnya setelah Gus

Dur. Dari ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek pada masa pemerintahan

Megawati, dicatat dan dilayaninya perkawinan secara Khonghucu, pendidikan

agama Khonghucu, hingga masuknya Khonghucu dalam kolom agama di KTP.

Imlek yang diperingati setiap Tahun oleh umat Khonghucu pada

khususnya dan warga Indonesia pada umumnya menambah kekayaan kebudayaan

bagi bangsa Indonesia, karena budaya Tionghoa dan local bercampur. Hal ini

menjadikan peringatan Imlek tidak sama persis seperti di Tiongkok melainkan

punya identitas tersendiri karena percampuran budaya tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang penulis kerjakan, maka ada beberapa saran

dari penulis baik untuk umat Khonghucu, peneliti selanjutnya dan lembaga

Matakin maupun fakultas Ushuluddin lebih khusus program studi agama-agama.

1. Umat Khonghucu

a. Sebagai agama yang baru dilegalkan pada masa reformasi, semoga

tetap menjaga tradisi yang selama ini dipraktekkan.


80

b. Meskipun dibeberapa kejadian atau peristiwa keagamaan masih sikap

intoleransi terhadap umat Khonghucu di Indonesia, tetapi hal tersebut

semoga tidak menyurutkan sikap cinta terhadap negara Indonesia.

2. Peneliti selanjutnya

a. Masih banyak aspek-aspek dalam agama Khonghucu yang belum

diteliti. Jadi bisa menjadi bahan penelitian selanjutnya, agar dapat

menjadi wawasan keilmuan terutama prodi studi agama-agama.

b. Carilah referensi yang berkaitan dengan Khonghucu seperti ke Majelis

Tinggi Agama Khonghucu atau Litang Bio Tangerang, disana terdapat

banyak referensi mengenai agama Khonghucu.

3. Fakultas Ushuluddin dan Jurusan Studi Agama-Agama

Perbanyak referensi buku untuk penelitian agama Khonghucu, karena

untuk referensi agama Khonghucu terbilang masih sedikit.


Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan


Pemuda Ansor 1999)

Atmaja, Sugiandi Surya, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama


Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014) (Tesis S2
Konsentrasi Agama Khonghucu, Program Studi Perbandingan Agama,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia


(Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007)

Cahyo, Agus N., Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2014)

Creel, H.G, Alam Pikiran Cina, Terj. Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana


1990)

Aziz, M. Imam, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan


kolom dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta,
ELKiS 2002)

Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010)

Darwanto, Eko dan A. Malik Harmain dan Mohammad Badi’ Zamas ,Gus Dur:
Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing
2001)

Dematra, Damien, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010)

Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses
Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016)

Fattah, Abdul, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010)

Hadian, Emma Nurmawati, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut
Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2013)

Ibad, MN, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, (Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang 2012)

81
82

Imron, M. Ali, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: Diva


Press, 2015)

Indarto, Ws., Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu,


Sekarang dan Masa Depannya, (Jakarta: Matakin, 2010)
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek (Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari
2016)

Masdar, Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela


Minoritas Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005)

Milles, M.B. dan Huberman, AM, Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992)

Muhith, Mahmudi dan M. Latif dan Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme,
(Malang, 2010)

Musa, Ali Masykur, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga,
2010)

Nakamura, Mitsuo, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The


Oxford Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford
university Press,1995)

Ng, Al-Zastrauw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan
dan Pertanyaan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)

Nugroho, Aryanto, Jejak Langkah Guru Bangsa, (Semarang: Ein Institute, 2010)

Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010)

Saidi, Gunawan, Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa


Reformasi, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,2009)

Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta


2004)

Setiawan, E., Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa,
(Semarang: Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012)

Setiopno, Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media
Pusaka, 2008)

Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990)


83

Sugono, Dendi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama
Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama)

Sumodiningrat, Gunawan dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana
Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004)

Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia, (Terjemahan Dede


Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988)

Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2002)

Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia


(Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005)

Untung Budi, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015)

Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi


Kebudayaan, (Jakarta: Wahid Institute, 2007)

Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000)

Yusuf , A. Muri, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian


Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014)

Zen, H. Muhammad, Gus Dur Kiai Super Unik, (Malang: Cakrawala Media
Publisher 2010)

Zar, Sirojuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Pt Raja


Grafindon Persada, 2012)
84

Website

http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur-
479610.html Diakses pada tanggal 22 Maret 2016

http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal-
29-uud-1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses pada
tanggal 21 Maret 2016

http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016

http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016

http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragam
a._Musdah_Mulia.pdf Diakses pada tanggal 25 Juni 2016

http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional
Diakses pada tanggal 22 Agustus 2016

http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentang-
agama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017

Anda mungkin juga menyukai