Disusun oleh:
JOLLEEN MARIAM LAOH 1928040015
ANISA PUTRI 1928042012
ANDI BAU DEWA SURYA 1928042009
NURUL FAATIHAH ASHYLA 1928042004
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah bekerjasama dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat mengevaluasi makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang pertumbuhan fisik pada perkembangan peserta didik
ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek
yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta didik. Pendidikan
yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun mendidik disini dimaksudkan untuk
membentuk kepribadian yang sesuai dengan norma hukum dan agama. Setiap peserta didik
bersifat khas dan unik karena setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam pendidikan dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan perkembangan-
perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek perkembangan peserta didik
cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan moral,
perkembangan spiritual atau kesadaran beragama dal lain sebagainya. Setiap aspek-aspek
tersebut dapat dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam memahami cara belajar
dan tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik. Selain itu, aspek pembelajaran yang
diberikan kepada para peserta didik juga berupa pendidikan moral dan spirituall untuk
membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan
pendidikan bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, terbentuk beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan perkembangan moral dan spiritual?
2. Apa teori-teori yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
3. Bagaimana proses perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual pada peserta
didik?
5. Bagaimana implikasi atau dampak perkembangan moral dan spiritual peserta didik
terhadap pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
2. Untuk mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada
peserta didik.
3. Untuk mengetahui proses perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
4. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual.
5. Untuk mengetahui dan memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual
peserta didik terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Penalaran prakonvensional
Pada tingkatan terendah ini individu tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral-
penalaran moral dikendalikan oleh faktor internal, yakni hadiah, pujian, tepukan bahu, atau
sebaliknya berupa cacian, makian, kritik, hukuman. Pada tingkatan yang paling dasar ini dipilah
menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap 1: punishment and obedience orientation. Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan
ini pemikiran moral didasarkan pada hukuman. Contohnya, seorang menjadi berperilaku patuh
karena takut kalau-kalau hukuman menimpa dirinya.
Tahap 2: Individualism and purpose. Pada tahap ini perkembangan moral lebih berdasar pada
hadiah dan minat pribadi anak atau remaja. Anak atau remaja menjadi patuh karena dia berharap
akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan setelah dia menjalankan perilaku patuh.
Penalaran konvensional
Pada tingkatan ini individu melakukan kepatuhan berdasarkan standar pribadi yang diperoleh
atau yang diinternalisasi dari lingkungan ata orang lain. Pada tingkatan kedua ini dipilah menjadi
dua tahap:
Tahap 3: Interpersonal norm. Pada tahap norma interpersonal ini, anak beranggapan bahwa rasa
percaya, rasa kasih sayang , dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar untuk melakukan
penilaian terhadap perilaku moral. Agar anak dikatakan sebagai anak yang baik, maka anak
mengambil standar moral yang diberlakukan oleh orang tuanya. Dengan demikian, hubungan
antara anak dan orang tua tetap terjaga dalam suasana penuh kasih sayang.
Tahap 4: social system morality. Pada tahap keempat ini ukuran moralitas didasarkan pada
sistem sosial yang berlaku saat itu. Artinya, kehidupan masyrakat didasarkan pada aturan hukum
yang dibuat dengan maksud melindungi semua warga di dalam komunitas tertentu. Jadi pada
tahap perkembangan moral didasrkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan, dan
tugas sosial kemasyarakatan.
Penalaran postkonvensional
Tingkatan tertinggi dari perkembangan moral adalah diinternalisasikannya standar moral
sepenuhnya dalam diri individu tanpa didasarkan pada standar orang lain. Pada tingkatan
tertinggi ini dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 5: community rights vs individual rights. Pada tahap ini, perkembangan moral mengarah
ke pemahaman bahwa nilai dan hukum bersifat relatif. Sementara itu nilai yang dimiliki orang
satu berbeda dari orang yang lainnya.
Tahap 6: Universal ethical principles. Tahapan tertinggi dari perkembangan moral adalah
seseorang sudah mampu membentuk standar moral sendiri berdasar pada hak-hak manusia yang
bersifat universal. Walaupun mengandung resiko, orang pada tahap ini berani mengambil suatu
tindakan berdasar kata hatinya sendiri, bahkan bertentangan dengan hukum sekalipun.
Teori perkembangan spiritual.
Perkembangan spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang menjelaskan tentang
fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah
dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah SWT, sehingga fitrahnya itu
berkembang sesuai kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau
kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada firman Allah:
1. Surat Al-‘araf ayat 172 yang artinya:
“dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘bukankah aku ini
tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘betul (engkau tuhan kami). Kami menjadi saksi (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan tuhan).”
2. Surat ar-rum ayat 30, yang artinya:
“maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah, (tetaplah atas) fitrah allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Ituah
agam lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
3. Surat Asy-syamsu ayat 8 yang artinya:
“maka allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.”
Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan
atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan
beragama anak sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini
sebagaimana yang telah dinyatakan oleh nabi Muhammad Saw: “setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, hanya karena keadaan orangtuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau
majusi.” Hadis ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orangtua) sangat berperan
dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak. Jiwa beragama merujuk kepada
aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke
dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat habluminallah dan hablumminannas.
2. Konvensional
Stadium 3, meliputi orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki
umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat
dinilai baik oleh orang lain dan masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan
sesorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada stadium ini
perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-
norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan
yang ada, agar tidak timbul kekacauan (Baharuddin, 2009).
3. Pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan
sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial,atau
dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan
tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan
memberikan perlindungan kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma
pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada unsur subjektif yang
menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan
apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya (Baharuddin, 2009). Menurut Furter (1965),
menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya
memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini
selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral,
menjadikanya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini
akan tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Berbagai aspek perkembangan pada peserta didik dipengaruhi oleh interaksi atau gabungan dari
pengruh internal dan faktor eksternal. Begitu pula dengan perkembangan moral dan spiritual dari
peserta didik. Meskipun kedua aspek perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal
dan internal yang hampir sama tetapi kadar atau bentuk pengaruhnya berbeda.
Pada perkembangan moral peserta didik faktor internal meliputi faktor genetis atau pengaruh
sifat-sifat bawaan yang ada pada diri peserta didik. Selanjutnya sifat-sifat yang mendasari adanya
perkembangan moral dikembangkan atau dibentuk oleh lingkungan. Peserta didik akan mulai
melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada di lingkubgan sekitarnya baik lingkungan keluarga
maupun lingkungan masyarakat yang dapat meliputi para tetua yang mungkin menjadi teladan di
masyarakat, para tetangga, teman maupun guru yang ada di lingkungan sekolah. Semua aspek di
atas memiliki peran yang penting dalam perkembangan moral peserta didik yang kadarnya tau
besarnya pengaruh bergantung pada usia atau kebiasaan dari peserta didik itu sendiri
(Baharuddin, 2011).
Meskipun faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar pada perkembangan moral
peserta didik, peserta didik tetap mampu menentukan hal-hal atau nilai-nilai yang akan dianut
atau digunakan sebagai pembentuk jati diri. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan
peserta didik akan nilai-nilai moral yang tenyunya pertama kali akan dilihat dari sosok atau jati
diri orang tua. Meskipun terkadang orang tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai moral
tersebut, peserta didik tetap mampu menginternalisasi atau memasukkan nilai-nilai tersebut ke
dalam jati dirinya yang diwujudkan dengan sikap dan tingkah laku peserta didik. Oleh karena
itu, para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Dimana dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-
nilai hidup tertentu tersebut, banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya yaitu:
1. Tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang terkenal
dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
3. Lingkungan meliputi segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang
tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal
atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4. Tingkat penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg,
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi
tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat
moral seseorang.
5. Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan
standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan
orang lain (Yusuf, 2011)
Perkembangan spiritual juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal pula. Faktor internal
pada perkembangan spiritual juga berupa faktor keturunan yaitu berupa pembawaan dimana
faktor ini merupakan karakteristik dari orang itu sendiri, dasar pemikiran dari individu
berdasarkan kepercayaan dan budaya yang dimilikinya. Faktor eksternal dapat berupa keluarga
yang sangat menentukan pula dalam perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki
peran yang sangat penting sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari anak.
Kemudian pendidikan keagamaan yang diterapkan di sekolah juga dapat menjadi faktor penentu
perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan mulai berpikir secara
logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter
dari peserta didik. Selain itu, adanya budaya yang berkembang di masyarakat akan
mempengaruhi perkembangan spiritual peserta didik pula. Baik perkembangan yang menuju arah
yang baik (positif) atau menuju ke arah yang buruk (negatif), itu semua tergantung pada
bagaimana cara anak berinteraksi dengan masyarakat tersebut (Baharuddin, 2009).
PENUTUP
Kesimpulan